Syirik adalah lawan kata dari tauhid. Yaitu sikap menyekutukan Allah dalam hal dzat, sifat, perbuatan dan ibadah.
Syirik dalam hal dzat maksudnya adalah meyakini bahwa dzat (esensi) Allah itu seperti dzat mahluk-Nya; atau menganggap bahwa ada selain Allah Ta’ala yang memiliki dzat seperti Allah Ta’ala. Aqidah ini dianut oleh kelompok mujassimah, yaitu kelompok yang memiliki anggapan bahwa Allah Ta’ala itu berjisim (berbentuk) seperti halnya makhluk.
Syirik dalam hal sifat maksudnya adalah meyakini bahwa sifat-sifat mahluk sama dengan sifat-sifat Allah, tidak ada bedanya sama sekali.
Syirik dalam hal perbuatan maksudnya adalah meyakini bahwa ada selain Allah Ta’ala (mahluk) yang mengatur alam semesta dan rizki manusia seperti yang telah diperbuat Allah Ta’ala.
Syirik dalam hal ibadah maksudnya adalah menyembah selain Allah Ta’ala dan mengagungkannya seperti mengagungkan Allah Ta’ala, serta mencintainya seperti mencintai Allah Ta’ala.
Bentuk-bentuk Syirik
Pertama, menyembah patung atau berhala (al-ashnaam).
Allah Ta’ala berfirman,
فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ
“Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu…” (QS. Al-Hajj, 22: 30)
Di dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala memerintahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menceritakan kisah Ibrahim ketika berdakwah kepada bapaknya agar menjauhi berhala. Hal ini sebagai pelajaran bagi manusia tentang ketauhidan dalam beribadah kepada-Nya.
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقًا نَبِيًّا إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا
“Ceritakanlah (Hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Al Quraan) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi. Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya; ‘Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun?’” (QS. Maryam, 19: 41 – 42)
Kedua, menyembah matahari.
Allah Ta’ala menegaskan bahwa matahari adalah mahkluk ciptaan Allah Ta’ala,
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al A’raaf, 7: 54)
Oleh karena itu Allah Ta’ala melarang manusia bersujud menyembah kepadanya, karena yang seharusnya mereka sembah adalah Dia yang menciptakannya,
وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
“Dan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan janganlah (pula) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah Yang menciptakannya, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah”. (QS. Fushshilat, 41: 37)
Ketiga, menyembah malaikat dan jin.
Kaum musyrikin Makkah pada masa lalu menyembah kepada patung berhala Latta, Uzza, dan Manat karena menganggap ketiganya sebagai anak-anak perempuan Allah Ta’ala—Maha Suci Allah dari anggapan seperti itu. Allah Ta’ala berfirman,
أَفَرَأَيْتُمُ اللاتَ وَالْعُزَّى (١٩) وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ الأخْرَى (٢٠) أَلَكُمُ الذَّكَرُ وَلَهُ الأنْثَى (٢١) تِلْكَ إِذًا قِسْمَةٌ ضِيزَى (٢٢) إِنْ هِيَ إِلا أَسْمَاءٌ سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الأنْفُسُ وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مِنْ رَبِّهِمُ الْهُدَى (٢٣)
“Wahai kaum kafir Quraisy, apa pendapat kalian tentang patung Latta, Uzza, dan Manat, patung lain yang ketiga? Wahai kaum kafir Quraisy, apakah anak laki-laki untuk kalian, sedangkan anak perempuan untuk Allah? Jika benar begitu, maka hal itu adalah pembagian yang tidak adil. Nama patung-patung itu hanyalah mengikuti dugaan dan selera kalian semata. Sungguh Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk dari Tuhan seluruh manusia telah datang kepada mereka.” (Q.S. An-Najm: 19-23)[1]
أَمْ خَلَقْنَا الْمَلَائِكَةَ إِنَاثًا وَهُمْ شَاهِدُونَ
“Apakah Allah menciptakan malaikat sebagai anak perempuan-Nya?Apakah kaum musyrik Quraisy menyaksikan penciptaan malaikat itu?” (Q.S. As-Shafat: 150)[2]
Kaum musyrikin juga menjadikan jin-jin sebagai sekutu bagi Allah Ta’ala, namun Dia berfirman,
وَجَعَلُوا لِلَّهِ شُرَكَاءَ الْجِنَّ وَخَلَقَهُمْ وَخَرَقُوا لَهُ بَنِينَ وَبَنَاتٍ بِغَيْرِ عِلْمٍ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يَصِفُونَ
“Dan mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin itu sekutu bagi Allah, padahal Allah-lah yang menciptakan jin-jin itu, dan mereka membohong (dengan mengatakan): ‘Bahwasanya Allah mempunyai anak laki-laki dan perempuan’, tanpa (berdasar) ilmu. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari sifat-sifat yang mereka berikan.” (QS. Al An’aam, 6: 100)
Keempat, menyembah para nabi, seperti kaum Nasrani yang menganggap Nabi Isa ‘alaihis salam sebagai salah satu oknum tuhan dalam konsep ketuhanan Trinitas.
