Abdullah Al-Makmun bin Harun Ar-Rasyid bin Muhammad Al-Mahdi. Ia lahir tahun 170 H / 786 M, ibunya seorang ummu walad bernama Murajil.
Al-Makmun diangkat menjadi putra mahkota saat berusia 13 tahun setelah saudaranya Muhammad Al-Amin. Sebelum menjadi khalifah, Al-Makmun diangkat ayahnya menjadi walikota Khurasan dan sekitarnya hingga Hamadzan, dengan keistimewaan sebagai daerah otonom.
Saat Harun Ar-Rasyid wafat pada 3 Jumadil Akhir 194 H / 15 April 809 M, Al-Makmun dibaiat menjadi khalifah berbarengan dengan dibaiatnya Muhammad Al-Amin, lalu terjadilah konflik, terlebih lagi ketika Al-Amin berupaya mengedepankan anaknya, Musa, sebagai putra mahkota.
Al-Makmun berkuasa penuh sebagai khalifah pasca terbunuhnya Khalifah Muhammad Al-Amin pada 26 Muharram 198 H / 29 September 813 M.
Penguasa Negeri-negeri pada Masanya
- Pemerintahan Andalusia dipimpin Al-Hakam bin Hisyam (180 – 206 H / 796 – 821 M), kemudian digantikan putranya Abdurrahman (206 – 238 H / 821 – 852 M)
- Pemerintahan Maghrib Al-Aqsha dipimpin Idris bin Idris bin Abdillah (188 – 213 H / 804 – 828 M), kemudian digantikan putranya Muhammad bin Idris (213 – 231 H / 828 – 845 M)
- Pemerintahan Ifriqiya Bani Aghlab dipimpin Abdullah bin Ibrahim Al-Aghlab (196 – 201 H / 811 – 816 M), kemudian digantikan putranya Ziyadatullah, penakluk Sicilia (201 – 223 H / 816 – 837 M)
- Pemerintahan Perancis dipimpin Charlamagne yang wafat pada 814 M / 198 H dan digantikan Louis I
- Pemerintahan Konstantinopel dipimpin Michael II (820 – 829 M / 204 – 213 H)
Peristiwa Pasca Terbunuhnya Khalifah Al-Amin
Fadhl bin Sahl menganggap dirinya paling berjasa dalam perjuangan pembaiatan dan pengangkatan Abdullah Al-Makmun, maka ia ingin mendapat keuntungan dengan memberikan instruksi dalam pemerintahan.
Guna memuluskan hal itu ia ‘menyingkirkan’ Thahir bin Al-Husain dan Hartsamah bin A’yun dari Irak.
Untuk itu, Fadhl meminta kepada Thahir agar menyerahkan daerah yang saat itu dikuasainya dan memerintahkannya agar bergerak ke Riqqah guna menumpas Nashr bin Syibts loyalis Muhammad Al-Amin; kemudian mengangkatnya sebagai walikota Mosul, Al-Jazirah, Syam, dan Maghrib. Lalu ia mengangkat Al-Hasan bin Sahl. Lalu Fadhl menginstruksikan kepada Hartsamah untuk pergi ke Khurasan
Pemberontakan Muhammad bin Ibrahim (Ath-Thalibiyyin)
Fadhl bin Sahl ‘mengisolasi’ Khalifah Al-Makmun di Marwu, maka ia leluasa menangani berbagai perjanjian sesuai dengan ambisinya. Hal ini menimbulkan kemarahan penduduk Irak, terutama Bani Hasyim. Meletuslah pemberontakan yang dipimpin Muhammad bin Ibrahim bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Hasan bin Al-Hasan bin Ali yang menyerang Kufah dan didukung oleh Abu As-Saraya As-Sirri bin Mansyur As-Syaibani hingga bisa menguasainya.
Muhammad bin Ibrahim wafat pada Kamis, 1 Rajab 199 H / 19 Februari 815 M, maka kepemimpinan diganti Abu As-Saraya.
