Matan Hadits:
وعن أبي ثعلبة الخُشَنِيِّ جُرثومِ بنِ ناشر – رضي الله عنه – ، عن رسول الله – صلى الله عليه وسلم –
قال : (( إنَّ اللهَ تَعَالَى فَرَضَ فَرَائِضَ فَلاَ تُضَيِّعُوهَا ، وَحَدَّ حُدُوداً فَلاَ تَعْتَدُوهَا ، وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ فَلاَ تَنْتَهِكُوهَا ، وَسَكَتَ عَنْ أشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ فَلاَ تَبْحَثُوا عَنْهَا )) حديث حسن . رواه الدارقطني وغيره .
Dari Abu Tsa’labah Al Khusyani Jurtsum bin Naasyir Radhiallahu ‘Anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mewajibkan berbagai macam kewajiban maka janganlah kalian meremehkannya, dan telah menetapkan batasan-batasan maka janganlah kalian melampauinya, dan telah mengharamkan berbagai hal maka janganlah kalian jatuh ke dalamnya, dan Dia telah mendiamkan berbagai hal sebagai kasih sayang bagi kalian, bukan karena Dia lupa, maka janganlah kalian mengutak-atiknya (yang Allah diamkan itu). (Hadits hasan, diriwayatkan oleh Ad Daruquthni dan selainnya)
Takhrij Hadits:
- Imam Ad Daruquthni dalam Sunannya, 4/183
- Imam Al Hakim dalam Al Mustadrak 7114
- Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra 19509, secara mawquf dari Abu Tsa’labah
- Imam Ath Thabarani dalam Musnad Asy Syamiyyin 3492, juga Al Mu’jam Al Kabir No. 589, lihat juga Al Mu’jam Al Awsath No. 7461 dan 8938, keduanya dari jalan Abu Ad Darda
- Imam Ibnu ‘Asakir dalam Mu’jamnya No. 1232
Imam An Nawawi menghasankan hadits ini dalam berbagai kitabnya, seperti Al Arbain, Riyadhushalihin, dan Al Adzkar. Dihasankan pula oleh Abu Bakar As Sam’ani dalam Al Amali, sebagaimana dikutip oleh Imam Ibnu Rajab dalam Jami’ Al ‘ulum wal Hikam. (Hal. 242)
Syaikh Al Albani mendhaifkan dalam beberapa kitabnya. (Ghayatul Maram No. 4, Dhaiful Jami’ No. 1597, Tahqiq Riyadushshalihin No. 1841, Misykah Mashabih No. 197) Tapi dalam penelitian pada kitab lainnya, Beliau menghasankan dengan menyebutkan: hasan lighairih. (Al Iman Lisyaikhil Islam Ibni Taimiyah, Hal. 43, Tahqiq Syarh Ath Thahawiyah, Hal. 338)
Kandungan Hadits Secara Global
Hadits ini memiliki banyak pelajaran, di antaranya:
- Para ulama menyebutkan bahwa hadits ini sangat penting karena di dalamnya terkandung beberapa macam jenis hukum-hukum Allah Ta’ala.
