Makna kata dan Kalimat:
عَنْ أَبِي مَالِكٍ الحَارِثِ بنِ عَاصِم الأَشْعَرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : Dari Abu Malik Al Harits bin ‘Ashim Al Asy’ari Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata
Tersebut dalam Hasyiah ‘ala As Sunan An Nasa’i tentang namanya:
وَأَبُو مَالِكٍ اِسْمه الْحَرْث بْن الْحَرْث وَقِيلَ : عُبَيْد وَقِيلَ : عُمَر وَقِيلَ : كَعْب اِبْن عَاصِم وَقِيلَ : عُبَيْد اللَّه وَقِيلَ : كَعْب بْن كَعْب وَقِيلَ : عَامِر بْن الْحَرْث
Abu Malik, namanya adalah Al Harts bin Al Harts, ada yang menyebut: ‘Ubaid, ada yang menyebut: Ka’ab bin ‘Ashim, ada yang menyebut: ‘Ubaidullah, ada yang menyebut: Ka’ab bin Ka’ab, dan ada juga yang menyebut: ‘Amir bin Al Harts. (Hasyiyah As Suyuthi was Sindi ‘ala As Sunan An Nasa’i, 3/461. Mawqi’ Al Islam)
Imam An Nawawi Rahimahullah sendiri mengatakan:
وأما أبو مالك فاختلف في اسمه فقيل الحارث وقيل عبيد وقيل كعب بن عاصم وقيل عمرو وهو معدود في الشاميين
Adapun Abu Malik, telah terjadi perbedaan pendapat tentang namanya. Ada yang mengatakan: Al Harits, ada yang menyebut: ‘Ubaid, ada yang menyebut: Ka’ab bin ‘Ashim, dan ada yang menyebut: ‘Amru. Dia terhitung sebagai penduduk Syam. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 3/100, Cet. 2, 1392H. Dar Ihya At Turats Al ‘Arabi, Beirut)
Dalam Usadul Ghabah disebutkan bahwa Abu Malik adalah Al Harits bin Al Harits Al Asy’ari. Sementara yang lain menyebutkan bahwa Abu Malik Al Asy’ari bukan kun-yahnya Al Harits bin Al Harits, Abu Malik adalah kun-yah dari Ka’ab bin ‘Ashim, namun ini juga diperselisihkan. (Imam Ibnul Atsir, Usadul Ghabah, Hal. 202-203)
Sementara Al Hafizh Ibnu Hajar punya pendapat lain, beliau menyebutkan bahwa Abu Malik Al Asy’ari adalah kun-yah milik beberapa orang yang berbeda:
Pertama, Al Harits bin Al Harits, nama dan gelarnya sama-sama terkenal.
Kedua, Ka’ab bin ‘Ashim, terkenal namanya sedangkan gelarnya mungkin ada beberapa, Al Baghawi mengatakan, dia digelari Abu Malik.
Ketiga, Abu Malik Al Asy’ari, orang yang terkenal dengan gelarnya ini, tetapi manusia berbeda pendapat tentang nama aslinya. Ada yang menyebut: ‘Amru, ada yang menyebut: ‘Ubaid. Sa’id Al Burdza’i berkata: “Aku mendengar Abu Bakar bin Abi Syaibah mengatakan: Abu Malik Al Asy’ari namanya adalah ‘Amru.” Diriwayatkan oleh Al Hakim Abu Ahmad, dan selainnya menambahkan, bahwa dia adalah ‘Amru bin Al Harits bin Hani’. Berkata yang lainnya: dialah yang meriwayatkan dari Abudurrahman bin Ghanm tentang hadits Al Ma’azif (alat-alat musik). (Imam Ibnu Hajar, Al Ishabah fi Tamyiz Ash Shahabah, 7/356. Cet. 1, 1412H. Darul Jil, Beirut)
Al Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan bahwa Abu Malik Al Asy’ari adalah seorang sahabat nabi yang wafat terkena penyakit tha’un, pada tahun 18 Hiriyah. (Taqribut Tahdzib, Hal. 1199. Dar Al ‘Ashimah)
Selanjutnya:
قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم :bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Amahi wa Sallam
الطُّهُورُ شَطْرُ الإِيْمَانِ : kesucian sebagian dari iman
Yaitu menjaga kesucian badan dengan berwudhu dan lainnya, adalah sebagian dari kesempurnaan iman. Ada pun sebagian yang lain adalah menjaga kesucian hati dan pikiran.
