Pendahuluan
Nabi Muhammad saw wafat pada tahun 11 Hijriyah, meninggalkan Al-Quran dan As-Sunnah sebagai pedoman hidup umat. Kepemimpinan Islam kemudian dipegang oleh Abu Bakar As Siddiq, Umar Bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, yang dikenal sebagai Al-Khulafa Ar-Rasyidin. [1] Pada masa mereka, perhatian utama diberikan kepada penjagaan Al-Qur’an, yang ditandai dengan kodifikasi Al-Qur’an oleh Zaid bin Tsabit atas perintah Abu Bakar As-Shiddiq setelah gugurnya 70 penghafal Al-Qur’an dalam perang Yamamah.
Namun, bagaimana perhatian dan kebijakan para Khulafa Ar-Rasyidin terhadap penjagaan As-Sunnah, serta siapa saja sahabat yang berjasa dalam hal ini?
Pembahasan
Kriteria Sahabat
Memahami batasan siapa yang disebut sahabat adalah langkah pertama yang sangat penting dalam memahami tentang periwayatan dan penjagaan As-Sunnah. Pengertian tentang sahabat ini ternyata memicu perdebatan di kalangan ulama. Ada yang memberikan batasan sempit, mengartikan sahabat sebagai mereka yang secara khusus menjadi periwayat hadis. Di sisi lain, ada yang mengartikan sahabat lebih luas, mencakup siapa saja yang bergaul dengan Nabi Muhammad, meskipun tidak meriwayatkan hadis.
Syuhudi Ismail menawarkan kriteria untuk menentukan siapa yang dapat disebut sahabat. Pertama, seseorang dapat disebut sahabat jika dikenal melalui khabar mutawatir, seperti halnya para Khulafa Ar-Rasyidin. Kedua, sahabat juga bisa diidentifikasi melalui khabar masyhur, contoh yang diberikan adalah Dlamah bin Tsa’labah dan Ukasyah bin Nisham. Selain itu, pengakuan dari sahabat terkenal terhadap seseorang juga menjadi kriteria penting. Misalnya, Hammah Ad-Dausi diakui sebagai sahabat oleh Abu Musa Al Asy’ari.
Lebih lanjut, adanya keterangan dari tabi’in yang terpercaya juga dapat dijadikan dasar untuk mengakui seseorang sebagai sahabat. Terakhir, pengakuan diri dari orang yang memiliki reputasi adil dan terpercaya juga diakui sebagai kriteria sahabat.
Dengan memahami kriteria ini, kita dapat lebih jelas mengidentifikasi siapa yang benar-benar layak disebut sahabat Nabi dan perannya dalam periwayatan serta penjagaan As-Sunnah.[2]
Periwayatan dan Penjagaan Hadits Pada Masa Al-Khulafaur Rasyidin
Masa Abu Bakar As-Shiddiq
Muhammad bin Ahmad Adz-Dzahabi (wafat 748 H/1347 M) mencatat bahwa Abu Bakar adalah sahabat nabi yang pertama menunjukkan kehati-hatian dalam meriwayatkan hadis. Ini terlihat dari kasus warisan seorang nenek yang datang kepada Abu Bakar. [3] Abu Bakar tidak menemukan petunjuk dalam Al-Quran atau praktek Nabi yang memberikan hak waris kepada nenek tersebut, sehingga ia meminta pendapat para sahabat. Al-Mughirah bin As-Syu’bah menyatakan bahwa Nabi memberi nenek tersebut seperenam bagian, tetapi Abu Bakar meminta saksi untuk menguatkan pernyataan itu. Muhammad bin Maslamah kemudian mengkonfirmasi kebenaran Al-Mughirah, sehingga Abu Bakar menetapkan warisan nenek tersebut berdasarkan hadis yang disampaikan. [4]
Kasus ini menunjukkan bahwa Abu Bakar tidak langsung menerima riwayat hadis tanpa verifikasi. Abu Bakar bahkan membakar catatan-catatan hadis miliknya yang berisi sekitar 500 hadis karena khawatir akan kesalahan dalam periwayatan. [5] Ini mencerminkan sikap ketat dan kehati-hatian Abu Bakar terhadap periwayatan hadis.
Pada masa kepemimpinan Abu Bakar, data tentang periwayatan hadis sangat terbatas karena umat Islam menghadapi berbagai ancaman dan kekacauan. Abu Bakar berhasil mengatasi ancaman-ancaman tersebut dan, atas desakan Umar bin Khattab, ia memulai penghimpunan Al-Quran setelah banyak sahabat yang hafal Al-Quran gugur dalam peperangan. [6]
Masa Umar bin Khatab
Umar bin Khattab dikenal sangat hati-hati dalam periwayatan hadis. Ini terlihat ketika Umar hanya menerima hadis dari Ubay bin Ka’ab setelah mendapat konfirmasi dari sahabat lain, seperti Abu Dzar. Umar menegaskan bahwa kehati-hatian ini dilakukan untuk memastikan kebenaran hadis.