Berkata Syaikh ‘Athiyah bin Muhammad Salim Rahimahullah:
هذا الحديث يعتبره علماء الحديث من أجمع الأحاديث لأحكام الشريعة؛ لأن الرسول صلى الله عليه وسلم قسم أحكام الشريعة كلها إلى: · فرائض.· وحدود.· ونواهٍ.· ومباحات. ولا يوجد حكم في الشرع إلا وهو داخل تحت قسم من هذه الأقسام، ولذا يقولون: هو أجمع حديث لأحكام الشريعة
Para ulama mengambil pelajaran dari hadits ini, bahwa hadits ini telah menghimpunkan hadits-hadits tentang hukum-hukum syariat; karena Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah membagi hukum syariat semuanya menjadi: faraidh (kewajiban-kewajiban), hudud, larangan, dan hal-hal yang dibolehkan. Tidak boleh mewajibkan dalam hukum syara’ kecuali dia mencakup bagian-bagian hukum ini. Oleh karenanya mereka mengatakan: hadits ini telah mengumpulkan hadits-hadits tenang hukum-hukum syariah. (Syarh Al Arbain An Nawawiyah, 2/69)
Imam Ibnu Rajab Al Hambali Rahimahullah menjelaskan:
فحديثُ أبي ثعلبة قسم فيه أحكام الله أربعة أقسام: فرائض، ومحارم، وحدود، ومسكوت عنه، وذلك يجمع أحكام الدِّين كلَّها، قال أبو بكر ابن السمعاني: هذا الحديث أصل كبير من أصول الدِّين، قال: وحُكي عن بعضهم أنَّه قال ليس في أحاديث رسول الله حديثٌ واحد أجمعَ بانفراده لأصول العلم وفروعِه من حديث أبي ثعلبة، قال: وحُكي عن واثلة المزني أنَّه قال: جمع رسول الله الدِّين في أربع كلمات، ثم ذكر حديث أبي ثعلبة، قال ابن السمعاني: فمَن عمل بهذا الحديث فقد حاز الثواب، وأمن العقاب؛ لأنَّ مَن أدَّى الفرائضَ، واجتنب المحارمَ، ووقف عند الحدود، وترك البحث عما غاب عنه، فقد استوفى أقسامَ الفضل، وأوفى حقوق الدِّين؛ لأنَّ الشرائعَ لا تخرج عن هذه الأنواع المذكورة في هذا الحديث، انتهى
Pada hadits Abu Tsa’labah ini, pembagian hukum-hukum Allah Ta’ala menjadi empat bagian: perkara yang wajib, perkara yang haram, hudud, dan yang didiamkan. Semua ini mencakup keseluruhan hukum-hukum agama. Abu Bakar As Sam’ani berkata: “Hadits ini merupakan dasar yang besar dari pokok-pokok agama.” Beliau berkata: “Diceritakan dari sebagian ulama, bahwa mereka menyebutkan tidak ada satu hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang menghimpun secara khusus pokok-pokok ilmu dan cabang-cabangnya dibandingkan hadits Abu Tsa’labah.” Berkata Ibnus Sam’ani: “Barang siapa yang mengamalkan hadits ini maka dia akan mendapatkan pahala, dan aman dari siksa, karena siapa yang menjalankan kewajiban dan menjauhi larangan, dan tidak melanggar hudud (batasan), serta tidak mengutak-atik yang tidak dibahas, maka dia telah memenuhi bagian-bagian yang memiliki keutamaan, dan telah menunaikan hak-hak agama, karena aturan-aturan hukum agama tidaklah keluar dari jenis-jenis yang disebutkan dalam hadits ini. Selesai. (Jami’ Al ‘Ulum wal Hikam, 1/277. Cet. 1, 1408H. Darul Ma’rifah. Beirut)
- Hadits ini menegaskan agar kita tidak meremehkan kewajiban-kewajiban dari Allah Ta’ala. Meremehkan kewajiban merupakan tanda cacatnya aqidah dan lemahnya agama seseorang, seperti menunda-nunda shalat tanpa alasan syar’i. Peremehan itu terjadi mulai dari menunda pelaksanaannya, tidak konsisten dalam menjalankannya, dan tentunya yang paling buruk adalah meninggalkannya.
Imam Sufyan bin ‘Uyainah Rahimahullah mengatakan meninggalkan kewajiban adalah kufur, dan lebih besar dosanya dibanding menjalankan larangan. Beliau mengatakan:
المرجئة سموا ترك الفرائض ذنبا بمنزلة ركوب المحارم ، وليسا سواء ، لأن ركوب المحارم متعمدا من غير استحلال : معصية ، وترك الفرائض من غير جهل ولا عذر : هو كفر . وبيان ذلك في أمر آدم وإبليس وعلماء اليهود الذين أقروا ببعث النبي صلي الله عليه وسلم ولم يعملوا بشرائعه .
Kelompok murjiah menyebutkan bahwa meninggalkan kewajiban adalah “dosa” yang setara dengan dosa menjalankan keharaman, padahal keduanya tidaklah sama, karena menjalankan keharaman secara sengaja –tanpa sikap menghalalkan- adalah perbuatan maksiat. Sedangkan meninggalkan kewajiban –bukan karena bodoh dan adanya udzur- adalah kufur. Bukti yang menjelaskan hal ini adalah tentang kisah Adam dan Iblis, dan tentang ulama Yahudi yang telah mengakui kenabian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tetapi mereka tidak menjalankan syariatnya. (Imam Ibnu Rajab, Fathul Bari, 1/21. Cet. 2, 1422H. Dar Ibnul Jauzi)
- Hadits ini juga menegaskan tentang larangan bersikap melampaui batasan-batasan yang telah Allah Ta’ala tetapkan.
