Kelompok Islamis atau Islam Politik adalah sebuah istilah untuk gerakan politik yang menjadikan Islam sebagai sistem pemerintahan dan menjadikan syariat Islam atau Islam adalah solusi sebagai jargon untuk meraih kekuasaan.
Pada awalnya Islam Politik berkembang di Sudan tahun 1949 sebagai respon terhadap merebaknya komunisme dan atheisme. Tahun 1964, Dr. Hasan At-Turabi pulang dari Sorbonne, Perancis dan menjadi salah seorang tokoh Jabhah Mitsaq Al-Islamy (Koalisi kelompok Islam; Ikhwanul Muslimin, Gerakan Salafi dan Tarekat Tijani Shufi). Tahun 1969 At-Turabi didaulat menjadi Sekjen IM Sudan dan melambungkan namanya sebagai politisi Islam yang disegani. Namun, beberapa pemikirannya yang liberal membuat sebagian rekan-rekannya justru keluar dari organisasi bahkan justru mengkafirkan At-Turabi.
Tahun 1980, perpecahan kembali terjadi di tubuh gerakan Islam Sudan. Sekelompok tokoh gerakan Islam keluar dari Jama’ah dan mendirikan Ikhwanul Muslimin yang diakui oleh Tanzhim ‘Alamy IM. Mereka menentang sikap pragmatis At-Turabi yang lebih memprioritaskan kuantitas simpatisan politik ketimbang tarbiyah kader. At-Turabi kemudian mendirikan Jabhah Islamiyah Qaumiyah pada tahun 1986 yang terlepas dari Ikhwanul Muslimin.
Sekelompok perwira militer yang dipimpin oleh Brigadir Jenderal Omar al-Basyir pada tahun 1989 melakukan kudeta dan memenjarakan tokoh-tokoh gerakan Islam termasuk At-Turabi untuk mengelabui dunia internasional bahwa kudeta tersebut didalangi oleh gerakan Islam. Namun tak lama kemudian, hijabpun tersingkap dan ternyata At-Turabi justru otak di balik kudeta tersebut. Basyir kemudian menjadi presiden Sudan dan At-Turabi menjadi menteri luar negeri. At-Turabi lalu membubarkan Jabhah Islamiyah Qaumiyah (sebuah keputusan yang kemudian disesalinya).
Kisah manis antara guru dan dan murid itu tidak berlangsung lama. Perbedaan pendapat yang sudah lama terjadi antara keduanya kemudian meledak ke permukaan ketika At-Turabi berusaha membuat undang-undang yang membatasi kewenangan presiden. Al-Basyir mendirikan National Congress Party (NCP) tahun 1998 dan At-Turabi mendirikan Popular Congress Party (PCP) pada tahun 1999. Basyir kemudian mulai menampakkan sikap otoriternya dan memenjarakan At-Turabi. Tahun 2013, sejumlah tokoh-tokoh muda NCP yang ingin melakukan reformasi di internal partai dipecat oleh Basyir. Mereka kemudian keluar dari NCP dan mendirikan Harakah Al-Ishlah Al-Aan atau Reform Now Movement dibawah pimpinan Ghazi Shalahuddin Al-Atabani.
Dari keterangan ringkas diatas, jelas bahwa Islamis Sudan terpecah menjadi banyak kelompok yang saling berselisih antara satu dan lainnya. Diantara mereka ada yang pro militer, dan ada juga yang anti militer dan menjunjung tinggi demokrasi. Namun, perselisihan tersebut tidak berarti bahwa koalisi antara mereka tertutup sama sekali. Ikhwanul Muslimin yang menentang sepak terjang Omar al-Basyir masuk dalam pemerintahan Basyir melalui beberapa menteri dan pejabat wilayah. Maka, Kelompok Islam Politik Sudan adalah kelompok yang sangat kompleks dan sayangnya banyak orang dengan mudah mengacungkan jari dan menggeneralisasi ke mereka semua bahwa mereka semua adalah Ikhwani, Kizan dan sebutan-sebutan lainnya.
Kembali ke pertanyaan awal, apakah kelompok Islam akan kembali dalam kancah perpolitikan Sudan? Ini adalah pertanyaan yang sulit dijawab. Namun, beberapa indikator yang kami sebutkan dibawah ini menunjukkan bahwa kembalinya gerakan Islam dalam kancah perpolitikan Sudan adalah hal yang sangat mungkin atau bahkan justru sedang terjadi. Apa saja indikatornya?
- Sejak tahun 2019, militer Sudan sudah menegaskan bahwa mereka tidak akan pernah menyerahkan Basyir ke Mahkamah Pidana Internasional dengan alasan kedaulatan dan pengadilan terhadap Basyir cs hanya akan dilakukan di dalam negeri. Padahal, kelompok sipil Forces of Freedom and Change (FFC) dengan tegas meminta militer untuk menyerahkan Basyir cs ke International Criminal Court (ICC) dan menganggapnya sebagai salah satu tuntutan utama revolusi Sudan 2019. Agustus 2022 kemaren, Militer Sudan kembali menegaskan sikapnya dengan menolak memberikan akses kepada Tim Penyelidik ICC yang ingin bertemu Basyir.
