Di akhir hayatnya, Khalifah Al-Hakam Al-Mustanshir mengangkat putra tertuanya yang saat itu berusia 11 tahun, yakni Hisyam bin Al-Hakam, menjadi putra mahkota.
Kelompok Pemuda Shaqalibah
Kelompok Pemuda Shaqalibah (Slavia Eropa), budak-budak pegawai istana yang jumlahnya sekitar 1.000 orang di bawah pimpinan Fa’iq dan Judzar merahasiakan wafatnya khalifah Al-Hakam. Mereka merencanakan pengalihan kekhalifahan kepada saudara dari Al-Hakam yang bernama Al-Mughirah bin Abdurrahman An-Nashir.
Fa’iq dan Judzar menyampaikan berita wafatnya khalifah dan rencana mereka kepada Al-Hajib (Perdana Menteri) Ja’far bin Utsman Al-Mushafi. Ja’far berpura-pura menyetujui rencana para pemuda Shaqalibah ini, ia lalu diam-diam mengumpulkan para pimpinan bangsa Arab dan Berber tentang permasalahan tersebut. Mereka sepakat mengeksekusi Al-Mughirah yang dianggap akan melakukan pembangkangan. Tugas eksekusi itu disanggupi oleh Muhammad bin Abu Amir.
Pasca pembunuhan Al-Mughirah, Muhammad bin Abu Amir menjadi orang yang semakin dekat dengan Al-Hajib Ja’far bin Utsman Al-Mushafi.
Pasca eksekusi terhadap Al-Mughirah bin Abdurrahman An-Nashir, para pemuda Shaqalibah segera meminta maaf kepada Al-Hajib Ja’far bin Utsman Al-Mushafi. Mereka dimaafkan tetapi diawasi sangat ketat gerak-geriknya. Hingga Ketika tercium mereka akan melakukan tindakan makar, mereka semua disingkirkan.
Siapakah Muhammad bin Abi Amir?
Muhammad bin Abdullah bin Amir bin Abi Amir bin Al-Walid bin Yazid bin Abdul Malik Al-Ma’afiry lahir tahun 326 H / 938 M. Abdul Malik adalah seorang anggota pasukan Arab yang ikut menaklukan Andalusia Bersama Thariq bin Ziyad.
Muhammad bin Abi Amir mempelajari hadits dan sastra, ia pergi ke Cordoba menyempurnakan pelajarannya, kemudian bekerja sebagai juru tulis Qadhi Muhammad bin Ishaq bin As-Sulaim. Ia menitipkan Muhammad bin Abi Amir kepada Ja’far bin Utsman Al-Mushafi agar benar-benar diperhatikan karena ia menganggap Muhammad bin Amir sebagai pemuda yang potensial.
Muhammad bin Abi Amir diangkat menjadi pengasuh anak Khalifah Al-Hakam Al-Mustanshir yang bernama Abdurrahman. Saat Abdurrahman wafat di usia anak-anak, Muhammad bin Abi Amir bertugas menjadi pengasuh Hisyam bin Al-Hakam.
Ia pun pernah menjabat sebagai Menteri keuangan yang bertanggung jawab pada percetakan uang; menjadi Qadhi di Sevilla dan Lablah; menjadi kepala kepolisian, dan diangkat menjadi Qadhi Al-Qudhat di Afrika Utara. Ia dianggap berhasil dan kapabel dalam menjalankan seluruh tanggung jawabnya. Ia pun dekat dengan Shubhu Al-Baskansyiyah, Ibunda khalifah Hisyam Al-Muayyad dan mampu mengambil hatinya dengan memberikan hadiah-hadiah dan pelayanan yang baik sehingga khalifah pernah mengedit keuangan yang diamanahkan kepadanya.
Pasca wafatnya Khalifah Al-Hakam Al-Mustanshir, kalangan Kristen di wilayah utara mulai melakukan penyerangan-penyerangan ke wilayah Islam. Namun, saat itu tidak ada pemimpin Andalusia yang berani menghadapi dan menahan serangan itu.
Panglima Ghalib bin Abdurrahman An-Nashiri, seteru dari Al-Hajib Ja’far bin Utsman Al-Mushafi sengaja berdiam diri dan bertahan di Kota Salim, karena ia ingin menyudutkan Al-Mushafi.
Muhammad bin Abi Amir sendiri merasa kesal kepada Al-Hajib Ja’far bin Utsman Al-Mushafi karena tidak berani mengambil tindakan, maka ia menawarkan diri untuk memimpin peperangan dan meminta biaya sebesar 100.000 dinar.