Sebagai contoh Allah Ta’ala telah mewajibkan jihad, tetapi dalam jihad ada aturan main yang tidak boleh dilanggar, sebagaimana firmanNya:
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (QS. Al Baqarah (2): 190)
Bagaimanakah yang dimaksud melampaui batas dalam jihad? Disebutkan dalam Tafsir Al Muyassar:
وقاتلوا -أيها المؤمنون- لنصرة دين الله الذين يقاتلونكم، ولا ترتكبوا المناهي من المُثْلة، والغُلول، وقَتْلِ من لا يحل قتله من النساء والصبيان والشيوخ، ومن في حكمهم. إن الله لا يحب الذين يجاوزون حدوده، فيستحلون ما حرَّم الله ورسوله.
Berperanglah –wahai orang-orang beriman- untuk membela agama Allah kepada orang-orang yang telah memerangimu, dan janganlah kalian lakukan hal-hal terlarang berupa mencincang, berkhianat, membunuh orang yang tidak boleh dibunuh seperti wanita, anak-anak, dan orang tua, dan orang-orang yang berada pada hukum mereka. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas-batasNya, dan menghalalkan apa-apa yang diharamkan Allah dan RasulNya. (Tafsir Al Muyassar, 1/204)
Allah Ta’ala telah menghalalkan makan dan minum, tetapi tidak boleh berlebihan; baik melampaui batas dari kebutuhan tubuh dan melampai batas-batas yang dihalalkan syariat. Sebagaimana ayatNya:
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) mesjid, Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS. Al A’raf (7): 31)
Allah Ta’ala telah menghalalkan jima’ bagi suami istri, tetapi syariat telah memberikan hudud (batasan-batasan)-nya. Allah Ta’ala berfirman:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS. Al Baqarah (2): 222)
Dalam ayat ini ada beberaap pelajaran:
- Larangan ber-jima’ ketika haid, karena darah haid itu kotor.
- Boleh ketika sudah terputus haidnya (sudah suci kembali), dan mandi.
Baca Juga: Istri Sudah Suci dari Haid Tetapi Belum Mandi Janabah, Bolehkah Berjima’?
- Jima’ hanya boleh dibagian yang diperintahkan Allah, yaitu qubul (kemaluan), bukan dubur.
Baca juga: Tiga Pendapat tentang Oral Seks
Hudud dalam masalah jima’ ini, juga disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوْ امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا أَوْ كَاهِنًا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Barangsiapa yang mendatangi istrinya yang sedang haid, atau dari duburnya, atau mendatangi dukun, maka dia telah kafir terhadap apa-apa yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. (HR. At Tirmidzi No. 135, Ibnu Majah No. 639, Ahmad No. 9290, 10167, Ad Darimi No. 1136, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No.9016, Ath Thahawi dalam Musykilul Aatsar No. 5362, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf No. 17077. Syaikh Husein Salim Asad mengatakan: isnaduhu shahih – isnadnya shahih. Tahqiq Sunan Ad Darimi No. 1136. Imam Yahya bin Al Qaththan mengatakan: “Yang benar hadits ini adalah hasan.” Lihat Badrul Munir, 7/652. Syaikh Al Albani menshahihkan dalam berbagai kitabnya)
Demikianlah sebagian kecil saja dari batasan-batasan syariat yang tidak boleh dilanggar. Allah Ta’ala berfirman:
تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa. (QS. Al Baqarah (2): 187)
Ayat lainnya:
تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Itulah batasan-batasan (hukum) Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim. (QS. Al Baqarah (2): 229)
Mentaati batasan-batasan ini merupakan jalan bagi hamba untuk ke surgaNya. Allah Ta’ala berfirman:
تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar. (QS. An Nisa (4): 3)
- Hadits ini juga menyebutkan bahwa Allah Ta’ala telah menetapkan berbagai perkara yang diharamkanNya, dan janganlah kita jatuh ke dalamnya.
