(218 H – 227 H / 833 – 842 M)
Dia bernama Abu Ishaq Muhammad bin Ar-Rasyid bin Al-Mahdi bin Al-Manshur. Lahir tahun 179 H/795 M. Ibunya seorang ummu walad yang bernama Maridah.
Selama kekhalifahan Al-Makmun, Al-Mu’tashim menjabat gubernur wilayah Syam dan Mesir. Ia diangkat oleh Khalifah Al-Makmun sebagai putra mahkota pada hari meninggalnya. Selanjutnya Al-Mu’tashim dibaiat menjadi khalifah pada bulan Rajab 218 H / Agustus 833 M hingga wafatnya di Kota Samara pada 18 Rabi’ul Awwal 227 H/ 8 Januari 842 M.
Al-Mutsammin
Para ahli sejarah ada yang menyebut Al-Mu’tashim dengan Al-Mutsammin atau sang Delapan. Karena ia sangat akrab dengan angka delapan. Al-Mu’tashim menjabat khalifah ke-8 Bani Abbasiyah. Ia wafat dalam usia 38 tahun. Masa pemerintahannya menurut kalender Hijriyah berusia 8 tahun 8 bulan dan 8 hari. Ketika wafat, ia meninggalkan 8 putra dan 8 putri.
Para Pemimpin di Masa Pemerintahan Al-Mu’tashim
- Khalifah Andalusia: Abdurrahman II bin Al-Hakam bin Hisyam bin Rabi’ (206-238 H/821-852 M)
- Khalifah Adarisah/Maghribul Aqsha: Muhammad bin Idris (213-221 H/828-836 M)
- Amir Aghalibah di Ifriqiya: Ziyadatullah bin Ibrahim bin Al-Aghlab (201-223 H/ 816-837 M), Al-Aghlab bin Ziyadatullah (223-226 H/837-840 M), Muhammad bin Al-Aghlab bin Ziyadatullah (226-242 H/840-856 M)
- Amir Yaman: Muhammad bin Ibrahim Az-Zayyadi yang diangkat Al-Makmun (213-245 H/828-859 M)
- Amir Khurasan: Abdullah bin Thahir yang diangkat Al-Makmun (213-230 H/828-844 M)
- Raja Romawi: Theophilos (829-842 M)
- Raja Perancis: Louis I The Lion (814-840 M), Charles (840-877 M)
Para Menteri Al-Mu’tashim
- Al-Fadhl bin Marwan bin Masarkhas (seorang nasrani dari kota Bardan), ia pada akhirnya dipecat terkait penyimpangan keuangan negara. Hingga Al-Mu’tashim menyita 1 juta dinar dan barang-barang senilai 1 juta dinar.
- Ahmad bin Ammar Al-Khurasani
- Muhammad bin Abdil Malik Az-Zayyat
- Ahmad bin Abi Daud Al-Iyadi, ia diangkat menjadi hakim agung. Pendapatnya sangat didengar oleh khalifah.
Para Pejabat dari Kalangan Budak-budak Turki
Khalifah Al-Mu’tashim begitu mengandalkan budak-budak Turki, hampir sebagian besar di antara mereka dimasukkan ke dalam jabatan-jabatan penting dan strategis. Diantaranya adalah:
- Ashinas yang diangkat sebagai Gubernur Mesir di Tahun 220 H/835 M, kemudian diperluas wilayah kekuasaannya mencakup wilayah Al-Jazirah (Suriah dan Irak Utara).
- Al-Afshin yang diangkat sebagai Jenderal Perang Abbasiyah di Tahun 220 H/835 M, kemudian divonis penjara sampai meninggal dunia atas tuduhan pengkhianatan dan upaya kudeta.
- Ja’far bin Dinar yang ditunjuk sebagai Gubernur Yaman, kemudian digantikan oleh Aytakh.
Di masa mendatang, pelan-pelan hal itu berubah menjadi masalah serius, sebab tidak ada khalifah yang mampu menunjukkan kapasitas kepemimpinan yang setara dengan Al-Mu’tashim, sampai akhirnya, para khalifah Abbasiyah keturunan Al-Mu’tashim menjadi bahan bulan-bulanan oleh para komando militer Turki, sehingga bisa mengendalikan situasi politik sesuka hati mereka.
Tribulasi Kepada Para Ulama
Di awal masa pemerintahannya, Al-Mu’tashim meneruskan warisan kebijakan Al-Makmun. Salah satunya adalah tentang fatwa kemakhlukan Al-Qur’an yang dianut oleh aliran Mu’tazilah. Semua orang dipaksa untuk mempercayai pemahaman ini, barang siapa yang menolak atau tidak sepaham dengannya, maka akan dijatuhi hukuman berat. Salah satu ulama fiqh termasyhur, Ahmad bin Hanbal juga turut menentang fatwa ini, dan akhirnya dia dijatuhi hukuman cambuk sampai pingsan pada Tahun 220 H/835 M.
