عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ صَخْرٍ رَضِيَ الله تَعَالَى عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: (مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ؛ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلافُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ . رواه البخاري ومسلم
Dari Abu Hurairah Abdurrahman bin Shakr radhiallahu Ta’ala ‘anhu, dia berkata: “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Apa-apa yang saya larang bagi kalian, maka jauhilah, dan apa-apa yang saya perintahkan kepada kalian maka kerjakanlah semampu kalian. Sesungguhnya, binasanya kaum sebelum kalian karena banyaknya pertanyaan mereka dan perselisihan mereka terhadap nabi-nabi mereka.’” Diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim.
Makna Kalimat dan Kata
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ صَخْرٍ رَضِيَ الله تَعَالَى عَنْهُ قَالَ : dari Abu Hurairah Abdurrahman bin Shakr radhiallahu Ta’ala ‘anhu berkata
Imam Abu Nu’aim meriwayatkan dari Imam Muhammad bin Ishaq rahimahullah, katanya:
اسْمُ أَبِي هُرَيْرَةَ: عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ صَخْرٍ، مُخْتَلَفٌ فِي اسْمِهِ
“Nama Abu Hurairah adalah Abdurrahman bin Shakr, terjadi perbedaan pendapat tentang namanya.” (Imam Abu Nu’aim, Ma’rifatush Shahabah, 4/1846)
Imam An Nawawi rahimahullah menyebutkan:
اختلف فى اسمه اختلافًا كثيرًا جدًا. قال الإمام الحافظ أبو عمر بن عبد البر: لم يختلف فى اسم أحد فى الجاهلية ولا فى الإسلام كالاختلاف فيه. وذكر ابن عبد البر أيضًا أنه اختلف فيه على عشرين قولاً، وذكر غيره نحو ثلاثين قولاً، واختلف العلماء فى الأصح منها، والأصح عند المحققين الأكثرين ما صححه البخارى وغيره من المتقنين أنه عبد الرحمن بن صخر.
“Terjadi perselisihan pendapat yang sangat banyak tentang namanya. Al Imam Al Hafizh Abu Umar Ibnu Abdil Bar mengatakan: ‘Belum pernah terjadi pada masa jahiliyah dan masa Islam perbedaan masalah nama sebagaimana namanya.’ Ibnu Abdil Bar juga menyebutkan bahwa perbedaan ini ada dua puluh pedapat, yang lain mengatakan tiga puluh pendapat, dan para ulama berselisih pendapat mana yang paling benar. Dan, yang paling benar menurut mayoritas muhaqqiqin (peneliti) adalah apa yang dishahihkan oleh Al Bukhari dan lainnya dari kalangan ulama yang mutqin (teliti), bahwa namanya adalah Abdurrahman bin Shakhr.” (Tahdzibul Asma wal Lughat, No. 877. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah:
أكثر النّاس لايعرفون اسم أبي هريرة رضي الله عنه،ولهذا وقع الخلاف في اسم راوي الحديث،وأصحّ الأقوال وأقربها للصواب ما ذكره المؤلف رحمه الله أن اسمه:
عبد الرحمن بن صخر. وكنّي بأبي هريرة لأنه كان معه هرّة قد ألفها وألفته، فلمصاحبتها إيّاه كُنّي بها.
“Kebanyakan manusia tidak mengetahui nama Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, oleh karena itu terjadilah perbedaan pendapat tentang nama periwayat hadits ini, dan pendapat yang paling benar dan lebih dekat dengan kebenaran adalah yang disebutkan oleh penyusun kitab ini (Imam An Nawawi) rahimahullah bahwa namanya adalah: Abdurrahman bin Sakhr. Lalu, dia diberikan kun-yah (gelar) dengan Abu Hurairah karena dia memiliki seokor kucing (hirrah) yang senantiasa bersamanya, maka karena pertemanan itulah dia dijuluki dengan itu.” (Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin, Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 129. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Imam Adz Dzahabi rahimahullah menceritakan tentang Abu Hurairah:
“Dia adalah seorang Imam, Al Faqih (paham agama), Al Mujtahid, Al Hafizh, Seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa Sallam Abu Hurairah Ad Dausi Al Yamani (orang Yaman), pemimpinnya para Huffazh yang terpercaya. Terjadi banyak perbedaan pendapat pada namanya, namun yang benar adalah Abdurrahman bin Sakhr. Ada yang mengatakan namanya adalah: Ibnu Ghanam, ada juga: Abdusysyams, Abdullah. Ada yang mengatakan: Sikkiin. ada juga: ‘Aamir. Ada yang menyebut: Bariir. Ada yang menyebut: Abdu bin Ghanam. Ada juga: ‘Amru. Ada yang menyebut: Sa’id.