Bulan Rajab 366 H / 977 M, Muhammad bin Abi Amir bergerak ke utara dan berhasil menguasai benteng Al-Hamah, dan 51 hari berikutnya ia Kembali ke Cordoba dengan membawa tawanan dan ghanimah.
Muhammad bin Abi Amir mempromosikan Ghalib An-Nashiri kepada khalifah hingga ia diangkat menjadi pejabat.
Pasca Idul Fitri tahun 366 H / 977 M, Muhammad bin Abi Amir bergerak kembali ke utara bersama Ghalib bin Abdurrahman An-Nashiri, menundukkan Madrid, Castille, dan menundukkan benteng Mula.
Kemenangan melawan kaum Kristen dinisbatkan oleh Ghalib bin Abdurrahman An-Nashiri kepada Muhammad bin Abi Amir. Selanjutnya mereka bersepakat menyingkirkan Al-Mushafi. Khalifah Hisyam Al-Muayyad melengserkan Al-Mushafi dari jabatan gubernur, dan menggantinya dengan Muhammad bin Abi Amir. Sehingga Al-Mushafi hanya menjabat sebagai Al-Hajib.
Pada masa kepemimpinan Muhammad bin Abi Amir ini terwujud keamanan di Cordoba yang sebelumnya terganggu keberadaan para perampok.
Ja’far bin Utsman Al-Mushafi Tersingkir
Al-Hajib merasakan pengaruhnya semakin berkurang, maka ia bermaksud menikahkan anaknya kepada anak Ghalib bin Abdurrahman An-Nashiri yang Bernama Asma. Namun, Ghalib bin Abdurrahman An-Nashiri segera menikahkan anaknya itu kepada Muhammad bin Abi Amir. Hal ini didukung oleh pihak istana. Akad nikah dan walimah dilaksanakan meriah pada 367 H / 977 M.
Pasca pernikahan, Muhammad bin Abi Amir berangkat ke Toledo bersama Ghalib bin Abdurrahman An-Nashiri, lalu ke utara menaklukkan benteng Al-Mal dan Zanbiq, lalu masuk ke kota Salamenca. Kemudian pulang dengan membawa ghanimah dan tawanan dengan jumlah yang sangat banyak.
Khalifah Hisyam Al-Muayyad menyerahkan jabatan dua kementrian kepada Muhammad bin Abi Amir, menaikkan gajinya menjadi 80 dinar per bulan, serta menyerahkan jabatan Al-Hijabah kepadanya. Ja’far bin Utsman Al-Mushafi benar-benar tersingkir, hartanya disita, dan tahun 372 H / 982 M wafat di dalam penjara.
Daulah Amiriyah (366-399 H/976-1009 M)
Muhammad bin Abi Amir menjadi penguasa sesungguhnya di Andalusia. Dialah yang mengendalikan berbagai kebijakan. Maka, di masa kepemimpinannya, Andalusia disebut sebagai Daulah Amiriyah.
Muhammad bin Abi Amir ditopang kekuasaannya oleh bangsa Berber yang loyal kepadanya, diantaranya adalah Bani Barzal yang dipimpin oleh Ja’far bin Hamdun. Ia awalnya bersekutu dengan Daulah Ubaidiyah/Fathimiyah.
Pembangunan Kota Az-Zahirah
Muhammad bin Abi Amir membangun kota pemerintahan yang baru di sebelah timur Cordoba pada tahun 368 H /979 M. Kementrian dan Lembaga-Lembaga administrative dipindahkan ke kota tersebut.
Disebut-sebut bahwa tujuan pembangunan kota ini adalah dalam rangka menjauhkan ibukota dari wilayah berbahaya; ia pun berusaha menghindar dari kalangan Umawiyyun dan mengokohkan kedudukannya dalam pemerintahan, dapat bertindak lebih bebas dalam mengatur urusan negara.
Muhammad bin Abi Amir versus Ghalib bin Abdurrahman An-Nashiri
Kehadiran Ja’far bin Hamdun dirasakan oleh Ghalib bin Abdurrahman An-Nashiri sebagai ancaman; ia merasa tidak dibutuhkan dan perannya dalam militer menjadi berkurang.
Sempat terjadi percekcokan antara Ghalib dengan Muhammad bin Abi Amir di Kota Antessa, sehingga Muhammad bin Abi Amir nyaris terbunuh.
Muhammad bin Abi Amir Kembali ke Cordoba dan menyiapkan pasukan untuk menyerang Ghalib bin Abdurrahman An-Nashiri.