Allah Ta’ala menjelaskan hal ini diantaranya melalui ayat-ayat berikut ini.
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلَا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللَّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَلَا تَقُولُوا ثَلَاثَةٌ انْتَهُوا خَيْرًا لَكُمْ إِنَّمَا اللَّهُ إِلَهٌ وَاحِدٌ سُبْحَانَهُ أَنْ يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَكَفَى بِاللَّهِ وَكِيلًا
“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, ‘Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan : ‘(Tuhan itu) tiga’, berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah menjadi Pemelihara.” (QS. An-Nisa, 4: 171)
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ وَقَالَ الْمَسِيحُ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: ‘Sesungguhnya Allah ialah Al-Masih putera Maryam’, padahal Al-Masih (sendiri) berkata: ‘Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu’. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” (QS. Al Maidah, 5: 72)
Kelima, Menyembah Rahib atau Pendeta, Allah Ta’ala berfirman,
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At-Taubah, 9: 31)
Adiy bin Hatim -seorang Nasrani yang kemudian masuk Islam pada masa Rasulullah-pernah mengomentari ayat di atas dengan mengatakan: “Mereka tidak menyembah para pendeta dan rahib.” Rasulullah kemudian menjawabnya,
بَلَى اِنَّهُمْ حَرَّمُوْا عَلَيْهِمُ اْلحَلاَلَ وَ اَحَلُّوا اْلحَرَامَ فَاتَّبَعُوْهُمْ؟ فَذلِكَ عِبَادَتُهُمْ اِيَّاهُمْ. احمد الترمذى و ابن جرير
“Betul. Tetapi bukankah mereka orang-orang ‘alim dan para rahib itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka (pengikutnya) mengikutinya? Demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Jarir)
Keenam, menyembah thaghut. Istilah thaghut diambil dari kata thughyaan artinya melampaui batas. Maksudnya: segala sesuatu yang disembah selain Allah Ta’ala.
Setiap seruan para rasul intinya adalah mengajak kepada tauhid dan menjauhi thaghut. Allah Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut…” (QS. An-Nahl, 16: 36)
Tauhid yang murni tidak akan bisa dicapai tanpa menghindarkan diri dari menyembah thaghut, Allah Ta’ala berifrman:
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah, 2: 256).
Ketujuh, menyembah hawa nafsu. Yang dimaksud hawa nafsu disini adalah kecenderungan untuk melakukan keburukan. Seseorang yang menuhankan hawa nafsu ialah mereka yang mengutamakan keinginan nafsunya di atas cintanya kepada Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman,
أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا
“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?” (QS. Al Furqaan, 25: 43).
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS. Al-Jatsiyah, 45: 23).
Macam-macam Syirik
Ada dua macam syirik: (a) Syirik besar (b) syirik kecil. Masing-masing dari kedua macam ini mempunyai dua dimesi: dzahir (nampak) dan khafiy (tersembunyi). Marilah kita bahas satu-satu persatu dari kedua macam syrik tersebut.
Pertama, syirik besar (asy–syirkul akbar), yaitu tindakan menyekutukan Allah Ta’ala dengan mahluk-Nya. Dikatakan syirik besar karena dengannya seseorang tidak akan diampuni dosanya dan tidak akan masuk surga. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya” (QS. An Nisa’,4: 116).
Syirik besar ini dibagi dua dimensi: dzahir dan khafiy. Contoh syirik besar yang dzahir adalah: menyembah bintang, matahari, bulan, patung-patung, batu-batu, pohon-pohon besar, manusia (seperti menyembah Fir’un, raja-raja, Budha, Isa ibn Maryam, malaikat, Jin dan Syetan). Sementara syirik besar yang khafiy contohnya adalah: meminta kepada orang-orang yang sudah mati dengan keyakinan bahwa mereka bisa memenuhi apa yang mereka yakini, atau menjadikan seseorang sebagai pembuat hukum yang dapat menghalalkan dan mengharamkan layaknya Allah Ta’ala.