Disebutkan bahwa pada masa jahiliyah namanya adalah Abdusysyam, Abul Aswad. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggantinya dengan Abdullah, dan memberinya kun-yah: Abu Hurairah (Bapak si kucing kecil). Telah masyhur bahwa dia diberikan kun-yah dengan sebutan anak kucing.
Dia telah meriwayatkan banyak hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga dari banyak sahabat besar, seperti Abu Bakar, Umar, ‘Aisyah, Ubay, Usamah bin Zaid, Al Fadhl, Bashrah bin Abi Bashrah, dan lainnya. Sedangkan yang mengambil hadits darinya adalah para sahabat dan tabi’in, dikatakan; sampai 800 orang. Imam Bukhari mengatakan bahwa yang meriwayatkan hadits darinya ada 800 orang atau lebih.
Disebutkan bahwa kedatangan dan keislamannya adalah pada tahun ke tujuh, pada tahun Perang Khaibar. Qais berkata: bahwa Abu Hurairah mengatakan keada kami: “Saya bersahabat dengan nabi selama tiga tahun.” Sedangkan Hamid bin Abdurrahman Al Humairi mengatakan: “Dia menemani nabi selama empat tahun.” Kata Adz Dzahabi: “Inillah yang benar.” Abu Shalih mengatakan: “Abu Hurairah adalah sahabat nabi yang paling hafizh.”
Terjadi perbedaan para sejarawan kapan wafatnya. Al Waqidi menyebutkan Abu Hurairah wafat tahun 59 Hijriyah, usia 78 tahun.
Al Waqidi mengatakan Abu Hurairah menyalatkan wafatnya ‘Aisyah, yakni pada Ramadhan 58 Hijriyah, dan menyalatkan Ummu Salamah pada Syawal 59 Hijriyah.”
Abu Ma’syar, Dhamrah, Abdurrahman bin Maghra, Al Haitsam dan lainnya mengatkan, wafat tahun 58 Hijriyah.
Hisyam bin ‘Urwah mengatakan bahwa Abu Hurairah wafat tahun 57 Hijriyah, dua tahun sebelum wafatnya Mu’awiyah. Beliau wafat di Madinah dan dimakamkan di Baqi’. Wallahu A’lam (Lengkapnya lihat Siyar A’lamin Nubala, 2/578- 633)
Selanjutnya:
سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
Abu Hurairah adalah sahabat nabi yang paling banyak meriwayatkan hadits, walau kebersamaannya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya empat tahun. Abu Hurairah 5374 hadits, Ibnu Umar 2630 hadits, Anas bin Malik 2286 hadits, Aisyah Ummul Mukminin 2210 hadits, Ibnu ‘Abbas 1660 hadits, dan Jabir bin ‘Abdullah 1540 hadits.
Imam Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan:
أبو هريرة أحفظ مَن روى الحديث فى دهره
“Abu Hurairah adalah manusia paling hapal meriwayatkan hadits pada masanya.” (Imam An Nawawi, Tahdzibul Asma wal Lughat, No. 877)
Selanjutnya:
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ : apa-apa yang kalian saya larang darinya maka jauhilah
Yaitu sesuatu hal baik perkataan, perbuatan, atau apa saja yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa Sallam larang untuk kaum muslimin, maka jauhi, hindari, dan kesampingkan, baik larangan yang mendatangkan kekufuran, dosa besar, dosa kecil, atau perbuatan yang dapat merusak kepribadian (baca: makruh) walaupun tidak berdosa.
Syaikh Ismail Al Anshari rahmatullah ‘alaih mengatakan:
فاجتنبوه : باعدوا منه حتما في المحرم ، وندبا في المكروه .
