Matan Hadits:
عَن أَبي نَجِيحٍ العربَاضِ بنِ سَاريَةَ رضي الله عنه قَالَ: وَعَظَنا رَسُولُ اللهِ مَوعِظَةً وَجِلَت مِنهَا القُلُوبُ وَذَرَفَت مِنهَا العُيون. فَقُلْنَا: يَارَسُولَ اللهِ كَأَنَّهَا مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَأَوصِنَا، قَالَ: (أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عز وجل وَالسَّمعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلافَاً كَثِيرَاً؛ فَعَلَيكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ المّهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فإنَّ كلّ مُحدثةٍ بدعة، وكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ) رواه أبو داود والترمذي وقال : حديث حسن صحيح.
Dari Abu Najih Al ‘Irbadh bin Sariyah Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata: Rasulullah memberikan mau’izhah (pelajaran) kepada kami dengan nasihat yang membuat hati bergetar dan mengucurkan air mata. Kami berkata: “Wahai Rasulullah, seakan ini adalah pelajaran perpisahan, berikanlah kami wasiat.” Beliau bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian agar bertawa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dengar dan taatlah walau pun yang memerintahkan kalian adalah seorang budak. Barang siapa di antara kalian yang masih hidup, niscaya akan banyak melihat perselisihan. Maka hendaknya kalian memegang sunahku dan sunah para Khulafa Rasyidin yang telah mendapatkan petunjuk, gigitlah dengan geraham kalian. Hati-hatilah dengan perkara-perkara yang baru, karena setiap yang baru itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.” Diriwayatkan oleh Abu Daud dan At Tirmidzi, katanya: hasan shahih.
Takhrij Hadits:
- Imam Abu Daud dalam Sunannya No. 4607
- Imam At Tirmidzi dalam Sunannya No. 2676
- Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 17142, 17144, 17145
- Imam Al Hakim dalam Al Mustadrak 329
- Imam Ad Darimi dalam Sunannya No. 95
- Imam Ibnu Hibban dalam Shahihnya No. 5
- Imam Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir 617, juga Musnad Asy Syamiyin No. 437, 1180, 1379
- Imam Abu Nu’aim dalam Ma’rifatus Shahabah 4995
- Imam Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah 102
- Dll
Sebagaimana dikatakan Imam An Nawawi, bahwa Imam At Tirmidzi mengatakan dalam Sunannya bahwa hadits ini hasan shahih. Imam Al Baghawi mengatakan: hasan. (Syarhus Sunnah No. 102). Syaikh Husein Salim Asad mengatakan: shahih. (Sunan Ad Darimi No. 95). Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih. (Ta’liq Musnad Ahmad No. 17142). Syaikh Al Albani menshahihkan dalam berbagai kitabnya. (Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 4607, Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 2676, Shahih At Targhib wat Tarhib No. 37, dll). Imam Al Hakim mengatakan: shahih tidak ada cacat. (Al Mustadrak No. 329, disepakati oleh Imam Adz Dzahabi)
Dalam kitab Al Arba’un ini dan beberapa kitab lain tertulis: “ ….. taatlah walau yang memerintahkan kalian adalah budak.” Tetapi dalam kitab Sunan Abi Daud dan lainnya: budak Habsyi (Etiopia).
Kandungan hadits secara global:
Hadits ini memiliki banyak faedah, di antaranya:
- Hadits ini mengisyaratkan dengan jelas bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, adalah seorang rasul dan hambaNya, manusia yang juga akan mengalami kematian sebagaimana lainnya. Ada awal perjumpaan, ada pula perpisahan.
Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ
Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa”. (QS. Al Kahfi (18): 110)
Diceritakan dalam berbagai kitab hadits dengan kisah yang saling melengkapi, bahwa ketika hari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wafat, Seorang sahabat yang mulia nan agung, Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu, tidak mempercayainya, hal ini karena betapa besar cintanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau berkata kepada orang yang mengatakannya:
كذبت والله ما مات رسول الله صلى الله عليه و سلم ولا يموت حتى يفني المنافقين
“Engkau dusta! Demi Allah! tidaklah Rasulullah wafat, dia tidak akan mati sampai binasanya kaum munafik.”
Saat itu manusia berkumpul di masjid, dan Umar berbicara kepada manusia. Lalu Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu datang, dan menenangkan Umar Radhiallahu ‘Anhu, dan berkata:
إجلس يا عمر فأبى فكلمه مرتين أو ثلاثا فأبى
“Duduklah wahai Umar!” beliau menolak, lalu Abu Bakar berbicara kepadanya dua atau tiga kali, Beliau masih menolak.
Maka Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu berdiri, manusia mengikutinya dan meninggalkan Umar Radhiallahu ‘Anhu, lalu Beliau memuji Allah Ta’ala dan berkata:
أما بعد فمن كان يعبد محمدا فإن محمدا صلى الله عليه و سلم قد مات و من كان يعبد الله فإن الله حي لا يموت
Amma ba’d, barang siapa yang menyembah Muhammad maka Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah wafat. Barang siapa yang menyembah Allah, sesungguhnya Allah Maha Hidup tidak pernah mati.
