Dalam konsepsi Islam, kepemimpinan dan pelayanan itu tidak terpisahkan. Keduanya merupakan suatu hal yang menyatu.
Jama’ah dakwah kita ini adalah harakah dakwah atau harakah Islamiyah, tapi salah satu sisinya adalah jam’iyyah khairiyah, yang artinya adalah pelayanan. Kepemimpinan umat ini harus diraih melalui kepiawaian dan kepeloporan kita dalam pelayanan. An-naasu yuwalluuna ‘ala man khadamahum—manusia itu berwala’ kepada mereka yang melayaninya. Yang paling banyak melayani, paling banyak mendapatkan loyalitas.
Bahkan dalam konsepsi pemerintahan dalam Islam pun hukumah-nya adalah hukumah khidamiyah, pemerintah pelayanan. Konsep daulah khidamiyah, negara pelayanan, baru ditemukan oleh negara-negara Barat pada abad ke-20.
Padahal konsepsi Islam dari awal ta’sisnya, negara itu bernama negara pelayanan. Lihatlah bagaimana kata-kata Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu ketika menyatakan, “Jika ada keledai terperosok di Iraq, sayalah yang bertanggung jawab.” Soal keledai dia merasa bertanggung jawab; khalifah memikul tanggung jawab, kepala negara memikul tanggung jawab. Sekarang ribuan orang terperosok, tertimpa bencana, mengalami malapetaka—di saat seperti ini mencari orang yang tampil dengan karya-karya yang bertanggung jawab agak sulit.
Alhamdulillah, kader-kader kita—ikhwan dan akhwat—selalu menjadi shahibul mubadarah, yang berinisiatif pertama hadir di tengah-tengah bencana, di tengah-tengah musibah; yang paling cepat hadir di tengah-tengah musibah umat, di tengah-tengah bangsa. Itulah yang paling layak memimpin bangsa ini.
Tak lama lagi—insya Allah—jika kader-kader kita telah tampil sebagai rijalud daulah, maka ia harus menjadikan institusi publik itu sebagai lembaga pelayanan. Kita sudah punya beberapa kader yang mulai tampil di kabinet, walikota, kepala daerah, bupati, wakil gubernur, dan seterusnya.
Dalam pelayanan secara ‘amaliyan, alhamdulillah ikhwan dan akhwat hampir terkendali. Oleh karena itu saya hanya ingin menggaris bawahi bahwa pelayanan yang efektif dan efisien itu harus memenuhi lima persyaratan.
Pertama, keikhlasan dalam pelayanan. Orang ikhlas itu tidak pernah milih-milih siapa yang dilayani. Kapan melayani tidak pernah milih-milih. Umar bin Khattab pernah di musim panas, di tengah terik matahari, terlihat berlari-lari dan lewat di depan rumah Utsman, ternyata ia sedang mencari-cari onta zakat yang lepas. Utsman bertanya kenapa khalifah mengejar sendiri, tidak menyuruh orang lain saja. Umar menjawab bahwa yang akan ditanya di hari kiamat bukanlah orang lain, tapi dirinya.
Jadi, tidak milih-milih—hanya melayani yang enak-enak saja, yang ada rentabilitasnya. Kalau tidak ada rentabilitas atau tidak ada timbal baliknya, jadi hilang semangatnya.
Kalau kita melihat ada orang yang memerlukan layanan kita, dan kita tahu bahwa dia minadh dhuafa, kita harus ingat, jangan-jangan orang itu diutus oleh Allah untuk menguji kita. Di balik pelayanan kepada dia, sebetulnya rizki Allah akan datang bergelombang. Kita pun sudah banyak menerima karunia Allah. Makanya kata Allah, wa ahsin kama ahsanallahu ilaik—berbuat baiklah sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu. Betapa banyak ihsan Allah kepada kita, belum kita counter dengan ihsan kita kepada ibadallah (hamba-hamba Allah).
Kedua, kecepatan dalam pelayanan. Karena dalam musibah itu yang teras sebagai pukulan telak adalah pukulan pertamanya. Kalau sudah berhari-hari, orang sudah mulai beradaptasi dengan kesulitannya. Jadi yang paling diingat adalah yang datang pertama. Menolong di saat hari pertama musibah. Makanya dalam sistem rescue, ada yang disebut 24 jam emas untuk menolong—arba’ wa isyrin sa’ah dzahabiyah lil ighatsiyah.
Jadi kecepatan dalam pelayanan itu amat sangat penting dalam memberikan kesan dan pengaruh—ta’tsir ma’nawi, fikri, ukhrawi, dan dunyawi.
Ketiga, ketepatan. Jadi—ikhlas, cepat, dan tepat. Jangan sampai kita cepat datang tapi tidak tepat; ada orang patah kakinya, misalnya, tapi kita suapi dulu. Padahal biasanya orang dalam kondisi seperti itu boro-boro ingat makan, inginnya dirawat dulu lukanya. Jadi kecepatan dan ketepatan itu penting.
Keempat, kualitas pelayanan. Orang-orang yang sedang terkena musibah atau sedang membutuhkan itu posisinya yadus sufla (tangan di bawah). Kita yadul ‘ulya (tangan di atas). Jangan sampai pelayanannya asal-asalan, bahkan mengecewakan. Ihsan dalam pelayanan, kualitas pelayanan yang baik itu sangat penting.
Kelima, kesinambungan. Alhamdulillah kader-kader kita di lapangan sudah merancang strategi yang bagus. Di awal-awal rescue, kita mengobati, mengirim sembako, membantu kebutuhan-kebutuhan primer dan dasar. Begitu anggaran pemerintah mulai datang, kita sudah mengalihkan sistem pelayanan kita kepada penyuluhan, khidmah ta’limiyah, khidamat irsyadiyah, kepada bimbingan, konsultasi—khidmah istisyariyah—sehingga ada kesinambungan.
Bahkan dengan itu bisa menghasilkan orang-orang yang kemudian menjadi potensi dakwah, menjadi bagian dari gerakan dakwah ini. Bermula dari alaqah ighatsiyah (interaksi pertolongan), akhirnya biusa berkembang menjadi ‘alaqah da’awiyah (interaksi dakwah). Bahkan ‘alaqah harakiyah (interaksi dengan gerakan) dan ‘alaqah tanzhimiyah (interaksi dengan struktur dakwah).
Maka pelayanan kita menjadi bagian dari tajnid dakwah (pengkaderan dakwah) kita untuk merealisir li i’la-i kalimatillahi hiyal ‘ulya…