Kisah ini diambil dari buku yang ditulisnya sendiri, dengan judul
رِحْلَتِي مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّوْرِ
“Petualanganku dari kegelapan menuju cahaya.”
Pada satu kesempatan wawancara dengan wartawan, ia menjelaskan panjang lebar bagaimana dirinya mendapatkan hidayah.
“Petualanganku berawal dari masa remajaku, ayahku –dengan karunia Allah- adalah seoarang yang religius, walaupun menjalankannya dengan biasa-biasa saja, begitu pula ibuku, semoga Allah merahmatinya. Aku masih menunaikan shalat meskipun tidak disiplin. Terkadang beberapa waktunya aku tinggalkan begitu saja, tanpa merasa berdosa karena meninggalkan kewajiban shalat. Sayangnya aku tidak mendapatkan pelajaran agama yang cukup di sekolah, karena pelajaran agama bukan pelajaran pokok dibanding dengan ilmu-ilmu duniawi lainnya.
Ketika aku menamatkan Sekolah Lanjutan (SMA) aku bimbang antara meneruskan ke Fakultas Hukum atau studi senirupa, namun akhirnya aku memutuskan masuk ke akademi seni rupa jurusan acting dan peran. Tetapi aku tidak sampai menamatkan studi , karena aku sudah cukup menguasai ilmu acting dan peran, hanya beberapa saat saja hidupku seperti mimpi, karirku di dunia film dan teater terus meroket, ketenaran namaku yang baru berusia 16-17 tahun membuat cemburu banyak insan telivisi, perfilman, dan jajaran artis lainnya.
Namun, di tengah-tengah puncak karirku aku mulai merasakan adanya penolakan dari dalam diriku sendiri, hampir 2-3 tahun aku tidak terjun lagi ke dunia film, sebagian menyangkaku telah mengasingkan diri, aku mulai menolak beberapa skenario yang ditawarkan kepadaku yang hanya memanfaatkan kecantikan yang Allah berikan kepadaku. Sejak saat itu kegiatan aktingku mulai berkurang, bahkan hilang dari peredaran. Aku merasa ada pertentangan yang hebat antara kepribadianku dan kenyataan yang aku hadapi. Aku merasakan bahwa aktingku tidak memberikan hikmah yang berarti, semuanya hanya penuh dengan kepura-puraan dan terlalu dibuat-buat.
Aku baru mulai terjun lagi ke dunia film setelah aku menikah. Aku bermain bersama suamiku, Hasan Yusuf dalam satu skenario yang pas untuk diriku. Di saat shooting aku selalu menyempatkan diri untuk shalat, kalau terpaksa sampai meningalkannya aku selalu mengqodonya seraya banyak beristighfar kepada Allah, hal itu senantiasa membuatku sedih sekali. Di samping itu aku belum komitmen dengan identitas dan tampilan yang islami.
Sebelum menikah aku telah membeli perlengkapan busana muslim di salah satu butik modern, namun setelah menikah aku diajak suamiku shooping ke luar negeri untuk membeli pakaian musim panas dan musim dingin. Aku tambah sedih karena hal itu akan memasygulkan hatiku. Kemudian aku mulai memilih-milih baju yang cukup mewah, jika aku tertarik dengan busana yang pendek, aku selalu membeli jaket untuk menutupi bagian tubuhku yang mungkin masih kelihatan. Keinginan ini datang dari dalam jiwaku sendiri. Akupun mulai senang dan gandrung dengan hijab. Bersamaan dengan itu aku mulai gemar membaca Al-Qur’an, meskipun aku belum pernah menamatkannya. Aku pernah menamatkannya dahulu bersama teman-teman di sekolah, tapi sayang teman-temanku juga tidak komitmen dengan penampilan islami.
Sementara aku tetap menekuni dunia film bersama suamiku, terkadang aku bermain bersamanya. Atau ia yang membuat skenarionya dan aku yang memerankannya.