“Maka jauhilah artinya dalam perkara yang diharamkan maka jauhilah, tidak bisa tidak. Ada pun dalam perkara makruh maka dianjurkan untuk tetap dijauhi.” (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, hadits No. 9)
Al Imam An Nawawi rahimahullah memberikan penjelasan sebagai berikut:
فَهُوَ عَلَى إِطْلَاقه ، فَإِنْ وَجَدَ عُذْر يُبِيحهُ كَأَكْلِ الْمَيْتَة عِنْد الضَّرُورَة ، أَوْ شُرْب الْخَمْر عِنْد الْإِكْرَاه ، أَوْ التَّلَفُّظ بِكَلِمَةِ الْكُفْر إِذَا أُكْرِهَ ، وَنَحْو ذَلِكَ ، فَهَذَا لَيْسَ مَنْهِيًّا عَنْهُ فِي هَذَا الْحَال . وَاَللَّه أَعْلَم .
“Ini adalah larangan secara mutlak (umum), lalu jika mendapatkan adanya uzur maka larangan itu dibolehkan seperti makan bangkai ketika keadaan darurat, atau minum khamr ketika terpaksa, atau mengucapkan kalimat yang kufur jika dipaksa, dan yang semisalnya. Maka, hal ini tidaklah termasuk yang dilarang dalam keadaan seperti itu. Wallahu A’lam” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 4/499. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Selanjutnya:
وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ: dan apa-apa yang saya perintahkan kepada kalian maka kerjakanlah semampu kalian
Yaitu perintah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kaum muslimin hendaknya dilaksanakan sebagai bukti ketaatan dan kecintaan kepadanya, ada pun jika ada perintahnya yang diluar kesanggupan umatnya, maka lakukanlah sejauh kemampuannya itu. Seperti kewajiban haji yang dibatasi oleh keadaan istitha’ah (kemampuan/kesanggupan) finansial dan kesehatan, kewajiban zakat yang dibatasi oleh nishab (batas minimal harta yang dizakati), kewajiban shalat jumat yang tidak berlaku bagi musafir, orang sakit, orang yang mengalami rasa takut dari musuh, hujan deras, anak-anak, dan wanita. Dan, masih banyak contoh lainnya.
Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah menerangkan tentang perbedaan kedudukan larangan dan perintah dalam hadits ini:
والفرق بين المنهيات والمأمورات: أن المنهيّات قال فيها: فَاجْتَنِبُوهُ ولم يقل ما استطعتم، ووجهه: أن النهي كف وكل إنسان يستطيعه، وأما المأمورات فإنها إيجاد قد يستطاع وقد لا يستطاع، ولهذا قال في الأمر: فأتُوا مِنْهُ مَا استَطَعتُمْ
“Perbedaan antara perkara larangan dan perkara perintah adalah bahwa pada larangan terdapat perkataan: maka jauhilah, tidak dikatakan semampu kalian, sebabnya adalah karena larangan adalah menahan diri dan setiap manusia mampu melakukannya. Ada pun perkara perintah ada yang mampu menjalankannya dan ada yang tidak mampu, oleh karena itu beliau bersabda terhadap perintah: laksanakan sesuai kemampuanmu.” (Syarhul Arbain An Nawawiyah, Hal. 130)
Sementara Syaikh Ismail bin Muhammad Al Anshari rahimahullah menjelaskan lebih detil lagi:
أن النهي أشد من الأمر ، لأن النهي لم يرخص في ارتكاب شيء منه ، وأمر قيد بالاستطاعة ، ولهذا قال بعض السلف : أعمال البر يعملها البار والفاجر ، والمعاصي لا يتركها إلا صديق .
