Kita berpegang pada konsep moderat yang positif yang tegak di atas keseimbangan dalam memandang berbagai persoalan agama dan dunia; tanpa berlebihan dan mengabaikan. Tidak boleh berlebihan dalam timbangannya dan tidak boleh mengurangi. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Allah Swt.,
أَلَّا تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانِ . وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ
Supaya kamu tidak melampaui batas dalam neraca itu. Tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca tersebut.[1]
Kita melihat bahwa Islam sangat memperhatikan sikap moderat dalam segala hal sekaligus menjadikannya sebagai karakteristik yang melekat pada umatnya,
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا
Demikianlah Kami jadikan kalian sebagai umat yang moderat (pertengahan).[2]
Pertama, sikap moderat yang menjadi pegangan kita menggambarkan keseimbangan positif dalam segala aspek: dalam hal keyakinan dan amal perbuatan, materi dan maknawi, serta individu dan masyarakat. Islam masuk ke dalam kehidupan individu di atas prinsip keseimbangan antara ruh dan materi, antara akal dan kalbu, antara hak dan kewajiban, serta antara dunia dan akhirat.
رَبَّنَا آَتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآَخِرَةِ حَسَنَةً
Wahai Tuhan, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat.[3]
وَابْتَغِ فِيمَا آَتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآَخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
Carilah negeri akhirat pada apa yang Allah berikan padamu dan jangan kau lupakan bagianmu dari dunia.[4]
Di sisi lain, Islam menegakkan timbangan yang adil antara individu dan masyarakat. Karena itu, ia tidak memberikan hak-hak dan kebebasan kepada masyarakat yang dapat membahayakan kemaslahatan umum sebagaimana yang dilakukan oleh kapitalisme. Sebaliknya, Islam juga tidak memberikan kekuasaan kepada masyarakat yang sifatnya menindas dan menekan individu sehingga mengerdilkan dan mematikan bakat dan potensinya sebagaimana yang dilakukan oleh sosialisme dan komunisme.
Namun, Islam memberikan kepada individu apa yang menjadi haknya secara proporsional tanpa berlebihan dan menguranginya. Hal itu telah diatur oleh hukum-hukum syariat berikut arahannya.
ita memandang sikap berlebihan dalam agama sebagai sesuatu yang bisa mencelakakan individu dan masyarakat.
إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ فَإِنَّهُ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ الْغُلُوُّ فِي الدِّينِ
”Jauhilah sikap berlebihan dalam beragama. Sebab yang membinasakan generasi sebelum kalian adalah sikap berlebihan dalam beragama.”[5]
Sebaliknya, berlepas dari tali, nilai, akidah, dan syariat agama juga bisa membinasakan.
Kedua, karena itu, kita membangun pandangan moderat dalam segala aspek. Itulah yang sesuai untuk umat dan membuatnya menjadi baik.
Pandangan ini adalah pertengahan di antara kalangan yang menyerukan fanatisme madzhab secara sempit dan kalangan yang menyerukan sikap untuk tidak berpegang pada madzhab.
Antara pengikut tasawuf meskipun menyimpang dan mengandung bid’ah dan para musuh tasawuf meski komitmen dan mengikuti jalan yang benar.
Antara mereka yang mengagungkan akal meski berlawanan dengan nas yang qath’i dan mereka yang menafikan akal meski dalam rangka memahami nash.
Antara mereka yang mengimani ilham secara mutlak sehingga tidak mengakui wujud dan pengaruhnya dan mereka yang berlebihan dalam memposisikannya sehingga menjadikannya sebagai sumber hukum syariat.
Antara mereka yang bersikap keras meski dalam urusan cabang dan mereka yang agak longgar meski dalam masalah prinsip.
Antara mereka yang mengagungkan peninggalan generasi terdahulu meski di dalamnya mengandung cacat manusia dan mereka yang mencampakkannya meski mengandung petunjuk yang mengagumkan.
Antara filsafat kaum idealis yang nyaris tidak menaruh perhatian terhadap realitas dan filsafat kaum pragmatis yang tidak berpegang pada idealisme.
Antara penyeru filsafat liberalisme yang mendewakan individu yang menafikan masyarakat dan penyeru filsafat kolektivitas marxisme yang mendewakan masyarakat sehingga menafikan individu.