Kalau aku bercerita sekarang ini bukan berarti yang kuceritakan adalah sesuatu yang indah dalam hidupku, tapi justru aku ingin berbicara tentang satu fase dalam hidupku yang apabila kuingat-ingat, ingin rasanya hal itu terhapus dari lembaran hidupku. Seandainya jam kehidupanku dapat dimundurkan kembali, aku tak ingin menjadi insan film terkenal, aku hanya ingin menjadi muslimah yang komitmen dengan ibadah kepada Allah, sebagaimana firman Allah, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
Komitmen beribadah kepada Allah dalam pengertian yang kaffah tidaklah mudah dan terasa berat menjalankannya, tetapi dengan karunia Allah jualah segalanya menjadi mudah dan ringan, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Qudsi,
وَمَنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ شِبْرًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا وَمَنْ تَقَرَّبَ إِلَى ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ باَعًا، وَمَنْ أتَانْيَ يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً
“Barang siapa yang mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekatinya sehasta, dan barangsiapa yang mendekat kepada-Ku sehasta, Aku akan dekat kepadanya sedepa. Siapa yang mendatangiku dengan berjalan, maka Aku akan mendatanginya dengan berlari.”
Bacaan favoritku saat itu adalah tulisan Jean Paul Sarter dan Sigmund Freud dan berbagai karya filsafat lainnya. Aku masuk dalam kelompok diskusi filsafat, aku juga memiliki perpustakaan. Aku gandrung dengan bacaan-bacaan tersebut tanpa sebab yang jelas.
Suatu saat aku berkeinginan untuk menunaikan umrah, tetapi aku berkata pada diriku sendiri bahwa aku belum sanggup menjalankannya kecuali bila nanti aku telah berhijab dengan baik. Karena dalam benakku tidak logis bila aku mengunjungi rumah Allah (Ka’bah) sementara aku belum komitmen dengan identitas dan penampilan yang islami. Namun demikian seorang temanku mengatakan bahwa hijab bukanlah sarat untuk menunaikan umrah. Tidak berhijabnya mereka hanya karena ketidaktahuan mereka terhadap tuntunan Islam, bahkan mereka tetap saja tidak berubah meski telah menunaikan umrah.
Akhirnya suamiku saja yang berangkat umrah, aku tidak turut serta karena khawatir sepeninggalku anakku terbengkalai pelajarannya. Tetapi selama suamiku umrah, anak perempuanku sakit, lalu menyusul anak laki-lakiku dan akhirnya akupun juga terkena sakit, sehingga aku bertiga dan kedua anakku seluruhnya sakit. Mungkin ini teguran dari Allah karena aku urung berangkat umrah.
Tahun berikutnya, pada tahun 1982, aku pun berangkat umrah, tepatnya bulan Februari. Bulan Desembernya aku baru saja kembali dari Paris membawa oleh-oleh gaun dengan model terbaru dari salah satu butik terkenal. Saat aku membeli gaun perlengkapan umrah, itulah pertama kali aku membeli gaun putih polos tanpa aksesori apapun. Ketika aku kenakan gaun itu bahkan tanpa make-up di wajahku, aku melihat diriku justru lebih cantik.
Baru kali ini aku bepergian tidak dibarengi dengan rasa was-was dan khawatir dengan anak-anak yang kutinggalkan, padahal kepergianku sebelumnya selalu dihantui rasa cemas terhadap anak-anakku, bahkan aku seringkali mengajak mereka turut serta.
Ketika aku menginjakkan kakiku di Masjid Nabawi, entah mengapa tiba-tiba aku ingin membuka mushaf meskipun akun tidak banyak memahami maknanya. Tiba-tiba teman serombonganku menegurku, “Apakah kamu mau berhijab (berbusana muslimah)?”
“Entahlah, aku serahkan semua ini kepada suamiku, apakah dia akan menyetujuinya atau tidak,” jawabku. Sementara aku tidak tahu kalau tidak boleh taat dan tergantung kepada siapapun dalam hal maksiat kepada Allah.