أن العجز عن الواجب أو عن بعضه مسقط للمعجوز عنه ، لأن الله لا يكلف نفسا إلا وسعها ، إلا أن المعجوز عنه إن كان له بدل فأتى به فقد أتى بما عليه ، كمن عجز عن القيام في الصلاة فانتقل إلى الصلاة قاعدا ، أو على جنب ، وإن عجز عن أصل العبادة فلم يأت بها كالمريض يعجز عن الصيام سقطت عنه المباشرة حالة العجز ، ووجب عليه القضاء بعده . وقد يكون الوجوب منوطا بالقدرة حالة الوجوب فقط ، فإذا عجز عنه سقط رأسا كزكاة الفطر لمن عجز عن قوته وقوت عياله
“Sesungguhnya larangan itu lebih ditekankan dibanding perintah, karena larangan sedikit pun tidak memiliki rukhshah (keringanan/dispensasi) dalam melakukannya, sedangkan perintah terikat oleh kemampuan. Oleh karena itu sebagian salaf mengatakan: Perbuatan baik dilakukan oleh orang baik dan orang jahat, sedangkan maksiat tidak ada yang bisa meninggalkannya kecuali oleh yang benar (shiddiq).
Sesungguhnya kelemahan terhadap hal yang wajib atau sebagiannya membuat kewajiban itu gugur baginya, karena Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai kesanggupannya, kecuali jika dia memiliki penggantinya yang bisa dia lakukan, maka dia mesti menjalankan alternatifnya itu. Seperti orang yang tidak mampu shalat dengan berdiri maka dia boleh menggantinya dengan sambil duduk, atau berbaring. Jika seorang begitu lemah menjalankan ibadah, dan tidak mampu sama sekali menjalankannya seperti orang sakit yang lemah dari puasa, maka kewajiban itu gugur dalam keadan demikian, dan dia wajib mengqadhanya setelah itu. Menjalankan kewajiban bergantung pada keadaan mampu menjalankannya saja, jika dia tidak mampu maka gugurlah dia, seperti zakat fitri bagi orang yang tidak mampu mencukupi makanan pokoknya dan keluarganya.” (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Hadits No. 9)
Selanjutnya:
فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ: Sesungguhnya binasanya kaum sebelum kalian karena banyaknya pertanyaan mereka
Yaitu janganlah kalian seperti umat sebelum kalian baik Yahudi, Nasrani dan selain mereka, yang telah banyak bertanya hal yang tidak bermanfaat dan menyulitkan diri sendiri, yang akhirnya membawa kebinasaan bagi mereka sendiri, dan ini telah dijelaskan pada pembahasan di awal. Ada pun pertanyaan yang memang mesti diutarakan untuk mengetahui pemahaman terhadap agama dan perkara dunia yang bermanfaat, bukanlah termasuk pertanyaan yang tercela.
Syaikh Ismail Al Anshari mengatakan:
وقد قسم العلماء السؤال إلى قسمين : أحدهما _ ما كان على وجه التعليم لما يحتاج إليه من أمر الدين ، فهذا مأمور به لقوله تعالى : ( فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون ) وعلى هذا النوع تتنزل أسئلة الصحابة عن الأنفال والكلالة وغيرهما . والثاني _ ما كان على وجه التعنت والتكلف وهذا هو المنهي عنه .
“Para ulama telah membagi pertanyaan menjadi dua jenis. Pertama, pertanyaan dengan kepentingan untuk mengetahui hal yang dibutuhkan berupa urusan agama. Ini justru diperintahkan karena Allah Ta’ala berfirman: (Bertanyalah kepada ahludz dzikr jika kalian tidak mengetahui), dan pada jenis inilah turunnya pertanyaan para sahabat tentang Al Anfal (rampasan perang), Kalaalah, dan selain keduanya. Kedua, pertanyaan dengan kepentingan untuk menyakiti dan memberatkan, dan inilah yang dilarang.” (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Syarah hadits No. 9)
Pertanyaan yang tidak bermanfaat, mengada-ada, dan untuk menyusahkan telah dilakukan oleh Bani Israil terhadap Nabi Musa ‘alaihissalam. Sebenarnya mereka tidak ingin bertanya melainkan untuk menunda-nunda perintah agar perintah itu teranulir. Tapi karena kecerdasan dan kesabaran Nabi Musa ‘alaihissalam, akhirnya mereka menjalankan perintah tersebut.
Allah Ta’ala menceritakan:
Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina.” Mereka berkata: “Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?” Musa menjawab: “Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil.”
Mereka menjawab: ” Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia menerangkan kepada kami; sapi betina apakah itu.” Musa menjawab: “Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu.”
