Hukum Aborsi
Hal ini terbagi atas dua bagian:
Pertama, aborsi usia kandungan 4 bulan lebih dan seterusnya.
Seluruh fuqaha sepakat, bahwa jika aborsi dilakukan pada usia kandungan 4 bulan secara sempurna, atau di atas usia 4 bulan, maka haram. Hal ini sama saja dia telah menghilangkan makhluk bernyawa (yakni manusia) lainnya (baca: pembunuhan). Sebab, usia kandungan 4 bulan sudah menjadi makhluk bernyawa, bukan sekedar lagi gumpalan darah atau daging sebagaimana penjelasan di tulisan sebelumnya (lihat di sini). Dalilnya adalah;
Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena kemiskinan. Kami akan memberikan rizki kepada mereka dan kepadamu? (QS. Al An’am, 6: 151).
Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut miskin. Kami akan memberikan rizki kepada mereka dan kepadamu? (QS. Al Isra`, 17: 31).
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan (alasan) yang benar (menurut syara’)? (QS. Al Isra` (17): 33).
Dan bila bayi-bayi yang dikubur hidup-hidup itu ditanya karena dosa apakah ia dibunuh? (QS. At Takwir, 81: 8-9)
Berkata Syaikh Prof. Dr. Wahbah Az Zuhaili Hafizhahullah:
اتفق العلماء على تحريم الإجهاض دون عذر بعد الشهر الرابع أي بعد 120 يوماً من بدء الحمل،ويعد ذلك جريمة موجبة للغُرَّة ، لأنه إزهاق نفس وقتل إنسان.
“Ulama sepakat atas haramnya aborsi tanpa ‘udzur setelah kandungan 4 bulan yaitu 120 hari sejak awal kehamilan, dan mengancam hal itu sebagai kejahatan pembunuhan terhadap permulaan kehidupan, karena dia sudah berbentuk jiwa dan termasuk membunuh manusia.” (Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 4/196. Maktabah Al Misykah)
Tertulis dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Quwaitiyah:
وَلاَ يُعْلَمُ خِلاَفٌ بَيْنَ الْفُقَهَاءِ فِي تَحْرِيمِ الإِْجْهَاضِ بَعْدَ نَفْخِ الرُّوحِ . فَقَدْ نَصُّوا عَلَى أَنَّهُ إِذَا نُفِخَتْ فِي الْجَنِينِ الرُّوحُ حُرِّمَ الإِْجْهَاضُ إِجْمَاعًا . وَقَالُوا إِنَّهُ قَتْلٌ لَهُ ، بِلاَ خِلاَفٍ
“Tidak diketahui adanya perbedaan pendapat diantara para fuqaha tentang haramnya aborsi setelah ditiupkan ruh. Dasar mereka adalah jika telah ditiupkan ruh terhadap janin maka ijma’ telah mengharamkan aborsi tersebut. Mereka mengatakan hal itu adalah pembunuhan terhadapnya, tak ada perbedaan pendapat.” (Al Mausu’ah, 2/57)
Tetapi jika jika kandungan tersebut –setelah dianalisa dokter terpercaya- membawa bahaya yang jelas bagi si ibu dan mengancam kehidupannya, atau jika dipaksakan maka membawa kematian bagi ibu dan bayi sekaligus, maka para ulama membolehkan menggugurkan bayi tersebut, baik sebelum atau sesudah 4 bulan. Hal ini sesuai kaidah: Al Irtikab Akhafu Dharurain (memilih/menjalankan mudharat yang paling ringan di antara dua mudharat). Maka, nyawa si ibu lebih layak diselamatkan dibanding janin. Dalilnya adalah:
Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya? (QS. Al Maidah, 5: 32)
Tetapi kalangan Hanafiyah tetap melarang aborsi di atas 4 bulan walau pun ada udzur seperti itu. Imam Ibnu ‘Abidin rahimahullah, salah satu tokoh madzhab Hanafi, mengatakan:
وَلَوْ كَانَ حَيًّا لَا يَجُوزُ تَقْطِيعُهُ لِأَنَّ مَوْتَ الْأُمِّ بِهِ مَوْهُومٌ ، فَلَا يَجُوزُ قَتْلُ آدَمِيٍّ حَيٍّ لِأَمْرٍ مَوْهُوم
“Seandainya janin itu hidup, tidak boleh menggugurkannya, sebab kematian si ibu karenanya masih wahm (belum jelas/ samar), maka tidak boleh membunuh manusia hidup karena alasan yang masih samar.” (Raddul Muhtar, 6/384)
Kedua, aborsi usia kandungan kurang dari 4 bulan.
Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini, bahkan dalam satu madzhab pun juga memiliki pandangan yang beragam. Dan, yang menjadi pokok masalahnya adalah karena sebelum 4 bulan, belum ada nyawa (ruh), atau keadaan baru cikal bakal kehidupan. Nah, apakah menggugurkannya sama halnya dengan membunuh bayi bernyawa?
Berikut pandangan madzhab dalam Ahlus Sunnah:
Hanafiyah
Mereka berpendapat boleh, karena selama usia kandungan belum 120 hari, maka belum bisa disebut manusia. Mereka memaknai penciptaan manusia adalah ketika mulai ditiupkannya ruh. (Lihat Imam Kamaluddin bin Al Hummam, Fathul Qadiir, 7/296. Mawqi’ Al Islam. Lihat juga Imam Ibnu ‘Abidin, Raddul Muhtar, 4/424. Mawqi’ Al Islam)
Disebutkan juga menurut sebagian kalangan Hanafiah: hukumnya makruh jika tanpa udzur, dan jika aborsi dilakukan tetap berdosa. Udzur tersebut adalah: terputusnya air susu ibu setelah melahirkan sedangkan ayahnya tidak mampu membayar wanita lain yang bisa menyusuinya, dan khawatir dia tertimpa malapetaka. (Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 4/197)
Malikiyah
Padangan yang mu’tamad (resmi/bisa dijadikan pegangan) dalam madzhab Malikiyah adalah Haram mengeluarkan mani yang sudah tertanam di rahim, walaupun sebelum 40 hari. Ada pun jika sudah ditiupkan ruh (4 bulan) maka haram secara ijma’. (Imam Abul Barakat Sayyidi Ahmad Ad Dardir, Asy Syarhul Kabir, 2/266-267. Ihya’ul Kutub Al ‘Arabiyah. Lihat juga Imam Muhammad bin ‘Arafah Ad Dasuqi, Hasyiah ‘ala Asy Syarhil Kabir, 8/78) Tapi, Imam Ad Dasuqi mengatakan bahwa dalam pandangan Malikiyah, ada pula yang memakruhkan saja. (Ibid)
Syafi’iyah
Beragam pandangan dalam madzhab ini. Ada yang membolehkan dengan kebolehan yang dibenci (makruh tanzih), jika aborsi dilakukan pada masa-masa rentang waktu 40 hari, atau jeda antara 40 atau 42 atau 45., sejak awal kehamilan dengan syarat kerelaan suami dan isteri, dan tidak membawa dampak buruk bagi yang hamil. (Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 4/198)
Sementara Imam Syihabuddin Ar Ramli mengatakan boleh jika sebelum ditiupkannya ruh (belum 4 bulan), tapi jika sudah ditiupkan ruh maka haram secara mutlak. (Imam Ar Ramli, Nihayatul Muhtaj, 8/443. 1404H-1984M. Darul Fikr) Pendapat beliau sama dengan kalangan Hanafiyah.
