Matan Hadits:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالْأُجُورِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ قَالَ أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةً وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرًا. رواه مسلم
Dari Abu Dzar, bahwa manusia dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya (Ahlud Dutsur) telah pergi dengan membawa pahala. Mereka shalat sebagaimana kami, mereka berpuasa sebagaimana kami, dan mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka.”
Rasulullah bersabda: “ Bukankah Allah telah menjadikan untuk kalian sesuatu yang bisa kalian sedekahkan, seseungguhnya pada setiap tasbih adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, mengajak kepada kebaikan adalah sedekah, mencegah kemungkaran adalah sedekah, dan pada kemaluan kalian ada sedekah.” Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah salah seorang kami bermain dengan syahwatnya membuatnya mendapatkan pahala?” Beliau bersabda: “Apa pendapatmu seandainya dia meletakkannya pada yang haram, apakah dia mendapatkan dosa? Maka, begitu pula jika dia meletakkannya pada yang halal, maka dia mendapatkan pahala. “ (HR. Muslim)
Makna Kata dan Kalimat
عَنْ أَبِي ذَرٍّ : Dari Abu Dzar
Tentang Abu Dzar Al Ghifari Radhiallahu ‘Anhu sudah dibahas pada syarah hadits yang ke 18, silahkan lihat kembali.
أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : bahwa manusia dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Mereka adalah kaum fuqara muhajirin, sebagaimana di terangkan dalam hadits Abu Hurairah berikut:
وعَن أبي هُريرة رضي اللَّه عنه أَنَّ فُقَرَاءَ المُهَاجِرِينَ أَتَوْا رسولَ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم. فقالوا: ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالدَّرَجاتِ العُلَى والنَّعِيمِ المُقِيمِ. فَقَال:”ومَا ذَاكَ؟”فَقَالُوا: يُصَلُّونَ كمَا نُصَلِّي، ويَصُومُونَ كمَا نَصُومُ. وَيَتَصَدَّقُونَ ولا نَتَصَدَّقُ، ويَعتِقُونَ ولا نَعتقُ فقال رسول اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم:”أَفَلا أُعَلِّمُكُمْ شَيئاً تُدرِكُونَ بِهِ مَنْ سبَقَكُمْ، وتَسْبِقُونَ بِهِ مَنْ بَعْدَكُمْ وَلاَ يَكُونُ أَحَدٌ أَفْضَلَ مِنْكُم إِلاَّ مَنْ صَنَعَ مِثلَ ما صَنَعْتُم؟”قالوا: بَلَى يا رسولَ اللَّه، قَالَ:”تُسبحُونَ، وتحمَدُونَ وتُكَبِّرُونَ، دُبُر كُلِّ صَلاة ثَلاثاً وثَلاثِينَ مَرَّةً”فَرَجَعَ فُقَرَاءُ المُهَاجِرِينَ إِلى رسولِ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم، فَقَالُوا: سمِعَ إِخْوَانُنَا أَهْلُ الأَموَالِ بِمَا فَعلْنَا، فَفَعَلوا مِثْلَهُ؟ فَقَالَ رسولُ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم:”ذلك فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَن يشَاءُ”متفقٌ عليه، وهذا لفظ روايةِ مسلم.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa kaum faqir dari Muhajirin mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, mereka berkata: “Orang-orang kaya (Ahlud Dutsur) telah pergi dengan derajat yang tinggi, serta kenikmatan yang abadi. “ Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya: “Kenapa bisa begitu?” Mereka menjawab: “Mereka shalat sebagaimana kami, mereka berpuasa sebagaimana kami, tetapi mereka bersedekah kami tidak, dan mereka membebaskan budak kami tidak.” Rasulullah bersabda: “Maukah kalian aku ajarkan sesuatu yang dapat mengejar mereka, dan tidak seorang pun yang lebih baik dari kamu kecuali jika mereka mengerjakan apa yang kamu kerjakan?” Mereka menjawab: ”Tentu wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Kalian bertasbih, bertahmid, dan bertakbir setiap sehabis shalat sebanyak 33 kali.” Setelah itu kaum faqir mujahirin kembali lagi kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, berkata: “Saudara-saudara kami orang kaya mendengar apa yang kami lakukan dan mereka melakukan hal itu juga.” Maka, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Itulah karunia Allah yang Dia berikan kepada siapa saja yang dikehendakiNya. “ (HR. Bukhari No. 6329, Muslim No. 595)
Syaikh Ismail Al Anshari Rahimahullah mengatakan:
من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم : جمع صاحب بمعنى الصحابي : و هو من اجتمع بمحمد صلى الله عليه وسلم بعد النبوة وقبل وفاته مؤمنا به ومات على ذلك ، وإن لم يره كابن أم مكتوم .
