Mukadimah
Hasan Al-Banna dalam risalatut ta’aaliimi wal usrah, menjelaskan tentang arkanul bai’ah —al-fahmu, al-ikhlashu, al-‘amalu, al-jihadu, at-tadzhiyatu, at-tho’atu, at-tsabatu, at-tadarruju, al-ukhuwwatu, dan at-tsiqatu; kemudian menyebutkan dengan rinci wajibatu al-akh (kewajiban-kewajiban seorang aktivis dakwah); ia lalu mengumpulkan wajibatu al-akh itu dalam lima slogan: “Allah tujuan kami, Rasul tauladan kami, Al-Qur’an syi’ar dan undang-undang kami, jihad jalan kami, dan mati syahid cita-cita kami tertinggi.”
Slogan ini begitu terkenal, bahkan menjadi semboyan yang selalu dikumandangkan oleh para aktivis dakwah di dunia Islam.
Para aktivis dakwah hendaknya mengambil manfaat dari semboyan ini dan terus berupaya mengaktualisasikannya dalam gerak langkah perjuangannya. Jangan sampai ia hanya menjadi teori-teori dan slogan-slogan kosong. Fathi Yakan mengingatkan para da’i, “…ide dan konsep akan tetap menjadi slogan dan teori kosong, selama nilai-nilai dakwah dan idealismenya tidak menyatu dengan kehidupan para da’i. Kalau para da’i Islam tidak memiliki kedalaman akidah, keluhuran akhlak, kekuatan iman, kualitas muhasabah yang tinggi terhadap diri mereka sendiri; tidak melakukan muraqabah kepada Tuhannya, tidak menjauhkan diri dari segala yang syubhat, tidak berupaya meningkatkan kualitas ketaatan, dan tidak melakukan ibadah-ibadah sunnah, niscaya mereka akan terkontaminasi oleh berbagai polusi yang ada dalam masyarakat ini, bahkan akan terlempar ke dalam gelombang penyimpangan dan penyelewengan.” (Musykilatud Da’wah wad Da’iyah, Fathi Yakan)
Karena itulah, setelah menjelaskan arahan tentang rukun baiat dan kewajiban-kewajiban seorang aktivis dakwah, Hasan Al-Banna menegaskan, “Lalu antum juga bisa mengumpulkan karakter fikrah antum ini dalam lima kata: al-bisathah (kesederhanaan), at-tilawah (membaca), ash-shalah (shalat), al-jundiyah (keprajuritan), dan al-khuluq (akhlak).” (Risalatut ta’alimi wal usroh, Hasan Al-Banna)
Marilah kita dalami karakter yang disebutkan Hasan Al-Banna dia atas, lalu mencoba untuk menginternalisasi dan implementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Al-Bisathah
Al-Bisathah artinya kesederhanaan. Syaikh Muhammad Al-Ghazaly dalam khuluqul muslim-nya menjelaskan bahwa Islam sangat menekankan pemeluknya untuk menempuh cara hidup sederhana. Misalnya dalam hal berpakaian, Islam tidak menyukai orang yang berpakaian mewah atau membangga-banggakannya. Islam tidak memandang penampilan yang baik sebagai unsur kebesaran seseorang atau tanda keluhuran budi pekertinya.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَمۡ مِنۡ أَشۡعَثَ أَغۡبَرَ ذِي طِمۡرَيۡنِ لَا يُؤۡبَهُ لَهُ لَوۡ أَقۡسَمَ عَلَى اللهِ لَأَبَرَّهُ مِنۡهُمُ الۡبَرَاءُ بۡنُ مَالِكٍ
“Berapa banyak orang yang kusut, berdebu, hanya memiliki dua pakaian usang, tidak diacuhkan, namun kalau dia bersumpah atas nama Allah, niscaya Allah akan mengabulkannya. Di antara mereka adalah Al-Bara` bin Malik.” (HR. At-Tirmidzi).
Adalah suatu ketololan, lanjut Syaikh Al-Ghazaly, jika seseorang menjadikan dirinya sebagai tempat memamerkan pakaian untuk dikagumi orang banyak. Ada pula sementara orang yang membuang waktu berjam-jam lamanya hanya untuk membuat dirinya kelihatan cantik, tampan, dan anggun. Mereka mengira bahwa indahnya pakaian yang melekat pada tubuhnya itu merupakan tanda kesempurnaan dan kemampuan. Islam mencela kebiasaan hidup seperti itu. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ فِي الدُّنْيَا أَلْبَسَهُ اللَّهُ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa mengenakan baju syuhrah (pamer untuk berbangga-bangga) di dunia, Allah akan memakaikan baju kehinaan kepadanya pada hari Kiamat.” (HR. Ibnu Majah).
Namun, itu tidak berarti Islam menghendaki supaya para pemeluknya mengenakan pakaian compang-camping atau baju usang dan kumal seperti dilakukan sebagian orang yang tidak mengerti. Bahkan Islam tidak menyukai penampilan yang tidak sedap dipandang mata.