Mereka berkata: “Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami apa warnanya.” Musa menjawab: “Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya.”
Mereka berkata: “Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu, karena sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi kami dan sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu).”
Musa berkata: “Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya.” Mereka berkata: “Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya.” Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu. (QS. Al Baqarah, 2: 67-71)
Imam Muslim telah meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu katanya:
أَنَّ النَّاسَ سَأَلُوا نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى أَحْفَوْهُ بِالْمَسْأَلَةِ فَخَرَجَ ذَاتَ يَوْمٍ فَصَعِدَ الْمِنْبَرَ فَقَالَ سَلُونِي لَا تَسْأَلُونِي عَنْ شَيْءٍ إِلَّا بَيَّنْتُهُ لَكُمْ فَلَمَّا سَمِعَ ذَلِكَ الْقَوْمُ أَرَمُّوا وَرَهِبُوا أَنْ يَكُونَ بَيْنَ يَدَيْ أَمْرٍ….
“Sesungguhnya manusia bertanya kepada Nabiyullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai mereka menjejalinya dengan pertanyaan, lalu dia keluar pada suatu hari dan naik ke mimbar, lalu bersabda: ‘Bertanyalah kepadaku, tidaklah kalian bertanya kepadaku melainkan akan aku jelaskan.’ Ketika mendengar hal itu, maka kaum itu terdiam dan mereka takut menyusahkan dirinya dengan suatu hal…..’”
Imam Muslim juga meriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu:
سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَشْيَاءَ كَرِهَهَا فَلَمَّا أُكْثِرَ عَلَيْهِ غَضِبَ ثُمَّ قَالَ لِلنَّاسِ سَلُونِي عَمَّ شِئْتُمْ فَقَالَ رَجُلٌ مَنْ أَبِي قَالَ أَبُوكَ حُذَافَةُ فَقَامَ آخَرُ فَقَالَ مَنْ أَبِي يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَبُوكَ سَالِمٌ مَوْلَى شَيْبَةَ فَلَمَّا رَأَى عُمَرُ مَا فِي وَجْهِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الْغَضَبِ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَتُوبُ إِلَى اللَّهِ
وَفِي رِوَايَةِ أَبِي كُرَيْبٍ قَالَ مَنْ أَبِي يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَبُوكَ سَالِمٌ مَوْلَى شَيْبَةَ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang segala hal yang dia tidak menyukainya. Ketika pertanyaan itu semakin banyak maka dia marah. Lalu berkata kepada manusia: ‘Bertanyalah kepadaku sesuai kehendak kalian.’ Maka ada laki-laki bertanya: ‘Siapa ayahku?’ Beliau bersabda: ‘Ayahmu Hudzafah.’ Yang lain berdiri dan bertanya: ‘Ayah saya siapa ya Rasulullah?’ Beliau bersabda: ‘Ayahmu Salim pelayannya Syaibah.’ Tatkala Umar melihat di wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ada kemarahan, beliau berkata: ‘Wahai Rasulullah kami bertobat kepada Allah.’” Dalam rwayat Abu Kuraib, dia berkata: ‘Siapakah ayah saya ya Rasulullah?’ Beliau bersabda: ‘Ayahmu Salim pelayannya Syaibah.’”