Al-Hasan bin Sahl berkali-kali mengirimkan pasukan untuk menumpas Abu As-Saraya namun gagal menundukkannya.
Al-Hasan bin Sahl lalu meminta Hartsamah bi A’yun untuk membantunya memberantas Abu As-Saraya. Hartsamah berhasil mendesak Abu As-Saraya hingga melarikan diri menuju Qadisiyah pada Muharram 200 H / Agustus 815 M.
Abu Saraya bergerak mencapai Sousa dan berhadapan dengan Al-Hasan bin Ali Al-Badzaghisi. Seluruh pasukan Abu As-Saraya berhasil dibunuh. Lalu ia melarikan diri namun berhasil ditangkap di Ra’sul Ain Al-Jazirah, kemudian dihadapkan ke Baghdad dan dihukum mati.
Kekacauan di Makkah
Ath-Thalibiyyin melakukan kekacauan di Makkah saat dipimpin walikotanya Husain bin Hasan bin Ali bin Al-Husain bin Ali yang ditunjuk Abu As-Saraya. Dia membuka kiswah Muawiyah dan mengambil isi gudang penyimpanan harta Muawiyah; anak cucu Bani Abbas pun diserang dan dirampok.
Lempengan emas tipis di kop silinder di Masjidil Haram mereka ambil, besi-besi yang terpasang di jendela dan kayu jati dicabut dan dijual murah.
Saat terdengar kabar terbunuhnya Abu As-Saraya, mereka mendatangi Muhammad bin Ja’far As-Shadiq bin Muhammad bin Ali Zainal Abidin bin al-Husein bin Ali bin Abi Thalib dan membaiatnya sebagai khalifah.
Kemudian Ishaq bin Musa bin Isa datang dari Yaman dan dapat menguasai Makkah. Muhammad bin Ja’far As-Shadiq lalu memohon perlindungan untuk dirinya dan pengikutnya hingga mereka keluar dari Makkah.
Fitnah Kepada Hartsamah bin A’yun
Setelah menyelesaikan tugasnya, Hartsamah berupaya menemui Khalifah Al-Ma’mun dan melaporkan kekacauan yang terjadi akibat ulah Al-Fadhl bin Sahl.
Namun, Fadhl bin Sahl memfitnah Hartsamah bahwa dialah yang menyebabkan kekacauan yang terjadi karena Abu As-Saraya adalah bagian dari tentaranya. Hartsamah lalu ditangkap dan dipenjara. Ia wafat di penjara karena siksaan.
Baghdad Bergejolak
Mengetahui apa yang terjadi kepada Hartsamah bin A’yun, maka kalangan militer di Baghdad melancarkan perlawanan kepada Al-Hasan bin Sahl. Penduduk Baghdad menemui Manshur bin Al-Mahdi memintanya bersedia dibaiat menjadi khalifah, tapi ia menolaknya. Ia kemudian diminta menjadi walikota.
Kekacauan ini dimanfaatkan oleh para penyamun untuk melakukan keonaran karena tidak ada pihak berwenang yang dapat menghalangi mereka. Mereka mencegat orang-orang dan kapal-kapal agar membayar upeti, merampok perkebunan, dan harta masyarakat.
Dalam kondisi seperti itu, munculah Khalid Ad-Darbusy dan Sahl bin Salamah Al-Anshari menggalang kekuatan untuk menumpas para perampok ini.
Ali Ar-Ridha bin Musa
Abdullah Al-Makmun memilih Ali Ar-Ridha bin Musa bin Ja’far As-Shadiq sebagai putra mahkota. Mensyiarkan pakaian hijau yang biasa menjadi identitas kaum syiah dan melepas pakaian hitam yang menjadi identitas Bani Abbas. Hal ini menimbulkan kemarahan Bani Abbas.
Al-Makmun memang tumbuh di lingkungan syiah, tumbuh berkembang di keluarga Ja’far Al-Barmaki, kemudian diasuh Al-Fadhl bin Sahl yang berhaluan syiah.
