Oleh: Agustianto, M.Ag.
Kondisi ekonomi umat di Indonesia, secara umum, masih belum mandiri, bahkan masih jauh dari kemandirian. Parameter ketidak mandirian ekonomi umat itu terlihat pada banyak fakta dan kondisi objektif perekonomian umat, yaitu :.
Pertama, angka kemiskinan masih menggurita di Indonesia. Kalau digunakan indicator kemiskian menurut ILO dimana perkapita di bawah 2 dolar sehari, maka angka kemiskinan di Indonesia mencapai 100 juta jiwa lebih. Bagaimana bisa dikatakan mandiri, kalau kemiskinan masih menggeluti umat. Kedua, sumber daya alam Indoensia yang strategis umumnya dikuasai oleh asing. Minyak Bumi dikuasai oleh asing sebesar 87 persen, Dengan demikian Indoenesia hanya menguasai 13 persen SDA minyak bumi, Fakta ini membuat bangsa kita (yg sebagian besar umat), tergantung kepada asing. Demikian pula hasil SDA lainnya, seperti emas dan gas. Ketiga, kebutuhan pangan bagi rakyat yang semakin tergantung dari import dengan tingkat ketergantungan yang semakin tinggi. Fakta ini jelas menunjukkan ketidakmandirian pangan umat.
Keempat, lembaga produsen yang memproduksi kebutuhan umat, hampir semuanya dikuasai minhum (non umat), seperti kebutuhan sehari-hari sabun, shampoo, susu, odol dan hampir semua kebutuhan sehari-hari. Peran umat sangat kecil, bahkan umat, bukan saja marginal dalam produksi, tetapi juga marginal dalam penguasaan jalur distribusi. Karena produsen bukan berasal dari gerakan ekonomi umat, maka posisi umat hanya sebagai konsumen belaka.Kebutuhan konsumsi umat tergantung kepada gerakan ekonomi lain. Seaharusnya bank-bank syariah dapat membiayai produsen-produsen muslim.
Kelima, jumlah pengusaha kecil dan mikro masih mendominasi di Indonesia, jumlahnya mencapai 40 jutaan. Usaha-usaha mikro dan kecil atau apa yang dikenal dengan “sector informal” atau lebih jelas lagi self-employed workers memiliki pendapatan yang sangat rendah. misalnya, penjual bakso, nasi goreng keliling, penjual sayur, pedagang asongan, warteg sederhana, pedagang kaki lima (PKL), tukang parkir, dan lain-lain yang umumnya produktifitasnya rendah, sehingga pendapatannya pun rendah sekali.
Keenam, asset bank-bank syariah dan lembaga keuangan syariah masih kecil, selebihnya adalah didominasai lembaga keuangan konvensional. Merket share bank syariah baru sekitar 3 persen. Asset yang kecil ini, tentu berdampak terhadap kecilnya peran bank syariah dan sekaligus berimplikasi pada kecilnya upaya memandirikan umat. Selain itu, Lembaga perbankan konvensional ini mayoritas dimiliki asing, yaitu sekitar 67 persen, Secara makro fakta ini berpengaruh pada perwujudan kemandirian ekonomiumat, Jika ekonomi lebih dominan dikuasai asing, maka upaya memandirikan ekonomi umat akan terkendala.
Kendala dan tantangan
Cita cita mewujudkan kemandirian ekonomi umat sampai kini memang masih jauh panggang dari api. Upaya untuk membangkitkan kemandirian itu menghadapi sejumlah tantangan dan kendala, antara lain struktur kekuasaan yang belum pro-umat. Struktur eksisting itu merupakan tembok terjal menuju kemandirian ekonomi umat Baik itu kekuasaan yang ber asal dari dalam negeri (internal), kekuasaan ekonomi-politik neoliberalisme (eksternal), ataupun penggabungan dari keduanya.