Seseorang pernah bertanya kepada Abdullah bin Umar:
“Pakaian apakah yang sebaiknya kupakai?” Ia menjawab: “Pakaian yang tidak dicemooh oleh orang-orang yang buruk perangai dan tidak dicela oleh orang-orang yang arif bijaksana.” Orang itu masih bertanya: “Kira-kira yang seharga berapa?” Abdullah menyahut: “Antara lima sampai dua puluh dirham”. (HR. At-Thabrani).[1]
Pernah terjadi peristiwa, seseorang datang menghadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, orang itu berpakaian jelek. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya: “Apakah engkau mempunyai uang?” Orang itu menjawab: “Ya, aku mempunyai uang.” Beliau bertanya lagi: “Darimana kau dapat uang itu?” Ia menjawab: “Dari rizki yang diberikan Allah kepadaku.” Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memberi nasehat:
إِذَا آتَاكَ اللهُ مَالاً فَلْيُرَ عَلَيْكَ فَإِنَّ اللهَ يُحِبُّ أَنْ يَرَى أَثَرَهُ عَلَى عَبْدِهِ حَسَناً وَلاَ يُحِبُّ الْبُؤسَ وَلاَ التَّبَاؤُسَ
“Bila Allah memberi harta kepadamu, hendaklah dapat dilihat bekasnya atas kamu, karena Ia menyukai bekas (nikmat dari-Nya) yang baik atas hamba-Nya dan tidaklah Ia menyukai kepapaan dan bersikap menunjukkan kepaan diri (HR. An-Nasa’i).
Dalam kesempatan lain beliau bersabda:
“Apakah tidak semestinya salah seorang dari kalian memiliki dua pakaian atau jika salah seorang punya kemampuan mempunyai dua pakaian untuk melaksanakan shalat jum’at selain pakaian untuk bekerja sehari-hari?.” (HR. Abu Dawud).
Tentang masalah mendirikan bangunan, Syaikh Muhammad Al-Ghazaly menyatakan bahwa Islam menyetujui didirikannya bangunan-bangunan yang kokoh kuat menjulang tinggi mencakar langit. Demikian juga bangunan-bangunan untuk kepentingan-kepentingan sekolah, universitas, tempat penampungan, rumah-rumah sakit, dan lain sebagainya, kendatipun untuk mendirikannya dikeluarkan biaya bermilyar-milyar. Islam menyadari bahwa bangunan raksasa seperti itu bermanfaat bagi kemaslahatan umum. Akan tetapi Islam tidak dapat membenarkan bila untuk kepentingan pribadi orang muslim mendirikan bangunan megah yang menghujam ke bumi dan menantang langit.
Adapun mengenai peralatan rumah, syariat Islam telah menetapkan hukumnya yang tegas. Yaitu tidak membenarkan adanya peralatan-peralatan mewah di dalam ruangan rumah, dan tidak menyukai jika rumah itu penuh dengan berbagai macam perhiasan.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jauhilah oleh kalian gemar hidup bermewah-mewah. Sesungguhnya hamba Allah yang baik bukanlah orang yang gemar hidup bermewah-mewah.” (HR. Ahmad bin Hambal).[2]
Islam memang mencabut sampai ke akar-akarnya cara hidup mewah dari kehidupan individu dan masyarakat agar kesentosaan umat dapat terjamin dan tali persaudaraan di antara sesama kaum muslimin dapat dipertahankan dan diperkokoh.
Suatu umat yang dijangkiti penyakit tenggelam di dalam syahwat dan bergelimang di dalam hal-hal yang terlarang, pasti akan rusak dan binasa.
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ:”سَيَكُونُ رِجَالٌ مِنْ أُمَّتِي يَأْكُلُونَ أَلْوَانَ الطَّعَامِ، وَيَشْرَبُونَ أَلْوَانَ الشَّرَابِ، وَيُلْبِسُونَ أَلْوَانَ اللِّبَاسِ، وَيَتَشَدَّقَونَ فِي الْكَلامِ، أُولَئِكَ شِرَارُ أُمَّتِي”.
Dari Abu Umamah, Rasulullah bersabda, “Ada sekelompok orang dari umatku yang memakan berbagai macam makanan, minum berbagai macam minuman, memakai berbagai mode pakaian dan sombong dalam berbicara mereka adalah sejahat jahat umatku” (HR. Thabrani)
Kegoncangan negeri-negeri Islam sebagian besar disebabkan oleh hilangnya cara hidup yang suci dan karena tenggelamnya penduduknya di dalam usaha mengejar kenikmatan duniawi. Padahal mengenai kemerosotan mental itu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan:
إِنَّ مِمَّا أَخْشَى عَلَيْكُمْ شَهَوَاتِ الْغَيِّ فِي بُطُونِكُمْ وَفُرُوجِكُمْ وَمُضِلَّاتِ الْهَوَى
“Sungguh yang sangat aku takutkan dari kalian adalah syahwat keji dari perut, dan kemaluan kalian, serta hawa nafsu yang menyesatkan.” (HR. Ahmad).
Mengakhiri uraian tentang kesederhanaan, Syaikh Muhammad Al-Ghazaly berkata: “Kesederhanaan merupakan inti keutamaan. Yang dimaksud sederhana ialah anda dapat menguasai kehidupan dan mengarahkannya kepada tujuan yang lebih tinggi, bukan anda yang dikuasai oleh kehidupan kemudian anda diarahkan olehnya ke hal-hal yang bersifat rendah. Kesederhanaan juga berarti bahwa anda tidak menjauhkan diri dari kenikmatan hidup, sebab dengan demikian anda akan menyesal dan disesali orang.”
(Bersambung)
Catatan Kaki:
[1] Saat tulisan ini dibuat, 1 dirham itu setara dengan Rp 95.000,-
[2] Kalimat dalam hadits ini ditujukan Nabi kepada Mu’adz bin Jabal sesaat sebelum ia berangkat ke Yaman untuk menunaikan tugas dakwah dari Nabi.