Ali Ar-Ridha inilah yang menyampaikan berita tentang sepak terjang Al-Fadhl bin Sahl yang memblokir informasi.
Pembunuhan Al-Fadhl bin Sahl dan Ali Ar-Ridha bin Musa
Abdullah Al-Makmun melakukan rekayasa pembunuhan Al-Fadhl pada Jum’at, 2 Sya’ban 202 H / 16b Februari 818 M. Terjadi pula pembunuhan misterius kepada putra mahkota, Ali Ar-Ridha bin Musa. Disinyalir hal ini dilakukan oleh kalangan Bani Abbas untuk mempertahankan kekhalifahan berada di tangan mereka.
Al-Makmun Memasuki Baghdad
Jum’at, 24 Shafar 204 H / 23 Agustus 819 M, Al-Makmun memasuki Baghdad mengenakan pakaian dan bendera hijau. Bani Abbas memintanya menanggalkan pakaian itu, maka ia pun menginstruksikan kepada seluruh pejabatnya untuk melepaskan pakaian berwarna hijau itu.
Pemberontakan Syiah di Yaman
Abdullah Al-Makmun memperlakukan kaum syiah dengan baik, hingga mereka melancarkan pemberontakan pada 207 H / 822 M dipimpin oleh Abdurrahman bin Ahmad bin Abdillah bin Muhammad bin Umar bin Ali bin Abi Thalib.
Al-Makmun sebelumnya telah memilih walikota di Tihamah, Muhammad bin Ibrahim Az-Ziyadi, pada 203 H (818 M) yang pada tahun berikutnya membangun kota Zubaid. Di kemudian hari pemerintahan di Yaman ini berkembang menjadi pemerintahan otonom yang dikenal dengan Daulah Ziyadiyah.
Perdana Menteri di Pemerintahan Al-Makmun
- Al-Fadhl bin Sahl, yang masuk Islam pada 190 H / 805 M dan wafat tahun 202 H / 818 M, adalah perdana menteri pertama.
- Ahmad bin Abi Khalid berasal dari Syam
- Ahmad bin Yusuf
- Al-Qadhi Yahya bin Aktsam At-Tamimi, seorang ulama dan fuqaha
- Abu Ubbad Tsabit bin Yahya bin Yassar Ar-Razi
- Abu Abdillah Muhammad bin Dawud bin Suwaid dari Khurasan.
Sekelumit Kisah Yahya bin Aktsam At-Tamimi
Abdullah Al-Makmun pernah berencana mengumumkan dihalalkannya nikah mut’ah. Namun, Yahya bin Aktsam segera menyampaikan firman Allah Ta’ala,
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ (١) الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ (٢) وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ (٣) وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ (٤)وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (٥) إِلا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (٦) فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ (٧)
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa yang mencari di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.”
Ia lalu bertanya kepada Khalifah Al-Makmun: “Apakah istri mut’ah itu hamba sahaya? Apakah istri mut’ah bisa mewarisi dan mewariskan dan diikutkan pada anaknya?”
Yahya bin Aktsam juga menyampaikan hadits,
روى عن عبد الله، والحسن ابني محمد بن الحنفية عن أبيهما محمد عن علي بن أبي طالب قال: أمرني رسول الله – صلى الله عليه وسلم – أن أنادي بالنهي عن المتعة وتحريمها بعد أن كان أمر بها
Diriwayatkan dari Abdullah dan Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah dari ayah mereka dari Ali bin Abi Thalib: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadaku agar aku menyerukan kepada orang-orang tentang larangan mut’ah dan keharamannya setelah sebelumnya beliau memerintahkannya.”
