Oleh: KH. Dr. Wido Supraha, M.Si.
(Wakil Ketua Umum DPP Persatuan Ummat Islam, Pendiri Sekolah Adab)
Secara politik di Indonesia mengenal Hari Kelahiran Pancasila dan Hari Kesaktian Pancasila. Jika 01 Juni dijadikan Hari Kelahiran Pancasila merujuk pada Pidato Presiden Pertama RI, Ir. Soekarno, pada 1 Juni 1945, maka 01 Oktober dijadikan Hari Kesaktian Pancasila berdasarkan SK Nomor 153 Tahun 1967 yang diterbitkan Presiden Soeharto pada 27 September 1967.
Namun, realitasnya, 01 Juni 1945 sebenarnya hanyalah awal dari lahirnya kata ‘Pancasila’ atau peringatan pidatonya Bung Karno tentang ide ‘Pancasila’ namun dengan redaksi yang jauh berbeda dengan apa yang berlaku hari ini. Jika kata ‘panca’ diklaim oleh Soekarno dari dirinya, maka kata ‘sila’ diakui oleh Soekarno dari Mohammad Yamin, ahli bahasa di zamannya.
Adapun rumusan Pancasila yang berlaku hari ini lahir pada 18 Agustus 1945 yang sedikit berbeda dari rumusan yang disepakati BPUPK sebelumnya, dengan dihilangkannya 7 (tujuh) kata: ‘dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’.
Rumusan Pancasila yang dahulu pernah ditawarkan Soekarno 01 Juni 1945 adalah (1) Kebangsaan Indonesia (2) Internasionalisme atau Perikemanusiaan (3) Mufakat atau Demokrasi (4) Kesejahteraan Sosial (5) Ketuhanan. Dengan demikian, rumusan Pancasila hari ini bukanlah rumusan seorang Bung Karno sendirian, melainkan rumusan para tokoh bangsa yang mayoritasnya Muslim, khususnya yang ada dalam Panitia Sembilan di BPUPK seperti Kyai Agus Salim, Abdul Kahar Muzakkir, Wahid Hasyim dan Abikoesno Tjokrosoejoso.
Hal yang sama pernah diingatkan Mr. Mohamad Roem saat berkembang pemikiran agar Soekarno dijadikan penafsir tunggal atas Pancasila, padahal Soekarno sendiri yang pernah mengatakan: “Pertama-tama Saudara, apakah kita hendak mendirikan Indonesia merdeka untuk sesuatu orang?” Bahkan, “Pengetahuan bahwa Pancasila itu kata sepakat dari karya 62 orang “de beste zonen van het land” lebih menimbulkan rasa kepercayaan daripada anggapan yang di masa Orde Lama diindoktrinasikan, bahwa Pancasila hanya dikerjakan oleh satu orang saja.” (Makalah Mohamad Roem, Lahirnya Pancasila, Orasi Ilmiah Dies Natalis Universitas Islam Sumatera Utara, Januari 1969, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977)).
Sejak ditetapkannya Pancasila sebagai Dasar Negara pada 18 Agustus 1945 oleh PPKI pada sidang pengesahan UUD 1945, maka sejak saat itu, semua cara pandang bangsa Indonesia merujuk kepada 5 (lima) sila yang diawali dengan Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila Pertama ini menegaskan bahwa semua warga negara memiliki kemerdekaan yang terbatas yakni pada Tuhan Yang Maha Esa, bukan kemerdekaan beragama yang sebebas-bebasnya, seperti dahulu Partai Komunis Indonesia (PKI) mengagendakannya.
Secara tegas, Ir. Sakirman, dalam pidatonya di Majlis Kontituante menginginkan agar sila Ketuhanan Yang Maha Esa diganti dengan sila “Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan Hidup.” (Lihat Pidato Ir. Sakirman dalam buku Pancasila dan Islam: Perdebatan antar Parpol dalam Penyusunan Dasar Negara di Dewan Konstituante, editor: Erwien Kusuma dan Khairul (Jakarta: BAUR Publishing, 2008)).
Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan Yang Satu, sebagaimana tulisan seorang Kristiani I.J. Setyabudi. Bahkan, menurut Kasman Singodimedjo dalam “Hidup Itu Berjuang” menjelaskan penegasan Bung Hatta: “Bung Hatta sendiri pada bulan Juni dan Agustus 1945 menjelaskan bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu ialah Allah, tidak lain kecuali Allah. Bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu adalah Allah, Allahu Ahad, Allahus Somad, Allah yang Tunggal, dan dari Allah yang Esa itulah sesuatunya di alam semesta ini, dan siapa pun juga bergantung dan tergantung.” Sila ini menegaskan penolakan kepada Animisme juga Politeisme.
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab bukanlah Kemanusiaan Yang Zhalim dan Biadab (Tanpa Adab). Manusia yang zhalim adalah manusia yang berada dalam kegelapan, tidak mendapatkan cahaya Allah, sehingga menyekutukan Allah, tidak mengenali otoritas yang dapat dipercaya, tidak bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya, dan tidak bisa menyesuaikan antara hak dan kewajiban.
Hal itu terjadi karena ketiadaan kedisiplinan akal, jiwa dan jasad menuju amal shalih yang diridhai Allah. Maka adil dan adab sangat berkorelasi, agar adil tidak dipahami dengan ‘justice’, dan adab tidak dipahami dengan ‘karakter, moralitas, atau budi pekerti, mengingat kedua kata tersebut hanya dapat ditemukan di dalam Al-Qur’an atau As-Sunnah semata hari ini. Sila kedua ini tentu bertentangan dengan kemanusiaan yang humanis yang berkembang di Barat, karena kemanusiaan Pancasilais bukanlah kemanusiaan yang meyakini humanisme yang bertentangan secara diametral.
Persatuan Indonesia dibangun di atas perbedaan suku, adat, agama dan adat istiadat yang begitu kaya di Indonesia. Nilai-nilai toleransi dalam agama dan budaya yang ada di Indonesia memang memudahkan terwujudnya persatuan sebagai negara yang besar di atas keragamannya.
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan mendorong lahirnya ekosistem musyawarah di antara para wakil rakyat yang penuh hikmah.
Perhatikan bahwa diksi ‘musyawarah, wakil, hikmah, bahkan rakyat (ra’iyah atau berjiwa kepemimpinan dan penuh rasa tanggung jawab kepada Allah)’ akan dengan mudah dipahami dengan merujuk sumber diksinya.
Sila ini bertentangan dengan ekosistem pengambilan keputusan yang meninggalkan musyawarah dan menuhankan ‘voting’ dari orang-orang yang belum tentu semuanya memiliki hikmah dan bersifat ra’iyah.
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia adalah keadilan yang tidak melihat identitas sosialnya selama ia adalah warga negara yang tunduk pada Tuhan Yang Maha Esa. Keadilan Sosial disini bukanlah keadilan yang membangun tirani minoritas pada mayoritas atau diskriminasi atas mayoritas oleh minoritas.
Keadilan sosial disini adalah keadilan yang membangun keserasian daripada kesetaraan, identitas daripada tanpa identitas, kemanfaatan daripada keuntungan diri, berbagi daripada mencuri, merawat bumi daripada merusaknya, fokus pada ekspor daripada impor, kemandirian daripada keberhutangan, investasi daripada jalan pintas, dan hal-hal lainnya sebagai konsekuensi logis kecintaan pada seluruh Rakyat Indonesia.
Dengan demikian, Pancasila adalah dasar negara, bukan dasar beramal, karena semua rakyat Indonesia beramal di atas beragama. Dengan Pancasila, terdapat kesamaan cara pandang atas semua umat beragama, atas semua umat yang Berketuhanan Yang Maha Esa, karena sebab utama (Causa Prima) dari Pancasila bukanlah Gotong Royong melainkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Garut, 13 Dzulqa’dah 1444 H/02 Juni 2023 M
@supraha | t.me/supraha