Selayang Pandang
Surat Al-Ikhlash adalah surat ke 112 dalam Al-Qur’an, terdiri dari 4 ayat, termasuk ke dalam golongan surat Makiyyah, dan diturunkan setelah surat An-Naas. Membaca surat ini bersama al-muawwidzatain setiap pagi dan petang sebanyak tiga kali adalah masyru’ (disyariatkan), berdasarkan hadits dari Abdullah bin Khubaib, dia berkata:
خَرَجْنَا فِي لَيْلَةِ مَطَرٍ وَظُلْمَةٍ شَدِيدَةٍ نَطْلُبُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيُصَلِّيَ لَنَا فَأَدْرَكْنَاهُ فَقَالَ أَصَلَّيْتُمْ فَلَمْ أَقُلْ شَيْئًا فَقَالَ قُلْ فَلَمْ أَقُلْ شَيْئًا ثُمَّ قَالَ قُلْ فَلَمْ أَقُلْ شَيْئًا ثُمَّ قَالَ قُلْ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا أَقُولُ قَالَ قُلْ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ حِينَ تُمْسِي وَحِينَ تُصْبِحُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ تَكْفِيكَ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ
“Kami keluar pada malam hari yang hujan dan sangat gelap agar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat bersama kami, dan kami bertemu dengannya. Beliau bertanya: ‘Sudahkah kamu shalat?’ Aku tidak menjawab apa-apa. Beliau bersabda lagi: ‘Katakanlah!’ Aku juga tidak mengatakan apa-apa. Lalu beliau bersabda lagi: ‘Katakanlah!’ Aku juga tidak mengatakan apa-apa. Lalu beliau bersabda lagi: ‘Katakanlah!’ maka aku berkata: ‘Ya Rasulullah apa yang aku katakan?’ Beliau bersabda: katakanlah ‘Qul Huwallahu Ahad dan Al Mu’awwidzatain (Al Falaq dan An Nas) pada sore hari dan pagi hari tiga kali, maka hal itu telah mencukupimu dari segala sesuatu.’” (Diriwayatkan oleh Abu Daud No. 5082. Syaikh Al Albani mengatakan: hasan, dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abi Daud, No. 5082)[1]
Surat Al-Ikhlash dinamakan juga Surat Al-Asas, Qul Huwallahu Ahad, At-Tauhid, Al-Iman, dan masih banyak nama lainnya; karena mengandung pengajaran tentang tauhid.[2]
Ada dua sebab kenapa surat ini dinamakan Al Ikhlash.Yang pertama, dinamakan Al Ikhlash karena surat ini berbicara tentang ikhlash. Yang kedua, dinamakan Al Ikhlash karena surat ini murni membicarakan tentang Allah. Penjelasannya sebagai berikut.
Syaikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin mengatakan bahwa Surat Al Ikhlas ini berasal dari ’mengikhlaskan sesuatu’ yaitu membersihkannya/memurnikannya. Dinamakan demikian karena di dalam surat ini berisi pembahasan mengenai ikhlas kepada Allah ’Azza wa Jalla. Oleh karena itu, barangsiapa mengimaninya, dia termasuk orang yang ikhlas kepada Allah.
Ada pula yang mengatakan bahwa surat ini dinamakan Al Ikhlash (di mana ikhlash berarti murni) karena surat ini murni membicarakan tentang Allah. Allah hanya mengkhususkan membicarakan diri-Nya, tidak membicarakan tentang hukum ataupun yang lainnya. Dua tafsiran ini sama-sama benar, tidak bertolak belakang satu dan lainnya.[3]
Keutamaan Surat Al-Ikhlash
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut surat ini sebagai satu surat yang sebanding dengan sepertiga Al-Qur’an.
عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَيَعْجِزُ أَحَدُكُمْ أَنْ يَقْرَأَ فِي لَيْلَةٍ ثُلُثَ الْقُرْآنِ قَالُوا وَكَيْفَ يَقْرَأْ ثُلُثَ الْقُرْآنِ قَالَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ تَعْدِلُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ
Dari Abud Darda’ dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda, “Apakah seseorang dari kamu tidak mampu membaca sepertiga al-Qur’ân di dalam satu malam?” Para sahabat bertanya, “Bagaimana seseorang (mampu) membaca sepertiga al-Qur’ân (di dalam satu malam)?” Beliau bersabda: “Qul Huwallaahu Ahad sebanding dengan sepertiga al-Qur’ân.” (HR. Muslim, no. 811)
Maknanya adalah bahwa kandungan al-Qur’an ada tiga bagian: (1) hukum-hukum, (2) janji dan ancaman, (3) nama-nama dan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla . Dan surat ini semuanya berisi tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla.[4]
Disebut “sebanding dengan sepertiga al-Qur’an” juga maknanya adalah dalam hal ganjaran pahala, dan bukan berarti membacanya tiga kali cukup sebagai pengganti mambaca al-Qur’an.[5]
Di dalam hadits lain disebutkan bahwa orang yang mencintainya akan dicintai oleh Allah Azza wa Jalla.