Al Imam Al Hafizh Zainuddin Abdurra’uf Al Munawi Rahmatullah ‘Alaih menjelaskan:
أي جزؤه أو المراد أن الإيمان يطهر الباطن والوضوء يطهر الظاهر فهو بهذا الاعتبار نصف
Yaitu bagiannya atau maksudnya adalah bahwa keimanan mensucikan batin dan wudhu mensucikan zahir, dan itu oleh kalimat ini dinamakan “sebagian”. (At Taisir bisyarhi Al Jami’ Ash Shaghir, 1/289. Cet. 3, 1988M-1408H. Maktabah Al Imam Asy Syafi’i, Riyadh)
Syaikh Ismail bin Muhammad Al Anshari Rahimahullah berkata:
الطهور: بضم الطاء _ التطهير بالماء من الأحداث .شطر الإيمان : نصف الإيمان ، لأن خصال الإيمان على قسين : أحدهما : يطهر القلب ويزكيه ، والأخر : يطهر الظاهر فهما تصفان بهذا الاعتبار
Ath Thuhur, dengan huruf tha’ di-dhammah-kan, artinya bersuci dengan air dari berbagai hadats. Syathrul Iman artinya setengah dari iman, karena bagian keimanan ada dua parameter: pertama, membersihkan dan mensucikan hati, yang lainnya (kedua), mensucikan yang zahir. Maka, keduanya disifatkan dengan pengertian ini. (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Syarah Hadits No. 23)
Dalam konteks hadits ini, makna Ath Thuhur adalah bersuci dari hadats (baca: wudhu), sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits lain sebagai berikut:
الْوُضُوءُ شَطْرُ الْإِيمَانِ
“Wudhu sebagian dari iman.” (HR. At Tirmidzi, No. 3517. Katanya: hasan shahih. Ibnu Majah No. 280, An Nasa’i No. 2437, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 2719, Abu ‘Uwanah dalam Musnadnya No. 601, Ath Thabarani dalam Musnad Asy Syamiyin No. 2873, Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam berbagai kitabnya)
Lafaz di atas adalah menurut riwayat Imam At Tirmidzi, ada pun lainnya berbunyi: isbaaghul wudhu syathrul iman (menyempurnakan wudhu sebagaian dari iman).
Al Isbaagh secara bahasa artinya Al Ikmal dan Al Itmam, artinya menyempurnakan, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً
Dia telah menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. (QS. Luqman (31): 20)
Imam Al Munawi Rahimahullah berkata:
( اسباغ الوضوء ) أي اتمامه بالاتيان بسننه وتجنب مكروهاته
(Isbaaghul Wudhu) yaitu menyempurnakannya dengan melakukannya sesuai dengan sunahnya dan menjauhi hal-hal yang dimakruhkannya. (At Taisir bisyarhi Al Jami’ Ash Shaghir, 1/945)
Jadi, wudhu yang bisa dikatakan sebagian dari iman adalah yang sempurna wudhunya, sesuai sunah nabi, menjaga tertibnya, dan jauh dari hal-hal yang tidak selayaknya terjadi ketika wudhu. Bukan wudhu yang ngasal, dan bukan pula yang penting basah!
Ada pun wudhu yang sempurna, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah memberitakan keutamaannya yang luar biasa.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ وَانْتِظَارُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ فَذَلِكُمْ الرِّبَاطُ
“Maukah kamu saya tunjukkan perbuatan yang dengannya dapat menghapuskan kesalahan dan meninggikan derajat?” Mereka menjawab: “Tentu wahai Rasulullah.” Beliau menjawab: “Menyempurnakan wudhu dalam keadaan berat (Al Makarih), memperbanyak langkah kaki menuju masjid, dan menunggu shalat setelah shalat sebelumnya, dan itu bagi kalian adalah Ar Ribath (berjaga-jaga dalam jihad).” (HR. At Tirmidzi No. 51, katanya: hasan shahih)
Imam An Nawawi menjelaskan makna Al Makarih:
وَالْمَكَارِه تَكُون بِشِدَّةِ الْبَرْد وَأَلَمِ الْجِسْم وَنَحْو ذَلِكَ
Al Makarih itu menjadikannya sangat dingin dan menyakiti badan, dan semisalnya. (Al Minhaj, Syarh Shahih Muslim, 3/141. Cet. 2, 1392H. Dar Ihya At Turats, Beirut)
Imam Ibnu Abdil Bar Rahimahullah mengatakan:
قوله: “على المكاره” فقيل اراد البرد وشدته وكل حال يكره المرء فيها نفسه فدفع وسوسة الشيطان في تكسيله إياه عن الطاعة والعمل الصالح والله أعلم.