Di Masjidil Haram aku dapati beberapa akhawat muslimah mengenakan hijab, sementara aku lebih mengutamakan i’tikaf sambil tilawah Al-Qur’an. Suatu ketika saat berada di Masjidil Haram antara Ashar dan Maghrib, aku bertemu dengan seorang akhawat dari Mesir yang menjadi warga negara Kuwait, namanya Arwa, dia membacakan untukku satu puisi yang ditulisnya sendiri, tiba-tiba aku menangis. Aku merasa puisinya sangat menyentuh perasaanku saat itu yang selalu ingin segera berhijab, tetapi banyak orang berkata kepadaku, “Tunggu! Tanyakan dulu ke suamimu, jangan terlalu terburu-buru, engkau kan masih muda, bla..bla…bla.” Tapi keinginanku semakin menggebu setelah mendengar bait demi bait puisinya Arwa. Adapun puisinya sebagai berikut :
لاَ وَربِّي لَنْ أبَالِي وَحَبَّانِي بِالْجَلاَلِ وَاحْتِشَامِي هُوَ مَالِي عَنْ مَتَاعٍ لِزَوَالِ أَطْلُبُ السُّوْءَ لِحاَلِي فِي حَدِيْثٍ أَوْ سُؤَالِ | فَلْيَقُوْلُوْا عَنْ حِجَابِي قَدْ حَمَانِي فِي دِيْنِي زِيْنَتِي دَوْمًا حَيَائِي أَ لأَنِّي أَتَوَلَّى لاَمَنِي النَّاسُ كَأَنِّي كَمْ لَمَحْتُ اللَّوْمَ مِنْهُمْ |
Mereka berkomentar tentang hijabku | Tidak! demi Allah aku tak perduli |
Allah telah melindungi agamaku | Dan menjadikan aku cinta keagungan |
Rasa malu perhiasan hidupku selalu | Kemuliaan adalah harta kekayaanku |
Apakah karena aku berpaling | Dari kesenangan dunia yang sirna |
Banyak orang mencemoohku | Seolah penampilanku hanya mencari sial |
Berapa banyak celaan kudapti dari mereka | Baik lewat pembicaraan maupun pertanyaan |
Aku selalu menangis manakala mengingat puisi ini, sangat menyentuh kenyataan hidupku. Setelah itu aku menjalankan manasik umrah dengan melakukan thawaf dan sa’i. Setelah selesai, malam itu aku tidak bisa tidur. Aku merasakan sesak dan gelisah di dadaku. Seakan aku ditimpa gunung yang menghambat nafasku. Seakan dosa-dosaku selama menjadi insan film dengan segala aktingnya telah mencekik leherku. Kemegahan dunia hasil profesiku yang selama ini kunikmati seolah seperti kain yang melilitku.
Tiba-tiba ayahku yang ikut umrah bersamaku menanyakan kepadaku tentang kegelisahanku. Lalu aku katakan kepadanya, “Aku ingin pergi ke Masjidil Haram sekarang!” Padahal saat itu telah larut malam, tidak biasa bagi wanita ke masjid, akupun minta ditemani ayahku.
Sesampainya di Masjidil Haram aku shalat tahiyyatul masjid, setelah itu aku melakukan thawaf, di putaran pertama Allah memberikan kemudahan kepadaku mencium hajar aswad, ketika itu doaku hanya satu, untukku, suami, anak-anaku, dan seluruh keluargaku agar diberikan kekuatan iman. Tak terasa air mataku bergulir terus mengalir tiada putusnya, sepanjang putaran thawaf aku tak henti-hentinya memanjatkan do’a tadi. Setelah selesai putaran yang ketujuh aku shalat di dekat Hajar Aswad dan menciumnya.
Aku juga shalat di dekat maqom Ibrahim. Selesai shalat aku membaca surat Al-Fatihah. Anehnya Al-Fatihah yang kubaca begitu terasa lain dalam hatiku seakan-akan aku belum pernah membacanya selama hidupku. Aku merasakan keagungan-Nya. Tangisku semakin bertambah dan perasaanku bergoncang. Di sela-sela thawaf tadi seakan para malaikat berada di sekeliling Ka’bah menungguku. Aku belum pernah merasakan keagungan seperti ini dalam hidupku.
Kemudian aku shalat lagi dua rakaat menjelang fajar di Hijir Ismail. Setelah itu ayahku memberi isyarat kepadaku agar segera pindah ke tempat shalat khusus wanita. Saat shalat Fajar aku merasakan diriku telah berubah dan telah menjadi manusia baru seutuhnya. Beberapa jamaah wanita bertanya kepadaku,
“Apakah sekarang engkau berhijab wahai ukhti Syams?”
“Dengan idzin Allah,” jawabku singkat.
Sejak saat itu aku benar-banar merasa telah berubah bukan hanya penampilanku, tapi juga suaraku ketika berbicara terasa berubah total. Itulah yang terjadi pada diriku.
Sepulangnya dari umrah aku kembali ke Mesir. Setelah itu aku tidak pernah melepas jilbabku setelah 6 tahun aku dilanda keraguan untuk merubah gaya hidupku. Aku hanya berdo’a kepada Allah agar aku, suamiku, keluargaku, dan umat Islam seluruhnya mendapatkan husnul khatimah di akhir hidupnya.