(dari kalangan sahabat (ash-haab) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam): jamak dari Shaahib yang artinya seorang shahabiy (sahabat nabi), yaitu orang yang berkumpul dengan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam setelah kenabiannya, sebelum wafatnya, dan dalam keadaan mengimaninya, dan dia mati dalam keadaan itu, walau pun dia belum pernah melihatnya seperti Ibnu Ummi Maktum. (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Syarah hadits No. 25)
Tentang definisi Sahabat Nabi sudah dibahas dalam syarah hadits No. 16, silahkan merujuk.
قَالُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : mereka berkata kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Yaitu mereka bercerita dan mengadu kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالْأُجُورِ : Wahai Rasulullah, orang-orang kaya (Ahlud Dutsur) telah pergi dengan membawa pahala
Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah menjelaskan tentang Ad Dutsur:
جَمْع دَثْر بِفَتْحٍ ثُمَّ سُكُون هُوَ الْمَال الْكَثِير
Jamak dari datsr, dengan fat-hah kemudian sukun, artinya harta yang banyak. (Fathul Bari, 3/250)
Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan pula:
وفي هذا الحديث دليل لمن فضل الغنى الشاكر على الفقير الصابر وفي المسألة خلاف مشهور بين السلف والخلف من الطوائف والله أعلم
Hadits ini merupakan dalil bagi pihak yang mengutamakan orang kaya yang bersyukur di atas orang faqir yang bersabar. Dalam masalah ini terjadi perselishan yang masyhur antara salaf dan khalaf dari berbagai golongan. Wallahu A’lam (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 5/92)
Syaikh Shalih Abdul Aziz Alu Asy Syaikh Hafizhahullah mengatakan:
ذهب أهل الدثور يعني: أن أهل الغنى ذهبوا بالأجر عند الله -جل وعلا-؛ لأن لهم أموالا يتصدقون بها، والصدقة أمرها عظيم
Ahlud Dutsur telah pergi dengan membawa pahala yaitu bahwa orang-orang kaya telah membawa pahala dari Allah Jalla wa ‘Ala, karena mereka memiliki harta yang bisa mereka sedekahkan, dan sedekah merupakan perkara yang besar. (Syaikh Shalih Abdul Aziz Alu Asy Syaikh, Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 203)
Para ulama membagi ibadah pada dua jenis: ibadah badaniyah (ibadah badan) seperti shaum, shalat, dan membaca Al Quran, lalu ibadah maaliyah (ibadah harta) seperti sedekah. Ada pun haji dan jihad adalah kombinasi antara ibadah badaniyah dan ibadah maaliyah.
Dalam ibadah badaniyah, tidak ada perbedaan antara kaum fuqara dan aghniya’ (orang-orang kaya), mereka semua punya kemampuan yang sama. Tetapi, dalam ibadah maaliyah, atau kombinasi maaliyah dan badaniyah, kaum fuqara tidak bisa berbuat banyak. Oleh karenanya, wajar jika para sahabat nabi yang faqir iri dengan yang kaya, dan ini adalah iri yang dibolehkan, bahkan bagus. Wajar pula jika sebagian ulama yang mengatakan: orang kaya yang bersyukur lebih afdhal dari orang miskin yang bersabar.
Selanjutnya:
يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ : Mereka shalat sebagaimana kami, mereka berpuasa sebagaimana kami, dan mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka
Yakni mereka melakukan shalat dan puasa sebagaimana kami, karena dalam hal ini antara kami dan mereka adalah sama; sama-sama punya kemampuan. Tetapi ketika mereka bersedekah, kami tidak bisa, karena mereka memiliki kelebihan harta yang Allah Ta’ala berikan, sedangkan kami tidak memiliki harta sebagaimana mereka. Dalam hal ini, antara kami dan mereka tidak sama.
Perkataan para sahabat ini, bukan berarti mereka tidak bersyukur terhadap apa yang ada pada mereka. Tetapi mereka hanya ingin mengetahui apakah ada amalan yang bisa menyamai sedekahnya orang-orang kaya itu, di saat tidak memiliki kemampuan harta seperti mereka.
Demikianlah generasi sahabat. Faqir dan kaya, sama-sama shalih.
Di tangan mereka, kekayaan yang sebenarnya memiliki daya goda dan fitnah yang luar biasa, justru membawa rahmat dan manfaat bagi manusia.