Penumpasan Kelompok Pembuat Onar
- Pada tahun 206 H / 822 M mulai dilakukan penumpasan kepada kelompok penyamun Al-Zutha (berasal dari Sudan) hingga tahun 219 H / 834 M
- Menumpas pemberontakan Babek Al-Harami dari tahun 221 – 231 H / 836 – 845 M, mereka adalah pemeluk agama Karamiyyah yang meyakini reinkarnasi dan berpaham permissivisme
Pendapatan Pajak Pada Masa Al-Makmun
Pajak diperoleh dari: pajak tanah, jizyah, dan al-’usyur. Besarnya mencapai 3.196.000.000 dirham dan 3.817.000 dinar. Pendapatan ini digunakan untuk belanja pegawai, pembangunan kota-kota besar.
Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Ilmu Agama
Studi agama lebih banyak bersandar pada logika. Maka konflik keagamaan mulai berkembang berawal dari Bashrah, dimotori oleh Washil bin Atha dan Amr bin Ubaid (tokoh Mu’tazilah).
Muncul pembicaraan ilmu kalam tentang takdir dan perbuatan manusia (qadariyah) dan sifat-sifat Allah, dimana kaum mu’tazilah menghindarkan adaya sifat-sifat dzatiyah (qudrah, iradah, sama’, bashar, hayah, kalam, dll). Timbul pula perdebatan tentang apakah Al-Qur’an apakah qadim atau hadits? Kalam ataukah makhluk?
Selain itu muncul pula perdebatan tentang kekhalifahan pasca Rasulullah.
Al-Makmun berupaya mengakhiri perdebatan ini dengan mengadakan forum dialog, namun akhirnya terjebak pada upaya pemberangusan kepada para ulama yang berbeda pendapat dengannya.
Ia memeriksa Bisyr bin Al-Walid, Abu Hasan Az-Ziyadi, dll. Hingga akhirnya karena tekanan yang keras para ulama itu mengikuti pendapat yang menyatakan Al-Qur’an adalah makhluk. Yang tersisa adalah Ahmad bin Hambal dan Muhammad bin Nuh hingga diasingkan ke Tharsus dan baru dikembalikan lagi ke Baghdad ketika terdengar kabar Al-Makmun wafat.
Perdebatan ini nantinya berhenti dengan sendirinya pada masa Khalifah Al-Watsiq, bahkan hal itu menjadi bahan lelucon seorang pelawak bernama Ubbadah: “Jika Al-Qur’an mati (karena ia dianggap makhluk, red.) bagaimana kita melaksanakan shalat tarawih?”
Ilmu-ilmu Keduniaan
Interaksi yang intens dengan bangsa Persia membuat daulah Abbasiyah lebih mengenal peradaban bangsa Persia dan Yunani. Buku-buku klasik filosof Persia dan Yunani diterjemahkan besar-besaran. Al-Makmun berkirim surat kepada kaisar Romawi agar mengirimkan buku-buku klasik yang tersimpan di gudang-gudang Romawi.
Pada masa itu kalangan masyarakat pun ada yang melakukan kegiatan penerjemahan ini: Muhammad, Ahmad, dan Al-Hasan dari Bani Syakir Al-Munjim; hingga mereka mengirim Hunain bin Ishaq ke Romawi untuk membawa manuskrip-manuskrip langka di bidang filsafat, teknik, musik, aritmetika, dan kedokteran.
Dari kalangan Arab ada Ya’qub bin Ishaq Al-Kindi yang menghasilkan karya-karya ilmiah kedokteran, filsafat, ilmu hitung, logika, musik, teknik, dll.
Wafatnya Al-Makmun
Tahun 830 M, Al-Makmun keluar dari Baghdad untuk berperang melawan Romawi dan berhasil menaklukkan beberapa benteng.
Pada akhir bulan Rajab 218 H / Agustus 833 M, ia memasuki wilayah Romawi melalui Tharsus, disanalah ia wafat karena penyakit demam yang menyerangnya. Saat sakit, ia sempat menunjuk saudaranya, Al-Mu’tashim, Abu Ishaq bin Ar-Rasyid bin Al-Mahdi bin Al-Manshur sebagai putra mahkota