Setelah itu Abu Bakar membaca beberapa ayat:
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ
Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur. (QS. Ali ‘Imran (3): 144)
Juga ayat:
إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ
Sesungguhnya kamu akan mati dan Sesungguhnya mereka akan mati (pula). (QS> Az Zumar (39): 30)
Lalu ayat:
وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِنْ قَبْلِكَ الْخُلْدَ أَفَإِنْ مِتَّ فَهُمُ الْخَالِدُونَ
Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad); Maka Jikalau kamu mati, Apakah mereka akan kekal? (QS. Al Anbiya (21): 34)
‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha berkata:
وَاللَّهِ لَكَأَنَّ النَّاسَ لَمْ يَكُونُوا يَعْلَمُونَ أَنَّ اللَّهَ أَنْزَلَهَا حَتَّى تَلَاهَا أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَتَلَقَّاهَا مِنْهُ النَّاسُ فَمَا يُسْمَعُ بَشَرٌ إِلَّا يَتْلُوهَا
Demi Allah, seakan-akan manusia belum pernah tahu Allah menurunkan ayat itu sampai Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu membacanya, lalu manusia mengambil ayat itu darinya, maka tidaklah mereka diperdengarkan ayat itu melainkan mereka membacanya.
Dalam Sunan Ibnu Majah, Umar Radhiallahu ‘Anhu berkata:
فَلَكَأَنِّي لَمْ أَقْرَأْهَا إِلاَّ يَوْمَئِذٍ.
Benar-benar seakan aku belum pernah membacanya kecuali hari itu. (Lihat Shahih Bukhari No. 1241, 1242, 3667, 4452, 4453, Sunan Ibnu Majah No. 1627, 6501, As Sunan Al Kubra Lil Baihaqi No. 6501, Musnad Ishaq bin Rahawaih No. 1718, dll)
- Hendaknya seorang muslim memberikan wasiat kepada saudaranya yang akan ditinggalkannya, atau kepada saudara yang akan safar, atau kepada keluarganya, dengan wasiat taqwa dan kebaikan lainnya. Tentang jenis dan hukum wasiat telah kami jelaskan dalam Syarah hadits yang ke 16, silahkan merujuk!
- Perintah untuk taat kepada pemimpin (umara) walau dia seorang budak yang hitam. Ketaatan kepada pemimpin adalah wajib, tertera di dalam Al Quran, hadits, dan atsar sahabat. Namun ketaatan ini jika hanya diperintah dalam kebaikan, bukan kemaksiatan.
Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An Nisa (4): 59)
Imam Ibnu Katsir Rahimahullah berkata tentang makna Ulil Amri:
والظاهر -والله أعلم-أن الآية في جميع أولي الأمر من الأمراء والعلماء
Yang benar –Wallahu A’lam- bahwa semua ayat tentang Ulil Amri adalah bermakna umara dan ulama. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 2/345)
Dalam hadits juga banyak disebutkan perintah taat kepada pemimpin. Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ عَصَى أَمِيرِي فَقَدْ عَصَانِي
Barang siapa yang mentaatiku maka dia telah taat kepada Allah, dan siapa yang bermaksiat kepadaku maka dia telah maksiat kepada Allah, diapa yang mentaati pemimpinku, maka dia telah mentaati aku, dan siapa yang membangkang kepada pemimpinku maka dia telah membangkang kepadaku. (HR. Bukhari No. 7137, Muslim No. 1835)
Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَإِنْ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ
Dengarkan dan taatlah, walaupun kalian dipimpin oleh seorang budak habsyi yang seakan dikepalanya terdapat anggur kering (kismis). (HR. Bukhari No. 7142, 693)
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
Dengar dan taat adalah kewajiban bagi setiap muslim pada apa-apa yang mereka sukai dan benci selama tidak diperintahkan dengan maksiat. Jika diperintahkan dengan maksiat maka jangan dengarkan dan jangan taati. (HR. Bukhari No. 7144, Abu Daud No. 2626, Ahmad No. 6278, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf No. 34396)
Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
Barang siapa yang melihat pemimpinnya ada sesuatu yang dia benci maka bersabarlah, sebab siapa saja yang memisahkan diri dari jamaah walau sejengkal, lalu dia mati, melainkan matinya itu di atas kejahiliyahan. (HR. Bukhari No. 7054, Muslim No. 1849)
Imam An Nawawi menjelaskan makna miitatan jahiliyah (mati jahiliyah) dalam hadits tersebut, dengan huruf mim dikasrahkan (jadi bacanya miitatan bukan maitatan), artinya kematian mereka disifati sebagaimana mereka dahulu tidak memiliki imam (pada masa jahiliyah). (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 12/238)
Sementara Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar, menjelaskan; bahwa yang dimaksud dengan miitatan jahiliyah dengan huruf mim yang dikasrahkan adalah dia mati dalam keadaan seperti matinya ahli jahiliyah yang tersesat di mana dia tidak memiliki imam yang ditaati karena mereka tidak mengenal hal itu, dan bukanlah yang dimaksud matinya kafir tetapi matinya itu sebagai orang yang bermaksiat. (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 7/199)
