Pengumuman yang disampaikan oleh presiden AS Joe Biden dan perdana menteri Irak Musthafa Kadhimi untuk mengakhiri misi tempur AS di Irak telah memperburuk hubungan antar milisi pro-Iran di Irak.
Kesepakatan Biden dan Kadhimi menyebabkan Dewan Koordinasi Untuk Perlawanan sebagai lembaga pemersatu fraksi-fraksi milisi bersenjata yang pro-Iran menuju perpecahan setelah terjadinya perbedaan pendapat tajam antara fraksi-fraksi tersebut dalam menyikapi pengumuman yang disampaikan Biden dan Kadhimi.
Sejak dua hari lalu, para pemimpin dari fraksi-fraksi tersebut telah melakukan pertemuan-pertemuan untuk membahas sikap yang perlu diambil, namun semuanya berakhir tanpa mencapai kesepakatan dikarenakan sikap sebagian fraksi yang tetap ingin menyerang kepentingan AS di Irak sementara yang lainnya mengusulkan gencatan bersenjata dengan militer AS di Irak.
Dewan Koordinasi Untuk Perjuangan tersebut didirikan beberapa bulan yang lalu untuk saling berkoordinasi dalam aksi politik dan militer di lapangan baik di Irak dan Suriah. Dewan yang terdiri dari Kataeb Hizbullah, Kataeb Sayyid Al-Shuhada, Asha’i Ahl Al-Haq, Harakat Al-Nujaba dan fraksi-fraksi lainnya punya hubungan langsung dengan Islamic Revolutionary Guard Corps Iran.
Sebuah sumber dari tokoh salah satu fraksi yang tidak ingin disebutkan namanya dan hadir dalam pertemuan tersebut mengatakan kepada media Asharq Al-Awsat bahwa kelompok Kataeb Hizbullah menganggap bahwa strategi dialog sama sekali tidak akan bisa membuat tentara AS ditarik sepenuhnya dari Irak. Fraksi tersebut juga menganggap bahwa ungkapan ‘mengakhiri misi tempur AS di Irak’ adalah permainan kata-kata untuk menutupi fakta sebenarnya yaitu tetap bercokolnya tentara asing di Irak.
Berdasarkan informasi dari berbagai sumber, tiga pertemuan yang dilakukannya oleh Dewan Koordinasi Untuk Perlawanan berakhir dengan perang kata-kata antara Pemimpin Kataeb Hizbullah yang dikenal dengan Abu Husain Al-Hamidawi yang tetap ingin menyerang kepentingan AS di Irak serta serta fraksi-fraksi lain yang mengusulkan dialog dan gencatan bersenjata bersyarat.
Presiden AS Joe Biden dan Perdana Menteri Irak Mustafa al-Kadhimi hari Senin (26/7) menyepakati sebuah perjanjian. Kesepakatan itu secara resmi mengakhiri misi tempur AS di Irak sebelum akhir 2021, lebih dari 18 tahun setelah tentara AS dikerahkan ke negara itu. Namun kesepakatan itu tidak menyebutkan bahwa militer AS akan sepenuhnya ditarik dari Irak. Saat ini masih ada 2.500 tentara AS di Irak yang tidak ditarik ke AS meskipun misi tempur sudah diakhiri. Peran mereka akan bergeser sepenuhnya ke pelatihan dan menasihati militer Irak untuk membela diri. Keberadaan militer AS yang tidak ditarik ini kemudian memunculkan kecaman dari milisi-milisi Syi’ah bersenjata yang pro-Iran di Irak.
Sumber: Asyarq Al-Awsat