Mantan Menteri Luar Negeri Tunisia yang juga tokoh berpengaruh di partai An-Nahdhah, Rafiq Abdussalam mengatakan, apabila perundingan politik pasca kudeta yang dilakukan Presiden Kais Saied temui jalan buntu, demi mengembalikan Tunisia dalam kondisi normal, maka tidak ada pilihan selain mempercepat pelaksanaan pemilihan presiden dan legislatif. Opsi ini menurut Abdussalam menjadi solusi demi membangun legitimasi terhadap hasil pemilihan baru.
Dalam petikan wawancaranya dengan “Arabi 21”, Abdussalam menjelaskan, An-Nahdhah mungkin saja mengalah dengan melepaskan hak-hak yang dimilikinya, namun tidak dengan hak-hak rakyat. Pihaknya berkomitmen untuk memperjuangkannya demi kebebasan demokrasi dan institusi di Tunisia.
Ia kemudian menambahkan, dalam kondisi saat ini, rakyatlah yang akan berada di garda terdepan dalam menghadapi kudeta, diikuti dengan faksi-faksi politik yang ada. “Jadi menggiring seakan An-Nahdhah sendirian yang menghadapi kudeta ini,” jelasnya.
Dalam menyikapi kudeta ini, Abdussalam mengaku partainya telah melakukan berbagai upaya, diantaranya dengan menggandeng para mitra politik, untuk menutup ruang gerak kudeta agar secepatnya dapat kembali ke konstitusi dan legitimasi. Namun ia menyayangkan kondisi saat ini, dengan banyaknya penangkapan dan pengadilan dengan kedok UU sipil maupun kebijakan militer.
Mantan Menteri Luar Negeri Tunisia ini kemudian mengatakan, ada bukti campur tangan pihak luar dari lingkup regional yang memperkeruh kondisi di Tunisia, hal itu menurutnya sudah nampak dari skenario yang dibuat dan ketika terjadinya kudeta.
“Kami telah melihat kondisi yang sangat mirip dengan apa yang terjadi pada kudeta 3 Juli 2013 di Mesir, upaya untuk memobilisasi dan menjelekkan, serta menggunakan media sosial untuk menciptakan suasana tidak kondusif, agar mengganggu kehidupan berkonstitusi serta melumpuhkan sistem demokrasi.” jelas Abdussalam.
Secara pribadi ia mengakui turunnya popularitas An-Nahdhah saat ini akibat imbas dari pemerintahan yang tengah berjalan. Ia berdalih, selama tidak menjadi mayoritas mutlak di parlemen, maka partainya tidak bisa memberikan keputusan strategis dalam politik. Kondisi inilah yang menurut Abdussalam menjadikan eksekutif lebih leluasa dalam menentukan kebijakan dan berpengaruh.
Abdussalam menegaskan, An-Nahdah dalam konteks ini, tidak mengambil porsi dari kekuasaan, tapi lebih kepada prinsip memegang teguh undang-undang dan sistem demokrasi yang tengah berlangsung. Menurut Abdussalaam ketika pondasi ini diabaikan, maka sama artinya menyia-nyiakan semua keuntungan politik yang didapat dari hasil revolusi.
Sumber: arabi21.com