Dari Hudzaifah bin Al Yaman Radhiallahu ‘Anhu beliau berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا بِشَرٍّ فَجَاءَ اللَّهُ بِخَيْرٍ فَنَحْنُ فِيهِ فَهَلْ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ هَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الشَّرِّ خَيْرٌ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ فَهَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الْخَيْرِ شَرٌّ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ كَيْفَ قَالَ يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ
“Ya Rasulullah, sesungguhnya mendapatkan keburukan lalu datanglah kebaikan dari Allah, dan kami saat itu masih ada. Apakah setelah kebaikan itu datang keburukan lagi?” Rasulullah menjawab: “Ya.” Hudzaifah bertanya: “Apakah setelah keburukan itu akan datang kebaikan lagi?” Rasulullah mejawab: “Ya.” Hudzaifah bertanya: “Apakah setelah kebaikan akan datang keburukan lagi.” Rasulullah menjawab: “Ya.” Hudzaifah bertanya lagi: “Bagaimana itu?” Rasulullah menjawab: “Akan ada setelahku nanti, para pemimpin yang tidaklah menuntun dengan petunjukku, tidak berjalan dengan sunahku, dan pada mereka akan ada orang-orang yang berhati seperti hati syaitan dalam tubuh manusia.” Hudzaifah bertanya: “Apa yang aku lakukan jika aku berjumpa kondisi itu Ya Rasulullah?” Rasulullah menajwab: “Dengarkan dan taati pemimpinmu, dan jika punggungmu dipukul dan diambil hartamu, maka dengarkan dan taat.” (HR. Muslim No. 1847)
Dari ‘Auf bin Malik Al Asyja’i Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian, mereka mendoakan kalian, dan kalian juga mendoakan mereka. Seburuk-buruknya pemimpin kalian adalah yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian, kalian melaknat mereka, dan mereka pun melaknat kalian.” Rasulullah ditanya: “Ya Rasulullah tidakkah kami melawannya dengan pedang?” Rasulullah menjawab: “Jangan, selama mereka masih shalat bersama kalian. Jika kalian melihat pemimpin kalian melakukan perbuatan yang kalian benci, maka bencilah perbuatannya, dan jangan angkat tangan kalian dari ketaatan kepadanya.” (HR. Muslim No. 1855)
Tetapi jika telah nampak kekafiran yang jelas maka boleh untuk menentangnya, sebagaimana hadits dari ‘Ubadah bin Ash Shamit Radhiallahu ‘Anhu, katanya::
إلا أن تروا كفرا بَوَاحا، عندكم فيه من الله برهان
“Kecuali kalian melihatnya melakukan kekafiran yang nyata, dan kalian telah mendapatkan bukti nyata dari Allah terhadapnya.” (HR. Bukhari No. 7055)
Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan bahwa kufur di sini adalah maksiat. Lalu beliau berkata:
لا تنازعوا ولاة الأمور في ولايتهم ولا تعترضوا عليهم إلا أن تروا منهم منكرا محققا تعلمونه من قواعد الإسلام فإذا رأيتم ذلك فانكروا عليهم وقولوا بالحق حيثما كنتم انتهى
Janganlah kalian lawan pemimpin pada urusan kekuasaan mereka, dan janganlah membangkang kepadanya kecuali kalian lihat mereka melakukan kemungkaran dari kaidah- kaidah Islam yang telah pasti kalian ketahui. Jika kalian melihat hal itu, maka ingkarilah mereka, dan katakanlah kebenaran di mana saja kalian berada. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 12/229, Fathul Bari, 13/8)
Ada pun jika pemimpin tersebut sudah benar-benar kafir, maka wajib dicopot dari jabatannya.
Imam An Nawawi mengatakan:
قال القاضي عياض أجمع العلماء على أن الإمامة لا تنعقد لكافر وعلى أنه لو طرأ عليه الكفر انعزل قال وكذا لو ترك إقامة الصلوات والدعاء إليها قال وكذلك عند جمهورهم البدعة
Berkata Al Qadhi ‘Iyadh: “Para ulama telah ijma’ bahwa imamah (kepemimpinan) tidak boleh diberikan kepada orang kafir, maka seandainya tiba-tiba dia kafir , dia mesti dicopot.” Beliau juga berkata: “Demikian juga seandainya dia meninggalkan shalat dan menyeru atas hal itu. Menurut mayoritas ulama melakukan bid’ah juga termasuk.” (Ibid)
Baca Juga: Pemimpin Muslim yang Zalim dan Fasiq Haruskah Dimakzulkan?
Beliau juga berkata:
وأما الخروج عليهم وقتالهم فحرام بإجماع المسلمين وإن كانوا فسقة ظالمين وقد تظاهرت الأحاديث
Ada pun memberontak dan memerangi mereka adalah haram menurut ijma’ kaum muslimin walau pun mereka fasiq lagi zalim, dan hadits-hadits telah jelas menunjukkan hal itu. (Ibid)
Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah menjelaskan:
قوله عندكم من الله فيه برهان أي نص آية أو خبر صحيح لا يحتمل التأويل ومقتضاه أنه لا يجوز الخروج عليهم ما دام فعلهم يحتمل التأويل
Sabdanya: dan kalian telah mendapatkan bukti nyata dari Allah terhadapnya, yaitu adanya nash ayat atau khabar shahih (yang menunjukkan kekafirannya, pen), bukan perbuatan yang masih memungkinkan untuk ditakwil, konsekuensinya bahwa tidak boleh memberontak kepada mereka selama apa yang mereka lakukan masih mungkin ditakwil. (Fathul Bari, 13/8)
- Hadits ini juga menunjukkan bahwa akan datangnya masa-masa perselisihan yang banyak. Hal itu bisa terjadi pada internal umat Islam, terlebih lagi dengan yang lain. Bahkan sebenarnya hal itu sudah terjadi sejak masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan nabi-nabi sebelumnya.