Kedua, syirik kecil (asy-syirkul ashghar), yaitu suatu tindakan yang mengarah kepada syirik, tetapi belum sampai ke tingkat keluar dari tauhid, hanya saja mengurangi kemurniannya. Syirik Ashghar ini juga dua dimensi: dzahir dan khafiy. Yang zhahir bisa berupa lafal (pernyataan) atau perbuatan.
Berupa lafal contohnya:
- Al-halfu bighairillah (bersumpah dengan selain Allah), seperti pernyataan: “Demi Nabi”, “Demi Ka’bah”, “Demi Kekek dan Nenek”, dan lain sebagainya. Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَانَ حَالِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللَّهِ أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa bersumpah hendaklah bersumpah dengan Allah atau diam”. (HR. Bukhari).
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ
“Barangsiapa bersumpah dengan selain Allah, sungguh ia telah kafir atau syirik”. (HR. Tirmidzi)
- Ar-Ruqa (mantera/jampi).
Dari Abdullah, beliau berkata, aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إنَّ الرُّقًى وَالتَّمَائِمَ وَالتَّوَالَةَ شِرْكٌ
“Sesungguhnya ruqyah (mantera/jampi), azimat dan pelet, adalah perbuatan syirik.” (H.R. Ahmad).
Ruqa atau ruqyah yang termasuk perbuatan syirik adalah yang terdapat di dalamnya permohonan bantuan kepada selain Allah. Sedangkan ruqyah yang tidak mengandung syirik diperbolehkan berdasarkan hadits berikut,
عَنْ عَوْفٍ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه قـال : كُنَّا نَرْقِي فِى الْجَـاهِلِيَّةِ، فَقُلْنـَا يـَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ تَرَى بِذلِكَ ؟ فَقَالَ : أَعْرِضُوْا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لاَ بَـأْسَ بِالرُّقْيَةِ مَالَمْ تَكُنْ شِرْكـاً
Dari sahabat ‘Auf bin Malik ra dia berkata : “Kami dahulu meruqyah di masa Jahiliyyah, maka kami bertanya : ‘Ya Rasulullah, bagaimana menurut pendapatmu ?’ Beliau menjawab : ‘Tunjukkan padaku Ruqyah (mantera) kalian itu. Tidak mengapa mantera itu selama tidak mengandung kesyirikan’” (HR. Muslim).
Termasuk lafal yang mengarah ke syirik pernyataan: “Kalau tidak karena Allah dan si fulan niscaya ini tidak akan terjadi.”, atau memberikan nama seperti Abdul Ka’bah dan lain sebagainya.
Adapun yang berupa perbuatan contohnya:
- Ta’liqut Tama’im (mengalungkan jimat). Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ عَلَّقَ تَمِيمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ
“Barangsiapa yang menggantungkan tamimah (jimat), maka ia telah berbuat syirik” (H.R. Ahmad)
Maksud ‘menggantungkan tamimah’ adalah mengalungkannya dan hatinya bergantung kepadanya dalam menggapai kebaikan atau menolak keburukan.
- As-Sihru (sihir). Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah disebutkan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ عَقَدَ عُقْدَةً ثُمَّ نَفَثَ فِيهَا فَقَدْ سَحَرَ، وَمَنْ سَحَرَ فَقَدْ أَشْرَكَ، وَمَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ
“Barang siapa membuat ikatan dan meniup padanya, berarti dia telah berbuat sihir; barang siapa berbuat sihir, dia telah berbuat syirik. Barang siapa menggantungkan sesuatu, dia diserahkan kepada sesuatu itu (tidak akan ditolong oleh Allah).” (HR. an-Nasa’i. Menurut Ad-Dausari hadits ini marfu’, dhaif, dan mursal dari al-Hasan; sanadnya shahih [lihat: An-Nahjus Sadid hal. 145 dan 134]).