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ رَجُلًا عَلَى سَرِيَّةٍ وَكَانَ يَقْرَأُ لِأَصْحَابِهِ فِي صَلَاتِهِمْ فَيَخْتِمُ بِقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ فَلَمَّا رَجَعُوا ذَكَرُوا ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ سَلُوهُ لِأَيِّ شَيْءٍ يَصْنَعُ ذَلِكَ فَسَأَلُوهُ فَقَالَ لِأَنَّهَا صِفَةُ الرَّحْمَنِ وَأَنَا أُحِبُّ أَنْ أَقْرَأَ بِهَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبِرُوهُ أَنَّ اللَّهَ يُحِبُّهُ
Dari ‘Aisyah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seorang laki-laki memimpin sekelompok pasukan, (ketika mengimami shalat) dia biasa membaca di dalam shalat jama’ah mereka, lalu menutup dengan ”Qul huwallaahu ahad”. Ketika mereka telah kembali, mereka menyebutkan hal itu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Maka beliau berkata: “Tanyalah dia, kenapa dia melakukannya!” Lalu mereka bertanya kepadanya, dia menjawab: “Karena surat ini merupakan sifat Ar-Rahmaan (Allah Yang Maha Pemurah), dan aku suka membacanya”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Beritahukan kepadanya bahwa Allah mencintainya”. (HR. Al-Bukhâri, no. 7375; Muslim, no. 813)
Asbabun Nuzul
Sebab turun surat al-Ikhlas ini adalah munculnya pertanyaan orang-orang kafir tentang nasab Allah Azza wa Jalla, sebagaimana disebutkan di dalam hadits :
عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ أَنَّ الْمُشْرِكِينَ قَالُوا لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْسُبْ لَنَا رَبَّكَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ اللَّهُ الصَّمَدُ
Dari Ubayy bin Ka’ab radhiyallahu anhu bahwa orang-orang musyrik berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Sebutkan nasab Rabbmu kepada kami!”, maka Allâh menurunkan: (Katakanlah: “Dia-lah Allâh, yang Maha Esa). (HR. Tirmidzi, no: 3364; Ahmad, no: 20714; Ibnu Abi ‘Ashim di dalam as-Sunnah 1/297. Dihasankan oleh Syaikh al-Albani).
Tadabbur Ayat 1:
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa”.
Kata (قُلْ) –artinya katakanlah-. Perintah ini ditujukan kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dan juga umatnya.
Al-Qurtubhi mengatakan bahwa (قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ) maknanya adalah :
الوَاحِدُ الوِتْرُ، الَّذِي لَا شَبِيْهَ لَهُ، وَلَا نَظِيْرَ وَلَا صَاحَبَةَ، وَلَا وَلَد وَلَا شَرِيْكَ
Al Wahid Al Witr (Maha Esa), tidak ada yang serupa dengan-Nya, tidak ada yang sebanding dengan-Nya, tidak memiliki istri ataupun anak, dan tidak ada sekutu baginya.
Asal kata dari (أَحَدٌ) adalah (وَحْدٌ), sebelumnya diawali dengan huruf ‘waw’ kemudian diganti ‘hamzah’.[6]
Syaikh Al Utsaimin mengatakan bahwa kalimat (اللَّهُ أَحَدٌ) –artinya Allah Maha Esa-, maknanya bahwa Allah itu Esa dalam keagungan dan kebesarannya, tidak ada yang serupa dengan-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya.[7]
Para Ulama penyusun Tafsir al-Muyassar berkata, “Katakanlah wahai Rasul, ‘Dia-lah Allah Yang Esa dengan ulûhiyah (hak diibadahi), rubûbiyah (mengatur seluruh makhluk), asma’ was shifat (nama-nama dan sifat-sifat-Nya), tidak ada satupun yang menyekutui-Nya dalam perkara-perkara itu”.[8]
Buya Hamka mengatakan bahwa inilah pokok pangkal akidah, puncak dari kepercayaan. Mengakui bahwa yang dipertuhan itu ALLAH nama-Nya. Dan itu adalah nama dari Satu saja. Tidak ada Tuhan selain Dia. Dia Maha Esa, mutlak Esa, tunggal, tidak bersekutu yang lain dengan Dia.[9]
Tadabbur Ayat Kedua
اللَّهُ الصَّمَدُ
Allah adalah ash-Shamad.
Ash-Shamad adalah satu nama di antara Asmaul Husna yang dimiliki Allah Azza wa Jalla. Di dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa para ulama memiliki beragam pemahaman berkenaan dengan makna as-Shamad, sebagai berikut:
- (Rabb) yang segala sesuatu menghadap kepada-Nya dalam memenuhi semua kebutuhan dan permintaan mereka. Ini pendapat Ibnu Abbas radhiyallahu anhu dari riwayat ‘Ikrimah.