Hal ini juga dijelaskan dalam Al Quran, As Sunnah, dan fakta sejarah kehidupan manusia.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ إِلَّا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ
“Dan seandainya Tuhanmu kehendaki, niscaya Dia jadikan manusia itu umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih, kecuali yang dirahmati Tuhanmu, dan untuk itulah Dia menciptakan mereka” (QS. Hud: 118-119)
Imam Ibnu Katsir Rahimahullah berkata tentang ayat ini, “Allah mengkabarkan bahwa Dia mampu menjadikan manusia seluruhnya satu umat, baik dalam keimanan atau kekufuran, sebagaimana firmanNya yang lain‘Seandainya Tuhanmu kehendaki, niscaya berimanlah semua manusia di bumi’. Lalu firmanNya ‘tetapi mereka senantiasa berselisih, kecuali yang dirahmati Tuhanmu’ artinya perbedaan akan senantiasa terjadi antara manusia, baik tentang agama, keyakinan, millah, madzhab, dan pendapat-pendapat mereka. Berkata Ikrimah,’Mereka berbeda dalam petunjuk’. Berkata Hasan Al Bashri, ‘Mereka berbeda dalam hal jatah rezeki, saling memberikan upah satu sama lain’. Yang masyhur dan benar adalah pendapat pertama (pendapat Ikrimah). Dan firman selanjutnya ‘kecuali yang dirahmati Tuhanmu’ artinya kecuali orang-orang yang dirahmati yang mengikuti rasul-rasul dan berpegang teguh kepada perintah-perintah agama, dan seperti itulah kebiasaan mereka hingga masa penutup para nabi dan rasul, mereka mengikutinya, membenarkannya, dan menjadi pembelanya. Maka beruntunglah dengan kebahagiaan dunia dan akhirat karena mereka adalah Firqah An Najiyah (kelompok yang selamat) sebagaimana yang diisyaratkan dalam sebuah hadits musnad dan sunan dari banyak jalur yang saling menguatkan satu sama lain, ‘Sesungguhnya Yahudi berpecah menjadi 71 golongan, dan Nasrani menjadi 72 golongan, dan umat ini akan berpecah menjadi 73 golongan, semua ke neraka kecuali satu golongan’, mereka bertanya ‘Siapa mereka ya Rasulullah?’, Rasulullah menjawab, ‘Apa-apa yang aku dan sahabatku ada di atasnya’. Diriwayatkan Al Hakim dalam Al Mustadraknya dengan tambahan ini.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Juz 4, hal. 361-362. Cet. 2, 1999M/1240H. Dar At Thayyibah lin Nasyr wat Tauzi’)
Imam Al Hasan Al Bashri mengatakan: “Lil ikhtilaaf khalaqahum – mereka diciptakan untuk berbeda.” Ada pun Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhuma dan Thawus bin Kaisan Radhiallahu ‘Anhu mengatakan bahwa untuk rahmat-lah mereka diciptakan. (Ibid)
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلافُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ .
Sesungguhnya binasanya orang-orang sebelum kalian adalah karena banyaknya pertanyaan mereka dan perselisihan mereka kepada nabi-nabi mereka. (HR. Bukhari No. 6858, Muslim No. 1337)
Perselisihan di antara manusia akan terus ada, namun tidak berarti tidak bisa bersatu, sebab perselisihan sudah ada sejak zaman terbaik –para sahabat- tetapi mereka bisa dipersatukan oleh Islam.
- Hadits ini juga menyebutkan solusi dari perselisihan, yaitu mengikuti jalan sunah nabi dan sunah para khulafa’ur rasyidin, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali Radhiallahu ‘Anhum. Bahkan inilah solusi semua permasalahan, jika memang ingin mendapatkan kesudahan yang baik.
Allah Ta’ala telah memerintahkan agar kita mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Di antaranya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An Nisa (4): 59)
Baca Juga: Perintah untuk Taat dan Mengikuti Sunnah Rasulullah
Hadits ini juga menyebutkan perintah agar menjauh dari perbuatan menciptakan hal-hal baru dalam agama (muhdatsatul umuur), yang berupakan bid’ah tercela.
Masalah bid’ah telah kami bahas dalam syarah hadits ke 5, baik definisi, jenis, kaidah, dampak buruk, dan lainnya. Silahkan merujuk!
Makna Kata dan Kalimat
عَن أَبي نَجِيحٍ العربَاضِ بنِ سَاريَةَ رضي الله عنه قَالَ : Dari Abu Najih Al ‘Irbadh bin Sariyah Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata
Dia adalah Al ‘Irbadh bin Sariyah As Salami, salah satu tokoh Ahlush Shuffah, meriwayatkan beberapa hadits dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tinggal di kota Himsh. Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, bahwa kun-yah Beliau adalah Abu Najih.
Beberapa sahabat dan tabi’in telah meriwayatkan hadits darinya, seperti Jubair bin Nufair, Abu Rahmi As Sam’i, Abdurrahman bin ‘Amru As Salami, Habib bin ‘Ubaid, Hajar bin Hajar, Yahya bin Abu Al Mutha’, ‘Amru bin Al Aswad, Al Muhashir bin Habib, Khalud bin Mi’dan, dan banyak lainnya.
Abu Mashar dan lainnya mengatakan bahwa Al ‘Irbadh bin Sariyah wafat tahun 75 H. Ada pula yang mengatakan Beliau wafat pada masa-masa fitnah Ibnu Az Zubair. (Lihat Siyar A’lam An Nubala, 3/419-422, Usadul Ghabah, hal. 763-764)
Selanjutnya:
وَعَظَنا رَسُولُ اللهِ مَوعِظَةً: Rasulullah memberikan mau’izhah (pelajaran) kepada kami dengan sebuah pelajaran
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan nasihat dan pelajaran kepada kami, yaitu kepada para sahabat-sahabatnya.
