Kita meyakini bahwa syariat Islam adalah syariat yang universal. Ia datang untuk mengatur prinsip-prinsip hubungan antara manusia dan Tuhan, antara manusia dan dirinya, antara manusia dan keluarganya, antara manusia dan masyarakat, antara manusia dan umat, serta antara manusia dan manusia semuanya. Bahkan antara manusia dan alam semesta di sekitarnya.
Oleh karena itu, syariat Islam mencakup persoalan ibadah berikut segala hal yang terkait seperti nazar, sumpah, kurban, dan sembelihan, mencakup pernikahan berikut segala hal yang terkait dengannya, mencakup masalah jual beli dan keuangan, mencakup politik Islam berikut segala yang terkait dengannya seperti urusan pemerintahan, hak rakyat atas pemimpin, hak pemimpin atas rakyat, yang semua itu termasuk dalam fiqih perundangan, mengatur hubungan antara masyarakat muslim dengan lainnya dalam keadaan damai dan perang (hubungan kenegaraan), serta mengatur persoalan pidana berikut terapinya yang masuk dalam fiqih jina’i atau jarimah (pidana) yang meliputi masalah qishas dan hudud.
Jadi ini adalah salah satu aspek dari sejumlah aspek syariah yang sangat luas. Akan tetapi sangat disayangkan, telah tertanam di benak banyak kaum muslimin ketika ada seruan untuk menegakkan syariat Islam dalam masyarakat muslim, bahwa maksudnya adalah penerapan hudud dan sanksi yang berupa hukuman potong tangan pencuri, mencambuk pezina dan merajamnya, mencambuk peminum khamar, dan hal-hal yang serupa dengan itu.
Padahal sebagian besar hukum hudud disyariatkan pada masa-masa akhir fase Madinah, setelah penerapan syariat telah berlaku. Misalnya hukum hudud pencurian ringan.
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya.[1]
Dan hukum hudud pencuri berat:
إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, mereka dibunuh atau disalib.[2]
Agar penerapan syariat tercapai dengan benar, maka harus terpenuhi syarat pra kondisi yang sesuai untuk penerapan syariah itu. Hal ini berlaku untuk semua syariat. Karenanya, hukum potong tangan tidak bisa diterapkan dalam satu masyarakat yang banyak pengangguran, miskin, mengeluhkan buruknya pendistribusian hasil kekayaan, serta merasakan ketidakadilan sosial. Maknanya, hukum potong tangan tidak bisa diterapkan dalam satu masyarakat yang mereka tidak mampu membayar zakat, tidak tersedia lapangan kerja bagi para pengangguran, tidak ada makanan untuk orang yang kelaparan, pakaian untuk orang-orang yang telanjang, tempat tinggal bagi gelandangan, serta pendidikan bagi orang-orang bodoh.
Kita mengetahui bagaimana Umar bin Khattab tidak jadi memotong tangan pencuri pada masa paceklik, karena hukum hudud tidak bisa diterapkan pada kondisi yang ada unsur syubhat. Sementara, masa paceklik adalah merupakan syubhat. Seseorang dalam kondisi seperti ini tidak akan mencuri kecuali dalam keadaan terpaksa. Maka, ia sudah cukup untuk dijadikan alasan bagi tidak ditegakkannya hukum hudud sampai kondisi tersebut hilang.
Hukuman dalam pandangan Islam bukanlah merupakan faktor utama dalam menangani kriminalitas. Akan tetapi yang lebih penting adalah bagaimana mencegah terjadinya kriminalitas tersebut. Jadi, pencegahan selalu lebih baik daripada mengobati.
Jika kita melihat sebuah perbuatan kriminal seperti zina misalnya, kita dapati bahwa Alquran menyebutkan hukuman hudud atasnya hanya pada satu ayat. Yaitu di awal surat an-Nur,
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ
Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian.[3]
Di sisi lain, dalam surat an-Nur sendiri terdapat sepuluh ayat yang mengarahkan tentang bagaimana mencegah perbuatan tersebut.
Secara realitas, hukuman zina ini baru bisa diterapkan dengan syarat-syarat syar’iyah setelah ada keputusan dari majlis qadla’ empat kali, sebagaimana pendapat sebagian para imam. Atau setelah ada empat saksi adil dengan melihat tindakan kriminal tersebut secara langsung ketika perbuatan itu terjadi. Tentu saja hal ini sangatlah sulit terbukti. Belum pernah terjadi pada zaman Nabi dan khulafa’ rasyidin penetapan hukuman zina berdasarkan kesaksian para saksi. Maka, seolah pesan yang dibawa syariat dalam hal ini adalah larangan tindakan kriminal dengan terang-terangan. Barang siapa yang melakukan dengan sembunyi-sembunyi, ia tidak terkena hukuman dunia (kecuali dia mengakui atas perbuatannya), sementara urusannya di akhirat nanti diserahkan kepada Allah Swt.
Jika kita melihat kriminalitas lain seperti pencurian, kita dapati Alquran hanya membahas hukumannya dalam dua ayat saja di surat al-Maidah.
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ .فَمَنْ تَابَ مِنْ بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Adapun orang laki-laki dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana. Tetapi barang siapa bertobat setelah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima tobatnya. Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.[4]
Hanya saja, Alquran secara umum, baik yang makkiyah maupun madaniyah, datang dengan ayat-ayat yang mengajak untuk menegakkan keadilan, memerangi kezaliman, mewujudkan solidaritas dalam masyarakat, menekankan untuk memberi makan orang miskin, membayar zakat, membagikan fai dan yang lainnya kepada kelompok-kelompok lemah dalam masyarakat seperti anak-anak yatim, orang-orang miskin dan musafir agar harta tidak hanya berputar di kalangan orang-orang kaya saja.
Hal yang perlu disebutkan di sini bahwa taubat bisa menggugurkan hukuman atas pelaku kriminal, sesuai dengan pendapat yang kuat seperti Syafiiyah dan Hanabilah, sebagaimana firman Allah Swt:
فَمَنْ تَابَ مِنْ بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Barang siapa bertobat setelah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima tobatnya.[5]
Yang dimaksud adalah bahwa orang yang bertaubat tidak dikenai hukuman hudud. Hanya saja, barang yang dicuri harus dikembalikan kepada pemiliknya. Selanjutnya menjadi hak hakim untuk memberikan hukuman ta’zir yang sesuai.
Kita harus menentang keras pihak-pihak yang menuntut dihilangkannya hukum hudud dan hukuman badan secara mutlak. Sebab, hal itu mereka lakukan tidak lain untuk memenuhi keinginan Barat yang di sana perbuatan munkar menjadi menjadi makruf, yang haram menjadi halal. Mereka telah keluar dari petunjuk kenabian secara umum sehingga membolehkan pernikahan antar lelaki dan antar perempuan. Jika kalian tidak malu, maka berbuatlah sekehendak kalian!
Catatan Kaki:
[1] Q.S. al-Mâ`idah: 38.
[2] Q.S. al-Ma’idah: 33.
[3] Q.S. al-Nûr: 2.
[4] Q.S. al-Mâ’idah: 38-39.
[5] Q.S. al-Mâ`idah: 39.