Kehati-hatian Umar juga dialami oleh sahabat lain seperti Abu Musa Al-Asy’ari dan Al-Mughirah bin Syu’bah. Selain itu, Umar menekankan agar para sahabat tidak memperbanyak periwayatan hadis di masyarakat untuk menjaga fokus pada Al-Quran.
Kebijakan Umar bukan berarti melarang periwayatan hadis sepenuhnya, tetapi untuk memastikan: (a) Masyarakat berhati-hati dalam periwayatan hadis, (b) Fokus masyarakat terhadap Al-Quran tetap terjaga.
Bukti lain menunjukkan Umar mendorong umat untuk mempelajari hadis dari para ahli, ia pun banyak meriwayatkan hadis (sekitar 300 hadis diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal), dan pernah berencana menghimpun hadis secara tertulis tetapi mengurungkan niatnya untuk menjaga fokus pada Al-Quran.
Pada masa Umar, periwayatan hadis lebih banyak dilakukan dibandingkan masa Abu Bakar, karena kebutuhan yang meningkat dan dorongan dari Umar sendiri. Namun, Umar tetap melakukan pemeriksaan ketat untuk mencegah kesalahan dan pemalsuan hadis, sehingga menjaga integritas periwayatan hadis di kalangan umat Islam.
Masa Utsman bin Affan
Kebijakan Utsman bin Affan tentang periwayatan hadis tidak berbeda jauh dari kedua khalifah sebelumnya, namun tidak seketat Umar bin Khattab. Utsman sendiri tidak banyak meriwayatkan hadis. Ahmad bin Hambal mencatat sekitar 40 hadis dari Utsman, sebagian besar berulang karena perbedaan sanad. Jumlah ini lebih sedikit dibandingkan hadis yang diriwayatkan oleh Umar.
Pada masa Utsman, kegiatan periwayatan hadis tidak sebanyak pada masa Umar. Meski Utsman mengimbau umat untuk berhati-hati dalam meriwayatkan hadis melalui khutbahnya, pengaruhnya tidak besar karena sikap pribadi Utsman yang lebih lembut dan perluasan wilayah Islam yang menyulitkan pengendalian ketat terhadap periwayatan hadis.
Masa Ali bin Abi Thalib
Khalifah Ali bin Abi Thalib mengikuti kebijakan para pendahulunya dalam periwayatan hadis. Ali menerima riwayat hadis setelah periwayat mengucapkan sumpah, kecuali dari orang yang sudah sangat dipercayainya, menunjukkan bahwa sumpah bukan syarat mutlak jika periwayat sangat terpercaya.
Ali sendiri banyak meriwayatkan hadis Nabi Muhammad, baik secara lisan maupun tulisan. Hadis-hadis yang ditulis oleh Ali mencakup hukuman denda, pembahasan tawanan Muslim oleh kafir, dan larangan qisas terhadap Muslim yang membunuh kafir. [7] Ahmad bin Hambal meriwayatkan lebih dari 780 hadis melalui Ali, menjadikannya periwayat terbanyak dibandingkan dengan tiga khalifah sebelumnya. [8]
Meskipun kehati-hatian dalam periwayatan hadis tetap terjaga pada masa Ali, situasi politik yang penuh konflik antara pendukung Ali dan Mu’awiyah menyebabkan pemalsuan hadis. Perang politik ini berdampak negatif pada kegiatan periwayatan hadis.
Periwayatan dan Penjagaan Hadis Pasca Masa Khulafaur Rasyidin
Setelah wafatnya Ali bin Abi Thalib, era sahabat besar berakhir dan era sahabat kecil dimulai, di mana tabi’in besar berkolaborasi dengan para sahabat nabi yang masih hidup dalam perkembangan pengetahuan. Sahabat-sahabat penting yang berperan dalam periwayatan hadis pada masa ini termasuk ‘Aisyah, Abu Hurairah, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, dan Jabir bin Abdullah. [9]
Para sahabat memahami pentingnya as-sunnah sebagai sumber syariah setelah Al-Quran dan berhati-hati dalam meriwayatkan hadis untuk menghindari kesalahan dan menjaga kesucian as-sunnah. Periode ini dikenal sebagai Ashr at-Tatsabut wa Iqlal min ar-Riwayah, masa pemastian dan pengurangan periwayatan. [10]
Hadis diterima dari Nabi baik secara langsung, melalui percakapan dan jawaban Nabi, atau secara tidak langsung melalui sahabat lainnya. [11] Kebanyakan sahabat menghafal hadis dan menyampaikannya secara lisan karena hanya sedikit yang bisa menulis. Nabi mendorong penghafalan dan penyampaian hadis tanpa perubahan, namun tidak mengatur penulisan hadis secara resmi seperti Al-Quran. [12]
Alasan tidak diadakannya penulisan hadis secara resmi adalah:
- Untuk menghindari kebingungan karena bercampurnya antara Al-Quran dan hadis.