Di tengah kepungan globalisasi ekonomi saat ini, rakyat dibiarkan sendiri bergelut dengan pasar (market) tanpa intervensi dari negara. Rencana pencabutan subsidi BBM yang marak akhir-akhir ini merupakan fakta aktual ketidakberdayaan negara berhadapan dengan pasar (market). Belum lagi serangkaian perjanjian free trade seperti ACFTA. Di tengah kepungan tersebut, seharusnya negara lebih proaktif membantu umat untuk bangkit dan mandiri dan bukan sebaliknya, yakni melakukan pencabutan subsidi serta membiarkan rakyat dan umat berjalan sendiri.
Memandirikan ekonomi umat
Upaya mewujudkan kemandirian ekonomi umat, merupakan sebuah pekerjaan besar dan panjang. Pertama, membangun etos entreprenership ummat dan membekali mereka dengan skills yang unggul dan berdaya saing. Kedua, melaksanakan training-training dan workshop keterampilan. Hal ini penting, karena kualitas SDM umat masih rendah. Selain itu perlu meningkatan kualitas pendidikan dan strata pendidikan umat melalui pendidikan formal, Ketiga, Jika Usaha kecil itu merupakan produduen, maka mereka harus dibantu dalam pamasaran produk-produknya. Keempat meningkatkan kualitas produk yang memenuhi standar sehingga. Kelima, memberikan dukungan permodalan melalui program pemerintah, lembaga perbankan dan keuangan mikro syariah. Keenam, mendorong dan memotvasi umat untuk produktif di sector pertanian, pertambangan, perkebunan, dsb, agar mereka mandiri secara ekonomi. Ketujuh, membantu usaha kecil dn mikro dalam mengakses lembaga perbankan, baik dalam pembuatan proposal, membuat laporan keuangan dan penerapan manajemen keuangan yang modern.
Kedelapan, optimalisasi peran pemerintah dalam kebijakan dan regulasi. Kebijakan pemerintah harus benar2 prorakyat (proumat). Kita harus mendesain system ekonomi yang lebih mengikuti kaidah-kaidah prorakyat yang menitikberatkan pada pemerataan dan kesejahteraan guna menghasilkan keadilan. Inilah elan vital ekonomi syariah. Kebijakan ekonomi baik di pusat maupun di daerah haruslah diarahkan untuk pemberdayaan umat menuju kemandirian.
Ekonomi syariah meniscayakan terwujudnya good governance yang prinsip-prinsipnya adalah aksesibilitas, transparansi dan akuntabilitas dalam semua aspek, termasuk (renegoisasi) kontrak karya. Kita harus kembali pada ajaran kemandirian yang diajarkan Umar bi Khattab,. “ Kuasai ekonomi dan produktif-lah, kalau tidak , saya khawatir kamu akan tergantung kepada mereka”. Semua ini dimaksudkan untuk mencapai peri kehidupan umat yang mandiri, yang bebas, merdeka (liberty), adil (equality, justice), dan sejahtera (prosperity).
Wirausahawan Muda dan Peran pemerintah
Munculnya wirausahawan muda muslim dan unit usaha yang dibentuk ormas Islam memang suata fakta yang menggembirakan, namun skalanya masih kecil. Perlu upaya massif dari segenap stake holder umat, utamanya pemerintah, cendikiawan (akademisi), lembaga bank-bank syariah, lembaga pendidikan, ormas Islam dan para pengusaha besar dari umat. Lahirnya wirauasaha muda muslim tersebut dapat menjadi titik awal terwujudnya kemandirian tersebut.
Upaya melahirkan wirausahawan muda tersebut harus dilaksanakan secara serius dan terprogram, terukur, dan harus terus menerus dilakukan. Faktor utama gerakan melahirkan wirausaha muda muslim, adalah political will pemerintah, yaitu melalui kebiajakan politik pemerintah, sebagaimana yang dilakukan pemerintah Malaysia.