Imam Ad Dimyathi mengatakan, pendapat yang mu’tamad adalah tidak haram, mengeluarkan mani dan ‘alaqah (segumpal darah) yang sudah tertanam di rahim, (I’anatuth Thalibin, 3/256)
Sedangkan Imam Al Ghazali berpendapat haram, sebab itu merupakan tindakan kriminal terhadap sesuatu yang sudah ada. (Ihya ‘Ulumuddin, 2/47). Pendapat Imam Al Ghazali inilah yang diikuti oleh Syaikh Wahbah Az Zuhaili, katanya:
وإني بهذا الترجيح ميَّال مع رأي الغزالي الذي يعتبر الإجهاض ولو من أول يوم كالوأد جناية على موجود حاصل
“Sesungguhnya saya dengan tarjih[1] ini, lebih cenderung pada pendapat Al Ghazali yang telah melakukan pengujian terhadap masalah aborsi, walaupun itu dilakukan sejak awal (kehamilan) sebagaimana penguburan bayi hidup-hidup, hal itu merupakan kejahatan atas sesuatu yang sudah wujud (ada).” (Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 4/197)
Hambaliyah (Hanabilah)
Pandangan mu’tamad mereka sama dengan Hanafiyah, yakni boleh. Selama dilakukan selama 4 bulan pertama atau 120 hari sejak awal kehamilan, karena belum ada ruh. Jika lebih dari itu dan sudah ada ruh maka haram secara qath’i (pasti). (Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 4/198)
Nampaknya pendapat Malikiyah dan Imam Al Ghazali yaitu haram, merupakan pandangan lebih tepat dan hati-hati, apalagi di tengah pergaulan bebas seperti saat ini. Sehingga pendapat ini dapat dijadikan preventif (pencegahan) dan membendung angka aborsi yang dilakukan manusia tidak bertanggungjawab, ada pun jika menggunakan pendapat yang membolehkan, maka akan membawa dampak disalahgunakan oleh mereka. Sebab, jika suatu yang haram saja mereka langgar (yakni free sex) apalagi sesuatu yang mubah, mereka akan semakin menjadi-jadi.
Pembahasan di atas hanya berlaku untuk aborsi (keguguran yang disengaja), ada pun keguguran karena lemahnya kandungan, sakit, terjatuh, dan lainnya yang tidak diinginkan oleh orang tuanya, maka itu dimaafkan.
Nifaskah Wanita Yang Keguguran?
Kita lihat definisi nifas dahulu. Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata tentang arti nifas:
تعريفه: هو الدم الخارج من قبل المرأة بسبب الولادة وإن كان المولود سقطا.
Definisinya: yaitu darah yang keluar dari kemaluan wanita dengan sebab melahirkan, walau pun keguguran. (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/ 84. Dar Al Kitab Al ‘Arabi)
Dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah disebutkan definisi nifas, sebagai berikut:
النِّفَاسُ دَمٌ يَخْرُجُ عَقِبَ الْوِلاَدَةِ ، وَهَذَا الْقَدْرُ لاَ خِلاَفَ فِيهِ ، وَزَادَ الْمَالِكِيَّةُ فِي الأَْرْجَحِ : وَمَعَ الْوِلاَدَةِ ، وَزَادَ الْحَنَابِلَةُ : مَعَ وِلاَدَةٍ وَقَبْلَهَا بِيَوْمَيْنِ أَوْ ثَلاَثَةٍ
“Nifas adalah darah yang keluar setelah kelahiran, dan bagian ini tidak ada perbedaan pendapat ulama. Malikiyah menambahkan dalam Al Arjah: darah yang keluar bersamaan dengan kelahiran. Hanabilah (Hambaliyah) menambahkan: darah yang keluar bersamaan dengan kelahiran dan sebelumnya baik dua atau tiga hari sebelumnya.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, Juz. 3, Hal. 198. Maktabah Misykah)
Jadi, darah yang keluar disebabkan keguguran juga termasuk nifas maka berlakukah hukum-hukum nifas bagi wanita tersebut; tidak shalat, tidak puasa, dan tidak boleh jima’. Ada pun larangan membaca Al Quran –sebagaimana wanita haid- tidak ada dalil qaht’i yang menyebutkannya, sedangkan menyentuh Al Quran maka para ulama berselisih tentang itu.
Namun, Keguguran yang bagaimanakah ini? Yakni keguguran yang terjadi pada yang janin telah lengkap memiliki jasad dan ruh (4 bulan ke atas).