Imam Ibnu ‘Allan Rahimahullah mengatakan:
(وقال: وعظنا رسول الله) أي: بعد صلاة الصبح كما جاء في رواية أخرى (موعظة) من الوعظ، وهو النصح والتذكير بالعواقب وتنوينها للتعظيم: أي موعظة جليلة
(Beliau berkata: Rasulullah memberikan mau’izhah kepada kami) yaitu setelah shalat subuh sebagaimana diterangkan dalam riwayat yang lain (dengan sebuah pelajaran – mau’izhah), diambil dari kata Al Wa’zhu, yang artinya nasihat dan peringatan dengan berbagai perbuatan baik. Ada pun tanwin-nya menunjukkan pengagungan: yaitu mau’zhatan jaliilatan – pelajaran yang besar. (Dalilul Falihin, 2/99)
Beliau juga berkata:
أي وعظنا وعظاً بليغاً
Yaitu menasihati kami dengan pelajaran yang sangat mendalam. (Ibid, 4/231)
Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Rahimahullah mengatakan:
الموعظة ما كان من الكلام فيه ترغيب وترهيب، يؤَثّر على النفوس ويبلغ القلوب، فتوجل من مخافة الله
Al Mau’izhah adalah perkataan yang di dalamnya terdapat peringatan dan kabar gembira, yang membekas kepada jiwa, sampai ke relung hati, dan membuatnya bergetar karena takut kepada Allah. (Fathul Qawwi Al Matin, Hal. 83)
Selanjutnya:
وَجِلَت مِنهَا القُلُوبُ : yang membuat hati bergetar karenanya
Yaitu nasihat yang membuat hati ini takut dan bergetar. Imam Ibnul Atsir Rahimahullah mengatakan:
الوَجَلُ : الفَزَعُ . وقد وَجِلَ يَوْجَلُ ويَيْجَل فهو وَجِلٌ
Al Wajalu adalah Al Faza’u (ketakutan). Wa qad wajila –yawjalu wa yayjalu artinya wajilun (penakut). (Imam Ibnul Atsir, An Nihayah fi Gharibil Atsar, 5/340)
Wajilat artinya khaafat (takut). (Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr, Syarh Sunan Abi Daud, 1/181. Syaikh Ismail Al Anshari, At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Syarah No. 28)
Yaitu nasihat tersebut membuat hati bergetar karena takut kepada Allah Ta’ala. Ini merupakan ciri orang-orang beriman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ ….
Sesungguhnya orang-orang beriman itu adalah yang jika disebut nama Allah maka hati mereka bergetar (karena takut) ……. (QS. Al Anfal (8): 2)
Di sisi lain, Allah Ta’ala menceritakan tentang orang-orang yang sulit menerima petunjuk dan nasihat, digambarkan bagaikan hati yang membatu. Allah Ta’ala berfirman:
ثُمَّ قَسَتْ قُلُوبُكُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ فَهِيَ كَالْحِجَارَةِ أَوْ أَشَدُّ قَسْوَةً
Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. (QS. Al Baqarah (2): 74)
Selanjutnya:
وَذَرَفَت مِنهَا العُيون : dan membuat air mata berlinang
Dan nasihat ini membuat mengucurnya air mata karena rasa sedih dan terharu, mereka takut kalau ini menjadi nasihat yang terakhir dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bagi mereka.
Dzarafat artinya saalat bid dumuu’ – mengalir air mata. (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Syarah No. 29)
Ini menunjukkan begitu besar pengaruh (quwwatut ta’tsir) nasihat nabi, padahal nasihat tersebut belumlah nabi ucapkan, namun mereka sudah merasakan pengaruhnya; pada hati mereka yang takut dan air mata mereka yang berlinang.
Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah menjelaskan:
يعني: حصل التأثر لقلوبهم وعيونهم، فعيونهم بكت، وقلوبهم وجلت
Yakni: nasihat yang menimbulkan pengaruh bagi hati dan mata mereka, mata mereka menangis, dan hati mereka ketakutan. (Syarh Sunan Abu Daud, 26/257)
Kita dapatkan ada tiga sifat mau’izhah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang digambarkan oleh Al ‘Irbadh bin Sariyah, yakni: mau’izhah yang begitu besar (penting), membuat hati takut, dan membuat mata menangis. Dan, seharusnya beginilah peran para ulama dan da’i. Mereka menjadi kunci pembuka bagi akal, jiwa, dan hati manusia secara bersamaan. Sehingga majelis-majelis mereka bukan hanya mengubah manusia yang tidak tahu menjadi tahu, bukan hanya majelis ilmu, tetapi juga menjadikan yang keras hatinya menjadi lembut, yang membangkang menjadi tunduk, yang gelisah menjadi tenang, dan yang jauh kepada agama semakin mendekat dan merindukan surgaNya.
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
عَيْنَانِ لَا تَمَسُّهُمَا النَّارُ عَيْنٌ بَكَتْ مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَعَيْنٌ بَاتَتْ تَحْرُسُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
Ada dua mata yang tidak akan disentuh oleh api neraka. Yaitu mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang terjaga karena berjaga-jaga fisabilillah. (HR. At Tirmidzi No. 1639, katanya: hasan gharib. Syaikh Al Albani menshahihkannya. Lihat At Ta’liq Ar Raghib, 2/153)
Selanjutnya:
فَقُلْنَا : lalu kami berkata
Lalu Al ’Irbadh bin Sariyah berkata kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Walau ini menggunakan kata “kami” tapi maksudnya adalah tunggal yaitu Al ‘Irbadh bin Sariyah, dan ini menunjukkan kerendah hatiannya.