Kaum Alawiyyin Di Masa Al-Mu’tashim
Syiah Imamiyah:
Pada masa awal kekhalifahan Al-Mu’tashim, tahun 220 H Muhammad bin Al-Jawad bin Ali Ar-Ridha (Imam ke-9) wafat dalam usia 25 tahun. Lalu istrinya, Ummul Fadhl binti Al-Makmun, dibawa ke istana pamannya, Al-Mu’tashim. Lalu jabatan Imamah dipegang oleh anaknya, yaitu Abul Hasan Al-Hadi, umurnya saat itu baru 7 tahun.
Syiah Zaidiyah:
Muhammad bin Al-Qasim bin Ali bin Umar bin Ali bin Al-Husain bin Ali memberontak kepada Al-Mu’tashim. Setelah mengalami beberapa kali peperangan ia melarikan diri dan tertangkap dan dipenjara di Samara pada 219 H/834 M. Ia berhasil melarikan diri dari penjara, setelah itu tidak diketahui rimbanya. Para pengikutnya meyakini ia akan kembali untuk memenuhi bumi dengan keadilan. Keyakinan tersebut bertahan sampai 232 H/846 M.
Tentara Non Arab
Pada masa Khalifah Al-Mu’tashim, tentara non Arab semakin diperkuat. Ia memiliki pasukan orang-orang Turki yang kuat dan begitu dibanggakan di atas orang-orang Arab. Orang Arab bahkan disingkirkan dari daftar pasukan resmi.
Dibentuk pula pasukan Mesir, Yaman, dan Qais yang ia namakan Mugharibah. Didatangkan pula orang-orang Ferghana dan Asyurana. Mereka semua adalah orang-orang ajam yang berwatak keras dan tidak disenangi penduduk pribumi.
Membangun Kota Samarra
Pada 221 H/836 M, Khalifah Al-Mu’tashim membangun kota baru untuk menempatkan tentara dari kalangan non Arab, maka berdirilah kota Samara, yang berasal dari kata Sarra Man Ra’a (menggembirakan orang yang melihatnya).
Sejak itu, pusat pemerintahan Bani Abbasiyah dipindahkan ke kota Samara yang semula berada di Baghdad.
Memberantas Ajaran Babak Khurmi
Pengikut ajaran Babak Khurmi memberontak dan membuat keonaran sejak tahun 211 H/826 M, mereka berkoalisi dengan Byzantium untuk melemahkan kekhalifahan Abbasiyah.
Di Tahun 222 H/837 M, Panglima Afshin melakukan serangan dan menaklukan Benteng Al-Badhdh yang menjadi tempat pertahanan sekte ajaran Babak Khurmi. Ia berhasil diringkus oleh Panglima Ibnu Sunbat. Lalu, diserahkan kepada Panglima Afshin untuk digelandang menuju ke Samara dan dihukum mati pada 223 H/838 M.
Kemajuan Ilmu Pengetahuan Pada Masa Al-Mu’tashim
Khalifah Al-Mu’tashim meneruskan kebijakan-kebijakan Al-Makmun sebagaimana sebelumnya, ia menggaet banyak penulis dan cendekiawan untuk melakukan penerjemahan dan penelitian, lalu karya-karyanya disebarluaskan ke segala penjuru negeri Abbasiyah. Kota Baghdad tetap menduduki sebagai pusat pembelajaran paling utama sepanjang masa pemerintahannya.
Cendekiawan Pada Masa Al-Mu’tashim
- Ahmad bin Abdullah Habasy Al-Hasib Marwazi, seorang astronom, geografer, sekaligus matematikawan asal Khurasan.
- Al-Jahiz, seorang cendekiawan terkemuka asal Afrika Timur yang menghasilkan karya-karya literatur di bidang Arab, biologi, zoologi, sejarah, filsafat, psikologi, dan teologi keagamaan.
- Al-Kindi, ilmuwan filsuf dan matematikawan asal Arab yang melahirkan karya-karya literatur tentang metafisika, etika, logika dan psikologi, hingga ilmu pengobatan, farmakologi, matematika, astrologi dan optik, juga meliputi topik praktis seperti parfum, pedang, zoologi, kaca, meteorologi dan gempa bumi.
- Ahmad Al-Farghani, sosok ilmuwan astronom modern asli Arab.
- Salmawaih bin Bunan, dokter pribadi Khalifah Al-Mu’tashim yang beragama nasrani, sekaligus penerjemah beberapa karya literatur tentang kesehatan.
- Ibnu Masawayh, dokter istana yang beragama Nasrani sekaligus penerjemah karya-karya literatur Yunani, teutama tentang bidang medis.