Ada pun keguguran yang janinnya belum sampai berbentuk jasad, baru tahapan nuthfah dan ‘alaqah, maka terjadi perselisihan para ulama. Sebagian menyebut itu bukanlah nifas, tetapi darah rusak (fasad) dan berpenyakit (isthadhah).
Dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah yang disusun oleh para ulama di Kuwait yang diterbitkan oleh Departemen Kementrian Waqaf (seperti Depag di Indonesia) disebutkan:
فإن رأت دماً بعد إلقاء نطفة أو علقة، فليس بنفاس
“Maka, jika seorang wanita melihat darah setelah tumpahnya nuthfah atau ‘alaqah (segumpal darah), maka itu bukan nifas.” (Al Mausu’ah, 1/546)
Ini juga menjadi pedapat Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, dan lain-lain. Syaikh Utsaimin mengatakan janin telah berbentuk manusia adalah usia 80 hari. Menurut kelompok ini mudghah belumlah menjadi wujud manusia, baru segumpal daging sesuai firman Allah Ta’ala:
“Kemudian (nuthfah) air mani itu Kami jadikan ‘alaqah (segumpal darah), lalu segumpal darah itu Kami jadikan mudghah (segumpal daging), dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (QS. Al Mu’minun, 23: 14)
Maka, jelas sekali bahwa mudghah belumlah wujud manusia, masih segumpal daging yang masih ada tahapan selanjutnya, yaitu pemberian tulang belualang lalu dibungkus lagi dengan daging. Jika sudah wajud seperti itu lalu keguguran, maka itulah nifas.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah mengatakan:
إذا كان الجنين لم يُخلَّق فإن دمها هذا ليس دم نفاس، وعلى هذا فإنها تصوم وتصلي وصيامها صحيح، وإذا كان الجنين قد خُلّق فإن الدم دم نفاس لا يحل لها أن تصلي فيه، ولا أن تصوم، والقاعدة في هذه المسألة أو الضابط فيها أنه إذا كان الجنين قد خلق فالدم دم نفاس، وإذا لم يخلّق فليس الدم دم نفاس، وإذا كان الدم دم نفاس فإنه يحرم عليها ما يحرم على النفساء، وإذا كان غير دم النفاس فإنه لا يحرم عليها ذلك.
“Jika janin belum berbentuk (jasad) maka darahnya bukanlah darah nifas, maka dia tetap berpuasa dan shalat, dan puasanya itu sah. Jika janin telah berbentuk jasad, maka darahnya adalah darah nifas tidak halal dia shalat dan pula tidak puasa. Kaidah atau patokan dalam masalah ini adalah jika janin telah berbentuk jasad maka darahnya adalah darah nifas, dan jika belum berbentuk maka darahnya bukan darah nifas, dan jika darahnya adalah darah nifas maka diharamkan atasnya sebagaimana diharamkan atas orang yang nifas, dan jika bukan darah nifas maka tidaklah diharamkan atasnya sebagaimana tidak diharamkan atas orang tidak nifas.” (Su’al wa Jawab fi Ahkamil Haidh, Hal. 124. Darul Qimmah)
Syaikh Wahah Az Zuhaili rahimahullah mengutip dari para ulama:
بخروج أكثر الولد، ولو متقطعاً عضواً عضواً، ولو سِقْطاً استبان فيه بعض خلقة الإنسان كأصبع أو ظفر
“(darah nifas) ditandai dengan keluarnya sebagian besar tubuh bayi, walau sepotong-sepotong dari anggota badannya, walau pun keguguran tetapi sudah jelas padanya sebagian bentuk manusia seperti jari dan kuku ..” (Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 1/546. Maktabah Misykah)
Sementara ulama lain menyatakan bahwa walau pun belum berwujud sempurna, masih ‘alaqah (segumpal darah) dan mudghah (segumpal daging) misalnya, itu sudah termasuk nifas. Seorang ulama abad 9 hijriyah, Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al Hushaini Ad Dimasqi Asy Syafi’i Rahimahullah mengatakan:
وأما دم النفاس فهو الخارج عقيب ولادة ما تنقضي به العدة سواء وضعته حياً أو ميتاً كاملاً كان أو ناقصاً وكذا لو وضعت علقة أو مضغة جزم به في الروضة وسواء كان أحمر أو أصفر
“Ada pun nifas dia adalah darah yang keluar setelah melahirkan yang tidak ditentukan jumlahnya, sama saja apakah (janin) dalam keadaan hidup atau mati, sempurna atau kurang (cacat). Demikian pula seandainya yang dilahirkan itu berupa ‘alaqah atau mudghah yang telah tertanam kuat, sama saja apakah berwarna merah atau kuning .“ (Kifayatul Akhyar, Hal. 75. Syamilah)
Maka, menurut pandangan kelompok ini, walau pun usia kandungan baru 40 hari (sebab terjadinya ‘alaqah adalah setelah 40 hari kehamilan sebagaimana hadits yang kita bahas), keguguran yang terjadi tetaplah nifas, karena ‘alaqah merupakan janin juga tetapi yang belum sempurna.
