Setelah Allah Ta’ala menciptakan Adam ‘alaihis salam dan meniupkan ruh padanya. Allah Ta’ala memerintahkan para malaikat untuk menyambut makhluk baru itu dengan penyambutan penghormatan dan pemuliaan.
إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ طِينٍ فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ
“(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: ‘Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah’. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh (ciptaan)–Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya”. (QS. Shaad: 71-72)
Dalam dua ayat ini terdapat beberapa pemuliaan yang Allah Ta’ala khususkan kepada Adam ‘alaihis salam, yaitu:
- Allah cipatakan Adam ‘alaihis salam dalam bentuk terbaik, paling sempurna, seperti yang ada dalam kata “taswiyah”
- Tiupan ruh
- Perintah kepada para malaikat untuk bersujud kepadanya.
Sujudnya malaikat kepada Adam ‘alaihis salam adalah sujud tahiyyah (penghormatan) dan takrim (pemuliaan), bukan sujud penyembahan dan peribadatan. Sebab sujud ibadah tidak boleh dilakukan kecuali kepada Allah Ta’ala. Dan Allah Ta’ala tidak pernah menyuruh siapapun menyembah selain-Nya.
Dari itulah tidak ada pembenaran bagi anggapan aneh sebagian orientalis tentang penetapan sujud para malaikat kepada Adam ‘alaihis salam dalam Islam, padahal yang diakui dalam agama ini adalah sikap tegas terhadap masalah tauhid dan penolakan kemusyrikan, serta mengkafirkan orang yang bersujud kepada selain Allah Ta’ala.[1]
Mereka lupa bahwa sujud ini adalah untuk memenuhi perintah Al-Khaliq, mengakui kekuasaan dan keagungan-Nya pada makhluk baru ini. Dan Allah Ta’ala telah mencatat kutukan abadi-Nya atas Iblis karena menolak perintah sujud ini.
قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا لَكَ أَلَّا تَكُونَ مَعَ السَّاجِدِينَ قَالَ لَمْ أَكُنْ لِأَسْجُدَ لِبَشَرٍ خَلَقْتَهُ مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ حَمَإٍ مَسْنُونٍ قَالَ فَاخْرُجْ مِنْهَا فَإِنَّكَ رَجِيمٌ وَإِنَّ عَلَيْكَ اللَّعْنَةَ إِلَىٰ يَوْمِ الدِّينِ
“Allah berfirman: ‘Hai iblis, apa sebabnya kamu tidak (ikut sujud) bersama-sama mereka yang sujud itu?’ Berkata Iblis: ‘Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia yang Engkau telah menciptakannya dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk’. Allah berfirman: ‘Keluarlah dari surga, karena sesungguhnya kamu terkutuk, dan sesungguhnya kutukan itu tetap menimpamu sampai hari kiamat’”. (QS. Al Hijr: 32-35)
Al Qurthuby mengatakan dalam tafsirnya: “Ada kaum yang berkata, bukanlah ini sujud yang biasa sekarang ini, dengan meletakkan dahi di atas tanah, akan tetapi sujud dalam makna lughawinya (bahasa), yaitu: merendah dan taat, artinya mereka patuh kepada Adam dan mengakui kemuliaannya.” [2].
Al ‘Aqqad berkata: “Kata sujud telah diketahui maknanya dalam bahasa Arab, sebelum bangsa Arab mengenal shalat dalam Islam. Mereka tidak pernah memahaminya bahwa kata sujud itu hanya bermakna ibadah, bukan lainnya. Karena mereka biasa mengatakan : Sajadtu sama dengan’aghdhadhtu (aku tundukkan kepala) asjada ‘ainahu sama dengan ghadhdha minha (memejamkan matanya) sajadatin nakhlatu (pohon kurma itu merunduk), sajada (menundukkan kepalanya untuk menghormati) sajada li ‘azhimin (menghormatinya, tenang di hadapannya). Tidak ada pertentangan antara makna kalimat ini, antara sujud kepada Adam dan tauhidullah. Sujud ini adalah untuk ta’zhim.”
Dalam Al Qur’an terdapat beberapa bukti kata sujud dengan makna lughawi, yaitu merunduk, diantaranya firman Allah Ta’ala,
وَالنَّجْمُ وَالشَّجَرُ يَسْجُدَانِ
“Dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan kedua-duanya tunduk kepada-Nya.” (QS. Ar Rahman: 6)
وَلِلَّهِ يَسْجُدُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مِنْ دَابَّةٍ وَالْمَلَائِكَةُ وَهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ
“Dan kepada Allah sajalah bersujud segala apa yang berada di langit dan semua makhluk yang melata di bumi dan (juga) para ma]aikat, sedang mereka (malaikat) tidak menyombongkan diri.” (QS. An Nahl: 49)
Nabi Yusuf ‘alaihis salam mengungkapkan,
إِذْ قَالَ يُوسُفُ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ إِنِّي رَأَيْتُ أَحَدَ عَشَرَ كَوْكَبًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ رَأَيْتُهُمْ لِي سَاجِدِينَ
“(Ingatlah), ketika Yusuf Berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku[3], Sesungguhnya Aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku.” (QS. Yusuf: 4)
Dalam ayat lain,
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَسْجُدُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ وَالنُّجُومُ وَالْجِبَالُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ وَكَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ ۖ وَكَثِيرٌ حَقَّ عَلَيْهِ الْعَذَابُ ۗ وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ
“Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia? Dan banyak di antara manusia yang Telah ditetapkan azab atasnya. dan barangsiapa yang dihinakan Allah Maka tidak seorangpun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang dia kehendaki.” (QS. Al Hajj: 18)
Sujud yang diperintahkan Allah Ta’ala diarahkan untuk memuliakan dan menghormati Adam ‘alaihis salam. Juga sebagai penghormatan kepada anak cucunya.
Penghormatan dan pemuliaan Allah Ta’ala kepada Adam ‘alaihis salam dan anak cucunya, ditunjukkan pula dengan hal-hal berikut ini,
Pertama, Allah Ta’ala telah muliakan Adam ‘alaihis salam dalam bentuk penciptaan yang paling baik bentuk dan sosoknya.
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At Tin: 4)
Kedua, Allah Ta’ala telah tundukkan apa yang ada di langit dan di bumi sesuai dengan kebutuhan manusia.
وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan dia Telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.” (Al Jatsiyah: 13)
Ketiga, Allah Ta’ala muliakan manusia dengan ilmu pengetahuan, yang membantunya melaksanakan perannya dalam hidup.
وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَٰؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ قَالُوا سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ قَالَ يَا آدَمُ أَنْبِئْهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ ۖ فَلَمَّا أَنْبَأَهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَأَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا كُنْتُمْ تَكْتُمُونَ
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: ‘Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!’ Mereka menjawab: ‘Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami.’” (QS.Al Baqarah: 31-32)
Keempat, Allah Ta’ala muliakan manusia dengan kekuatan akal yang mampu menangkap hakekat dan rahasia banyak hal.
Kelima, Allah Ta’ala muliakan manusia dengan sifat-sifat mulia yang merupakan pancaran dari sifat rububiyah, seperti: ilmu, kemampuan, pendengaran dan penglihatan.
Islam hadir mengumandangkan kemuliaan ini dengan jelas dan gamblang, sehingga membuka pintu kemuliaan dan himmah (obsesi pada kebaikan); memenuhi hatinya dengan tsiqah dan kemuliaan.
Bandingkanlah pemuliaan yang diberikan Islam dengan teori-teori filsafat modern tentang manusia, yang memandangnya sebagai makhluk paling rugi dan celaka. Manusia dilihat tidak lebih dari serangga hina, atau belatung yang ada di sampah kehidupan, seperti yang diungkapkan oleh Carter (?). Atau memandangnya tidak lebih dari seekor kera yang Allah Ta’ala ciptakan untuk bermain-main dalam waktu yang panjang dan melelahkan seperti yang dikatakan oleh Nietze.[4]
Dengan ini pula dapat kita ketahui betapa jahatnya seorang orientalis ketika mengatakan: “Al Qur’an memaksa mereka (muslim, red.) untuk menerima kehinaan asal-usulnya secara fisik”.[5]
Ungkapan ini betul-betul dusta. Sebab manusia belum pernah mendapatkan pemuliaan seperti yang diberikan Islam. Adapun penjelasan Islam tentang asal-usul manusia dari air dan tanah, adalah pengakuan terhadap realitas yang tidak mungkin ditolak, seperti yang diungkapkan secara logis dan dikuatkan oleh penelitian-penelitian ilmiah. Jika dilakukan uraian terhadap fisik manusia maka akan ditemukan susunan seperti yang terdapat dalam susunan tanah bumi ini—sebab manusia adalah bagian segumpal darinya—seperti hidrogen, besi, kalsium, potassium, karbon, dan lain-lain; demikian pula ketika manusia mati, fisiknya akan terurai kepada bahan dasar yang membentuk tanah bumi ini.
Sesungguhnya ketika Islam mengajak manusia untuk melihat asal penciptaannya, tiada lain adalah bertujuan untuk mengingatkannya akan kelemahan asalnya, mengingatkan ketidak berdayaannya sehingga tidak perlu bersikap melampaui batas, dan tersesat dari jalan lurus.
وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا
“…dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (QS.An Nisa’: 28)
Mengingatkan mereka pada asal muasalnya agar tidak sombong,
أَلَمْ نَخْلُقْكُمْ مِنْ مَاءٍ مَهِينٍ
“Bukankah kami menciptakan kamu dari air yang hina ?”[6] (QS. Al Mursalat: 20)
Islam tidak menjadikan fisik sebagai patokan dalam menilai keutamaan atau pemuliaan. Semua manusia berasal dari bahan yang sama. Tidak ada yang lebih utama yang membedakannya dari yang lain.
النَّاسُ مِنْ جِهَةِ التِّمْثَالِ أَكْفَاءُ — أَبُوهُمُ آدَمُ وَالْأُمُّ حَوَّاءُ إنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمُ مِنْ أَصْلِهِمْ شَرَفٌ — يُفَاخِرُونَ بِهِ فَالطِّينُ وَالْمَاءُ
Manusia itu dari sisi bentuknya sama, Ayahnya Adam dan Ibunya Hawa
Jika ada kemuliaan asal muasal yang dibanggakan, itulah dia: tanah dan air
Islam memperhitungkan kemuliaan manusia pada titik lain eksistensinya, yaitu sisi ruhiyah. Dari sisi inilah terdapat karakteristik manusia yang berhak dimuliakan dan dibanggakan, dan makhluk lain memberikan penghormatan.
Oleh karena itulah Islam menanggalkan kebanggaan terhadap unsur tanah atau kedekatan nasab dengan generasi masa lalu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّكُمْ بَنُو آدَمَ. وَآدَمُ خُلِقَ مِنْ تُرَابٍ، وَلَيَنْتَهِيَنَّ قَوْمٌ يَفْخَرُونَ بِآبَائِهِمْ، أَوْ لَيَكُونُنَّ أَهْوَنَ عَلَى اللَّهِ مِنَ الجِعْلان
“Kamu sekalian adalah anak-anak Adam, dan Adam diciptakan dari tanah; untuk itu hendaklah suatu kaum tidak lagi membangga-banggakan orang-orang tuanya, atau benar-benar mereka lebih rendah dari serangga tanah menurut Allah.” (HR. Al-Bazzar)
وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
“Barangsiapa yang lamban amalnya, maka nasabnya tidak bisa mengejarnya” (HR. Muslim no. 2699, dari Abu Hurairah).
اِنَّ اللهَ اَذْهَبَ عَنْكُمْ عُبّيَّةَ اْلجَاهِلِيَّةِ وَ فَخْرَهَا بِاْلاٰبَاءِ. اِنَّمَا هُوَ مُؤْمِنٌ تَقِيٌّ وَ فَاجِرٌ شَقِيٌّ. اَلنَّاسُ كُلُّهُمْ بَنُوْ اٰدَمَ وَ اٰدَمُ خُلِقَ مِنَ التُّرَابِ. الترمذى
“Sesungguhnya Allah telah menghilangkan dari kalian kesombongan jahiliyyah dan berbangga dengan nenek moyang. Sesungguhnya manusia itu hanya (ada dua), orang mukmin yang thaat atau orang jahat yang celaka. Manusia semuanya adalah keturunan Adam, dan Adam diciptakan dari tanah”. (HR. Tirmidzi)
Kehormatan manusia berpulang kepada aspek ruhiyah, bukan pada aspek tanahnya. Berpulang kepada tiupan dari atas bukan segenggam tanah yang rendah. Dengan aspek ruh manusia mampu mengemban pancaran sifat-sifat dari Yang Maha Tinggi, menjadikannya mendengar dan melihat, hidup, berbicara, membuat malaikat siap menyambutnya dengan senang.
Meskipun demikian, Islam juga mengingatkan manusia akan nilai materialnya, Islam tidak membiarkan aspek ini, bahkan memberikan perhatian padanya. Arahan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat jelas menunjukkan perhatian terhadap fisik manusia dan kebersihannya, sehingga bisa tampil dalam keadaan yang indah.
Islam membangun interaksi sesama manusia atas dasar pengakuan akan eksistensi manusia secara keseluruhan; fisiknya, ruhnya, akalnya, hatinya, minatnya, dan perasaannya. Kebahagiaan manusia dan ketenangannya dalam hidup tidak akan terwujud tanpa terpenuhinya dua sisi ini secara bersamaan. Inilah Islam yang menegaskannya pada setiap taujih (arahan), syariah (hukum) dan adab-nya (etika).
فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا ۗ فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِأُولَٰئِكَ لَهُمْ نَصِيبٌ مِمَّا كَسَبُوا ۚ وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“Apabila kamu Telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berdzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu[7] , atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang bendoa: ‘Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia’, dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat. Dan di antara mereka ada orang yang bendoa: ‘Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka’[8]. Mereka Itulah orang-orang yang mendapat bahagian daripada yang mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya.” (QS. Al Baqarah: 200-202)
Catatan Kaki:
[1] انظر: ” كتاب حقائق الإسلام وأباطيل خصومه ” للأستاذ العقـاد ، ص: 27 ، ط دار الهلال .
[2] تفسير القرطبي: ج 1/ ص: 273 .
[3] Bapak Yusuf a.s. ialah Ya’qub putera Ishak putera Ibrahim a.s.
[4] مع الأنبياء في القرآن الكريم – عفيف طبارة 43 .
[5] ibid
[6] yang dimaksud dengan air yang hina ialah air mani.
[7] Adalah menjadi kebiasaan orang-orang Arab Jahiliyah setelah menunaikan haji lalu bermegah-megahan tentang kebesaran nenek moyangnya. setelah ayat ini diturunkan maka memegah-megahkan nenek moyangnya itu diganti dengan dzikir kepada Allah.
[8] inilah doa yang sebaik-baiknya bagi seorang muslim.