Sabdanya (‘alal Makaarih), disebutkan maksudnya adalah rasa dingin yang sangat, dan semua keadaan yang tidak disukai oleh seseorang. Lalu dia melawan bisikan syetan yang membuatnya malas dari perbuatan taat dan amal shalih. Wallahu A’lam. (Imam Ibnu Abdil Bar, At Tamhid, 20/223. Muasasah Al Qurthubah)
Selanjutnya:
والحَمْدُ للهِ تَمْلأُ الميزانَ : dan Al Hamdulillah memberatkan timbangan
Yaitu ucapan Al Hamdulillah akan memenuhi dan membuat berat timbangan kebaikan bagi yang mengucapkannya pada yaumul mizan nanti.
Maksudnya adalah begitu besar pahalanya. (Al Minhaj, 3/101)
Begitu pula dikatakan Imam Al Munawi Rahimahullah:
( والحمد لله تملأ الميزان ) أي ثواب الكلمة يملؤها بفرض الجسمية
(dan Al Hamdulillah memberatkan timbangan) yaitu pahala ucapan itu akan memenuhinya dengan cara menjalankan kewajiban (perbuatan) jasmani. (At Taisir, 2/241)
Jadi, tidak cukup lisan saja, tetapi perbuatan jasmani juga mesti menunjukkan sikap bersyukur sebagaimana terkandung dalam maksud ucapan tahmid. Lalu, kenapa begitu besar pahalanya? Apa keistimewaan ucapan ini? Karena ucapan tahmid mengandung pengakuan dari hambaNya yang lemah bahwa semua pujian hanya bagi Allah Ta’ala, dan Dialah yang paling berhak menerimanya, bukan selainNya.
Berkata Syaikh Ismail Al Anshari:
وسبب ذلك أن التحميد إثبات المحامد كلها لله
Sebab hal itu (besarnya pahala) adalah karena ucapan tahmid merupakan penetapan bahwa segala pujian adalah untuk Allah. (At Tuhfah, hadits No. 23)
Jika kita melihat keutamaan membaca Alhamdulillah, maka tidak mengherankan jika ucapan tersebut dapat memenuhi timbangan kebaikan bagi pengucapnya pada hari kiamat nanti. Keutamaan-keutamaan itu tertera di berbagai riwayat berikut ini.
Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أَفْضَلُ الذِّكْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَفْضَلُ الدُّعَاءِ الْحَمْدُ لِلَّهِ
Dzikir yang paling utama adalah Laa Ilaha Illallah dan doa yang paling utama adalah Alhamdulillah. (HR. At Tirmidzi No.3383, katanya: hasan gharib. Ibnu Majah No. 3800, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 10667. Syaikh Al Albani menshahihkan dalam berbagai kitabnya, Shahih At Targhib wat Tarhib No. 1526, Tahqiq Misykah Al Mashabih No. 2306, dll)
Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَيَرْضَى عَنْ الْعَبْدِ أَنْ يَأْكُلَ الْأَكْلَةَ فَيَحْمَدهُ عَلَيْهَا أَوْ يَشْرَب الشَّرْبَةَ فَيَحْمَدهُ عَلَيْهَا
Sesungguhnya Allah sungguh ridha terhadap hamba yang makan makanan lalu dia memujiNya atas makanan itu, atau dia minum sebuah minuman lalu dia memujiNya atas minuman itu. (HR. Muslim No. 2734)
Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لو أن الدنيا كلها بحذافيرها بيد رجل من أمتي، ثم قال: الحمد لله لكان الحمد لله أفضل من ذلك
Seandainya seluruh dunia dengan sebagiannya berada di tangan seorang laki-laki di antara umatku, kemudian dia berkata Alhamdulillah, maka Alhamdulillah lebih utama dibandingkan hal itu. (HR. Ad Dailami No. 5083, Ibnu ‘Asakir , 16/54, Kanzul ‘Ummal No. 6406, Al Qurthubi dalam Al Jami’ li Ahkamil Quran, 1/131)
Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma menceritakan:
قال عمر قد علمنا سبحان الله ولا إله إلا الله فما الحمد لله؟ فقال علي: كلمة رضيها الله لنفسه وأحب أن تقال
“Umar berkata: Kami telah mengetahui Subhanallah dan Laa Ilaha Illallah, namun apakah Alhamdulillah?” Ali menjawab: “Kalimat yang Allah ridhai untuk diriNya dan Dia paling suka untuk disebutkan.” (Lihat Alauddin Al Muttaqi Al Hindi, Kanzul ‘Ummal No. 3956)
Dalam hal kaitan ucapan Alhamdulillah dan Asy Syukru, telah terjadi perbedaan pendapat para mufassir sejak masa salaf hingga khalaf. Di antara mereka ada yang mengatakan keduanya adalah sama saja, ada yang mengatakan Alhamdu lebih umum dari Asy Syukru, dan ada yang mengatakan sebaliknya. Untuk detilnya silahkan merujuk kepada Tafsir Ibnu Katsir pada surat Al Fatihah ayat kedua.