Imam Abul Abbas Al Qurthubi rahimahullah mengatakan:
وقوله : (( فلما أُكْثِرَ عليه غضب )) ؛ يحتمل أن يكون غضب النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ من إكثارهم عليه من المسائل ؛ فإنَّ ذلك : يُقلِّل حرمة العالم ، ويُجرئ على الإقدام عليه ، فتذهب أبهة العالم ، ووقاره ، فإنَّه إذا كثرت المسائل : كثرت الأجوبة ، فحصل جميع ما ذكرناه من المفاسد. ويحتمل أن يكون غضبُه بسبب أنه تحقَّق أنَّه كان هنالك من يسأل تعنيتًا وتبكيتًا ، قصدًا للتعجيز والتنقيص ، كما كان يفعل المنافقون ، واليهود ، ويدلُّ على هذا قوله : (( سلوني ، سلوني ، فوالله لا تسألوفي عن شيء إلا أخبرتكم به ما دمت في مقامي هذا )) ؛ فإنَّ هذا يصلح أن يكون جوابًا لمن قصد التعجيز والتبكيت حتى يبطل زعمه ، ويظهر خرقه وذمه
“Ucapan (Ketika pertanyaan itu semakin banyak maka dia marah) bermakna bahwa terjadinya marah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantaran banyaknya pertanyaan mereka kepadanya. Karena yang demikian itu mengurangi kehormatan ulama, menyerobot apa yang menjadi haknya, serta menghilangkan kebesaran dan kewibawaan ulama. Sesungguhnya jika banyak pertanyaan maka banyak pula jawabannya, maka hal itu akan mendatangkan kerusakan-kerusakan seperti apa yang telah kami sebutkan. Marahnya beliau juga bisa dimungkinkan karena mendeteilnya pertanyaan itu, yang disitu orang bertanya hendak menyulitkan dan mengacaukan, dengan maksud untuk melemahkan dan mengurangi (kewibawaan), sebagaimana yang dilakukan orang-orang munafik dan Yahudi. Hal itu ditunjukkan oleh sabdanya: (Bertanyalah kepadaku, bertanyalah kepadaku, Demi Allah, tidaklah kalian bertanya kepadaku tentang sesuatu melainkan saya akan menjelaskannya kepada kalian selama saya masih di tempat ini). Maka, yang seperti ini patut diberikan jawaban bagi orang yang bertujuan melemahkan dan mengacaukan, sehingga lenyaplah dugaan mereka itu, serta nampak kebohongan dan cacatnya.” (Al Mufhim Lima Asykala min Talkhishi Kitabi Muslim, 19/76. Maktabah Al Misykat)
Selanjutnya:
وَاخْتِلافُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ : dan perselisihan mereka terhadap nabi-nabi mereka
Yaitu yang membuat umat terdahulu binasa adalah juga karena mereka menyalahi aturan para nabi mereka sendiri, baik berupa perkataan dan perbuatan, yang nampak dan yang tersembunyi. Hal ini jika dilakukan oleh umat Islam terhadap Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam maka mereka akan mengalami apa yang dialami umat-umat terdahulu.
Nabi katakan haram mencaci maki sesama muslim, tapi kita teramat sering mencaci maki muslim lainnya. Nabi katakan setiap khamr adalah haram, tapi kita mengatakan ‘halal’ karena minumnya tidak sampai memabukkan. Nabi contohkan pezina mesti dihukum rajam, tapi justru manusia melindungi para pezina dengan alasan itu urusan pribadi mereka, tidak merugikan orang lain, rekaman yang mereka buat untuk koleksi pribadi, dan segudang alasan lainnya, bahkan lucunya pelaku perzinaan disebut sebagai korban! Dan masih sangat banyak contoh penentangan umat Islam saat ini, baik perkataan dan perbuatan, terhadap apa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan.
Syaikh ‘Utsaimin mengatakan:
وقوله: عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ وذلك بالمعارضة والمخالفة، وهذا كقوله صلى الله عليه وسلم في الإمام: إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤتَمَّ بِهِ فَلاَ تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ ولم يقل: فلا تختلفوا عنه، وهكذا في هذا الحديث قال: اختلافهم على أنبيائهم ولم يقل:عن أنبيائهم، لأن كلمة (على) تفيد أن هناك معارضة للأنبياء.
“Sabdanya (terhadap nabi-nabi mereka) artinya adalah pertentangan dan perselisihan. Hal ini seperti Sabdanya shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang imam: ‘Sesungguhnya imam dijadikan untuk diikuti, maka janganlah kalian berselisih terhadapnya (‘alaih).’ Tidak dikatakan: ‘Janganlah kalian berselisih darinya (‘anhu).’ Begitu pula dalam hadits ini: ‘Perselisihan mereka terhadap nabi-nabi mereka, karena kata ‘ala (atas/terhadap) membawa faidah bahwa di situ terdapat pertentangan terhadap para nabi.’” (Syarhul Arbain An Nawawiyah, Hal. 131)
Wallahu A’lam