Mengetahui rencana serangan tersebut Ghalib bin Abdurrahman An-Nashiri meminta bantuan kepada pemimpin kerajaan Leon, Romero III. Ghalib yang saat itu berusia 80 tahun berhadapan dengan pasukan Andalusia yang dipimpin tiga komandan: Ja’far bin Hamdun (pasukan sayap kanan), Ahmad bin Hazm (pasukan sayap kiri), dan Muhammad bin Abi Amir (pasukan tengah)
Pasukan sayap kanan dan kiri berhasil diporak-porandakan oleh Ghalib bin Abdurrahman. Selanjutnya saat akan menghadapi pasukan tengah yang dipimpin Muhammad bin Abi Amir, Ghalib berdo’a: “Ya Allah, jika aku adalah orang yang lebih layak untuk kaum muslimin dari pada Muhammad bin Abi Amir, maka menangkanlah aku! Namun, jika dia yang lebih baik untuk mereka, maka menangkanlah dia!”
Sesaat setelah berdo’a seperti itu, tiba-tiba Ghalib menyingkir dan menghilang. Setelah itu ia ditemukan dalam keadaan telah wafat. Kisah ini diceritakan oleh Iman Ibnu Hazm dari ayahnya sebagai saksi mata peristiwa itu (Rasa’il Ibnu Hazm, 2/94-95)
Pasukan Ghalib bin Abdurrahman bergabung dengan pasukan Andalusia. Pasukan Romero III melarikan diri, dan dikejar oleh pasukan Andalusia. Romero III meminta bantuan dari penguasa Kerajaan Castille dan Kerajaan Navarre, namun mereka berhasil dikalahkan hingga Kota Leon nyaris dikuasai oleh pasukan Andalusia. Kota Leon diselematkan dengan turunnya salju, sehingga pasukan Andalusia Kembali ke Cordoba.
Al-Hajib Al-Manshur
Tahun 371 H/982 M, sepulang dari peperangan, Muhammad bin Abi Amir mengumumkan gelar untuk dirinya: Al-Manshur. Tradisi pemberian gelar tersebut biasanya berlaku hanya untuk khalifah.
Namanya kemudian disebut-sebut dalam khutbah, uang koin, buku-buku, dan surat-surat. Nama khalifah nyaris hilang dari peredaran. Berita tentang dirinya pun dalam buku sejarah simpang-siur.
Tahun 381 H/991 M, Muhammad bin Abi Amir menyerahkan posisi Al-Hijabah kepada anaknya sendiri, Abdul Malik. Pewarisan jabatan seperti ini adalah sesuatu yang baru.
Tahun 386 H/996 M, Muhammad bin Abi Amir menggelari dirinya sebagai Al-Malikul Karim.
Kecemerlangan Muhammad bin Abi Amir Al-Manshur
Muhammad bin Abi Amir terlibat dalam 54 kali pertempuran dan tidak pernah kalah. Dalam masa kepemimpinannya, ia berhasil memasuki wilayah-wilayah yang tidak pernah tersentuh oleh pemimpin-pemimpin sebelumnya.
Jihad dilakukannya dua kali dalam setahun, as-shawaif (jihad di musim panas), dan asy-syawati (jihad di musim dingin).
Pada 378 H/988 M, Muhammad bin Abi Amir menyerang kota Saint Jacob, kota suci bagi umat Kristen, yang menjadi tempat ziarah bagi mereka.
Muhammad bin Abi Amir Al-Manshur pernah mengirimkan pasukan besar untuk membebaskan tiga orang Muslimah yang dijadikan tawanan di wilayah kerajaan Navarre.
Perluasan Masjid Cordoba
Selain pembanguanan Kota Az-Zahirah, Muhammad bin Abi Amir juga memperluas masjid Cordoba dua kali lipat. Ia membebaskan tanah sesuai dengan harga yang ditetapkan oleh pemilik tanah meskipun dengan harga yang sangat tinggi.
Kemakmuran dan Keamanan
Selama masa kepemimpinannya dari tahun 366-392 H/976-1002 M, tidak terjadi pemberontakan, kecuali yang dilakukan Ghalib bin Abdurrahman An-Nashiri. Masyarakat hidup Makmur, hukum ditegakkan dengan seadil-adilnya.
Al-Manshur Wafat
Muhammad bin Abi Amir Al-Manshur wafat pada 21 Ramadhan 392 H/9 Agustus 1002 M dalam usia 64 tahun.
Selanjutnya baca: