Pihak penyelenggara pembentukan blok baru di Ethiopia mengatakan bahwa pasukan Tigray telah bergabung dengan kelompok bersenjata dan oposisi lainnya dalam sebuah koalisi baru melawan Perdana Menteri Abiy Ahmed untuk mempersiapkan masa pemerintahan transisi politik baru setelah satu tahun perang saudara yang menghancurkan Ethiopia.
Penandatanganan pembentukan koalisi baru yang berlangsung di Washington pada hari Jumat (05/11/21) itu disepakati oleh pasukan Tigray (yang memerangi pasukan pemerintah Ethiopia dan sekutunya) di samping Tentara Pembebasan Oromo yang bergabung bersama pasukan Tigray, dan tujuh fraksi bersenjata lain dari seluruh negeri.
Koalisi baru, Front Persatuan Pasukan Federal Ethiopia atau The United Front of Ethiopian Federalist Forces berusaha untuk membangun sebuah lembaga transisi di Ethiopia sampai perdana menteri Abiy Ahmed bisa mundur secepatnya, kata Yohannes Abraha, salah seorang penyelenggara acara tersebut yang berasal dari kelompok Tigray.
“Langkah selanjutnya, tentu saja kami akan mulai bertemu dan berkomunikasi dengan negara-negara lain, para diplomat dan pihak-pihak internasional lain baik di Ethiopia dan luar negeri,” jelas Abraha. Ia juga menegaskan bahwa koalisi baru itu bersifat politik dan militer serta tidak memiliki ‘hubungan’ dengan pemerintahan Ethiopia saat ini.
Sembilan fraksi yang bergabung dalam koalisi baru itu bertekad untuk segera mengakhiri pemerintahan Abiy Ahmed yang mereka anggap ilegal baik dengan kekuatan militer maupun diplomasi.
Koalisi baru itu dibentuk ketika utusan khusus AS Jeffrey Feltman bertemu dengan pejabat senior pemerintah di ibukota Ethiopia di tengah seruan untuk segera dilakukannya gencatan senjata dan pembicaraan untuk mengakhiri perang yang telah menewaskan ribuan orang sejak November 2020. Amerika Serikat mengatakan Feltman telah bertemu dengan wakil perdana menteri dan sekretaris pertahanan dan keuangan pada hari Kamis (04/11/21).
Pada hari Selasa (02/11/21) lalu, Pemerintah Ethiopia mengumumkan status darurat nasional selama enam bulan, setelah pasukan Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF) merebut sejumlah kota di wilayah Amhara dan lainnya seperti kota Dessie, Kombolcha, dan Burka yang sangat dekat dengan ibukota. Pasukan TPLF berencana menuju ibu kota dan segera merebut Addis Ababa.
Sebelumnya, pemerintah Ethiopia juga telah menyerukan kepada mantan tentara dan rakyat sipil untuk ikut mengangkat senjata melawan ‘pemberontakan’ pasukan Tigray yang merengsek ke Ibukota. Pasukan pemerintah menyerukan untuk mengumpulkan dan mendata semua senjata agar bisa digunakan melawan para pemberontak dan mempertahankan desa-desa mereka.
Sementara itu, kedutaan besar AS di Addis Ababa melalui akun Twitternya menyerukan kepada semua warga negaranya untuk segera meninggalkan Ethiopia sesegera mungkin ditengah keadaan genting dan tidak menentu dinegara itu.
Tigray People’s Liberation Front (TPLF) atau Front pembebasan rakyat Tigray adalah sebuah kelompok paramiliter di wilayah Tigray, selatan Ethiopia yang berbatasan dengan Sudan dan Eritrea. Kelompok ini telah mendominasi politik Ethiopia selama hampir tiga dekade. Namun, mereka kehilangan banyak pengaruh saat Abiy menjabat setelah bertahun-tahun protes anti-pemerintah.
Konflik antara TPLF dan Pemerintah Ethiopia mulai memuncak ketika parlemen Ethiopia menyetujui permintaan PM Abiy Ahmed untuk menunda pemilu yang seharusnya berlangsung bulan Juni 2020 serta memperpanjang masa pemerintahan Abiy Ahmed yang seharusnya berakhir pada Mei 2020. Langkah tersebut dianggap oleh wilayah Tigray sebagai tindakan yang menyalahi konstitusi dimana para anggota parlemen dari wilayah Tigray kemudian ramai-ramai mengundurkan diri.
Wilayah Tigray kemudian melangsungkan pemilu independen yang tidak diakui oleh pemerintah. Pada November 2020 kontak senjata antara pasukan Tigray dan pemerintah dimulai. Pasukan yang setia pada TPLF, termasuk sejumlah tentara kemudian merebut pangkalan militer di Tigray. Abiy lantas mengirim lebih banyak pasukan ke wilayah itu yang ia perkirakan akan takhluk dalam hitungan Minggu. Namun kini justru merangsek ke ibukota.
Akibat konflik tersebut, setidaknya sekitar 400 ribu orang terjerumus dalam kelaparan dan ribuan warga sipil telah tewas, serta 2,5 juta penduduk telah meninggalkan rumah mereka termasuk mengungsi ke negara tetangga mereka, Sudan.
Sumber: RTarabic, BBCarabic, Aljazeera dll.