Benarlah apa yang dinasihatkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada Amr bin Al ‘Ash Radhiallahu ‘Anhu:
يا عمرو نعم المال الصالح للمرء الصالح
Wahai Amr, Sebaik-baiknya harta adalah yang ada pada orang shalih. (HR. Ahmad No. 17763, Al Bukhari dalam Adabul Mufrad No. 299, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 1248, Ibnu Hibban dalam Shahihnya No. 3210, Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush Shahabah No. 4455. Syaikh Syu’aib Al Arnauth: “isnadnya shahih sesuai syarat Muslim.” Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 17763, Syaikh Al Albani mengatakan: Shahih. Lihat Shahih Adab Al Mufrad No. 299, Lihat juga Ghayatul Maram No. 454, dll)
Sebaliknya, di tangan mereka pula, kemiskinan bukan keadaan yang mendekati kekufuran sebagaimana perkataan dalam sebuah riwayat yang dhaif.[1] Tetapi kemiskinan adalah ujian yang dapat meningkatkan derajat mereka di sisi Allah Ta’ala.
Ya …! Kaya dan miskin adalah ujian, banyak yang mengira bahwa kekayaan itu bukan ujian, padahal Allah Ta’ala menyebut keduanya sebagai ujian.
Allah Ta’ala berfirman:
وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). dan hanya kepada kamilah kamu dikembalikan. (QS. Al Anbiya (21): 35)
Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan:
وأحسن ما رأيت في هذا قول أحمد بن نصر الداودي الفقر والغنى محنتان من الله يختبر بهما عبادة في الشكر والصبر كما قال تعالى انا جعلنا ما على الأرض زينة لها لنبلوهم أيهم أحسن عملا
Perkataan terbaik yang pernah saya lihat tentang hal ini adalah komentar Ahmad bin Nashr Ad Dawudi: “Faqir dan Kaya adalah dua ujian dari Allah yang dengan keduanya Allah menguji hambanya dalam kesyukuran dan kesabaran. Sebagaimana firmanNya: Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya. (Fathul Bari, 11/274)
Selanjutnya:
قَالَ أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ : Rasulullah bersabda: Bukankah Allah telah menjadikan untuk kalian sesuatu yang bisa kalian sedekahkan
Yaitu Nabi menjawab, bukankah Allah Ta’ala telah memberikan kepada kalian hal lain yang bisa kalian lakukan, dan dengannya kalian juga bisa bersedekah.
Imam Ibnu ‘Alan Rahimahullah menjelaskan:
(أو ليس) أي: أتقولون ذلك؟ فالهمزة للإنكار وليس بمعنى لا: أي: لا تقولوه
(a wa laisa) yaitu apakah kalian mengatakan hal itu? Huruf hamzah – pada kata a wa laisa– adalah untuk mengingkari bukan bermakna “tidak”, berarti: janganlah kalian mengatakan demikian. (Dalilul Falihin, 2/19)
Syaikh Shalih Abdul Aziz menambahkan:
وهذا فيه الحث على سماع ما جعل الله -جل وعلا- للفقراء، بل ولعامة المسلمين الأغنياء والفقراء جميعا من أنواع الصدقات التي لا تدخل في الصدقات المالية.
Ini adalah dorongan untuk mendengarkan apa-apa yang Allah Jalla wa ‘Ala jadikan bagi orang-orang faqir, bahkan untuk kaum muslimin, baik kaya dan miskin semua, tentang macam-macam sedekah yang tidak termasuk dalam sedekah harta. (Syaikh Shalih Abdul Aziz Alu Asy Syaikh, Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 203)
Selanjutnya:
إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةً : seseungguhnya pada setiap tasbih adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah
Yaitu membaca Subhanallah, Allahu Akbar, Alhamdulillah, dan Laa Ilaha illallah, semuanya ini adalah sedekah. Baik yang dibaca setelah shalat sebanyak 33 kali, atau yang kita baca di kesempatan lain. Dzikir adalah sedekah non harta, yang manfaatnya untuk diri sendiri, sebab manfaat dzikir kembali kepada pelakunya.
Syaikh Shalih Abdul Aziz Alu Asy Syaikh mengatakan:
وهذا مبني على معنى الصدقة في الشريعة؛ فإن الصدقة في الشريعة ليست هي الصدقة بالمال، والصدقة بالمال نوع من أنواع الصدقة، فالصدقة إيصال الخير، تعريف الصدقة: إيصال الخير والنفع للغير؛ ولهذا يوصف الله -جل وعلا- بأنه متصدق على عباده.