- Penulisan Al-Quran memerlukan perhatian khusus karena diturunkan secara bertahap, dan hanya sedikit sahabat yang bisa menulis, sehingga prioritas diberikan pada penulisan Al-Quran.
- Mengandalkan hafalan untuk menjaga kekuatan ingatan di kalangan umat Islam.
- Penulisan seluruh ucapan dan tindakan Nabi membutuhkan penulis yang selalu menyertai Nabi.
Beberapa sahabat Nabi Muhammad SAW tercatat sebagai penerima hadis terbanyak. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya:
Kelompok Assabiqunal Awwalun:
Sahabat-sahabat seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan Ibnu Mas’ud tergolong Assabiqunal Awwalun, yaitu mereka yang paling awal masuk Islam. Kedekatan mereka dengan Rasulullah SAW sejak awal kenabian memungkinkan mereka menerima banyak hadis secara langsung.
Ummahatul Mukminin:
Istri-istri Nabi SAW, seperti Siti Aisyah dan Ummu Salamah, memiliki keistimewaan dalam menerima hadis. Kedekatan personal mereka dengan Rasulullah SAW memungkinkan mereka mendapatkan informasi dan ajaran Islam secara langsung, terutama dalam hal rumah tangga dan hubungan suami istri.
Penulis Hadis:
Sahabat seperti Abdullah bin Amr bin Ash mendedikasikan diri untuk menuliskan hadis yang mereka terima. Upaya mereka dalam mendokumentasikan hadis menjadikannya sumber informasi penting bagi generasi selanjutnya.
Ketekunan dan Rasa Ingin Tahu:
Abu Hurairah, meskipun tidak lama bersama Rasulullah SAW, dikenal sebagai sahabat yang tekun dan selalu ingin tahu. Ia aktif mencari informasi dan bertanya kepada sahabat lain, sehingga mampu meriwayatkan banyak hadis.
Ketekunan dan Umur Panjang:
Sahabat seperti Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, dan Abdullah bin Abbas dikenal sebagai sahabat yang tekun mengikuti majelis Rasulullah SAW, aktif bertanya, dan memiliki usia yang panjang.
Faktor-faktor tersebut memungkinkan mereka untuk menerima dan menghafal banyak hadis.
Dalam meriwayatkan hadis, para sahabat Rasulullah SAW menggunakan dua cara utama, yaitu:
Periwayatan dengan Lafadz Asli:
Sahabat meriwayatkan hadis dengan kata-kata persis seperti yang mereka dengar dan hafal dari Rasulullah SAW. Cara ini menjadi metode utama karena dianggap paling akurat dalam menyampaikan ajaran Nabi. Menurut Ajaj Al-Khotib, Umar bin Khattab sangat menekankan pentingnya menjaga keaslian lafadz hadis, bahkan melarang perubahan susunan kata atau makna. [13]
Periwayatan dengan Makna:
Sahabat meriwayatkan makna hadis, bukan lafadz aslinya, karena tidak hafal persis seperti yang diucapkan Rasulullah SAW. Cara ini diperbolehkan dalam keadaan darurat, dengan catatan dilakukan dengan sangat hati-hati dan penuh ketelitian.
Sahabat seperti Ibnu Mas’ud menggunakan istilah khusus seperti “Qola Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam” atau “nahwan” untuk menunjukkan bahwa mereka meriwayatkan makna, bukan lafadz asli. Periwayatan dengan makna bisa menghasilkan hadis dengan redaksional berbeda, namun maknanya tetap sama.
Perlu diingat bahwa kedua cara periwayatan hadis ini dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan ketelitian oleh para sahabat. Tujuan mereka adalah untuk menjaga kemurnian dan keaslian ajaran Rasulullah SAW agar dapat disampaikan dengan tepat kepada generasi selanjutnya.