- Pasca digulingkannya Basyir tahun 2019, Dewan Kedaulatan Sudan dan Forces of Freedom and Change (FFC) menyepakati sebuah undang-undang yang dinamakan UU Takfik Nizham Inqadz (undang-undang pembubaran rezim Inqadz/rezim 30 Juni/rezim Basyir). Setelah UU tersebut disahkan, dimulailah penyitaan semua aset National Congress Party (NCP) bahkan pembakaran beberapa gedungnya. Oleh musuh Islamis, UU ini juga dipakai untuk menghantam kelompok-kelompok Islam lain non NCP. Namun, paska kudeta Al-Burhan terhadap pemerintahan transisi dari sipil, PM Hamdouk Oktober 2021, Al-Burhan juga mengumumkan bahwa UU Tafkik Nizham Inqadz dan tugas timnya juga dibekukan. Yang artinya, kelompok islamis mulai diberikan ruang untuk melakukan aktivitasnya.
- Setelah dibekukannya UU Tafkik Nizham Inqadz, militer Sudan membebaskan Ibrahim Ghandour (Pejabat sementara ketua NCP), lalu Ali Ahmed Karti (mantan Menlu Sudan era Basyir yang didakwa ikut melakukan kudeta tahun 1989 oleh pengadilan Sudan) tampil dihadapan publik dan pendukungnya. Penting dicatat bahwa Ali Ahmed Karti ini punya hubungan baik dengan Jenderal Abdel Fattah al-Burhan. Kelompok-kelompok Islampun secara berangsur-angsur mulai melakukan aktivitas-aktivitas politik mereka melalui acara buka puasa bersama dan lain-lain. Termasuk yang paling heboh adalah terbentuknya At-Tayyar Al-Islamy Al-Aridh atau The Broad Islamic Current yang merupakan gabungan dari 10 faksi kelompok Islam pada pada April 2022. Diantara faksi yang ikut bergabung adalah Harakah Al-Ishlah Al-Aan atau Reform Now Movement, Harakah Islamiyah As-Sudaniyah, Ikhwanul Muslimin Tanzhim ‘Alamy, Ikhwanul Muslimin Sudaniah, dan faksi-faksi Islam lainnya. NCP juga mulai melakukan konsolidasi dengan membentuk kembali kepengurusan barunya di beberapa wilayah.
- Kegagalan pemerintahan transisi memperbaiki kondisi Sudan membuat NCP berani tampil kembali mengajukan rancangan visi-misi komprehensif mereka untuk menyelesaikan dan mengeluarkan Sudan dari krisis dan perpecahan. Kelompok islamis juga menentang Al-Ittifaq Al-Ithary yang dimediasi oleh AS-Inggris-Saudi-Emirat dan menganggapnya sebagai campur tangan asing terhadap kedaulatan dan masalah internal Sudan. Kehadiran kembali NCP yang pernah berkuasa selama 30 tahun sedikit banyaknya mampu menarik simpati publik yang mulai muak dengan perebutan kekuasaan antara sipil dan militer.
- Seminggu setelah meledaknya pertempuran antara Sudanese Armed Forces (SAF) kontra Rapid Support Forces (RSF), sejumlah petinggi rezim Basyir seperti Ali Usman Thaha (wakil presiden Basyir), Awad Al-Gaz (Menteri Energi & Migas) Ahmad Harun (Presiden NCP sebelumnya) dan lain-lain yang ditahan di penjara Kubri Bahri dilaporkan keluar dari tahanan bersama ratusan narapidana lain. Ahmad Harun kemudian mengejutkan publik Sudan dengan pernyataannya bahwa ia dan sejumlah tokoh NCP keluar dari penjara ditengah pertempuran dan mereka akan menyiapkan tim sendiri yang mampu menjaga keamanan mereka. Militer Sudan kemudian menyampaikan pers rilis bahwa Omar al-Basyir dan sejumlah tokoh NCP juga sudah dipindahkan ke RS militer Al-‘Ulya beberapa waktu sebelum bentrokan antara SAF-RSF pecah. Keluarnya tokoh-tokoh NCP ini dari penjara diduga berdasarkan persetujuan dan kordinasi dengan militer Sudan.
- Setelah Basyir dan tokoh-tokoh NCP dikeluarkan dari penjara, RSF menuduh intelijen yang berkordinasi dengan kelompok Islamis dalam tubuh militer berada dibalik pembebasan Basyir cs. RSF menuduh SAF sedang menyusun strategi untuk mengembalikan kelompok islamis dalam kancah perpolitikan Sudan. Senada dengan RSF, Forces of Freedom and Change (FFC) bahkan menganggap statemen Ahmad Harun pasca keluar dari penjara sebagai dalil bahwa NCP dan unsur-unsurnya yang masih ada dalam SAF sebagai dalang dibalik meletusnya bentrokan bersenjata antara SAF dan RSF.
Dari beberapa indikator diatas, maka pertanyaan tentang kemungkinan kembalinya kelompok Islam dalam kancah perpolitikan Sudan adalah hal yang sangat mungkin. Tentu tidak mudah bagi rakyat Sudan untuk mempercayai kembali rezim Basyir “yang gagal” mensejahterakan rakyat Sudan selama tiga dekade masa pemerintahannya. Ditambah, krisis antara SAF dan RSF saat ini juga melibatkan kepentingan negara-negara besar seperti Rusia, AS, Inggris, China, Emirat, Saudi dan lain-lain. Namun, jika kelompok-kelompok Islam bisa melakukan rekonsiliasi dan berkonsolidasi kembali serta mau melakukan reformasi radikal dalam gaya pemerintahannya, maka sekali lagi bahwa kembalinya islamis dalam perpolitikan Sudan adalah hal yang sangat mungkin terjadi.
Wallahu A’lam.
Taufik M Yusuf.
Alumni International University of Africa Sudan dan Pemerhati Dunia Islam.