Selanjutnya:
وسُبْحَانَ اللهِ والحَمْدُ للهِ تَمْلآنِ – أَو تَمْلأُ – مَا بَيْنَ السَّمَاءِ والأَرْضِ: Subhanallah dan Al Hamdulillah keduanya akan memenuhi –atau dia akan memenuhi- apa-apa di antara langit dan bumi
Yaitu ucapan tasbih dan tahmid memiliki pahala yang memenuhi langit dan bumi, lantaran dua kalimat tersebut memiliki keutamaan berupa mengembalikan pujian hanya kepadaNya dan pensucian juga hanya kembali kepadaNya.
Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri Rahimahullah menjelaskan:
مَعْنَاهُ أَنَّهُ لَوْ قُدِّرَ ثَوَابُهُمَا جِسْمًا لَمَلَآ مَا بَيْنَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ، وَسَبَبُ عِظَمِ فَضْلِهِمَا مَا اِشْتَمَلَتَا عَلَيْهِ مِنْ التَّنْزِيهِ لِلَّهِ بِقَوْلِهِ سُبْحَانَ اللَّهِ . وَالتَّفْوِيضِ وَالِافْتِقَارِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى بِقَوْلِهِ الْحَمْدُ لِلَّهِ
Maknanya adalah seandainya wujud pahala keduanya ditakar, keduanya akan memenuhi antara langit dan bumi. Penyebab begitu agungnya keutamaan kedua kalimat ini adalah karena keduanya mengandung pensucian Allah, yang terdapat dalam ucapan: subhanallah, dan menyerahkan semua hajatnya kepada Allah Ta’ala dengan ucapannya: Alhamdulillah. (Tuhfah Al Ahwadzi, 9/350. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, Beirut)
Kalimat تَمْلآنِ – أَو تَمْلأُ (keduanya akan memenuhi –atau dia akan memenuhi) adalah keraguan yang terjadi pada rawi, sebagaimana yang disyarahkan dalam berbagai kitab syarah hadits.
Tentang keutamaan tasbih dan tahmid, disebutkan secara khusus dalam hadits Samurah bin Jundab Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أَحَبُّ الْكَلاَمِ إِلَى اللَّهِ أَرْبَعٌ سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ. لاَ يَضُرُّكَ بَأَيِّهِنَّ بَدَأْتَ
Ucapan yang paling Allah sukai ada empat: Subhanallah, Alhamdulillah, Laa Ilaha illallah, Allahu Akbar. Tidak masalah bagimu ucapan yang mana yang didahulukan. (HR. Muslim No. 2137)
Jadi, dari empat kalimat dzikir ini tidak masalah diucapkan secara tidak berurutan. Semuanya termasuk yang paling Allah Ta’ala sukai, dan secara khusus tasbih dan tahmid ditempatkan dalam hadits yang kita bahas ini.
Selanjutnya:
وَالصَّلاةُ نُورٌ : dan shalat adalah cahaya
Yaitu menjadi petunjuk bagi pelakunya yang menerangi jalan hidupnya kepada kebenaran di dunia dan meneranginya dari kegelapan akhirat.