Di masa awal Islam, beberapa sahabat dan tabi’in memainkan peran penting dalam menjaga dan melestarikan hadis Rasulullah SAW melalui naskah-naskah pribadi mereka. Berikut beberapa contohnya:
Abdullah bin Amr bin Ash:
Dikenal sebagai salah satu sahabat yang rajin menulis hadis yang didengarnya langsung dari Rasulullah SAW. Dukungan Rasulullah SAW untuk aktivitasnya ini tergambar dalam hadis: “Tulislah! Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, tidaklah keluar dari (mulut) ini kecuali Al-Haq.” (Musnad Ahmad 2/163)
Naskah hadisnya yang terkenal adalah As-Shahifah As-Shadiqah, yang diyakini ditulis langsung berdasarkan apa yang didengarnya dari Rasulullah SAW. Abu Hurairah mengakui keunggulan Abdullah bin Amr dalam hal jumlah hadis yang dihafal dan dituliskan.
Jabir bin Abdullah Al Ansori:
Memiliki naskah hadis bernama Shahifah Jabir. Qatadah bin Da’amah as-Sudusi, seorang tabi’in ternama, sangat memuji kualitas naskah ini, bahkan mengaku lebih hafal isinya daripada surat Al-Baqarah.
Humam bin Munabbih:
Ia seorang tabi’in alim yang berguru kepada sahabat Abu Hurairah dan meriwayatkan banyak hadis Rasulullah SAW. Hadis-hadis yang dihimpunnya dikumpulkan dalam naskah As-Shahifah As-Shahihah yang berisi 138 hadis. Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya meriwayatkan seluruh hadis dalam naskah ini, dan Imam Bukhari pun banyak memasukkannya ke dalam kitab Sahihnya.
Ketiga contoh di atas menunjukkan kegigihan para sahabat dan tabi’in dalam menjaga kemurnian ajaran Rasulullah SAW melalui penulisan hadis. Naskah-naskah mereka menjadi sumber informasi berharga bagi generasi selanjutnya dalam memahami dan mengamalkan Islam.
Penting untuk dicatat bahwa masih banyak sahabat dan tabi’in lain yang memiliki naskah hadis pribadi. Kontribusi mereka secara kolektif menjadi landasan penting bagi kodifikasi hadis yang lebih sistematis di masa-masa berikutnya.
Kesimpulan
Para Khulafaur Rasyidin dan sahabat Nabi Muhammad SAW menunjukkan kebijaksanaan luar biasa dalam menjaga dan memelihara kemurnian hadis. Berikut beberapa poin pentingnya:
- Kehati-hatian dan Selektifitas: Terutama ditekankan oleh Umar bin Khattab, bertujuan agar periwayat berhati-hati dan masyarakat tidak teralihkan dari Al-Quran.
- Verifikasi Riwayat: Kehadiran saksi atau sumpah bagi periwayat hadis menjadi salah satu cara untuk meneliti kebenaran riwayat.
- Tokoh-Tokoh Penting: Beberapa sahabat ulama hadis yang berperan besar: Aisyah istri Nabi, Abu Hurairah (dihimpun oleh Humam bin Munabbih dalam As-Shahifah As-Shahihah), Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdullah (Shahifah Jabir), dan Abdullah bin Amr (As-Shahifah As-Shadiqah).
Kebijaksanaan dan ketelitian para sahabat dalam meriwayatkan dan menjaga hadis menjadi fondasi penting bagi pelestarian ajaran Rasulullah SAW hingga saat ini.
Referensi
Syuhudi Ismail, Kaedah-kaedah Keshahehan Sanad Hadits, Jakarta: Bulan Bintang, 1995
M.M Azami, Dirasat fi al-Hadith al-Nabawi wa Tarikh Tadwinih, terjemah Ali Mustafa Ya’qub, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya
Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, Bandung: Angkasa, 1991
Drs. H. Endang Soetari AD, M.Si, Ilmu Hadits, Bandung: Amal Bakti Press, 1997
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Yogyakarta: PT. Djaya Piruse, 1989
Munzier Suparto, Ilmu Hadis, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
Catatan Kaki:
[1] M. Syuhudi Ismail, Kaedah-kaedah Keshahehan Sanad Hadits, Jakarta: Bulan Bintang, 1995, hlm. 41
[2] M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, Bandung: Angkasa, 1991, halm. 30-31.
[3] Lihat: M.M Azami dalam kitab “Dirasat fi al-Hadith al-Nabawi wa Tarikh Tadwinih”yang telah ditejemahkan oleh Ali Mustafa Ya’qub dengan judul “Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya”, hal. 33
[4] M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, Bandung: Angkasa, 1991, hlm. 42
[5] Ibid, hlm. 43
[6] Ibid, hlm. 44
[7] Ibid, hlm 48
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] Drs. H. Endang Soetari AD, M.Si, Ilmu Hadits, Bandung: Amal Bakti Press, 1997, hlm. 30
[11] Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Yogyakarta: PT. Djaya Piruse, 1989, hlm. 51-52
[12] Ibid, hal. 53
[13] Munzier Suparto, Ilmu Hadis, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 79.