Apakah Bayi Keguguran Mesti Dishalatkan?
Ada beberapa keadaan:
- Jika bayi tersebut belum berwujud, masih gumpalan darah atau daging, atau usia kehamilannya di bawah 4 bulan, maka dia langsung dikuburkan saja sebab dia tak ubahnya hanya seonggok daging. Tapi, kalau dia mau dikafankan dan dikubur sebagai penghormatan baginya juga tidak apa-apa.
- Jika bayi tersebut sudah berwujud, dan sudah ditiupkan ruh (4 bulan atau lebih), dan ada tanda kehidupan (gerak atau tangis), maka disikapi sebagaimana mayat biasa; dimandikan (kalau bisa dan tidak dikhawatirkan merusak jasadnya), dikafankan, dishalatkan, lalu di kubur. Inilah yang difatwakan para ulama Islam.
- Jika bayi itu sudah berwujud, sudah 4 bulan, tapi ketika keguuran tidak ada tanda kehidupan maka tidak dishalatkan.
Berikut uraian Khadimus Sunnah Asy Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah:
السقط إذا لم يأت عليه أربعة أشهر فإنه لا يغسل.
ولا يصلى عليه، ويلف في خرقة، ويدفن من غير خلاف بين جمهور الفقهاء.
فإن أتى عليه أربعة أشهر فصاعدا واستهل غسل وصلي عليه باتفاق.
فإذا لم يستهل فإنه لا يصلى عليه عند الاحناف ومالك والاوزاعي والحسن، لما رواه الترمذي، والنسائي، وابن ماجه والبيهقي عن جابر أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ” إذا استهل السقط صلي عليه وورث ” ففي الحديث اشتراط الاستهلال في الصلاة عليه.
وذهب أحمد وسعيد وابن سيرين وإسحاق إلى أنه يغسل ويصلى عليه للحديث المتقدم.
وفيه: ” والسقط يصلى عليه ” ولانه نسمة نفخ فيه الروح، فيصلى عليه كالمستهل.
فإن النبي صلى الله عليه وسلم أخبر أنه ينفخ فيه الروح لاربعة أشهر، وأجابوا عما استدل به الاولون بأن الحديث مضطرب.
وبأنه معارض بما هو أقوى منه، فلا يصلح للاحتجاج به.
“Keguguran jika belum sampai 4 bulan maka janinnya tidak dimandikan dan tidak pula dishalatkan, cukup dibungkus dengan kain lalu dikuburkan, ini tidak ada perbedaan pendapat di antara mayoritas fuqaha.
Jika telah sampai 4 bulan dan memiliki tanda-tanda kehidupan, maka dia dimandikan dan dishalatkan menurut kesepakatan ulama.
Jika tidak ada tanda kehidupan, maka dia tidak dimandikan menurut kalangan Hanafiyah, Malik, Al Auza’I, dan Al Hasan. Sebab diriwayatkan oleh At Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah, dan Al Baihaqi dari Jabir bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Jika bayi keguguran ada tanda kehidupan maka dia dishalatkan dan mendapatkan waris.” Dalam hadits ini tanda-tanda kehidupan dijadikan sebagai syarat untuk dishalatkannya bayi tersebut.