Dari Abu Musa, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلَاثَةٌ لَا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ: مُدْمِنُ الْخَمْرِ، وَمُصَدِّقٌ بِالسِّحْرِ وَقَاطِعُ الرَّحِمِ
“Tiga (golongan) yang tidak dimasukkan ke dalam surga adalah: pecandu khamr, orang yang membenarkan sihir dan pemutus hubungan kekeluargaan.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Hibbân dalam Shahîh-nya).
- Al-Kahanah (pedukunan). Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَتَى كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
“Barangsiapa yang mendatangi Kahin (dukun/peramal) lalu dia mempercayai perkataannya maka dia telah kafir terhadap apa yang telah diturunkan kepada Muhammad shalallaahu alaihi wasalam.” (HR. Muslim)
Dalam hadits lain disebutkan,
مَنْ أَتَى عَرَّافاً فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْئٍ فَصَدَّقَهُ، لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً
“Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal kemudian bertanya sesuatu lalu dia mempercayainya, maka tidak akan diterima shalatnya selama empat puluh hari.” (HR. Muslim, no. 2230. Ucapan ‘lalu dia mempercayainya’ tidak berasal dari riwayat Muslim, akan tetapi berasal dari riwayat Imam Ahmad, 4/28)
Orang yang mempercayai dukun atau peramal telah dianggap kufur karena ia menyelisihi firman Allah Ta’ala,
قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ
“Katakanlah: ‘Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.” (QS. An-Naml, 27: 65)
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)” (QS. Al-An’am, 6: 59)
- Ad-Dzhibhu ligharillah (penyembelihan [kurban] untuk selain Allah).
Penyembelihan untuk selain Allah ditentang oleh ajaran Islam karena ia adalah kebiasaan kaum musyrikin. Seorang muslim diperintahkan oleh Allah Ta’ala untuk memproklamirkan kemurnian ibadahnya hanya kepada Allah Ta’ala,
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
“Katakanlah: sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”. (QS. Al-An’am, 6: 162-163)
Yang dimaksud ‘nusuk’ pada ayat di atas adalah menyembelih dengan tujuan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah.
Dalam hadits yang diriwayatkan Ali bin Abu Thalib disebutkan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَعَنَ اللَّهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ آوَى مُحْدِثًا وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ لَعَنَ وَالِدَيْهِ وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ غَيَّرَ الْمَنَارَ
“Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah. Allah melaknat orang yang melindungi pelaku dosa besar/ kebid’ahan. Allah melaknat orang yang melaknat kedua orangtuanya. Allah melaknat orang yang merubah tanda (batas tanah).” (H.R Muslim)
Tercelanya perilaku menyembelih/berkurban untuk selain Allah tergambar pula pada hadits berikut,
عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَاب، أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (دَخَلَ الجَنَّةَ رَجُلٌ فِي ذُبَابٍ، وَدَخَلَ النَّارَ رَجُلٌ فِي ذُبَابٍ) قَالُوْا: وَكَيْفَ ذَلِكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟! قَالَ: (مَرَّ رَجُلَانِ عَلَى قَوْمٍ لَهُمْ صَنَمٌ لَا يُجَوِّزُهُ أَحَدٌ حَتَّى يُقَرِّبُ لَهُ شَيْئاً، فَقَالُوْا لِأَحَدِهِمَا قَرِّبْ قَالَ: لَيْسَ عِنْدِيْ شَيْءٌ أُقَرِّبُ قَالُوْا لَهُ: قَرِّبْ وَلَوْ ذُبَاباً، فَقَرَّبَ ذُبَاباً، فَخَلُّوْا سَبِيْلَهُ، فَدَخَلَ النَّارَ، وَقَالُوْا لِلآخَر: قَرِّبْ، فَقَالَ: مَا كُنْتُ لِأُقَرِّبَ لِأَحَدٍ شَيْئاً دُوْنَ الله عَزَّ وَجَلَّ، فَضَرَبُوْا عُنُقَهُ فَدَخَلَ الجَنَّةَ)
“Dari Thariq bin Syihab, (beliau menceritakan) bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Ada seorang lelaki yang masuk surga gara-gara seekor lalat dan ada pula lelaki lain yang masuk neraka gara-gara lalat.” Mereka (para sahabat) bertanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ada dua orang lelaki yang melewati suatu kaum yang memiliki berhala. Tidak ada seorang pun yang diperbolehkan melewati daerah itu melainkan dia harus berkorban (memberikan sesaji) sesuatu untuk berhala tersebut. Mereka pun mengatakan kepada salah satu di antara dua lelaki itu, “Berkorbanlah.” Ia pun menjawab, “Aku tidak punya apa-apa untuk dikorbankan.” Mereka mengatakan, “Berkorbanlah, walaupun hanya dengan seekor lalat.” Ia pun berkorban dengan seekor lalat, sehingga mereka pun memperbolehkan dia untuk lewat dan meneruskan perjalanan. Karena sebab itulah, ia masuk neraka. Mereka juga memerintahkan kepada orang yang satunya, “Berkorbanlah.” Ia menjawab, “Tidak pantas bagiku berkorban untuk sesuatu selain Allah ‘Azza wa Jalla.” Akhirnya, mereka pun memenggal lehernya. Karena itulah, ia masuk surga.” (HR. Ahmad)
- At-Thiyarah (merasa sial karena sesuatu).
