(105 – 125 H / 724 – 743 M)
Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan bin Al-Hakam bin Abdul Ash bin Umayyah bin Abdu Syams Abul Walid Al-Qurasyi Al-Umawi Ad-Dimasyqi. Lahir tahun 72 H (691 M). Ibunya bernama Ummu Hisyam binti Hisyam bin Ismail Al-Makhzumi.
Tidak ditemukan catatan ia pernah menjabat di pemerintahan, tapi diketahui bahwa ia adalah sosok yang menginginkan jabatan kekhalifahan sepeninggal Sulaiman bin Abdul Malik (kakaknya).
Dialah yang menentang keras pengangkatan Umar bin Abdul Aziz menjadi putra mahkota; dan baru menerima keputusan itu setelah ada perjanjian jabatan itu akan diserahkan kepada Yazid bin Abdul Malik (Yazid II) sepeninggal Umar bin Abdul Aziz.
Menjaga Stabilitas
At-Thabari mengungkapkan bahwa Hisyam adalah sosok yang memiliki pandangan mendalam dalam berbagai persoalan.
Ia adalah sosok yang tegas dan kompeten. Mampu menjaga keseimbangan dan bijak dalam berinteraksi dengan dua kubu dominan yang saling bersaing saat itu, yakni suku Yaman dan suku Qais. Hisyam tidak memihak salah satunya, ia sadar akan realita fanatisme kesukuan bangsa Arab merupakan masalah sensitif di era Dinasti Umayyah. Saat itu fanatisme kesukuan dibawa-bawa ke wilayah-wilayah kekuasaan Bani Umayyah (Khurasan, Asia Tengah, Afrika, Andalusia, dll.)
Hisyam bin Abdul Malik berusaha merangkul dua kubu yang bersaing itu. Apabila salah satu pejabatnya ada yang berpihak, ia tidak segan-segan memberhentikannya demi menjaga kepentingan negara. Ia pernah memerintahkan Gubernur Irak, Khalid bin Abdullah Al-Qusari, mencopot Asad bin Abdullah Al-Qusari, adiknya sendiri, dari jabatan walikota Khurasan. Hal ini disebabkan Asad memperlihatkan fanatismenya pada suku Yaman untuk mengalahkan suku Mudhar, dan bersikap buruk pada kepala suku Qais, Nashr bin Sayyar.
Pengawasan Ketat
Hisyam sangat menjaga kepentingan umat dan sangat ketat mengawasi para kepala daerahnya. Sampai-sampai ada yang mengatakan tentang dirinya: “Tidak seorang pun Bani Marwan yang lebih menaruh perhatian pada para pejabat dan departemen-departemennya, tidak ada pula yang lebih ketat pengawasannya terhadap mereka, daripada Hisyam.” (lihat: Al-Bidayah wan Nihayah, 9: 353)
Hal ini bahkan diakui oleh pihak yang berseberangan dengannya, Abdullah bin Ali bin Abdullah bin Abbas berkata: “Aku mengamati departemen-departemen yang dipimpin Bani Marwan, dan aku melihat yang terbaik bagi rakyat secara umum dan juga penguasa adalah departemen-departemen di bawah penanganan Hisyam.” (Tarikh At-Thabari, 7: 203)
Menjaga Harta Umat
Dalam hal menjaga harta umat, Hisyam bersikap keras terhadap dirinya sendiri dan putra-putrinya. Iqal bin Syabbah menjadi saksi bahwa ketika menjadi khalifah, Hisyam selalu mengenakan topi serban berwarna hijau yang ternyata sudah ia pakai sejak sebelum menjadi khalifah.
Anak khalifah, Sulaiman bin Hisyam, pernah mengajukan pergantian bighal dengan alasan telah lemah. Tapi khalifah Hisyam malah menganjurkannya agar memperhatikan makanan bighal tersebut.
Khaliafah Hisyam tidak memberikan tunjangan kepada seorang pun dari Bani Marwan kecuali bagi mereka yang turut serta berjihad.
Operasi Militer
Pada masa awal kekhalifahan Hisyam bin Abdul Malik, Amir di Andalusia adalah Anbasah bin Suhaim Al-Kalabi. Ia melakukan jihad melawan bangsa Franka. Bersama pasukannya Anbasah menembus pegunungan Pyreness dan merebut kembali beberapa benteng dan kota yang terlepas dari kaum muslimin setelah pertempuran Tolouse.
Anbasah kemudian menguasai Carcassone, Nime, dan daerah-daerah lainnya, hingga menguasai distrik Provence, dilanjutkan menyusuri Sungai Rhone dan berhasil menguasai daerah Lyon. Berikutnya menyerbu Kota Sans, namun penduduknya berhasil mengepung pasukan Anbasah, hingga ia gugur pada bulan Sya’ban 107 H (Desember 725 M).
Pasukan Islam kembali kehilangan pos-pos mereka dan kembali ke Narbone di bawah komando Adzrah bin Malik Al-Fihri. Gerakan ekspansi pun terhenti selama 4 tahun. Selama masa itu Andalusia secara bergantian dipimpin 4 orang gubernur, sehingga pada 112 – 114 H (730 – 732 M) dipimpin Abdurrahman Al-Ghafiqi.
Kepemimpinan Abdurrahman Al-Ghafiqi
Di masa kepemimpinannya ia berupaya menjaga stabilitas wilayah. Ia berkeliling ke seluruh Andalusia, mendengar pengaduan masyarakat, berupaya menegakkan keadilan, dan menumpas kejahatan. Dalam hal muamalat, tidak dibeda-bedakannya antara muslim, kristen, dan yahudi. Ia menertibkan keuangan negara dan menindak siapa pun yang berupaya mengobarkan kerusuhan.
Menguasai Perancis Bagian Selatan
Pada tahun 114 H (732 M), Abdurrahman Al-Ghafiqi bersama pasukannya menembus pegunungan Pyreness dan menuju kota Aral melalui sungai Rhone. Terjadilah pertempuran dengan orang-orang Franka hingga Kota Aral dapat dikuasai.
Pasukan Islam kemudian menyeberangi Sungai La Garonne dan mengalahkan pasukan pimpinan Aquitaine anak buah Odo. Pasukan Islam berhasil menguasai daerah selatan Perancis, akhirnya Odo mundur dan menyelamatkan diri ke Kerajaan Merovingia.
Bilathus Syuhada (Bangsal Para Syuhada)
Odo menemui Charles Martel di Negara Frank untuk meminta bantuan memulihkan kekuasaannya. Maka, terjadilah pertempuran sengit antara pasukan Abdurrahman Al-Ghafiqi dengan pasukan Charles Martel di dataran luas wilayah Tours dan Poitiers.
Saat itu, kondisi pasukan Islam datang dalam keadaan telah menempuh perjalanan jauh dan pertempuran panjang. Meskipun begitu awalnya pasukan ini mampu menekan pasukan Negara Franka.
Tiba-tiba pasukan Franka berhasil menerobos tempat dikumpulkannya ghanimah. Lalu tersiarlah kabar pasukan musuh telah menguasai ghanimah itu. Pasukan muslim yang berada di depan kemudian meninggalkan pos dan mundur untuk mempertahankan ghanimah.
Abdurrahman Al-Ghafiqi berusaha keras untuk mengembalikan formasi barisan, ia maju ke garis depan untuk memberi contoh kepada pasukannya, hingga akhirnya gugur sebagai syuhada.
Pasukan Islam menjadi kacau, namun bisa berperang hingga malam dan masing-masing kubu kembali ke kamp masing-masing. Malam itu pasukan Islam memutuskan untuk mundur ke Septimania dengan meninggalkan semua barang.
Pertempuran ini adalah pertempuran terakhir kaum muslimin di era Bani Umayyah. Setelah itu mereka sibuk dengan perpecahan internal dan melupakan Andalusia yang kacau akibat perebutan kekuasaan, hingga akhirnya Abdurrahman Ad-Dakhil berhasil mendirikan Keamiran Bani Umayyah di Andalusia pada tahun 138 H /755 M, 6 tahun setelah keruntuhan Bani Umayyah.
Pemberontakan Zaid bin Ali bin Al-Husain (121 H/739 M)
Terjadi pertengkaran antara Hisyam dengan Zaid terkait kekhalifahan. Zaid lalu pergi ke Kufah. Orang-orang Syiah mengajaknya untuk melakukan pemberontakan kepada Khalifah Hisyam bin Abdul Malik.
Hisyam menginstruksikan kepada gubernurnya di Irak, Yusuf bin Umar Ats-Tsaqafi untuk mengusir Zaid dari Kufah.
Ketika Zaid bin Ali akan keluar dari Kufah, orang-orang disana mencegahnya dengan alasan 100.000 orang Kufah siap membelanya. Mereka berbaiat kepada Zaid untuk berperang bersamanya. Kabar itu menyebar ke Bashrah, Wasith, Mosul, Mada’in, Khurasan, dan Ray
Zaid lalu menginstruksikan kepada pengikutnya untuk berkumpul pada malam Rabu, 1 Shafar 122 H (9 Januari 740 M). Namun, di waktu yang telah ditentukan Zaid hanya menemukan 218 orang dari 15.000 orang yang membaiatnya. Akhirnya terjadilah peristiwa seperti dahulu warga Kufah meninggalkan Al-Husain yang bertempur dengan pasukan Ubaidillah bin Ziyad.
Zaid bin Ali bin Al-Husain mengalami nasib naas, ia terbunuh kemudian jasadnya dihinakan. Anaknya pun, Yahya bin Zaid yang melarikan diri ke Khurasan dibunuh oleh Nashr bin Sayyar.
Tumbuhnya Gerakan Bani Abbas
Pada masa Hisyam bin Abdul Malik aktivitas rahasia Bani Abbas mulai disusun. Mereka giat menebarkan citra buruk Bani Umayyah. Namun Hisyam mengabaikannya. Hisyam wafat pada 6 Rabiul Awwal 125 H / 11 Januari 743 M, sementara gerakan Bani Abbas ini semakin membesar.