Pernyataan Paus Fransiskus, pemimpin tertinggi Gereja Katolik baru-baru ini, lalu kejadian pasukan Ukraina yang menyerbu sebuah gereja Ortodoks di Kyiv yang secara historis punya hubungan dengan Moskow, semakin menunjukkan bahwa perang Ukraina saat ini tidak lagi terbatas pada konflik militer, tetapi juga telah merembet ke konflik agama.
Setelah pernyataan yang dianggap rasialis yang disampaikan oleh Paus Fransiskus di mana dia mengatakan bahwa tentara dari Chechnya dan minoritas Buryat dalam pasukan multi-nasional Rusia lebih kejam di Ukraina daripada tentara lain, lalu Rusia menanggapinya dan menganggapnya sebagai sebuah “distorsi” dengan menegaskan bahwa “Pasukan multi-nasional Rusia adalah satu keluarga besar”, Otoritas Ukraina kemudian memerintahkan penyelidikan atas aktivitas Gereja Ortodoks yang memiliki hubungan dengan Rusia, yang artinya adalah bahwa perang Ukraina saat tidak lagi terbatas pada konflik militer, tetapi juga telah menjadi ajang konflik keagamaan.
Paus Fransiskus memicu kemarahan besar di Rusia pada akhir bulan lalu (28/11/2022) karena sebuah wawancaranya dengan majalah Katolik Amerika di mana dia mengindikasikan bahwa pasukan dari Buryat yang mayoritas beragama Budha, dan dari republik Chechnya yang mayoritas Muslim adalah “pasukan Rusia paling kejam” dalam perang di Ukraina.
Di sisi lain, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy mengatakan awal bulan ini bahwa pejabat keamanan senior di Ukraina telah memerintahkan penyelidikan atas aktivitas cabang Gereja Ortodoks Pechersk Lavra di Kyiv, yang secara historis punya hubungan dengan Moskow.
Merembet ke konflik agama
Menurut surat kabar The Guardian Inggris, terlepas dari pernyataan Paus Fransiskus, kelompok hak asasi manusia dan organisasi media independen tidak mendokumentasikan data apapun yang menunjukkan bahwa tentara dari minoritas multi-nasional (Chechnya dan Buryat) yang berperang di Ukraina berperilaku lebih kejam di Ukraina ketimbang tentara beretnis Rusia asli, hal inilah yang kemudian mendorong Rusia untuk menyebutkan bahwa komentar Paus Fransiskus “rasis dan tidak bisa dibenarkan”.
Ini bukan pertama kalinya Paus Fransiskus mengeluarkan pandangan kontroversial atas sikapnya dalam perang Ukraina. Sebelumnya, Kyiv telah berulang kali mengkritik pemimpin Gereja Katolik itu sejak dimulainya invasi Rusia ke Ukraina pada Februari lalu karena Paus Fransiskus tidak mengecam Kremlin atas perannya dalam konflik tersebut. Apalagi, Gereja Ortodoks Rusia merupakan salah satu pendukung kuat Putin dalam perangnya di Ukraina. Demikian menurut Guardian.
Menurut Reuters, umat Kristen Ortodoks merupakan mayoritas dari 43 juta penduduk Ukraina, dan persaingan antara gereja Katholik dan gereja Ortodoks yang dekat dengan Moskow menjadi semakin ketat sejak runtuhnya pemerintahan Uni Soviet, dimana puncaknya pada Mei lalu, gereja Katholik mengumumkan secara resmi pemutusan hubungannya dengan Gereja Ortodoks Rusia. Namun, banyak rakyat Ukraina yang masih tidak mempercayai tepatnya keputusan tersebut, dan mereka justru mencemaskan keputusan tersebut akan menimbulkan efek buruk di antara sesama warga sipil Ukraina. Karenanya, Zelenskyy mengatakan bahwa pemerintah Ukraina akan mengajukan RUU ke parlemen yang melarang aktivitas “kelompok keagaman” yang memiliki hubungan dengan pusat-pusat kekuasaan di Rusia.”
“Perang gereja” antara Moskow dan Kiev
Kyiv memiliki kedudukan yang sangat penting bagi Gereja Ortodoks Rusia dikarenakan Gereja Kyiv merupakan referensi keagamaan pertama untuk Kekristenan Ortodoks ketika masyarakat Rusia “berimigrasi” menjadi Kristen pada akhir abad kesepuluh. Oleh karena itu, gereja-gereja Ukraina merupakan bagian tak terpisahkan dari Kristen Ortodoks Rusia dan Gereja Moskow.
Sejak tahun 1686, pusat afiliasi Gereja Ortodoks Ukraina secara resmi dipindahkan ke Gereja Ortodoks Rusia, dan kondisinya tetap berjalan apa adanya dan dinamis hingga kemudian hubungan antara gereja-gereja Ortodoks di Ukraina dan Rusia berubah pada tahun 2019, setelah Patriarkh Bartolomeus I, Uskup Agung Konstantinopel-Roma Baru dan Patriarkh Ekumenikal ke-270 yang merupakan pemimpin tertinggi Gereja Ortodoks yang berkedudukan di tepi Tanduk Emas Teluk Istanbul Turki mengakui independensi Gereja Ortodoks Ukraina.
Sementara itu, ketika mantan Presiden Ukraina Petro Poroshenko saat itu menggambarkan keputusan pemisahan diri gereja Ortodoks Ukraina dari Ortodoks Rusia sebagai “kemenangan bagi orang-orang beriman Ukraina atas setan Moskow,” Putin mengutuk keras pendirian Gereja Ortodoks Ukraina yang independen sebagai upaya untuk “melegitimasi komunitas skismatis yang ada di Ukraina di bawah otoritas Istanbul, yang merupakan pelanggaran mencolok terhadap prinsip-prinsip Ortodoks.” Menurut wawancaranya dengan media Serbia.
Akar agama dari perang Ukraina
Beberapa sejarawan berpendapat bahwa salah satu alasan terpenting yang mendasari agresi militer Rusia di Ukraina adalah karena alasan keagamaan, yang kemudian diperparah oleh pencaplokan Rusia atas Krimea pada tahun 2014 dan dimulainya konflik di timur Ukraina, dimana mimpi Gereja Kyiv selama tiga dekade terakhir untuk berpisah dari Gereja Moskow semakin meningkat.
Perlu dicatat bahwa periode setelah pendudukan Krimea oleh Rusia pada tahun 2014 menjadi saksi mulai bergabungnya gereja-gereja Ortodoks di seluruh wilayah Ukraina dibawah Gereja Ortodoks Ukraina. Hingga dalam waktu yang sangat singkat, terdapat 7.500 dari sekitar 19.000 gereja Ortodoks bergabung dan berafiliasi dibawah Gereja Ortodoks Kyiv. Sebagaimana diketahui, independensi Gereja Ortodoks Ukraina yang meninggalkan loyalitasnya terhadap Gereja Ortodoks Rusia juga merupakan salah satu sebab yang membuat krisis Rusia-Ukraina semakin meningkat.
Sumber: TRT Arabi.