Telah diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu anhuma, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ مِنْ حَاجَةٍ فَقَدْ أَشْرَكَ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا كَفَّارَةُ ذَلِكَ؟ قَالَ: أَنْ يَقُوْلَ أَحَدُهُمْ :اَللَّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ وَلاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ.
“Barangsiapa mengurungkan niatnya karena thiyarah, maka ia telah berbuat syirik.” Para Sahabat bertanya: “Lalu apakah tebusannya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Hendaklah ia mengucapkan: ‘Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan dari Engkau, tiadalah burung itu (yang dijadikan objek tathayyur [merasa sial]) melainkan makhluk-Mu dan tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Engkau.’” (HR. Ahmad)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، وَمَا مِنَّا إِلاَّ، وَلَكِنَّ اللهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ.
“Thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik dan setiap orang pasti (pernah terlintas dalam hatinya sesuatu dari hal ini). Hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakkal kepada-Nya.” (HR. Abu Daud)
Adapun syirik ashghar yang khafiy, biasanya berupa niat atau keinginan, seperti riya’ dan sum’ah. Yaitu melakukan tindak ketaatan kepada Allah Ta’ala dengan niat ingin dilihat atau didengar orang lain agar mendapat pujian. Seperti menegakkan shalat dengan nampak khusyu’ karena sedang berada di samping calon mertuanya, supaya dipuji sebagai orang saleh, padahal di saat shalat sendirian tidaklah demikian. Riya’ adalah termasuk dosa hati yang sangat berbahaya. Sebab Islam sangat memperhatikan perbuatan hati sebagai faktor yang menentukan bagi baik tidaknya perbuatan dzahir.
Allah Ta’ala befirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لَا يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan sipenerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir” (QS. Al Baqarah, 2: 264)
Mengenai perbuatan riya’ ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ الرِّيَاءُ ، يَقُوْلُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِذَا جَزَى النَّاسَ بِأَعْمَالِهِمْ : اذْهَبُوْا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاؤُوْنَ فِيْ الدُّنْيَا ، فَانْظُرُوْا هَلْ تَجِدُوْنَ عِنْدَهُمْ جَزاَءً ؟!
“Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil, yaitu riya’. Allah akan mengatakan kepada mereka pada hari Kiamat tatkala memberikan balasan atas amal-amal manusia “Pergilah kepada orang-orang yang kalian berbuat riya’ kepada mereka di dunia. Apakah kalian akan mendapat balasan dari sisi mereka?” (HR Ahmad)
Mengenai sum’ah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَمَّعَ النَّاسَ بِعَمَلِهِ ، سَمَّعَ اللهُ بِهِ مَسَامِعَ خَلْقِهِ ، وَصَغَّرَهُ وَحَقَّرَهُ
“Barangsiapa memperdengarkan amalnya kepada orang lain (agar orang tahu amalnya), maka Allah akan menyiarkan aibnya di telinga-telinga hambaNya, Allah rendahkan dia dan menghinakannya”. (HR Thabrani)
Bahaya-bahaya Syirik
Pertama, syirik adalah dzulmun ‘adzim (kezaliman yang besar). Allah Ta’ala berfirman,
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am, 6: 82)
Dalam Al-Musnad, Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dari Abdullah. Ia mengatakan bahwa tatkala turun ayat ini,
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ
“Hal tersebut terasa berat dirasakan oleh orang-orang, dan mereka mengatakan, ‘Wahai rasulullah, أَيُّنَا لَمْ يَظْلِمْ siapakah di antara kita yang tidak menzalimi dirinya?’ Beliau menjawab, ‘Sesungguhnya bukan seperti yang kalian sangka! Belumkah kalian mendengar apa yang dikatakan oleh seorang hamba yang shalih,
يَا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ } إنما هو الشرك”
“Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqman : 13), sesungguhnya yang dimaksud dengan hal tersebut adalah “ kesyirikan”.’