Bentrokan dengan Romawi
Raja Theopilos berupaya membebaskan kerajaannya dari kewajiban membayar upeti, ia memasuki Zabitharah, membunuh kaum lelaki dan menawan kaum perempuan serta membakar habis isi kota. Dalam penyerbuan ke kota itu, pasukan Byzantium bertindak buas. Mereka mencungkili mata dan memotong hidung serta telinga mereka.
Al-Mu’tasim bergerak, menyambut seruan seorang budak muslimah dengan lafadz yang legendaris: waa mu’tashimaah!
Pasukan Abbasiyah kemudian berhasil menguasai Kota Damizon, Capadocia, Ancyra yang merupakan pusat perdagangan dan urat nadi kekuatan Byzantium Romawi. Tiga kelompok pasukan yang dibagi oleh Al-Mu’tashim akhirnya memasuki dan menguasai Amoria, 3.000 pasukan Romawi binasa, dan 30.000 sisanya ditawan. Ini terjadi pada 6 Ramadhan 223 H/5 Agustus 838 M
Persekongkolan yang Gagal
Terjadi persekongkolan diantara sebagian panglima militer bersama Al-Abbas bin Al-Makmun untuk membunuh khalifah Al-Mu’tashim. Para panglima yang terlibat adalah golongan pasukan Baghdad (pasukan inti pada masa khalifah Al-Ma’mun) yang merasa tersisih oleh pasukan Turki dan non Arab.
Namun konspirasi ini gagal, karena Khalifah Al-Mu’tashim segera menangkap dan menghukum mereka. Al-Abbas dipenjara dan wafat karena beratnya siksaan.
Pengkhianatan Al-Afshin
Al-Afshin sebenarnya adalah seorang pangeran dari Kerajaan Ashrosna. Wilayah kerajaannya dulunya berada di daerah Turkistan atau Transoxiana dan sekitarnya (mencakup Turkmenistan, Uzbekistan, Tajikistan, dan Kyrgistan). Dia berusaha mencari cara untuk mendirikan kembali Kerajaan Ashrosna. Afshin sering menyisihkan sebagian pemberian khalifah untuk diberikan kepada rakyat Ashrosna.
Karena upaya pengkhianatannya itu, Al-Afshin dijebloskan ke penjara. Dia divonis dengan hukuman cambuk sebanyak 400 kali di hadapan publik pada Tahun 226 H/841 M.
Rencana Menaklukkan Andalusia
Di awal Tahun 227 H/842 M, Khalifah Al-Mu’tashim Billah tengah mempersiapkan segala keperluan yang dibutuhkan bagi angkatan perangnya untuk menaklukkan Andalusia (Spanyol). Sayangnya, dia tiba-tiba mendengar kabar meletusnya pemberontakan di Suriah yang didalangi oleh Abu Harb As-Sufyani (tokoh Bani Umayyah) bersama 100.000 orang para pengikutnya.
Pemberontakan Abu Harb As-Sufyani
Imam At-Thabari menceritakan, pemberontakan ini berawal dari kebencian Abu Harb kepada salah satu prajurit Abbasiyah yang melakukan kekerasan terhadap istri dan saudarinya. Singkat cerita, dia berhasil membunuh tentara tersebut dan melarikan diri dari Palestina, kemudian menuju pegunungan tinggi di Yordania.
Di tempat pelarian ini Abu Harb disambut sebagai sosok juru selamat yang akan mengembalikan kejayaan Bani Umayyah, dan dia adalah keturunan dari Abu Sufyan bin Harb yang bergelar As-Sufyani. Orang-orang dan tokoh masyarakat dari Damaskus sampai Yaman berdatangan ke tempatnya untuk memberikan bai’atnya sebagai khalifah (pemimpin). Jumlah pengikutnya mencapai 100.000 orang yang kebanyakan berasal dari kalangan rakyat jelata dan petani.
Khalifah Al-Mu’tashim lalu memerintahkan Raja bin Ayyub Al-Hiedari untuk menangani pemberontakan ini.
Saat itu, basis kekuatan 100.000 para pengikut Abu Harb tiba-tiba menyusut pesat karena musim tanam akan tiba. Sampai menyisakan beberapa ribu orang pengikut saja. Oleh karena itu, Kota Damaskus dan Ramallah dalam waktu singkat berhasil ditaklukkan oleh pasukan Abbasiyah dengan mudah, sedangkan Abu Harb diringkus ke Samarra, dan dijebloskan ke penjara
Al-Mu’tashim Wafat
Al-Mu’tashim melakukan pengobatan bekam pada awal Muharram 227 H/Oktober 841 M yang dilakukan oleh dokter pribadi baru, Yahya bin Masawaih, setelah wafatnya dokter pribadi yang lama, Salmawaih bin Bunan. Setelah itu penyakitnya semakin parah dan akhirnya wafat pada Rabiul Awwal 227 H/Desember 841 M.
Sepeninggalnya, putranya, Harun Al-Watsiq Billah dibaiat menjadi khalifah penerusnya.