Ini adalah pengertian sedekah dalam syariat, bahwa sedekah menurut syariat bukan cuma sedekah dengan harta, sedekah dengan harta adalah salah satu jenis dari berbagai jenis sedekah. Sedekah adalah menyampaikan kebaikan, definisi sedekah: menyampaikan kebaikan dan manfaat kepada orang lain. Oleh karena itu, Allah Jalla wa ‘Ala menyifatkan dirinya sebagai yang memberi sedekah kepada hamba-hambaNya. (Ibid)
Sedekah Allah Ta’ala kepada hamba-hambaNya sebagaimana firmanNya:
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمْ
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar shalatmu, jika kamu takut dengan musibah yang akan menimpamu. (QS. An Nisa (4): 101)
Tentang ayat ini, Ya’la bin Isa berkata:
قُلْتُ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ إِنَّمَا قَالَ اللَّهُ { أَنْ تَقْصُرُوا مِنْ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمْ }
وَقَدْ أَمِنَ النَّاسُ فَقَالَ عُمَرُ عَجِبْتُ مِمَّا عَجِبْتَ مِنْهُ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللَّهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ
Aku berkata kepada Umar bin Al Khathab, sesungguhnya Allah berfirman: (Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar shalatmu, jika kamu takut dengan musibah yang akan menimpamu), dan keadaan saat ini manusia sudah aman.
Umar menjawab: “Aku juga pernah keheranan seperti keheranan kamu terhadap masalah ini. Lalu aku berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan Beliau bersabda: Itu adalah sedekah, yang Allah sedekahkan untuk kalian, maka terimalah sedekah dariNya.” (HR. Muslim No. 686, At Tirmidzi No. 3034, Abu Daud No. 1199, Ibnu Majah No. 1065)
Maksudnya walaupun ayat tersebut menyebutkan rasa takut sebagai sebab dibolehkannya qashar, namun dalam keadaan perjalanan yang sudah aman pun juga boleh mengqashar, karena itu adalah sedekah dari Allah Ta’ala kepada hamba-hambaNya.
Selanjutnya:
وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ : mengajak kepada kebaikan adalah sedekah, mencegah kemungkaran adalah sedekah
Yaitu mengajak manusia kepada perbuatan dan akhlak yang terpuji, dan mencegah mereka dari perbuatan dan akhlak tercela, semua adalah sedekah. Ini adalah sedekah non harta yang bermanfaat untuk orang lain.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah menjelaskan:
فإن الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر من أفضل الصدقات لأن هذا هو الذي فضل الله به هذه الأمة على غيرها فقال تعالى: { كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ } .
ولكن لابد للأمر بالمعروف والنهي عن المنكر من شروط .
Sesungguhnya memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran termasuk sedekah yang paling utama, karena hal inilah Allah lebihkan umat ini dibanding lainnya. Allah Ta’ala berfirman: “Kalian adalah umat yang terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, kalian menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar, dan beriman kepada Allah”, tetapi amar ma’ruf nahi munkar harus dilakukan jika memenuhi syarat. (Syaikh Ibnul ‘Utsaimin, Syarh Riyadhush Shalihin, Hal. 140, Mawqi’ Jaami’ Al Hadits An Nabawi)
Baca Juga:
Selanjutnya;
وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ : dan pada kemaluan kalian ada sedekah
Yakni bersenang-senang dengan isteri (baca; jima’) adalah sedekah.
Imam An Nawawi menjelaskan:
هُوَ بِضَمِّ الْبَاء ، وَيُطْلَق عَلَى الْجِمَاع ، وَيُطْلَق عَلَى الْفَرْج نَفْسه ، وَكِلَاهُمَا تَصِحّ إِرَادَته هُنَا ، وَفِي هَذَا دَلِيل عَلَى أَنَّ الْمُبَاحَات تَصِير طَاعَات بِالنِّيَّاتِ الصَّادِقَات ، فَالْجِمَاع يَكُون عِبَادَة إِذَا نَوَى بِهِ قَضَاء حَقّ الزَّوْجَة وَمُعَاشَرَتَهَا بِالْمَعْرُوفِ الَّذِي أَمَرَ اللَّه تَعَالَى بِهِ ، أَوْ طَلَبَ وَلَدٍ صَالِحٍ ، أَوْ إِعْفَافَ نَفْسِهِ أَوْ إِعْفَاف الزَّوْجَة وَمَنْعَهُمَا جَمِيعًا مِنْ النَّظَر إِلَى حَرَام ، أَوْ الْفِكْر فِيهِ ، أَوْ الْهَمّ بِهِ ، أَوْ غَيْر ذَلِكَ مِنْ الْمَقَاصِد الصَّالِحَة .