Para ulama telah banyak memberikan syarah atas maksud ucapan ini. Syaikh Ismail bin Muhammad Al Anashari Rahmatullah ‘Alaih menerangkan:
يستنير بها قلب المؤمن في الدنيا ، وربما يظهر على وجهه البهاء ، وتكون له نورا في ظلمات يوم القيامة
Hati seorang mu’min menjadi terang di dunia karenanya, bisa jadi akan nampak pada wajahnya yang bercayaha, dan dia juga memiliki cahaya yang meneranginya di kegelapan hari kiamat nanti. (At Tuhfah, Syarah No. 23)
Imam Al Munawi Rahimahullah menjelaskan:
( والصلاة نور ) لأنها تهدي إلى الصواب كما أن النور يستضاء به أو لأنها سبب لإشراف أنوار المعارف
(Shalat adalah cahaya) karena shalat memberikan petunjuk kepada kebenaran sebagaimana cahaya yang meneranginya atau karena shalat merupakan sebab untuk mendapatkan penghormatan berbagai cahaya pengetahuan. (At Taisir, 2/241)
Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri Rahimahullah menjelaskan:
والصلاة نور معناه أنها تمنع من المعاصي وتنهى عن الفحشاء والمنكر وتهدي إلى الصواب
Shalat adalah cahaya maknanya adalah shalat menjadi penghalang dari berbagai maksiat, pencegah dari perbuatan keji dan munkar, dan petunjuk menuju kebenaran. (Tuhfah Al Ahwadzi, 9/350)
Disebutkan juga bahwa pahala shalat akan menjadi penerang bagi pelakunya pada hari kiamat. Ada juga yang mengatakan bahwa shalat akan menjadi cahaya yang nampak pada wajah pelakunya pada hari kiamat nanti, dan juga di dunia wajahnya bercahaya dan berseri. (Ibid)
Apa yang dikatakan para ulama ini, sebenarnya telah dijelaskan dalam banyak ayat, di antaranya:
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلا عَلَى الْخَاشِعِينَ
Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, dan sesungguhnya hal itu adalah berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’. (QS. Al Baqarah (2): 45)
Ayat lainnya:
وَأَقِمِ الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
Tegakkanlah shalat sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan keji dan munkar. (QS. Al Ankabut (29): 45)
Ayat lainnya:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ …
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu Lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. … (QS. Al Fath (48): 29)
والصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ : dan sedekah itu adalah burhan (bukti)
Yaitu bukti atas keimanan pelakunya, sebaliknya orang yang bakhil dari sedekah, merupakan bukti lemahnya iman.
Imam Al Munawi Rahimahullah menjelaskan:
( والصدقة برهان ) حجة جلية على إيمان صاحبها
(Sedekah adalah bukti) yaitu hujjah (bukti) yang besar atas keimanan pelakunya. (At Taisir bisyarhi Al jami’ Ash Shaghir, 2/241)
Syaikh Ismail Al Anshari Rahimahullah mengatakan lebih lengkap:
والصدقة برهان : حجة على إيمان فاعلها بمجازاة يوم القيامة ، لأن المنافق يمتنع منها لكونه لا يعتقد الثواب فيها
(Sedekah adalah bukti): yaitu hujjah atas keimanan pelakunya dengan mendapatkan balasan pada hari kiamat, karena orang munafik terhalang untuk bersedekah karena tidak meyakini adanya pahala di dalamnya. (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Syarah No. 23)
Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri Rahimahullah menjelaskan:
كأن العبد إذا سئل يوم القيامة عن مصرف ماله كانت صدقاته براهين في جواب هذا السؤال فيقول تصدقت به ويجوز أن يوسم المتصدق بسيما يعرف بها فيكون برهانا له على حاله ولا يسأل عن مصرف ماله وقيل معناه الصدقة حجة على إيمان فاعلها فإن المنافق يمتنع منها لكونه لا يعتقدها فمن تصدق استدل بصدقته على صدق إيمانه
Seakan seorang hamba jika pada hari kiamat nanti ditanya tentang pemakain hartanya, maka sedekahnya itu akan menjadi bukti dalam menjawab pertanyaan itu. Dia mengatakan: “Saya mensedekahkannya.” Boleh juga maknanya adalah sedekah akan memberikan tanda bagi orang yang bersedekah dengan tanda yang bisa dikenali, dan itu menjadi burhan baginya atas keadaan dirinya, dan dia tidak akan ditanya tentang pemakaian hartanya (karena sudah dikenali, pen). Ada juga yang memaknai bahwa sedekah akan menjadi bukti keimanan bagi pelakunya, karena orang munafik terhalang untuk melakukannya karena dia tidak meyakininya, jadi barangsiapa yang bersedekah maka sedekah itu menjadi dalil kejujuran imannya. (Tuhfah Al Ahwadzi, 9/350)
Jika kita lihat penjelasan para ulama ini, maka makna sedekah dalam kontyeks hadits ini hanya terbatas pada pengeluaran harta untuk semua jenis kebaikan dengan niat mencari ridha Allah Ta’ala.
