Oleh: Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi
Kebebasan Beragama
Diantara hak-hak Ahludz-Dzimmah yang dijaga dan dilindungi oleh Islam Ialah hak kebebasan. Yang terpenting di antaranya İalah kebebasan beragama dan beribadah. Setiap orang berhak memeluk agama dan alirannya masing-masing. Tidak boleh dipaksa untuk meninggalkannya ataupun dilakukan penekanan dengan cara apa pun agar berpindah ke agama Islam.
Landasan hak ini ialah firman Allah SWT,
لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ
“Tidak ada paksaan untuk memasukİ Agam Islam, telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah.” (Q.S. Al-Baqarah, 2:256)
Dan firman-Nya,
اَفَاَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتّٰى يَكُوْنُوْا مُؤْمِنِيْنَ
“Maka apakah kamu hendak memaksa manusİa supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (Q.S. Yunus, 10: 99)
Dalam menafsirkan ayat pertama di atas, Ibn Katsir berkata: “Artinya, jangan memaksa siapa pun untuk memeluk agama Islam. Sebab sudah cukup jelas petunjuk-petunjuk dan buktİ-buktİnya, sehingga tidak perlu ada pemaksaan terhadap seseorang untuk memasukinya.” Sebab turunnya ayat tersebut seperti dinyatakan para ahli tafsir, menunjukkan kepada kita sebagian dari kehebatan agama ini. Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Abbas berkata: “Adakalanya seorang wanita yang mandul atau kurang subur menetapkan atas dirinya sendiri, jika ia melahirkan seorang anak yang dapat terus hidup kelak, akan di-Yahudikannya (hal İni merupakan kebiasaan wanita-wanita Ansar di zaman Jahiliyah). Maka ketika Bani Nadhir (suatu suku kaum Yahudi) diusir dari perkampungan mereka, di antara mereka terdapat beberapa putra dari keluarga Ansar. Ayah-ayah mereka berkata: ‘Kita tidak akan membiarkan anak-anak kita.’ (maksudnya tidak akan kami biarkan mereka tetap beragama Yahudi agar mereka tidak ikut terusir — penerj.). Maka Allah SWT menurunkan ayat ini: ‘Tidak ada paksaan dalam agama.’”[1]
Demikianlah, kendati usaha-usaha pemaksaan itü berasal dari para ayah yang ingin melindungi anak-anak mereka sendiri daripada mengikuti musuh-musuh yang memerangi dan yang berlainan dalam agama dan kebangsaannya, dan kendati kondisi-kondisi khusus yang menyebabkan anak-anak itu memeluk agama Yahudi pada waktu mereka masih kanak-kanak, dan kendatİ keadaan dunia waktu itu yang diliputİ gelombang penekanan dan penindasan terhadap orang-orang yang berlainan mazhab, apalagi agama. Seperti yang berlaku pada mazhab agama negara Romawi yang memaksakan pilihan kepada rakyatnya untuk memİlİh antara agama Nasrani atau dibunuh, namun ketika negara akhirnya menganut mazhab keagamaan tertentu setelah itu, mereka pun melaksanakan pembantaian terhadap para peng anut aliran-aliran yang tidak sejalan dengan aliran resmi baik dari kalangan Ya’qubiyah (Yacobitic) ataupun lainnya. Kendati semua ini, Al-Quran menolak adanya pemaksaan. Sebaliknya, siapa saja yang beroleh hidayah dari Allah SWT dan dilapangkan dadanya serta disinari mata-hatinya, akan memeluk agama Islam atas dasar kesadarannya sendirİ. Dan siapa saja yang dibutakan mata-hatinya oleh Allah SWT serta dikunci-mati pandangan serta penglihatannya, tidak akan bermanfaat baginya memeluk agama Islam secara terpaksa (sepertİ diuraikan oleh İbn Katsir). Iman, sebagaimana dikenal di kalangan kaum Muslimin, bukan hanya kalimat yang diucapkan secara lisan atau gerakan dalam upacara keagamaan yang dilaksanakan oleh anggota tubuh semata, namun pokok iman ialah pengakuan hati, kepatuhan serta penyerahan diri sepenuhnya.