(Budh’i-kemaluan) yaitu dengan huruf ba yang didhammahkan, secara mutlak berarti jima’, dan secara mutlak juga bermakna kemaluan itu sendiri. Dalam konteks ini, maksud keduanya benar. Ini merupakan dalil bahwa hal-hal yang mubah akan menjadi bernilai ketaatan dengan diniatkan sebagai sedekah, maka jima’ (hubungan suami istri) menjadi ibadah jika meniatkan untuk memenuhi hak istri, mempergaulinya dengan baik sesuai perintah Allah Ta’ala, atau menginginkan anak shalih, atau menjaga kehormatan diri, atau menjaga kehormatan istri, dan mencegah keduanya dari pendangan yang haram, atau pikiran yang haram, atau diilhamkan oleh yang haram, atau selain itu dari maksud-maksud yang baik. (Al Minhaj, 3/446)
Selanjutnya:
قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ : Wahai Rasulullah, apakah salah seorang kami bermain dengan syahwatnya membuatnya mendapatkan pahala?”
Syaikh ‘Athiyah bin Muhammad Salim mengatakan:
فهنا استغرب الصحابة: في بضع أحدنا صدقة؟! صدقة على من؟ صدقة عليكما الاثنين، صدقة عليك أولاً؛ لأنها تعفك وتغض بصرك، وصدقة على الزوجة التي هي أمانة في يدك، فتؤدي حقها
Di sini para sahabat merasa heran: pada kemaluan kami ada sedekah? Sedekah atas siapa? Sedekah atas kalian berdua, pertama sedekah untukmu karena hal itu bisa menjaga kehormatanmu dan menjaga pandangan matamu, dan sedekah untuk istrimu yang merupakan amanah pada dirimu, maka tunaikanlah haknya. (Syaikh Athiyah bin Muhammad Salim, Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Syarah hadits No. 25)
Selanjutnya:
قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ : Beliau bersabda: “Apa pendapatmu seandainya dia meletakkannya pada yang haram, apakah dia mendapatkan dosa?”
Ini adalah pertanyaan retoris dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada para sahabat, yang tidak membutuhkan jawaban sebab semua sudah mengetahui jawabannya; haram dan berdosa meletakkan kemaluan kepada bukan haknya (baca: zina). Dan, keharaman zina adalah termasuk al ma’lum minad din bidh dharuri – sudah diketahui secara pasti dalam agama.
Selanjutnya:
فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرًا : Maka, begitu pula jika dia meletakkannya pada yang halal, maka dia mendapatkan pahala
Yakni, sebaliknya jika seseorang meletakkannya kepada yang berhak, yaitu isteri atau suaminya, maka itu halal, dan mendapatkan pahala.
Apa yang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jelaskan ini adalah sebuah analogi (qiyas). Jika digunakan kepada yang haram, mengakibatkan dosa, jika digunakan kepada yang halal, mengakibatkan pahala.
Syaikh Ismail bin Muhammad Al Anshari menjelaskan tentang kalimat ini:
جواز القياس . وما نقل عن السلف من ذم القياس : المراد به القياس المصادم للنص
Dibolehkannya qiyas, dan apa yang dinukil dari kalangan salaf tentang celaan terhadap qiyas, maksudnya adalah qiyas yang bertentangan dengan nash. (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Syarah hadits No. 25)
Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:
فيه جواز القياس وهو مذهب العلماء كافة ولم يخالف فيه الا أهل الظاهر
Pada hadits ini ada pembolehan terhadap qiyas, dan ini adalah madzhab seluruh ulama, dan tidak ada yang menyelisihinya kecuali kalangan Ahluzh Zhahir. (Al Minhaj, 7/92).
Sekian. Wallahu A’lam
Catatan Kaki:
[1] Yaitu riwayat dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
كاد الفقر أن يكون كفراً
“Hampir-hampir kefaqiran membawa kepada kekufuran.”
Imam Al Munawi mengatakan: “Waahin– Lemah ” (At Taisir bi Syarhi Al Jami’ Ash Shaghir, 2/398). Syaikh Al Mubarkafuri mengatakan: “Dhaif jiddan – sangat lemah.” (Tuhfah Al Ahwadzi, 7/17). Imam Ibnul Jauzi mengatakan; “Tidak shahih dari nabi.” (Al ‘Ilal Mutanahiyah, 2/805) Imam Al ‘Iraqi mengatakan: “Dhaif.” (Takhrijul Ihya’, No. 3152)