Untuk masalah perkara yang diharamkan dan larangan, sudah kami bahas dalam hadits ke-4 dan ke-10, silahkan merujuk.
- Hadits ini juga menjelaskan tentang adanya perkara yang maskut ‘anhu (didiamkan) oleh syariat, atau dalam hadits lain disebut ma’fu anhu (dimaafkan), sebagai kasih sayang Allah Ta’ala kepada hamba-hambaNya yang beriman. Maka, janganlah kita mengutak-atik dan mempersoalkannya yang akhirnya terjebak dalam sikap ghuluw (ekstrim) dengan mengharamkannya, padahal dia dimaafkan untuk dilakukan.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ
“Sesungguhnya orang muslim yang paling besar kejahatannya adalah orang yang menanyakan sesuatu yang tidak haram, lalu menjadi haram gara-gara pertanyaannya.” (HR. Bukhari dalam Shahihnya No. 7289 dan Imam Muslim dalam Shahihnya No. 2358, dari Sa’ad bin Abi Waqash)
Makna Kata dan Kalimat:
وعن أبي ثعلبة الخُشَنِيِّ جُرثومِ بنِ ناشر – رضي الله عنه : Dari Abu Tsa’labah Al Khusyani Jurtsum bin Naasyir Radhiallahu ‘Anhu
Siapakah Abu Tsa’labah Al Khusyani? Imam Ibnul Atsir Rahimahullah menyebutkan bahwa telah terjadi banyak perbedaan pendapat tentang nama asli Beliau dan ayahnya. Ada yang menyebut Jurtsuum (seperti kata Sa’id bin Abdul Aziz), Jurhuum bin Naasyib, Ibnu Naasyim, Jurtsuum Ibnu Laasyir bin Nadhar (seperti kata Ibnul Al Barqi) , Jurhuum bin Naasyir (kata Imam Ahmad dan Imam Yahya bin Ma’in), Ibnu ‘Amru Abu Tsa’labah Al Khusyani, Al Aswad bin Jurhuum, Laasir bin Haraam, Jurtsuumah, Jurtsum bin Yaasim, Laasyi bin Hamiir, Laasi bin Jaahim, Al Asyaq bin Jurhum, Jurtsuumah bin Naasyij, Juram Khusyaniyah, Jurtsuumah bin Abdul Karim.
Beliau ikut menyaksikan perjanjian Hudaibiyah, bai’at di bawah pohon (Bai’atur Ridhwan), Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah meminjamkan panah kepadanya ketika perang Khaibar, pernah juga mengutusnya untuk menda’wahi kaumnya dan mereka masuk Islam melalui perantaraan da’wahnya. Beliau tinggal di Syam dan wafat pada masa awal pemerintahan Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu –dan inilah riwayat yang paling banyak tentang wafatnya, ada yang menyebut wafatnya pada masa Yazid, ada pula yang menyebut pada tahun 75H di masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan. Beliau terkenal disebut dengan gelarnya itu, Abu Tsa’labah Al Khusyani.
Beliau meriwayatkan hadits kepada Abu Idris Al Khaulani, Jubair bin Nufair, Abu Asma’ Ar Raaji, Abu Raja’ Al ‘Atharidi. (Imam Ibnul Atsir, Usadul Ghabah, Hal. 174. Imam Ibnu Abdil Bar, Al Isti’ab fi Ma’rifatl Ashhaab, 1/80. Mauqi’ Al Warraq. Imam Ibnu Hibban, Ats Tsiqaat No. 201. Syaikh Abu Usamah Muhammad bin Salim bin Ali Jabir, Ad Dur wal Yaquut fi Taraajim A’lam Al Muhadditsin min Hadhramaut, Hal. 3. Imam Muhammad bin Sa’ad, Ath Thabaqat Al Kubra, 7/416. Imam Ad Daruquthni, Al Mu’talaf wal Mukhtalaf, 3/147)
Selanjutnya:
عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia bersabda:
إنَّ اللهَ تَعَالَى فَرَضَ فَرَائِضَ : Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mewajibkan berbagai macam kewajiban
Faradha artinya awjaba dan alzama, yaitu mewajibkan dan menetapkan.