Karena itu, sejarah tidak pernah mengenal suatu bangsa Muslim memaksa Ahludz-Dzimmah untuk memeluk Islam; hal mana telah diakui oleh para ahli sejarah dari orang-orang Barat sendiri. Demikian pula Islam telah menjaga dan memelihara baik-baik rumah-rumah ibadat milik orang-orang non-Muslim serta menghargai kesucian upacara-upacara ritual mereka, bahkan Al-Quran telah menjadikan di antara sebab-sebab dibolehkannya berperang ialah demi melindungi kebebasan beribadah. Firman Allah SWT,
“Telah diizinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuasa menolong mereka. Yaitu orang-orang-yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata ‘Tuhan kami hanyalah Allah. ‘ Dan sekiranya Allah tiada menolak keganasan sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.” (Q.S. Al-Hajj, 22: 39-40)
Kita telah melihat bagaimana akad perjanjian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kaum Nasrani penduduk Najran meliputi jaminan perlindungan Allah dan Rasul-Nya terhadap harta-benda, agama, dan rumah-rumah ibadat mereka.
Dalam pesan perjanjian Umar bin Khattab pada penduduk Iliya (Yerusalem), terdapat ketentuan yang menetapkan bagi mereka kebebasan beragama serta perlindungan keamanan bagi gereja-gereja mereka dan upacara-upacara keagamaan mereka yang bunyinya sebagai berikut:
“Inilah janji perlindungan keamanan yang diberikan oleh hamba Allah, Umar Amirul Mukminin kepada penduduk Iliya, yaitu keamanan bagi diri mereka, harta-benda, gereja-gereja, salib-salib serta segala keperluan peribadatan mereka. Bangunan gereja mereka tidak akan diduduki, dirobohkan ataupun dikurangi luasnya, diambil salib-salibnya ataupun apa saja dari harta-benda mereka. Tidak pula mereka akan dipaksa meninggalkan agama mereka atau diganggu dengan suatu gangguan dan tidak akan diperbolehkan seseorang dari kaum Yahudi bertempat tinggal di Iliya bersama mereka. ” (Demikian se perti diceritakan oleh at-Thabari).[2]
Dalam janji perlindungan Khalid bin Walid bagi penduduk Anax, mereka dibolehkan membunyikan lonceng-lonceng gereja mereka kapan saja mereka menghendakinya, di siang hari atau di malam hari (kecuali pada waktu-waktu salat jamaah di masjid-masjid), serta dibolehkan pula memamerkan salib-salib mereka pada hari-hari raya mereka.[3]
Satu-satunya yang diminta oleh Islam dari penduduk non-Muslim ialah menenggang perasaan kaum Muslimin dan menjaga kesucian agama Islam, yaitu dengan tidak menonjolkan upacara-upacara kegamaan mereka serta memamerkan salib-salib secara mencolok di kota-kota kaum Muslimin. Tidak pula membangan gereja-gereja baru di kota-kota tersebut yang sebelumnya tidak memiliki gereja. Ini semua mengingat bahwa menonjolkan hal-hal tersebut secara demonstratif dapat mengesankan suatu penantangan terhadap perasaan kaum Muslimin dan Yang dikhawatirkan dapat menimbulkan kerusuhan dan keonaran.
Meskipun demikian, ada juga dari kalangan fugaha Yang membolehkan bagi Ahludz-Dzimmah membangun gereja-gereja, kuil-kuil dan sebagainya di kota-kota kaum Muslimin serta di negara-negara yang ditaklukkan dengan kekuatan oleh mereka, yakni meskipun penduduknya sebelum itu telah memerangi kaum Muslimin dan tidak mau tunduk kecuali dengan kekuatan senjata. Kelonggaran-kelonggaran ini tentunya, bilamana diizinkan oleh Imam (penguasa) kaum Muslimin sesuai dengan suatu maslahat menurut pandangannya, dan mengingat pula bahwa Islam telah membiarkan tetap pada kepercayaan-kepercayaan mereka.
Pendapat seperti tersebut di atas antara lain berasal dari kaum Syiah Zaidiyah dan Imam al-Qasim dari pengikut mazhab Maliki.[4]
Tampaknya, yang demikian itulah yang dipraktekkan oleh kaum Muslimin seperti ditunjukkan oleh sejarah mereka, dan ini telah dimulai sejak waktu yang dini. Pada abad pertama Hijriyah misalnya, di Mesir telah dibangun beberapa gereja seperti Gereja Markus di kota Alexandria antara tahun 39 dan 56 H, demikian pula gereja pertama di Fustath (Mesir) di lorong orang-orang Rum, pada masa pemerintahan Maslamah bin Mukhallad antara tahun 47 dan 68 H. Juga Abdul Aziz bin Marwan, ketika membangun kota Halwan, telah memberi izin kepada beberapa uskup untuk membangun dua buah biara. Dan masih banyak lagi contoh-contoh seperti itu.
