Jabatan dalam Pemerintahan
Ahludz-Dzimmah juga memiliki hak untuk menduduki jabatan-jabatan dalam pemerintahan seperti halnya kaum Muslimin, kecuali jabatan-jabatan yang memiliki warna keagamaan seperti jabatan sebagai Imam, pemimpin, tertinggi negara, panglima tentara, hakim untuk kaum Muslimin, penanggung jawab urusan zakat dan sedekah (termasuk wakaf dan sebagainya).
Sebabnya ialah keimaman dan kekhalifahan adalah kepemimpinan umum di bidang agama dan dunia sekaligus, yakni perwakilan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sudah barang tentu tidaklah dibolehkan mewakili (atau menggantikan) kedudukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal itu kecuali seorang Muslim. Dan tidaklah masuk akal bahwa seseorang akan melaksanakan hukum-hukum Islam dan memeliharanya dengan baik kecuali seorang Muslim.
Kepemimpinan atas Angkatan Bersenjata bukanlah urusan yang semata-mata bersifat sekular, tapi itu adalah kegiatan dari ibadah dalam Islam. Sebab jihad merupakan puncak ibadah dalam Islam.
Peradilan adalah penerapan hukum Syariat Islam, sedangkan seorang non-Muslim tidak mungkin dituntut agar menerapkan suatu hukum yang ia sendiri tidak percaya kepadanya.
Demikian pula urusan zakat dan sebagainya adalah tugas-tugas keagamaan.
Tugas-tugas pemerintahan di luar bidang-bidang tersebut di atas boleh diserahkan kepada Ahludz. Dzimmah apabila terpenuhi persyaratan-persyaratannya pada diri mereka seperti kecakapan, kejujuran dan kesetiaan kepada negara. Tentunya mereka itu harus tidak termasuk orang-orang yang memendam rasa dengki dan benci terhadap kaum Muslimin, yaitu mereka yang disebutkan dalam firman Allah SWT:
“Hai orang-orang beriman, jangan kamu ambil menjadi wali (pemimpin atau teman kepercayaanmu) orang-orang yang di luar kalanganmu karena mereka tidak henti-hentinya menimbulkan kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut-mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar. Sungguh, telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat Kami jika kamu (mau) memahaminya. “ (Q.S. Ali Imran, 3 : 118)
Demikian tingginya toleransi kaum Muslimin sehingga beberapa dari para fuqaha terpandang seperti Al-Mawardi menyatakan dalam bukunya Al-Ahkam as-Sulthaniyah tentang dibolehkannya seorang Dzimmi menduduki jabatan Kementerian Pelaksanaan (Wizarah Tanfidz). Yang dimaksud dengan Menteri Pelaksanaan ialah seorang yang meneruskan perintah-perintah dan keputusan-keputusan İmam serta melaksanakannya.
Ini berbeda dengan pejabat Kementerian Perwakilan (Wizarah Tafwidh) yang kepadanya dikuasakan sepenuhnya pengaturan-pengaturan urusan politik, administrasi dan ekonomi negara oleh imam.
Di masa pemerintahan Abbasiyah, jabatan Kementerian Pelaksanaan ini beberapa kali telah dipegang oleh orang-orang Nasrani, antara lain Nashr bin Harun pada tahun 369 H dan Isa bin Nasthores pada tahun 380 H.
Sebelum itu, Mu’awiyah bin Abu Sufyan mempunyai seorang sekretaris Nasrani bernama Sarjun.
Bahkan pada masa-masa tertentu, toleransi kaum Muslimin dalam hal ini telah melampaui batas sehingga menyia-nyiakan hak-hak kaum Muslimin sendiri dan menimbulkan ketidakadilan terhadap mereka, yang akhirnya menyebabkan kaum Muslimin itu melontarkan keluhan-keluhan akibat kekuasaan berlebih-lebihan kaum Yahudi dan Nasrani atas mereka, tanpa suatu alasan yang dapat dibenarkan.