Sedangkan Faraa-idh artinya:
ما فرض الله على عباده ، وألزمهم القيام به
Apa-apa yang Allah wajibkan kepada hamba-hambaNya, dan menetapkan mereka untuk senantiasa melaksanakannya. (Syaikh Ismail bin Muhammad Al Anshari, Tuhfah Ar Rabbaniyah, Syarah No. 30)
Sebagaimana diketahui oleh umumnya umat Islam, bahwa fardhu ada dua macam yakni fardhu ‘ain dan fardhu kifayah, berikut keterangan Syaikh Ibnul ‘Utsaimin Rahimahullah:
أشياء كثيرة فرضها الله تعالى على عباده منها فرائض عينية على كل واحد ومنها فرائض كفاية إذا قام بها من يكفي سقط عن الباقين فالصلوات الخمس فرض عين لابد على كل مسلم أن يقوم بها والصلاة على الجنازة فرض كفاية إذا قام بها البعض سقط الإثم عن الباقين
Banyak hal yang Allah Ta’ala wajibkan kepada hamba-hambaNya, di antaranya fardhu ‘ain, kewajiban bagi setiap muslim, ada juga fardhu kifayah yang jika sebagian sudah melaksanakan maka itu sudah mencukupi dan gugur bagi lainnya. Shalat yang lima adalah fardhu ‘ain yang mesti dilakukan setiap muslim, shalat jenazah adalah fardhu kifayah yang jika sebagian sudah melaksanakan maka yang lain tidak berdosa. (Syarh Riyadh Ash Shalihin, Hal. 2210)
Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah mengatakan:
أي: أوجب أشياء وجعل فرضها حتماً لازماً، كالصلاة والزكاة والصيام والحجِّ، فيجب على كلِّ مسلم الإتيان بها كما أمر الله، دون ترك لها أو حصول إخلال في فعلها
Yaitu Dia telah mewajibkan berbagai hal dan menjadikannya sebagai kewajiban yang mesti dilaksanakan, seperti shalat, zakat, shaum, dan haji, maka wajib bagi setiap muslim untuk menjalankannya sebagaimana yang Allah Ta’ala perintahkan, jangan meninggalkannya atau malas dalam melaksanakannya. (Fathul Qawwi Al Matin, Hal. 96)
Ada pun arti Al Faraa-idh dalam disiplin ilmu fiqih adalah ilmu tentang warisan. Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:
الفرائض جمع فريضة، والفريضة مأخوذة من الفرض بمعنى التقرير، يقول الله سبحانه: ” فنصف ما فرضتم ” أي قدرتم. والفرض في الشرع هو النصيب المقدر للوارث ويسمى العلم بها علم الميراث وعلم الفرائض.
Al Faraa-idh jamak dari Fariidhah, dan Al Fariidhah diambil dari Al Fardhu yang maknanya at taqriir (persetujuan, ketetapan, ketentuan), Allah Ta’ala berfirman: fanishfu maa faradhtum (Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu) yaitu yang telah kamu tentukan ukurannya. Sedangkan Al Fardhu dalam definisi syara’ adalah bagian yang telah ditentukan untuk diwariskan, ilmu tentang hal ini dinamakan Ilmu Al Miraats atau ilmu Al Faraa-idh. (Fiqhus Sunnah, 3/602)
Dalam hadits ini, bukan makna ini yang sedang dibahas.
Selanjutnya:
فَلاَ تُضَيِّعُوهَا: maka janganlah kalian meremehkannya
Yakni jangan kalian meninggalkan, menggampangkan, dan mengacuhkannya.
Syaikh Ismail bin Muhammad Al Anshari Rahimahullah berkata:
فلا تضيعوها : بالترك أو التهاون فيها حتى يخرج وقتها ، بل قوموا بها كما فرض عليكم
(Janganlah meremehkannya) dengan meninggalkan atau menggampangkannya sampai keluar dari waktunya, tetapi hendaknya kalian laksanakan sebagaimana diwajibkan atas kalian. (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Hadits No. 30)
Termasuk kategori meremehkan adalah jika melaksanakannya bukan karena Allah Ta’ala, tetapi karena pujian manusia, atau pelaksanaannya yang tidak berkualitas.
