Risalah yang dikehendaki Allah Ta’ala dari Adam ‘alaihissallam adalah menjadi khalifah di bumi:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’” (QS. Al-Baqarah, 2: 30)
Az-Zamakhsyari berkata dalam Al-Kasyaf: “Yang dimaksud khalifah adalah Adam ‘alaihissallam. Penyebutan Adam saja cukup untuk mewakili anak keturunannya seperti penyebutan nenek moyang sebuah kabilah cukup mewakili kabilah itu. Seperti ucapan Anda: “Mudhar”, “Hasyim” (maksudnya Banu Mudhar dan Banu Hasyim).”
Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan: “Tampak bahwa Allah Ta’ala tidak menginginkan Adam ‘alaihissallam semata. Karena jika hanya Adam yang dimaksud tidak layak malaikat mengatakan:
أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ
‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah?’ (QS. Al-Baqarah, 2: 30).
Sedangkan maksud malaikat adalah bahwa ada diantara keturunan Adam yang melakukan perbuatan tercela itu.”
Khilafah ini menurut pendapat yang lebih kuat adalah amanah dari Allah Ta’ala dalam menghukum dengan adil diantara hamba-hamba-Nya.
Ibnu Jarir At-Thabari dalam Jami’ul Bayan setelah menyebutkan riwayat Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud tentang masalah ini mengatakan: “Maksud ayat ini sebagaimana riwayat Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas radhiyallahu’anhum: “Aku (Allah Ta’ala) akan menjadikan di bumi ini makhluk yang akan mewakili-Ku dalam menghukum diantara hamba-hamba-Ku.” Dan khalifah itu adalah Adam dan siapa saja yang yang berada dalam posisi yang sama dengannya yaitu posisi ketaatan kepada Allah Ta’ala dan menghukum dengan adil diantara makhluk-makhluk-Nya.
Adapun muqawwimat (penopang-penopang) khilafah ini adalah:
Pertama, memiliki ilmu tentang sifat-sifat kesempurnaan Allah Ta’ala dan ilmu tentang keimanan kepadanya serta seluruh rukun-rukunnya.
Kedua, menerapkan hukum-hukum Allah Ta’ala dalam setiap permasalahan.
Dengan bahasa lain: ‘imaratul ardh (memakmurkan bumi) sesuai manhaj Allah Ta’ala, menyebarkan manhaj ini dan melindunginya dari makar para perusak.
Dengan risalah (misi) seperti ini, Adam ‘alaihissalam dan anak cucunya benar-benar diuji dengan ujian yang berat karena ia diciptakan dari perpaduan antara ruh dan tanah, sehingga ia harus mengkomposisikan antara keduanya di mana dominasi haruslah berada pada ruh. Di hadapan manusia ada setan yang selalu menunggu di setiap jalan yang akan ditempuhnya, bahkan disebutkan dalam sebuah hadits,
إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنْ الْإِنْسَانِ مَجْرَى الدَّمِ
“Sesunggunya setan berjalan pada diri manusia seperti aliran darah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Selain itu di hadapan mereka ada pula makar manusia para pembantu setan, ada ujian dunia berbentuk kesulitan maupun keindahannya, ditambah lagi dengan panjangnya perjalanan ini, maka semua itu menambah beratnya ujian yang dihadapi manusia.
Allah Ta’ala berfirman,
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk, 67: 2)
Ibadah: Perjanjian Anak-anak Adam
Allah Ta’ala telah mengambil janji dari anak-anak Adam untuk beribadah hanya kepada-Nya dan meninggalkan penyembahan terhadap syaithan sejak mereka masih berada di alam ruh, dan mereka berikrar untuk setia dengan janji tersebut.
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah Aku Ini Tuhanmu?” mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi’. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)’” (QS. Al-a’raf, 7: 172).
Namun, setelah mereka keluar ke dunia, mereka terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok yang setia yaitu orang-orang yang beriman dan kelompok yang mengkhianati perjanjian yaitu orang-orang kafir.
Oleh karena itu Allah Ta’ala mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab kepada manusia untuk menjadi hujjah atas mereka (bukti bahwa Allah Ta’ala telah menjelaskan kebenaran kepada manusia).
رُسُلًا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا
“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa, 4: 165)[1]
Allah Ta’ala juga memperingatkan manusia sejak awal dari musuh terbesar mereka, yaitu iblis, sebagaimana Dia juga memperingatkan mereka dari tipu daya dunia.
Firman Allah Ta’ala,
يَا بَنِي آدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْآتِهِمَا إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ
“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya ‘auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpim bagi orang-orang yang tidak beriman.” (QS. Al-a’raf, 7: 27)
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُورُ
“Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syaitan yang pandai menipu memperdayakan kamu tentang Allah.” (QS. Fathir, 35: 5).
Lalu Allah Ta’ala menyeru manusia secara tegas untuk istiqamah dan bertaqwa dan memperingatkan mereka dari kekafiran melalui firman-Nya:
فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ وَوَيْلٌ لِلْمُشْرِكِينَ
“Maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya.” (QS. Fushilat, 41: 6).
Akan tetapi, setelah itu semua mereka tetap dalam kondisi demikian, yaitu ada yang beriman dan ada yang kafir.
Pembunuhan Pertama dalam Sejarah
Kejahatan pembunuhan pertama yang terjadi pada manusia dilakukan oleh anak Adam yang pertama yaitu Qabil. Allah Ta’ala menceritakan kisah ini dengan firman-Nya,
“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). ia Berkata (Qabil): ‘Aku pasti membunuhmu!’. Berkata Habil: ‘Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa’; Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam. Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri, maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim.’ Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, maka jadilah ia seorang diantara orang-orang yang merugi. Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya berkata Qabil: ‘Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?’ karena itu jadilah dia seorang diantara orang-orang yang menyesal.” (QS. Al-Maidah, 5: 26-31).
Dengan demikian Qabil mendapatkan dosa setiap pembunuhan zalim (sengaja) yang terjadi di dunia setelah itu, karena dialah yang pertama kali mencontohkannya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,
لاَ تُقْتَلُ نَفْسٌ ظُلْمًا إِلاَّ كَانَ عَلَى ابْنِ آدَمَ الأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْ دَمِهَا لِأَنَّهُ أَوَّلَ مَنْ سَنَّ القَتْلَ
“Tidak ada satu jiwapun yang terbunuh dengan aniaya kecuali anak Adam yang pertama mendapat bagian dari darahnya, karena ialah yang pertama kali mencontohkan kejahatan membunuh.” (Muttafaq ‘alaih).
Bersambung:
- Apakah Adam ‘alaihis salam Seorang Nabi dan Rasul?
- Apakah Adam ‘alaihis salam Manusia Pertama?
- Penghormatan dan Pemuliaan Adam ‘alaihis salam
- Pelajaran dari Kisah Adam ‘alaihis salam
Catatan Kaki:
[1] Lihat pula: QS. Fathir: 24, Al-Hadid: 25.