يَارَسُولَ اللهِ كَأَنَّهَا مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ : Wahai Rasulullah, seakan ini adalah pelajaran perpisahan
Wahai Rasulullah seakan ini adalah nasihat terakhir dan nasihat perpisahan. Syaikh ‘Athiyah bin Muhammad Salim Rahimahullah menjelaskan:
والوقت الذي قيل فيه كان بعد عودته صلى الله عليه وسلم من حجة الوداع، وجاء في بعض آثار وطرق هذا الحديث أنه صلى الله عليه وسلم صلى على شهداء أحد، وخطب الناس، قال أنس وغيره: ( كأنه يودع الأموات والأحياء )
Dikatakan bahwa waktu terjadinya adalah ketika kembalinya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dari haji wada’, disebutkan pada sebagian atsar dan jalan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bershalawat untuk pada syuhada Uhud, dan berpidato kepada manusia. Berkata Anas dan lainnya: (Seakan akan dia berpisah dengan orang-orang yang mati dan yang hidup). (Syarh Al Arbain An Nawawiyah, 61/2)
Sahabat mengira ini sebagai nasihat perpisahan, hal itu terlihat dari kedalaman nasihat tersebut.
Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri Rahimahullah mengatakan:
أي كأنك تودعنا بها لما رأى من مبالغته صلى الله عليه و سلم في الموعظة
Yaitu seakan dengan nasihat itu engkau akan meninggalkan kami, karena mereka melihat dari begitu dalamnya mau’izhah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. (Tuhfah Al Ahwadzi, 7/366, ‘Aunul Ma’bud, 12/232)
Selanjutnya:
فَأَوصِنَا : maka berikanlah wasiat kepada kami
قَالَ: (أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عز وجل : Beliau bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian agar bertawa kepada Allah ‘Azza wa Jalla
Inilah wasiat pertama, yakni wasiat taqwa, sebab taqwa merupakan sebaik-baiknya wasiat dan bekal bagi seseorang.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ فَقَالَ الْفَمُ وَالْفَرْجُ
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ditanya tentang sesuatu yang paling banyak menyebabkan manusia masuk ke dalam surga, beliau menjawab: “Taqwa kepada Allah dan akhlak yang baik.” Beliau juga ditanya tentang penyebab terbanyak manusia dimasukkan ke dalam neraka, beliau menjawab: “Mulut dan kemaluan.” (HR. At Tirmidzi No. 2004, katanya: shahih. Ibnu Hibban No. 4246, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 7919, katanya: shahih. Imam Adz Dzahabi juga menshahihkannya dalam At Talkhish)
Berkata Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah:
وتقوى الله عز وجل هي أن يجعل الإنسان بينه وبين غضب الله وقاية تقية منه، وذلك يكون بامتثال الأوامر واجتناب النواهي، فهذه هي التقوى بالمعنى الشرعي، وأما معناها اللغوي فهو أوسع من الشرعي، وهو أن يجعل الإنسان بينه وبين أي شيء مخوف وقاية تقيه منه، فكل ما تخافه فإنك تجعل بينك وبينه وقاية، فالبرد مخوف فتجعل بينك وبينه وقاية بلبس الألبسة التي تقيك منه، والشوك والحصى والرمضاء في الأرض مخوف، فتلبس النعال والخفاف، وكذلك تتخذ البيت من أجل أن تتقي الشمس والبرد.. وهكذا.
Bertaqwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla adalah manusia membuat tameng antara dirinya dan murkanya Allah, sebagai bentuk rasa takut kepadaNya. Demikian itu bisa terjadi dengan menjalankan segala perintah dan menjauhi larangannya. Inilah taqwa dengan pengertian menurut syariat. Ada pun makna secara bahasa lebih luas dari makna menurut syariat, yaitu manusia membuat pelindung antara dirinya dan segala sesuatu yang menakutkan dengan tameng yang bisa melindungi diri darinya. Maka, apa pun yang bisa menakutkan, lalu engkau jadikan pelindung antara dirimu dengannya, rasa dingin yang begitu menakutkan lalu engkau jadikan pelindung antara dirimu dengan rasa dingin itu dengan mengenakan pakaian yang menyelimutimu. Duri, kerikil, dan rasa panas di bumi yang sangat, hendaknya engkau mengenakan sendal dan khuf, demikian juga engkau berlindung di rumah untuk berlindung dari panas dan dingin … begitu seterusnya. (Syarh Sunan Abi Daud, 26/257)
Pada syarah hadits ke 18 sudah dibahas tentang makna taqwa, serta dampak-dampaknya bagi kehidupan pribadi dan masyarakat. Silahkan merujuk!
Selanjutnya:
وَالسَّمعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ : dengar dan taatlah walau pun yang memerintahkan kalian adalah seorang budak
Dengar dan taatlah kepada pemimpin kalian, walau dia seorang budak yang menguasai urusan kalian. Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri Rahimahullah mengutip penjelasan Imam Al Khathabi Rahimahullah sebagai berikut:
قال الخطابي يريد به طاعة من ولاه الإمام عليكم وإن كان عبدا حبشا ولم يرد بذلك أن يكون الامام عبدا حبشيا وقد ثبت عنه صلى الله عليه و سلم أنه قال الأئمة من قريش وقد يضرب المثل في الشيء بما لا يكاد يصح في الوجود كقوله صلى الله عليه و سلم من بنى لله مسجدا ولو مثل مفحص قطاة بنى الله له بيتا في الجنة وقدر مفحص القطاة لا يكون مسجدا لشخص آدمي
Al Khathabi berkata: maksudnya adalah ketaatan kepada orang yang menjadi pemimpin yang mengurus kalian, walau dia seorang budak habsyi (Etiopia), bukan bermakna seorang imam itu adalah diambil dari seorang budak Habsyi. Sebab telah shahih dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa para pemimpin itu berasal dari Quraisy. Itu hanyalah perumpamaan sesuatu dengan apa-apa yang pada kenyataannya tidak ada. Seperti sabdanya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam barang siapa yang membangun masjid untuk Allah walau sebesar sangkar burung, niscaya Allah akan bangunkan baginya sebuah rumah di surga, dan ukuran sebesar sangkar burung tidaklah bisa menjadi masjid bagi seorang manusia. (Tuhfah Al Ahwadzi, 7/366)
Jadi, apa yang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang ketaatan kepada pemimpin walau dia seorang budak habsyi hanyalah perumpamaan saja, bukan pada hakikatnya. Sebab, pemimpin itu hendaknya berasal dari Quraisy, yaitu kepemimpinan besar umat Islam dalam sistem kekhilafahan.