Imam Mulla Ali Al Qari Rahimahullah berkata:
فلا تضيعوها بتركها رأسا أو بترك شروطها وأركانها أو بالسمعة والرياء أو بالعجب والغرور
(maka janganlah meremehkannya) yaitu dengan meninggalkannya pada yang pokok-pokoknya, atau meninggalkan syarat-syarat sahnya, atau karena sum’ah (ingin didengar), atau karena riya’ (ingin dilihat), atau karena ‘ujub (kagum dengan diri sendiri), atau karena ghurur (terpedaya oleh diri sendiri). (Mirqah Al Mafatih, 2/87. Mawqi’ Al Meshkat)
Selanjutnya:
وَحَدَّ حُدُوداً : dan Dia telah menetapkan batasan-batasan
Yaitu Allah Ta’ala telah menetapkan untuk hamba-hambaNya aturan-aturan dariNya yang jelas dan terang benderang, yang dijelaskan oleh para nabiNya.
Dalam hal ini, Allah Ta’ala berfirman:
فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا
Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. (QS. Al Maidah (5): 48)
Dalam Tafsir Al Muyassar disebutkan:
فقد جعلنا لكل أمة شريعة، وطريقة واضحة يعملون بها
Kami telah jadikan bagi tiap-tiap umat aturan masing-masing, dan jalan yang terang yang dengannya mereka amalkan. (Tafsir Al Muyassar, 2/222)
Syaikh Ismail Al Anshari mengatakan:
وحد حدودا : وهي جملة ما أذن الله في فعله ، سواء كان على طريق الوجوب أو الندب أو الإباحة
(dan Dia telah menetapkan batasan-batasan) yaitu sejumlah perkara yang Allah izinkan untuk melakukannya, sama saja apakah perbuatan yang wajib atau sunah atau mubah. (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Hadits No. 30)
Jadi, yang diizinkan untuk kita lakukan adalah perbuatan wajib, sunah, dan mubah, selainnya ghairu ma’dzun (tidak diizinkan).
Selanjutnya:
فَلاَ تَعْتَدُوهَا : maka janganlah kalian melampauinya
Yaitu janganlah kalian melanggarnya dengan melewati batasan-batasan tersebut. Shalat yang lima, zakat, puasa Ramadhan, dan haji, semua ini ada hudud (batasan-batasan) yang tidak boleh dilanggar, baik dari sisi waktu pelaksanaan, dan rincian tata caranya. Begitu pula berbagai ibadah yang lainnya. Melanggarnya merupakan perbuatan haram dan berdosa, kecuali bagi yang mengalami ‘udzur syar’i.
Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah menjelaskan:
أي: شرع أموراً هي واجبة أو مستحبَّة أو مباحة، فلا يتجاوز تلك الحدود إلى غيرها، فيقع في أمر حرام، وذلك كالمواريث التي بيَّنها الله عزَّ وجلَّ في كتابه، فلا يجوز لأحد أن يتعدَّاها وأن يأتي بقسمة تخالفها
Yaitu Allah telah mensyariatkan berbagai perkara baik yang wajib, atau sunah, atau mubah, maka janganlah melewati batasan-batasan ini kepada selainnya, yang membuatnya terjatuh pada perkara yang haram. Hal ini seperti masalah warisan yang Allah ‘Azza wa Jalla telah terangkan dalam kitabNya, maka janganlah seorang pun melanggarnya dengan cara pembagian yang menyelisihi aturan semestinya. (Fathul Qawwi Al Matin, Hal. 96)
Syaikh Shalih bin Abdil Aziz Alu Asy Syaikh menjelaskan pula:
فإن المراد بالحدود هنا الفرائض؛ يعني ما أذن به، الفرائض، أو ما أذن به، فما أذن به فرضا كان، أو مستحبا، أو مباحا، فالحدود هنا المراد بها هذه الأشياء؛ ولهذا جاء بعدها فَلَا تَعْتَدُوهَا [البقرة:229] فالذي يخرج من دائرة المأذون به إلى خارج عن المأذون به، فقد تعدى الحد، وقد خرج عنه، وهذا الحد
Sesungguhnya yang dimaksud dengan hudud di sini adalah Al Faraa-idh (kewajiban-kewajiban), yakni apa-apa yang diizinkan untuk dilakukan yaitu Al Faraa-idh, atau apa saja yang diizinkan. Maka, apa-apa saja yang diizinkan itu adalah baik itu kewajiban, sunah, atau mubah, jadi makna hudud di sini adalah perkara-perkara ini (wajib, sunah, dan mubah), oleh karenanya disebutkan setelah itu : “maka janganlah kalian melampauinya” (Al Baqarah:229). Maka, apa-apa yang keluar dari cakupan yang diizinkan menjadi tidak diizinkan, hal itu adalah melampaui batasan, dan telah keluar darinya, dan inilah batasannya. (Syaikh Shalih bin Abdil Aziz Alu Asy Syaikh, Syarh Arbain An Nawawiyah, Syarah No. 30)
Untuk perkara-perkara ini, Allah dan RasulNya sering menggunakan: kutiba …(diwajibkan), kataba (Dia menetapkan) ……., if’aluu (lakukanlah) ……., fakhudzuuhu (maka ambil-lah) …., fa’tu ‘anhu (maka lakukanlah/datangilah), …. dan selainnya.