Peluang bisnis harus diberikan sebesar-besarnya kepada rakyat (umat), demikian pula penciptaan iklim bisnis yang kondusif, regulasi yang pro rakyat, dsb. Akademisi, ulama dan pegiat ekonomi syariah serta LKS harus ikut sebagai penggerak dan terlibat langsung dalam program melahirkan wirausahawan. Bukankah Nabi selalu bersabda, tentang perlunya (wajibnya) mengembangkan entrepreneurship dalam kegaiatan ekonomi (HR.Ahmad) Langkah penting lainnya yang harus dilakukan adalah program training dan workshop dengan biaya utamanya dari pemerintah, baik Kementerian Koperasi, social, industry, perdagangan dan lembaga terkait, seperti Bapenas.
Peran pondok pesantren
Upaya pesantren dan komunitas yang mengajaarkan ketrampilan usaha perlu didukung. Program tersebut perlu semakin diperluas di pesantren-pesantren lain, agar memberikan dampak yang signifikan dalam penciptaan wirausaha muda muslim. Secara bertahap program ini berdampak pada munculnya pemuda-pemuda yang mandiri. Para pimpinan pondok pesanren yang belum melaksanakan program tersebut perlu diberi wawasan agar tergerak untuk menyiapkan munculnya wira usaha muda muslim. Namun jumlah pesantren yang menyiapkan munculnya wira usaha tersebut belum terlalu banyak. Padahal Jika 15.000 pesantren di Indonesia melakukan program terset, maka sedikit banyaknya akan berdampak pada lahirnya pemuda wira uasahaan yang mandiri.
Peranan lembaga keuangan Islam.
Sebagaimana saya sebut di atas, Lembaga perbankan dan keuangan syariah sangat berperan mendukung terbangunnya kemandirian ekonomi umat. Lembaga BPR Syariah seharusnya terdapat di tiap kabupaten kota. Sekarang jumlah BPR Syariah baru sekitar 149, berarti masih banyak kabupaten dan kota yang belum memiliki BPR Syariah. Selain BPR Syariah, BMT, juga memiliki peran yang sangat penting. Kita sekarang sedang menggerakkan popgram SDSB Satu Desa Satu BMT. Jika kita memotret sebuah BMT Desa yang terdapat di desa Sidogiri Jawa Timur, niscaya gerakan kemandirian ekonomi umat akan berjalan sukses dan berdampak besar. BMT UGT di Sidogiri telah memberdayakan 60.000 nasabah. Assetnya sudah mencapai Rp 230 milyard, jauh melebihi asset rata-rata BPR Syariah. Belum termasuk koperasi pesantren yang telah meiliki 32 mini market, semacam indomaret dan alfamart. Lembaga-lembaga perbankan dan keuangan syariah ini, sudah seharusnya berupaya keras untuk memandirikan ekonomi umat. Untuk itu masyarakat, aghniyah, ulama dan pemerintah daerah seharusnya mendirikan dan mengembangkan lembaga-lembaga keuangan mikro syariah, seperti BPR Syariah dan BMT, serta koperasi syariah. Program pendampingan kepada usaha kecil dan mikro perlu dilakukan, demikian pula penciptaan kelompok usaha bersama melalui BMT, harus diteruskan dan diperluas oleh pemerintah(Depsos),
Bank-bank syariah baik bank umum maupun unit usaha syariah seharusnya juga didukung segenap kaum musulimin Indonesia, agar besaran market sharenya meningkat yg pada gilirannya akan berdampak pada kemandirian ekonomi umat. Kita harapkan kepada bank-bank syariah untuk tetap dan terus pro kepada umat agar ekonomi umat mandiri dan sejahtera. Selama ini, pembiayaan bank-bank syariah 70 persen sudah diperuntukkan bagi usaha kecil.
Sumber: http://www.iaei-pusat.org/article/kiat-bisnis/mewujudkan-kemandirian-ekonomi-umat–1?language=id