Karakteristik kedua kehidupan spiritual seperti yang dikehendaki Islam adalah ittiba’, mengikuti al-Qur’an dan as-sunnah Nabi Shallalláh ‘alayhi wasallam.
Tasawuf atau spiritualitas Islam bukanlah agar-agar lembek yang bisa dibentuk seseorang sesuka hati. Tasawuf atau spiritualitas Islam adalah suatu kehidupan yang dibatasi hukum-hukum Tuhan. Jika substansi kehidupan spiritualitas adalah hubungan yang baik dengan Allah (lewat zikir, syukur, dan ibadah kepada-Nya dengan baik), maka hubungan ini dibatasi oleh dua asas utama.
Pertama, ibadah hanya untuk Allah semata.
Allah tidak boleh disekutukan dengan sesuatu dan sesuatu tidak boleh dijadikan sekutu untuk-Nya, baik sesuatu itu nabi atau wali, malaikat atau jin, manusia atau bebatuan.
“Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah, 98: 5)
“… barangsiapa mengharapkan Perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi, 18: 110)
Kedua, Allah tidak disembah kecuali dengan apa yang disyariatkan-Nya, dalam KitabNya dan lewat lisan Rasul-Nya Shallallåhu ‘alayhi wasallam.
Seseorang tidak boleh mensyariatkan dalam agama sesuatu yang tidak diperkenankan Allah. Landasan ibadah adalah tauqif (berdasarkan ketetapan Allah dan Rasul-Nya) dan terlarang hingga ada nash yang memerintahkannya dari pembuat syariat. Berbeda dengan adat kebiasaan, muamalah, dan urusan keduniawian; landasannya adalah perizinan dan pembolehan selagi tidak ada nash yang mengharamkan dari pembuat syariat. Allah Ta’ala berfirman:
“Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Al-Mulk, 67: 2).
Abü ‘Ali Fudhail bin ‘lyadh radhiyallahu ‘anhu telah ditanya tentang firman di atas.
“Apa amal yang terbaik?”
“Amal yang terbaik adalah amal yang paling ikhlas dan paling benar. Karena amal tidak akan diterima kecuali jika dikerjakan dengan ikhlas dan benar.”
“Apa maksud amal yang ikhlas dan benar?”
“Amal yang ikhlas adalah amal yang untuk Allah, dan amal Yang benar adalah amal yang sesuai dengan as-sunnah.”
Dengan demikian, mereka yang menjadikan dzauq dan perasaan sebagai landasan dalam menciptakan bermacam-macam bentuk dan cara ibadah yang dianggap baik oleh pikiran mereka dan dibaguskan oleh hawa nafsu mereka adalah orang-orang yang melakukan kesalahan besar, kendatipun niat mereka adalah mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Karena pensyariatan ibadah tidak disimpulkan dari pembagusannya oleh akal dan penghiasannya oleh hawa nafsu. la hanya disimpulkan dari wahyu semata.
Karena itu, Rasulullah Shallallühu ‘alayhi wasallam bersabda, “Orang yang mengada-adakan dalam urusan kami sesuatu yang tidak termasuk darinya, ia tertolak.” Artinya, orang yang menciptakan dalam agama Islam bentuk-bentuk ibadah yang tidak disyariatkan Allah, ia tertolak dan tidak diterima.
Beliau Shallallahu ‘alayhi wasallam juga bersabda, “Pegang teguh sunnahku dan sunnah Khulafa ar-Rasyidin yang memperoleh petunjuk. Gigit ia dengan gigi geraham. Dan jauhilah sejauh-jauhnya perkara-perkara yang diada-adakan. Karena setiap bid’ah (sesuatu yang diada-adakan) adalah sesat.”