Antara mereka yang tidak menginginkan perubahan meski dalam hal perangkat dan mereka yang menyerukan perkembangan meski dalam hal prinsip dan tujuan.
Antara mereka yang menyerukan pembaharuan dan ijtihad meski dalam hal prinsip agama dan sesuatu yang bersifat qath’i dan mereka yang menyerukan sikap taklid dan menentang ijtihad meski dalam berbagai persoalan masa kini yang tidak pernah terlintas dalam benak generasi terdahulu.
Antara mereka yang mengabaikan nash-nash baku dengan dalih menjaga maksud tujuan syariat dan mereka yang mengabaikan semua tujuan syariat guna menjaga lahiriah nash.
Antara mereka yang menyerukan keterbukaan tanpa patokan yang jelas dan mereka yang menyerukan sikap tertutup tanpa disertai alasan yang benar.
Antara mereka yang berlebihan dalam mengafirkan sehingga mengafirkan kaum muslimin yang taat dan mereka yang agak longgar di dalamnya meski terhadap mereka yang jelas-jelas murtad, melawan agama, serta menjadi kaki tangan musuh.
Antara mereka yang berlebihan dalam mengharamkan sehingga seolah-olah di dunia tidak ada lagi yang namanya halal dan mereka yang berlebihan membolehkan sehingga seolah-olah tidak ada lagi di dunia sesuatu yang haram.
Antara mereka yang hanyut dalam masa lalu dan mereka mengabaikan masa lalu seolah-olah mereka ingin membuang kata ”kemarin” dan bentuk kata kerja lampau dari bahasa.
Ketiga, sikap moderat yang seimbang ini disempurnakan oleh kondisi saling melengkapi yang bersifat komprehensif. Pasalnya, perhatian utama Islam tidak tertuju kepada penerapan aspek hukum syariat secara lahiriah. Namun, yang menjadi perhatian utamanya adalah upaya untuk menegakkan kehidupan Islam yang hakiki; bukan hanya formalitas. Yaitu kehidupan yang berusaha memperbaiki jiwa manusia sehingga Allah memperbaiki kondisi mereka. Dalam format semacam itulah manusia beriman, keluarga yang kokoh, masyarakat yang kuat, dan negara yang adil yang berciri adil dan amanah bisa dibentuk. Itulah kehidupan Islam yang komprehensif yang diarahkan oleh akidah Islam, dikontrol oleh syariat Islam, dibimbing oleh pemahaman Islam, dipagari oleh akhlak Islam, serta diperindah oleh adab-adab Islam.
Ia adalah kehidupan yang saling menopang dan kokoh seperti satu bangunan yang sisi-sisinya saling menguatkan. Di dalamnya tidak boleh ada yang kelaparan sementara tetangga sebelahnya dalam kondisi kenyang. Di dalamnya ilmu yang bermanfaat juga bisa didapat oleh setiap orang, pekerjaan yang sesuai bisa diperoleh oleh setiap penganggur, upah yang adil didapat oleh setiap pekerja, nutrisi yang cukup tersedia bagi setiap orang yang lapar, obat tersedia bagi setiap orang yang sakit, tempat tinggal yang sehat tersedia bagi setiap penduduk, ada kecukupan bagi setiap orang yang membutuhkan, ada perlindungan materi dan sosial bagi setiap yang lemah; terutama anak-anak, orang tua, janda, dan mereka yang cacat. Di samping itu di dalamnya juga terdapat kekuatan dalam setiap tingkatan; kekuatan pikiran, kekuatan spiritual, kekuatan badan, kekuatan akhlak, kekuatan ekonomi, kekuatan senjata dan peralatan, serta kekuatan persatuan. Tentu saja landasan dari semua itu adalah kekuatan iman.
Catatan Kaki:
[1] Q.S. al-Rahmân: 8-9.
[2] Q.S. al-Baqarah: 143.
[3] Q.S. al-Baqarah: 102.
[4] Q.S. al-Qashash: 77.
[5] H.R. Ibn Majah, al-Nasâ`i, dan Ahmad dari Ibn Abbâs. Para perawinya dapat dipercaya.