Selanjutnya:
وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ : dan Dia telah mengharamkan berbagai hal
Yaitu Allah Ta’ala telah membuat sejumlah larangan dan haram untuk dilaksanakan. Inilah bagian yang tidak diizinkanNya, seperti memakan harta secara tidak hak dan batil (judi, riba, menipu, korupsi, merampok, dan semisalnya), membunuh jiwa secara tidak hak, makan dan minum yang haram, berzina, ghibah, berbohong, mencela dan memperolok-olok sesama muslim, sumpah dan kesaksian palsu, dan semisalnya.
Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, berkata:
سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْكَبَائِرِ قَالَ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ وَقَتْلُ النَّفْسِ وَشَهَادَةُ الزُّورِ
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ditanya tentang dosa-dosa besar (Al Kabaa-ir). Beliau menjawab: “Menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh, dan kesaksian palsu.” (HR. Bukhari No. 2653 dan Muslim No. 88, dan ini menurut lafaz dari Bukhari)
Dari Abdullah bin Amr Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ أَنْ يَلْعَنَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ يَلْعَنُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قَالَ يَسُبُّ الرَّجُلُ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُ
Sesungguhnya yang termasuk dosa besar adalah seseorang yang melaknat kedua orang tuanya. Ditanyakan: “Wahai Rasulullah, bagaimana seseorang melaknat kedua orang tuanya?” Beliau bersabda: “Yaitu seseorang yang mencela ayah orang lain, lalu orang tersebut membalas dengan mencela ayahnya dan mencela ibunya.” (HR. Bukhari No. 5973 dan Muslim No. 90, dan ini menurut lafaz dari Bukhari)
Tentunya apa yang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sampaikan hanyalah contoh dari dosa besar, oleh karenanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menggunakan kata min akbaril kabaa-ir (di antara dosa-dosa besar), artinya belum semua dosa besar yang Beliau sebutkan.
Selanjutnya:
فَلاَ تَنْتَهِكُوهَا : maka janganlah kalian jatuh ke dalamnya
Yaitu janganlah kalian melakukan perkara haram tersebut, bahkan jangan pula mendekatinya, dan melakukan apa pun yang dapat mengantarkan menuju perbuatan haram. Allah Ta’ala dan RasulNya telah memperingatkan kita untuk menjauhinya baik dengan kata: “Laa (janganlah) …, Laa taqrabuu (jangan dekati) .., Laa ta’taduu (jangan kalian lampaui) ……., fajtanibuuh (jauhilah dia) …., Laa imana liman kadza wa kadza (tidak beriman orang yang begini dan begitu) … , dan selainnya.
Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Hafizhahullah mengatakan:
أي: أنَّ ما حرَّمه الله لا يجوز للمسلمين أن يقعوا فيه، بل يتعيَّن عليهم تركه، كما قال: (( ما نهيتُكم عنه فاجتنبوه )).