Demikianlah. Allah Ta’ala menyebut syirik sebagai kezaliman yang besar. Oleh karenanya wajib bagi kita untuk menjauhinya.
Kedua, ‘adamul ghufran (tidak diampuni dosanya). Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An Nisa’: 48).
Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya berkata, “Allah Ta’ala tidak akan mengampuni dosa syirik yaitu ketika seorang hamba bertemu Allah dalam keadaan berbuat syirik.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, terbitan Dar Ibnul Jauzi, 3: 129).[3]
Maksud ayat ini kata Ibnul Jauzi yaitu Allah tidak akan mengampuni pelaku syirik (musyrik) yang ia mati dalam kesyirikan (Lihat: Zaadul Masir, 2: 103). Ini berarti jika sebelum meninggal dunia ia sudah bertaubat dan menyesali kesyirikan yang ia perbuat, maka ia selamat.
Ketiga, syirik adalah itsmun ‘adzim (dosa besar). Penegasan tentang syirik sebagai dosa besar diantaranya disebutkan dalam hadits berikut.
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رضي الله عنه قَالَ: سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم : أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ؟ قَالَ: “أَنْ تَجْعَلَ لِلّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ” قُلْتُ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: “أَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ خَشْيَةَ أَنْ يَأْكُلَ مَعَكَ” قُلْتُ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: “أَنْ تُزَانِيَ حَلِيْلَةَ جَارِكَ”.” مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: “Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Dosa apa yang paling besar?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Yaitu engkau menjadikan sekutu (tandingan) bagi Allah padahal Dia yang menciptakanmu (yaitu dosa kesyirikan)’. Aku berkata: ‘Kemudian apa?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Jika engkau membunuh anakmu karena khawatir dia makan bersamamu.’ Aku berkata: ‘Kemudian apa setelah itu, wahai Rasūlullāh?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Engkau berzina dengan isteri tetanggamu.’” (Muttafaqun ‘alaih, diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim)
Keempat, syirik adalah dholalun ba’id (kesesatan yang jauh). Perbuatan syirik disebut oleh Allah Ta’ala sebagai kesesatan yang jauh.
يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُ وَمَا لَا يَنْفَعُهُ ذَلِكَ هُوَ الضَّلَالُ الْبَعِيدُ
“Ia menyeru selain Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi mudharat dan tidak (pula) memberi manfa’at kepadanya. Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh.” (QS. Al-Hajj, 22: 12)
Allah Ta’ala pun memberikan perumpamaan tentang orang yang berbuat syirik dengan firman-Nya,
وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاءِ فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيحُ فِي مَكَانٍ سَحِيقٍ
“Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” (Al-Hajj, 22: 31)
Kelima, hurmatul jannah (diharamkannya surga) bagi pelaku syirik. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّهُ ۥ مَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدۡ حَرَّمَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِ ٱلۡجَنَّةَ وَمَأۡوَٮٰهُ ٱلنَّارُۖ وَمَا لِلظَّـٰلِمِينَ مِنۡ أَنصَارٍ
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” (QS. Al-Maidah, 5: 72)
Keenam, dukhulun nar (dimasukkan ke dalam neraka). Selain surah Al-Maidah ayat 72 diatas, nash yang menyebutkan ancaman neraka bagi orang yang berbuat syirik adalah hadits berikut ini,
مَنْ مَاتَ لاَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ مَاتَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا دَخَلَ النَّارَ
“Barangsiapa yang mati dalama keadaan tidak berbuat syirik pada Allah dengan sesuatu apa pun, maka ia akan masuk surga. Barangsiapa yang mati dalam keadaan berbuat syirik pada Allah, maka ia akan masuk neraka” (HR. Muslim).
Ketujuh, ihbatul ‘amal (sia-sianya amal)
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (Qs. Al-An’am, 6: 88).
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. ‘Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.’” (QS. Az-Zumar, 39: 65)
*****
Selain itu, perilaku syirik merupakan sumber khurafat—seperti mendatangi para dukun, kuburan-kuburan angker dan mengalungkan jimat di leher—yang merusak keimanan dan sikap mental hidup manusia.