Selanjutnya:
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلافَاً كَثِيرَاً : Barang siapa di antara kalian yang masih hidup, niscaya akan banyak melihat perselisihan
Yaitu barang siapa yang di antara kalian hidup setelah nabi wafat sebagaimana disebut dalam beberapa riwayat lain, kalian akan banyak melihat perselisihan dan juga sengit (syadid). Baik perselisihan dalam perkataan, perbuatan, dan keyakinan.
Imam Ibnu ‘Allan Rahimahullah mengatakan:
فيه من معجزاته الإخبار بما يقع بعده من كثرة الاختلاف وغلبة المنكر، وقد كان عالماً به جملة وتفصيلاً، لما صح أنه كشف له عما يكون إلى أن يدخل أهل الجنة والنار منازلهم، ولم يكن يبينه لكل أحد وإنما كان يحذر منه على العموم، وكان يلقي بعض التفاصيل إلى الخصوص كحذيفة وأبي هريرة
Pada hadits ini disebutkan di antara mu’jizatnya, yaitu pengabaran tentang peristiwa yang akan terjadi setelah masanya, berupa banyaknya perselisihan dan banyaknya kemungkaran. Beliau telah mengetahui hal itu baik secara umum dan rinci, karena telah shahih bahwa disingkapkan baginya tentang apa-apa yang membuat masuknya penduduk surga dan neraka menuju tempat mereka masing-masing. Beliau tidak pernah menyingkapkannya kepada seorang pun, paling hanya memperingatkan secara umum. Ada orang khusus yang diberikan sebagian rincian informasi olehnya seperti Hudzaifah dan Abu Hurairah. (Dalilul Falihin, 2/100)
Ada hadits lain yang agak mirip, yakni yang memprediksikan terbagi-baginya umat Islam menjadi banyak golongan.
Dari ‘Auf bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
افْتَرَقَتْ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَافْتَرَقَتْ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَإِحْدَى وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ هُمْ قَالَ الْجَمَاعَةُ
“Yahudi terpecah menjadi 71 golongan, satu di surga, yang 70 di neraka. Nasrani terpecah menjadi 72 golongan, satu di surga, 71 di neraka. Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tanganNya, umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, satu di surga, 72 di neraka.” Rasulullah ditanya: “Ya Rasulullah, siapakah mereka?” Beliau menjawab: Al Jama’ah.” (HR. Ibnu Majah No. 3992. Ath Thabarani, Musnad Asy Syamiyin No. 988 Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani, lihat Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 3992. Al Bushiri mengatakan: “Dalam sanadnya terdapat perbincangan.” Lihat Az Zawaid, 4/179)
Hadits perpecahan umat, juga diriwayatkan dari beberapa sahabat selain ‘Auf bin Malik di atas, di antaranya:
- Jalur Abu Hurairah, tetapi hanya menyebut jumlah perpecahan, tanpa menyebut “Satu Yang di Surga” dan tanpa menyebut Al Jama’ah. (HR. Abu Daud No. 4596, Abu Ya’la No. 5910, Imam Al Hakim mengatakan shahih sesuai syarat Imam Muslim, Al Mustadrak ‘Alash Shahihain, No. 441)
- Jalur Anas bin Malik, tetapi hanya menyebut perpecahan Bani Israel (71 kelompok, semua neraka kecuali satu), dan perpecahan Umat Islam saja (72 kelompok, semua neraka kecuali satu, yakni Al Jama’ah), tanpa menyebut perpecahan Nasrani. (HR. Ibnu Majah No. 3993. Abu Ya’la No. 3938, Ibnu Jarir, Jami’ul Bayan, 4/32. Al Bushiri berkata: isnadnya shahih, para perawinya terpercaya. Lihat Az Zawaid, 4/170). Secara zhahir, hadits ini bertentangan dengan hadits dari ‘Auf bin Malik di atas, yang menyebut umat Islam terpecah menjadi 73.
Ini hanya sebagian saja dari hadits tentang iftiraqul ummah (perpecahan umat), yang menjadi dasar bahwa Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah Al Firqah An Najiyah.
Catatan:
Sebagaian ulama ada yang meragukan validitas (keshahihan) hadits-hadits di atas. Seperti Imam Abu Muhammad bin Hazm, Imam Ibnul Wazir Al Yamani, dan Syaikh Yusuf Al Qaradhawi hafizhahullah. Ada beberapa alasan yang mereka utarakan, di antaranya:
- Hadits ini sangat penting, bahkan Imam Al Hakim menyebutnya dengan: Ushulul Kabir (dasar-dasar yang agung). Namun, Bukhari-Muslim tidak meriwayatkannya. Betul bahwa hadits shahih juga banyak tersebar di kitab-kitab selain Bukhari-Muslim, tetapi mereka tidaklah meninggalkan dalam kitabnya masalah-masalah sepenting ini.
- Perpecahan umat Islam ada 73, kenapa umat terbaik perpecahaannya koq lebih banyak?
- Kalimat yang menyebutkan pengecualian yang selamat, yakni kata-kata: “Kecuali satu yang surga,” atau kata “Al Jama’ah” berpotensi disalahgunakan oleh sebagian orang untuk membenarkan kelompoknya, dan menyalahkan kelompok yang lain.