Baca Juga: Apa Perbedaan Infaq dan Shadaqah?
Selanjutnya:
وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ : sabar adalah pelita
Yaitu sabar dalam menjalankan ketaatan dan sabar dalam menjauhi maksiat, itulah pelita yang membawanya kepada jalan kebenaran.
Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri Rahimahullah berkata:
والصبر ضياء معناه الصبر المحبوب في الشرع وهو الصبر على طاعة الله تعالى والصبر عن معصيته
(Sabar adalah pelita) maknanya adalah kesabaran yang dicintai di dalam syariat, itu adalah kesabaran dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala, dan sabar dari maksiat kepadaNya. (Tuhfah Al Ahwadzi, 9/350)
Beliau melanjutkan:
والمراد أن الصبر المحمود لا يزال صاحبه مستضيئا مهتديا مستمرا على الصواب قال إبراهيم الخواص الصبر هو الثبات على الكتاب والسنة
Maksudnya bahwa sabar yang terpuji membuat pelakunya senantiasa disinari oleh petunjuk kepada kebenaran yang terus menerus. Ibrahim Al Khawash berkata: “Sabar adalah teguh di atas Al Kitab dan As Sunnah.” (Ibid)
Baca juga: Sabar itu Indah
Selanjutnya:
وَالقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَو عَلَيْكَ: Al Quran adalah hujjah bagimu dan atasmu
Yaitu dengan Al Quran kamu dapat masuk surga ketika kamu membaca, memahami, dan mengamalkan isinya, dan juga karena Al Quran kamu akan dilemparkan ke neraka lantaran kamu meninggalkannya.
Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:
والقرآن حجة لك أو عليك معناه ظاهر أي تنتفع به إن تلوته وعملت به وإلا فهو حجة عليك
(Al Quran adalah hujjah bagimu dan atasmu) maknanya secara zahir adalah kamu akan mendapatkan manfaat dengannya jika kamu membacanya, jika tidak, maka Al Quran menjadi hujjah atasmu. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 3/102, Tuhfah Al Ahwadzi, 9/350-351)
Imam Al Munawi Rahimahullah menjelaskan:
(والقرآن حجة لك) يدلك على النجاة إن عملت به (أو عليك) إن أعرضت عنه فيدل على سوء عاقبتك
(Al Quran adalah hujjah bagimu) artinya Al Quran akan menunjukkan kamu kepada keselamatan jika kamu mengamalkannya (atau hujjah atasmu) yaitu jika kamu berpaling darinya maka akan mengantarkanmu kepada keburukan bagimu pada akhirnya. (Faidhul Qadir, 4/385)
Baca Juga:
Selanjutnya:
كُلُّ النَّاسِ يَغْدُو فَبَائِعٌ نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا أَو مُوبِقُهَا : setiap manusia berusaha untuk menjual dirinya maka dia menjadi merdeka (dari azab, pen) atau menjadi binasa
Yaitu setiap manusia berusaha untuk menjual dirinya kepada Allah Ta’ala dengan melakukan ketaatan dan menjauhi laranganNya, maka mereka akan selamat dari azab, ada pun setiap manusia yang menjual dirinya kepada syetan dan hawa nafsu, lalu dia menjadi budaknya, maka dia tidak akan selamat, dan akan binasa karenanya.
Kullun Naas Yaghduu, arti yaghduu sama dengan yushbihu (berpagi hari), artinya setiap manusia bersegera (yubakkiru). Jadi, setiap manusia bersegera untuk berusaha/berupaya/beramal.
Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:
أي كل إنسان يسعى بنفسه فمنهم من يبيعها لله تعالى بطاعته فيعتقها من العذاب ومنهم من يبيعها للشيطان والهوى باتباعهما فيوبقها أي يهلكها
Setiap manusia berupaya dengan dirinya sendiri, di antara mereka ada yang menjual dirinya untuk Allah Ta’ala dengan mentaatiNya, maka dia dibebaskan dari azab. Di antara mereka ada yang menjual dirinya kepada syetan dan hawa nafsu, dengan mengiutinya, maka dia menjadi dibinasakan olehnya. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 3/102, Lihat juga Tuhfah Al Ahwadzi, 9/351)
Selesai … wa akhiru da’wana an alhamdulillahi rabbil ‘alamin
Wallahu A’lam.