Syirik menimbulkan ketakutan sebagaimana firman Allah Ta’ala,
سَنُلْقِي فِي قُلُوبِ الَّذِينَ كَفَرُوا الرُّعْبَ بِمَا أَشْرَكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَمَأْوَاهُمُ النَّارُ وَبِئْسَ مَثْوَى الظَّالِمِينَ
“Akan Kami masukkan ke dalam hati orang-orang kafir rasa takut, disebabkan mereka mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak menurunkan keterangan tentang itu. Tempat kembali mereka ialah neraka; dan itulah seburuk-buruk tempat tinggal orang-orang yang zalim” (QS. Ali Imran, 3: 151)
Syirik juga merendahkan derajat kemanusiaan. Bukankah manusia adalah mahluk yang paling mulia? Lalu mengapa mereka menundukkan dirinya kepada makhluk-makhluk lainnya yang lebih rendah?
Maka, orang yang berbuat syirik hakikatnya telah menghancurkan kecerdasan dirinya sendiri sebagai manusia,
وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ قُلْ أَتُنَبِّئُونَ اللَّهَ بِمَا لَا يَعْلَمُ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfa`atan, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafa`at kepada kami di sisi Allah”. Katakanlah: “Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit dan tidak (pula) di bumi?” Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka mempersekutukan (itu)” (QS. Yunus, 10: 18).
Sebab-sebab Syirik
Ada beberapa sebab fundamental munculnya syirik:
Pertama, al–Jahlu (kebodohan). Karena itulah masyarakat sebelum datangnya Islam disebut masyarakat jahiliyah. Sebab mereka tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Dalam kondisi yang penuh dengan kebodohan itu, orang-orang cenderung berbuat syirik. Karenanya semakin jahiliyah suatu kaum, bisa dipastikan kecenderungan berbuat syirik semakin kuat. Dan biasanya di tengah masyarakat jahiliyah para dukun selalu menjadi rujukan utama. Mengapa? Sebab mereka bodoh; tidak mengenal Allah Ta’ala dengan baik, tidak tahu makna menghambakan diri kepada-Nya, dan tidak memahami pedoman kehidupan. Karena kobodohannya itulah mereka tidak tahu bagaimana seharusnya mengatasi berbagai persoalan yang mereka hadapi. Ujung-ujungnya para dukun dijadikannya sebagai nara sumber yang sangat mereka agungkan.
Kedua, dhu’ful iimaan (lemahnya iman). Seorang yang lemah imannya cenderung berbuat maksiat. Sebab rasa takutnya kepada Allah Ta’ala tidak kuat. Lemahnya rasa takut ini akan dimanfaatkan oleh syaithan dan hawa nafsu untuk menguasai dirinya. Ketika seseorang telah dibimbing oleh syaithan dan hawa nafsunya maka tidak mustahil jika ia kemudian terjatuh ke dalam perbuatan-perbuatan syririk, seperti: memohon kepada pohon besar yang dianggap keramat karena ingin segera kaya, datang ke kuburan para wali untuk minta pertolongan kepada para wali itu agar ia dipilih menjadi presiden atau selalu merujuk kepada para dukun agar penampilannya tetap memikat hati banyak orang, dan lain sebagainya.
Ketiga, taqliid (taklid buta). Di dalam Al Qur’an selalu digambarkan bahwa alasan orang-orang melakukan perbuatan menyekutukan Allah adalah karena mengikuti jejak nenek moyang mereka. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً قَالُوا وَجَدْنَا عَلَيْهَا آبَاءَنَا وَاللَّهُ أَمَرَنَا بِهَا قُلْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ أَتَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
“Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata: ‘Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya.’ Katakanlah: ‘Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji.’ Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?” (QS. Al A’raf, 7: 28).
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,’ Mereka menjawab: ‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami’, (Apakah mereka akan mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (QS. Al Baqarah, 2: 170)
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
“Apabila dikatakan kepada mereka: ‘Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul’. Mereka menjawab: ‘Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya’. Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” (QS. Al-Maidah, 5: 104).
Catatan Kaki:
[1] Terjemah Tafsiriyah, Al-Ustadz Muhammad Thalib, hal. 673 – 674.
[2] Ibid, hal. 569
[3] https://rumaysho.com/2980-dosa-syirik-tidak-diampuni.html