Menurut Ahmad, Sa’id, Ibnu Sirin, dan Ishaq, bayi itu tetap dimandikan dan dishalatkan (walau tak ada tanda kehidupan) sesuai hadits terdahulu. Dalam hadits tersebut disebutkan: “Bayi keguguran dishalatkan.” Karena makhluk hidup (manusia) setalh ditiupkannya ruh, maka dia dishalatkan sebagaimana adanya ‘tanda kehidupan’.
Dan, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mengabarkan bahwa ruh ditiupkan setelah 4 bulan. Kelompok menjawab bahwa apa-apa yang dijadikan dalil oleh kelompok pertama (yaitu hadits dari Jabir) adalah hadits mudhtharib (guncang – salah satu jenis hadits dhaif, pen), karena dia bertentangan dengan hadits yang lebih kuat darinya (yaitu hadits Ibnu Mas’ud yang kita bahas dalam syarah arbain ke-4), maka tidak sah berhujjah dengannya.” (Fiqhus Sunnah, 1/529. Darul Kitab Al ‘Arabi)
Catatan:
Hadits dari Jabir yang berbunyi:
إذا استهل الصبي صلي عليه وورث
“Jika bayi keguguran ada tanda kehidupan maka dia dishalatkan dan mendapatkan waris.”
(Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya No. 6032, juga Ibnu Majah dalam Sunannya No. 2750, dan didhaifkan oleh Syaikh Al Albani dalam Dhaiful Jami’ No. 363)
Ada juga yang mirip dengan hadits ini:
إذا استهل الصبي صارخا سمي وصلي عليه وتمت ديته وورث وإن لم يستهل صارخا وولد حيا لم يسم ولم تتم ديته ولم يصل عليه ولم يرث
“Jika bayi keguguran ada tanda kehidupan yang jelas maka dia diberikan nama, dishalatkan, ditunaikan diyatnya dan diwariskan. Jika tidak ada tanda kehidupan yang jelas maka tidak diberikan nama, tidak ditunaikan diyatnya, tidak dishalatkan, dan tidak diwariskan.”
Ini pun dinyatakan dhaif. (Irwa’ul Ghalil, 6/147)
Jadi ada tiga masalah dalam hal ini:
- Keguguran sebelum 4 bulan, janin tersebut tidak dimandikan dan tidak dishalatkan, hanya dibungkus dan kubur saja. Ini tak ada perbedaan pendapat.
- Keguguran sudah 4 bulan atau lebih dan ada tanda kehidupan, maka dimandikan, dikafankan dan dishalatkan.
- Keguguran sudah 4 bulan atau lebih tapi tidak ada tanda kehidupan, maka tidak dimandikan dan tidak dishalatkan. Ini pandangan Hanafiyah, Malik, Al Auza’I, dan Al Hasan berdasarkan hadits Jabir. Sedangkan menurut Ahmad, Said, Ibnu Sirin, dan Ishaq tetap dimandikan dan dishalatkan.
Pandangan yang lebih kuat adalah apa yang menjadi pandangan Imam Ahmad, Said bin Al Musayyib, Ibnu Sirrin, dan Ishaq bin Rahawaih, bahwa bayi keguguran yang usia kandungannya 4 bulan lebih, tetaplah dimandikan, dikafankan, dan dishalatkan, walau tidak ada tanda kehidupan, berdasarkan dalil yang lebih kuat pula (hadits Ibnu mas’ud) bahwa dia telah ditiupkan ruh, dan kelemahan hadits yang dijadikan dalil oleh kelompok pertama.
Wallahu A’lam
Catatan Kaki:
[1] Tarjih adalah upaya penelitian terhadap berbagai dalil dan membandingkan berbagai pendapat lalu diputuskan mana yang paling kuat dan argumentatif. Pendapat yang kuat disebut rajah, sedangkan yang lemah disebut marjuh.