Bahkan Imam Ibnul Wazir, dalam Kitab Al ‘Awashim, mendhaifkan hadits-hadits ini secara keseluruhan, termasuk tambahannya, “Kecuali satu yang surga,” atau kata, “Al Jama’ah.” Beliau berkata:
وإياك والاغترار بـ “كلها هالكة إلا واحدة” فإنها زيادة فاسدة، غير صحيحة القاعدة، ولا يؤمن أن تكون من دسيس الملاحدة. قال: وعن ابن حزم: إنها موضوعة، عير موقوفة ولا مرفوعة
“Hati-hatilah anda, jangan tertipu dengan kata – semua binasa kecuali satu– karena itu adalah tambahan yang rusak, tidak shahih, dan direkayasa oleh orang mulhid (atheis). Berkata Ibnu Hazm: hadits ini palsu, tidak mauquf (sampai di sahabat), dan tidak pula marfu’ (sampai Rasulullah).” (Syaikh Dr. Yusuf Al Qaradhawi, Ash Shahwah Al Islamiyah Baina Al Ikhtilaf Al Masyru’ wat Tafarruq Al Madzmum, Hal. 27)
- Dalam sanadnya terdapat seorang rawi bernama: Muhammad bin Amr bin Al Qamah bin Al Waqqash Al Laitsi. Para ulama berkata tentang dia:
صدوق، له أوهام
“Orang jujur, tapi banyak keraguan.” (Imam Ibnu Hajar, Taqribut Tahdzib, 1/763. Imam Badruddin Al ‘Aini, Maghani Al Akhyar, 6/63/527)
Tetapi Imam Adz Dzahabi memberikan penilaian positif tentang dia:
وكان حسن الحديث، كثير العلم، مشهوراً
“Dia hasan (bagus) haditsnya, banyak ilmu, dan terkenal.” (Imam Ad Dzahabi, Al ‘Ibar fi Khabar min Ghabar, Hal. 38)
Juga Imam An Nasa’i dan lainnya, berkata tentang dia: “Laisa bihi ba’san” (Dia tidak apa-apa) (Imam Adz Dzahabi, Man Lahu Ar Riwayah fi Kutub As Sittah, 2/207)
Namun demikian yang menshahihkan hadits ini, dari kalangan pakar dan imam hadits lebih banyak dibanding yang mendhaifkan. Seperti Imam Al Hakim, Imam At Tirmidzi, Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnu Hajar, dan lain-lain. Sedangkan Imam Ibnu Hazm, telah masyhur dikalangan ulama bahwa dia adalah orang yang sangat ketat dalam menjarh (menilai cacat) perawi hadits, sampai-sampai ulama sekaliber Imam At Tirmidzi di katakannya: majhul (tidak dikenal)!! Wallahu A’lam
Selanjutnya:
فَعَلَيكُمْ بِسُنَّتِيْ : maka hendaknya kalian berpegang kepada sunahku
Yaitu jika kalian berselisih maka ikutilah sunahku sebagai solusi dari perselisihan, dan mengikuti sunahku itu adalah kewajiban.
Baca Juga: Kedudukan Sunnah dalam Islam (Bag. 1)
Selanjutnya:
وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ المّهْدِيِّينَ : dan sunah para khulafaur rasyidin yang telah mendapatkan petunjuk
Yaitu selain mengikuti sunahku, ikuti pula sunah para khulafaur rasyidin sepeninggalku, karena mereka telah mendapatkan petunjuk. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali Radhiallahu ‘Anhum.
Oleh karenanya tidaklah dikatakan bid’ah apa-apa yang pernah dilakukan oleh mereka pada masa setelah wafatnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, walau nabi tidak melakukannya. Karena hal itu merupakan sunah yang juga direkomendasikan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk diikuti. Seperti baitul maal pada masa Abu Bakar, pembukuan Al Quran pada masa Utsman, pembuatan penjara untuk penjahat pada masa Umar, keputusan-keputusan hukum Ali untuk para pemabuk atau Unta hilang yang tidak sama dengan masa nabi dan tiga khalifah setelahnya. Begitu pula tarawih 23 rakaat pada masa Umar Radhiallahu ‘Anhu, yang telah menjadi ijma’ para sahabat. Juga azan shalat Jumat sebanyak 2 kali yang dilakukan oleh khalifah Utsman bin Affan Radhiallahu ‘Anhu, yang telah menjadi ijma’ sukuti di antara para sahabat nabi. Semoga Allah Ta’ala meridhai mereka semua.
Jalan (sunah) mereka adalah jalan yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala untuk diikuti, dan Allah Ta’ala mengancam orang-orang yang menentang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan tidak mengikuti jalan mereka.
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. An Nisa (4): 115)
Baca Juga: Sekelumit tentang Keutamaan Khulafaur Rasyidin
Selanjutnya:
عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ : dan gigitlah dengan geraham kalian
Yakni gigitlah sunah itu, sunah nabi dan sunah para khalifahnya, secara sungguh-sungguh.
Imam Al Munawi Rahimahullah menjelaskan:
أي بجميع الفم كناية عن شدة التمسك ولزوم الاتباع لهم والنواجذ الأضراس أو الضواحك أو الأنياب
Yaitu dengan sepenuh mulut kalian, ini merupakan perumpamaan dari kuatnya keteguhan dan komitmennya terhadap mengikuti sunah mereka. An Nawajidz adalah geraham atau taring. (At Taisir, 5/48)
Wallahu A’lam
1 comment
MaasyaaAllah sangat bermanfaat, Barakallahufiikum