Ahli sejarah al-Maqrizi dalam bukunya Al-Khuthath menyebutkan banyak contoh, lalu menutup uraiannya itu sebagai berikut: “Semua gereja di kota Kairo, tak syak lagi, baru dibangun pada waktu belakangan.”[5]
Adapun di desa-desa dan tempat-tempat yang bukan merupakan kediaman kaum Muslimin. mereka (Ahludz-Dzimmah) itu tidak dilarang menonjolkan upacara-upacara keagamaan mereka dan memperbaharui bangunan-bangunan gereja mereka yang lama atau membangun yang baru, bila hal itu memang dibutuhkan mengingat makin besarnya jumlah mereka.
Toleransi terhadap para penganut agama lain, seperti dipraktekkan oleh kaum Muslimin yang hidup mereka sepenuhnya berlandaskan agama, dan di saat mereka telah meraih kemenangan dan kekuasaan sempurna, adalah sesuatu yang belum pernah dikenal dalam sejarah agama-agama lain. Hal ini bahkan diakui oleh orang-orang Barat sendiri.
Ilmuwan Prancis Gustave Le Bon berkata: “Telah kita lihat dari ayat-ayat Al-Quran yang disebutkan sebelum ini bahwa toleransi yang ditunjukkan oleh Muhammad terhadap kaum Yahudi dan Nasrani sungguh amat agung. Tidak seorang pun di antara para pendiri agama-agama yang datang sebelumnya seperti agama Yahudi dan Nasrani pada khususnya, pernah melakukan hal seperti itu. Dan kita akan melihat pula bagaimana para khalifah (pengganti Muhammad) telah mengikuti jejaknya. Toleransi seperti itu telah diakui oleh sebagian ilmuwan Barat, baik mereka yang tetap masih dilanda kebingungan ataupun sejumlah kecil dari mereka yang percaya sepenuhnya, setelah mendalami sejarah bangsa Arab. Beberapa ungkapan Yang kami kutip dari buku-buku mereka (yakni para ilmuwan Barat) membuktikan bahwa pendapat seperti iłu bukan hanya monopoli kami saja. Dałam buku sejarah Charlemagne, Robertson berkata: ‘Hanya kaum Muslimin sajalah yang begitu besar pembelaannya terhadap agama mereka, namun di waktu yang sama memiliki jiwa toleransi yang tinggi terhadap para pengikut agama-agama lain. Dan kendati meteka iłu bersedia mengunakan tajamnya pedang untuk menyebarkan agama Islam, namun mereka juga membiarkan orang-orang yang tidak ingin memeluknya tetap bebas dałam berpegang erat-erat pada ajatan-ajaran agama yang dipeluknya.’”[6]
Catatan Kaki:
[1] Ibn Katsir menisbahkannya kepada Ibn Jarir. Katanya: “Telah dirawikan oleh Abu Daud, Nasai, Ibn Abi Hatim dan Ibn Hibban dalam Sahih-nya. Beğtulah disebutkan oleh Mujahid, Sa’id bin Jubair, Sya’bi, Hasan Bashri dan lain-lainnya tentang turunnya ayat tersebut.” (Lihat Tafsir İbn Katsir, jilid I, hal. 310).
[2] Tarikh At-Thabari, Cetakan Darul Ma’arif, Mesir, Jilid III, hal. 609.
[3] Abu Yusuf, AI-Kharaj, hal. 146.
[4] Ahkamudz-Dzimmiyyin wal Mustakmanln, hal. 96, 99
[5] Lihat: Al-Islam wa Ahludz-Dzimmah, karangan Dr. Ali Hasan Al-Kharbuthli, hal. 139; juga The Preaching of Islam karya Thomas W. Arnold, hal. 84, 86, Cetakan ke 3, terjemah Dr. Hasan Ibrahim dan kawan-kawan.
[6] Catatan kaki, hal. 128 dari buku Hadharatul Arab, terjemah Adil Zu’aitir.