Ahli sejarah dari Barat, Adam Mitz berkata:[1]
“Di antara hal-hal yang mengherankan kita ialah banyaknya orang-orang non-Muslim sebagai petugas negara dan pejabat penting yang memegang kendali pemerintahan dalam Negara Islam. Banyak dari kalangan orang-orang Nasrani yang dalam praktek sepenuhnya memerintah kaum Muslimin di negara-negara İslam. Keluhan tentang hal ini merupakan hal yang sudah lama dibicarakan di mana-mana. Seorang penyair Mesir[2] melukiskan kekuasaan kaum Yahudi atas para pejabat pemerintahan sebagai berikut:
Yahudi masa ini telah mencapaİ
puncak idaman sebagai penguasa negeri.
Kejayaan dan kekayaan di tangan mereka,
penasihat dan pengendali pemerintah pun dari mereka.
Hai penduduk Mesir, kunasihati kalian: ‘Jadilah Yahudi, alam sekitar pun telah menjadi Yahudi
“Ketika menyaksikan kekuasaan orang-orang non-Muslim atas kaum Muslimin di zamannya sehingga berani melakukan penekanan terhadap para ulama dan fuqaha, seorang faqih Hanafi terkenal bernama ibn Abidin mendendangkan beberapa bait karangan seorang penyair:[3]
‘Kawan-kawan, bencana masa kini sungguh amat pahit,
namun yang terpahit adalah kejayaan kaum yang rendah budinya!
Kapankah masa ‘kan siuman dari kemabukannya
sehingga kusaksikan kaum Yahudi dalam kenistaan para fuqaha?!’ ”
Itulah akibat kebodohan dan penyimpangan yang dialami oleh masyarakat İslam pada masa-masa kemundurannya sehingga menyebabkan meningginya kejayaan kaum Yahudi dan merendahnya kedudukan kaum fuqaha.
Yang terakhir di antaranya yang tercatat dalam sejarah ialah tingkah laku pemerintahan Daulah Usmainyah di masa-masa terakhirnya, ketika menyerahkan banyak jabatan penting kepada sebagian rakyatnya yang non-Muslim serta mengangkat duta-duta besarnya di berbagai negeri asing yang sebagian beşar berasal dari orang-orang Nasrani, sementara mereka itu sama sekali tak peduli akan keruntuhan pemerintahan yang mereka wakili.
Jaminan Pelaksanaan Hak-Hak Tersebut
Sebagaimana telah diuraikan di atas, Syariat Islam menetapkan semua hal itu untuk rakyatnya yang non-Muslim, kemudian memberi jaminan atas terlaksananya kebebasan-kebebasan mereka, seraya menambahkan lagi dengan menandaskan berbagai pesan moral tentang perlakuan baik serta pergaulan dengan mereka secara lebih baik.
Akan tetapi, siapakah yang dapat menjamin dipenuhinya hak-hak ini serta dilaksanakannya pesan-pesan moral ini? Lebih-lebih lagi mengingat bahwa penyimpangan-penyimpangan dalam agama seringkali merupakan pengalang yang nyata.
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini memang mengandung kebenaran jika kita menujukan pan. dangan ke arah berbagai “perundang-undangan bumi” (yakni buatan manusia) yang juga menetapkan persamaan di antara seluruh warga negara dalam hak dan kewajiban, namun itu hanya merupakan tulisan di atas kertas semata-mata. ini mengingat bahwa kekuasaan hawa nafsu dan fanatisme yang tidak dapat diatasi oleh perundang-undangan tersebut disebabkan rakyat sama sekali tidak merasakan kesuciannya dan tidak mengimani dalam lubuk hati mereka akan keharusan tunduk dan patuh kepada hukum-hukumnya.
Catatan Kaki:
[1] Peradaban Islam di Abad IV Hijriyah, karangan Adam Mitz, terjemahan Muhammad Abdul Hadi Abu Raidah, cetakan ke-4, bab “Orang-orang Yahudi dan Nasrani”, jilid 1, hal. 86.
[2] Ia adalah Hasan Khaqan seperti disebutkan oleh As-Suyuthi dalam bukunya Husnul Muhadharah, jilid II, hal. 117; lihat pula Adam Mitz, Peradaban Islam, jilid I, hal. 118.
[3] Hasyiyah Ibn Abidin, jilid III, hal.379.