(Diringkas dari Ghairul Muslimin fil Mujtama’ Al-Islami, karangan DR. Yusuf Qaradhawi)
Ahludz Dzimmah
Telah menjadi tradisi (urf) dalam Islam menamakan warga negara non-muslim dalam masyarakat Islam sebagai Ahludz-Dzimah atau Adz-Dzimmiyyun (orang-orang Dzimmi).
Kata dzimmah berarti perjanjian, jaminan, dan keamanan. Mereka dinamakan demikian karena mereka memiliki jaminan perjanjian (‘ahd) Allah dan Rasul-Nya serta jama’ah kaum Muslimin untuk hidup dengan aman dan tenteram di bawah perlindungan Islam dan dalam lingkungan masyarakat Islam. Jadi, mereka berada dalam jaminan keamanan kaum Muslimin berdasarkan akad dzimmah. Dengan demikian, dzimmah ini memberikan kepada orang-orang non-Muslim suatu hak yang di masa sekarang mirip dengan apa yang disebut sebagai kewarganegaraan politis yang diberikan oleh negara kepada rakyatnya. Dengan itu pula mereka memperoleh dan terikat pada hak-hak dan kewajiban-kewajiban semua warga negara.
Atas dasar ini, seorang dzimmi termasuk Ahlu-Daril-Islam (warga dari negeri Islam) menurut istilah fuqaha,[1] atau penyandang kewarganegaraan Islam, menurut istilah orang-orang sekarang.[2]
Akad dzimmah ini adalah akad yang berlaku selama-lamanya, mengandung ketentuan membiarkan (membolehkan) orang-orang non-Muslim tetap dalam agama mereka di samping menikmati perlindungan dan perhatian jama’ah kaum Muslimin, dengan syarat ia membayar jizyah serta berpegang pada hukum-hukum Islam dalam hal-hal yang tidak berhubungan dengan masalah-masalah agama. Dengan ini, mereka menjadi bagian dari Darul-Islam.
Jadi, akad ini memnumbuhkan hak-hak yang sama-sama berlaku di antara kedua pihak, yakni kaum Muslimin dan Ahludz-Dzimmah, di samping kewajiban-kewajiban mereka semuanya.
Hak-hak apakah yang telah dijamin oleh Syariat Islam bagi Ahludz-Dzimmah? Apa pula kewajiban-kewajiban mereka?
(Bersambung)
Catatan Kaki:
[1] Lihat: As-Sarkhasi, Syarh As-Siyar Al-Kabir, jilid 1, hal. 140; Al-Kasani, Al-Badai’, jilid V, hal. 281; dan Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid V, hal. 516.
[2] Lihat: Abdul Qadir Audah, At-Tasyri Al-Jinai Al-Islami, jilid I, hal. 307; dan Dr. Abdul Karim Zaidan, Ahkam Adz-Dzimmiyyin wal Mustakmin fi Daril Islam, pasal 49-51, hal. 63-66.