Yaitu bahwasanya Allah telah mengharamkan sesuatu maka janganlah kaum muslimin melakukannya, bahkan seharusnya secara khusus masing-masing mereka hendaknya meninggalkannya, sebagaimana sabdanya: (apa-apa yang saya larang maka jauhilah oleh kalian). (Fathul Qawwi Al Matin, Hal. 96)
Kemampuan meninggalkan larangan lebih berat dibandingkan kemampuan melakukan perintah kebaikan. Melakukan perbuatan baik bisa dilakukan oleh orang baik dan orang buruk sekaligus, seperti shalat, sedekah, zakat, shalat, puasa, dan haji, dan kebakan lainnya. Ada pun meninggalkan larangan secara sempurna hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang shiddiq dalam keimanannya. Oleh karenanya pula, tehadap amar ma’ruf banyak manusia yang berani melakukannya, tetapi nahi munkar tidak banyak manusia yang mau, pe-de, dan berani melakukannya, sebab resikonya yang besar.
Selanjutnya:
وَسَكَتَ عَنْ أشْيَاءَ : dan Dia telah mendiamkan berbagai hal
Yaitu Allah Ta’ala tidak melarang dan memerintahkannya, tidak Dia bahas dan jelaskan dalam kitabNya yang mulia.
Syaikh Ismail bin Muhammad Al Anshari Rahimahullah mengatakan:
فلم يحكم فيها بوجوب ولا حل ولا حرمة
Yaitu hal yang belum ditentukan hukumnya tidak disebut wajib, tidak pula halal, dan tidak juga haram. (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Hadits No. 30)
Selanjutnya:
رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ : sebagai kasih sayang bagi kalian, bukan karena Dia lupa
Allah Ta’ala tidak memberikan penjelasan terhadap berbagai hal adalah bentuk rahmatNya yang begitu luas, agar manusia menjadi lapang. DiamNya bukan karena Dia lupa, sebab Allah Ta’ala Maha Suci dari sifat-sifat yang mengandung aib dan cela seperti lupa. Kalimat ini merupakan penetapan terhadap Allah Ta’ala sebagai Ar Rahman di satu sisi, di sisi lain sebagai penafikan terhadap sifat aib dan cela, dan itu mustahil bagiNya, yakni lupa.
Imam Bukhari menulis dalam Shahih-nya, hadits nabi secara mu’alaq:
أَحَبُّ الدِّينِ إِلَى اللَّهِ الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ
Agama yang paling Allah cintai adalah yang hanif (lurus tauhidnya) dan samhah (membawa kelapangan). (Shahih Bukhari, Kitab Al Iman Bab Ad Diin Yusrun)
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ
Sesungguhnya agama itu mudah, dan tidak akan pernah seseorang bersikap keras dalam agama melainkan dia akan dikalahkan olehnya. (HR. Bukhari No. 39)
Selanjutnya:
فَلاَ تَبْحَثُوا عَنْهَا: maka janganlah kalian mengutak-atiknya (yang Allah diamkan itu)
Yaitu janganlah kalian mencari-cari apa yang didiamkanNya itu, jangan mempersoalkannya, sebab khawatir justru akan menyulitkan dirimu sendiri.
Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad menjelaskan:
أي: هناك أمور لم يأت النصُّ عليها في الكتاب والسنَّة، فلا يُشتغل في البحث عنها والسؤال عنها، وذلك مثل السؤال عن الحجِّ في كلِّ عام الذي أنكره الرسول على السائل، وقال: (( ذروني ما تركتكم؛ فإنَّما أهلك مَن كان قبلكم كثرة مسائلهم واختلافهم على أنبيائهم ))، وكالسؤال عن تحريم شيء لم يحرم، فيترتَّب عليه التحريم بسبب السؤال
Yaitu ada sejumlah perkara yang tidak tercatat dalam Al Quran dan As Sunnah, maka janganlah menyibukkan diri untuk mencarinya dan mempersoalkannya. Seperti pertanyaan tentang kewajiban haji pada setiap tahun, dan oleh Rasul telah diingkari si penanya hal tersebut. Dan, dia bersabda: (Biarkanlah saya meninggalkan apa yang saya tinggalkan buat kalian, sungguh binasanya orang-orang sebelum kalian adalah karena banyaknya pertanyaan mereka dan perselisihan mereka kepada para nabi mereka), seperti pertanyaan tentang pengharaman sesuatu yang tidak diharamkan, lalu hal itu menjadi haram karena adanya pertanyaan itu. (Fathul Qawwi Al Matin, Hal. 97)
Sekian. Wallahu A’lam.