- As-Sayyid (Penguasa) yang kekuasaan-Nya sempurna; as-Syarîf (Maha Mulia) yang kemuliaan-Nya sempurna; al-‘Azhîm (Maha Agung) yang keagungan-Nya sempurna; al-Halîm (Maha Sabar) yang kesabaran-Nya sempurna; al-‘Alîm (Mengetahui) yang ilmu-Nya sempurna; al-Hakîm (Yang Bijaksana) yang kebijaksanaan-Nya sempurna. Dia adalah Yang Maha Sempurna dalam seluruh sifat kemuliaan dan kekuasaan, dan Dia adalah Allah Yang Maha Suci. Sifat-Nya ini tidak layak kecuali bagiNya, tidak ada bagi-Nya tandingan dan tidak ada sesuatupun yang menyamai-Nya. Maha Suci Allâh Yang Maha Esa dan Maha Perkasa. Ini pendapat Ibnu Abbas radhiyallahu anhu dari riwayat ‘Ali bin Abi Thalhah radhiyallahu anhu.
- Yang Maha Kekal setelah semua makhluk-Nya binasa. Ini pendapat al-Hasan dan Qatadah.
- Al-Hayyu al-Qayyûm (Yang Maha Hidup, Maha berdiri sendiri dan mengurusi yang lain), yang tidak akan binasa. Ini pendapat al-Hasan.
- Tidak ada sesuatupun yang keluar dari-Nya dan Dia tidak makan. Ini pendapat ‘Ikrimah.
- Ash-Shamad adalah yang tiada beranak dan tidak pula diperanakkan. Ini pendapat ar-Rabi’ bin Anas.
- Yang tidak berongga. Ini adalah pendapat Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Sa’id bin Musayyib, Mujahid, Abdullah bin Buraidah, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, ‘Atha bin Abi Rabbah, ‘Athiyah al-‘Aufi, adh-Dhahhak, dan as-Suddi.
- Yang tidak memakan makanan dan tidak minum minuman. Ini pendapat asy-Sya’bi.
- Cahaya yang bersinar. Ini pendapat Abdullah bin Buraidah.
Imam Thabarani rahimahullah berkata, “Semua makna ini benar, dan ini semua merupakan sifat Penguasa kita ‘Azza wa Jalla. Dia adalah tempat menghadap di dalam memenuhi semua kebutuhan, Dia adalah yang kekuasaan-Nya sempurna, Dia adalah ash-Shamad, yang tidak berongga, dia tidak makan dan tidak minum, Dia adalah Yang Maha Kekal setelah makhlukNya (binasa)“.
Dan imam al-Baihaqi juga berkata seperti ini.[10]
Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menjelaskan Allahu as-Shamad, artinya, bahwa segala sesuatu ini adalah Dia yang menciptakan, sebab itu maka segala sesuatu itu kepada-Nyalah bergantung. Ada atas kehendak-Nya.
Kata Abu Hurairah: “Arti Ash-Shamadu ialah segala sesuatu memerlukan dan berkehendak kepada Allah, berlindung kepada-Nya, sedang Dia tidaklah berlindung kepada sesuatu jua pun.”
Husain bin Fadhal mengartikan: “Dia berbuat apa yang Dia mau dan menetapkan apa yang Dia kehendaki.”
Muqatil mengartikan: “Yang Maha Sempurna, yang tidak ada cacat-Nya.”[11]
Tadabbur Ayat 3:
لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ
Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,
Makna Kalimat (لَمْ يَلِدْ) sebagaimana dikatakan Maqatil adalah: ”Tidak beranak kemudian mendapat warisan.” Sedangkan kalimat (وَلَمْ يُولَدْ) maksudnya adalah tidak disekutui. Demikian karena orang-orang musyrik Arab mengatakan bahwa Malaikat adalah anak perempuan Allah. Kaum Yahudi mengatakan bahwa ’Uzair adalah anak Allah. Sedangkan Nashara mengatakan bahwa Al Masih (Isa, pen) adalah anak Allah. Dalam ayat ini, Allah meniadakan itu semua.”[12]
Syaikh Musa’id ath-Thayyâr hafizhahullah berkata, “Yaitu: (Allah) ini Yang berhak diibadahi, Dia tidak dilahirkan sehingga akan binasa. Dia juga bukan suatu yang baru yang didahului oleh tidak ada lalu menjadi ada. Bahkan Dia adalah al-Awwal yang tidak ada sesuatupun sebelum-Nya, dan al-Âkhir yang tidak ada sesuatupun setelah-Nya.”[13]
Tegasnya, di ayat yang ketiga ini Allah Ta’ala membantah anggapan orang-orang musyrikin, kaum Yahudi dan Nasrani yang mengatakan bahwa Allah Ta’ala memiliki anak.
Di dalam Al-Qur’an banyak sekali firman-Nya yang juga membantah aqidah batil ini.
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ أَنَّىٰ يَكُونُ لَهُ وَلَدٌ وَلَمْ تَكُنْ لَهُ صَاحِبَةٌ ۖ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ ۖ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Dia Pencipta langit dan bumi. bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai isteri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-An’am, 6: 101).
Di dalam firman-Nya yang lain, Allah Ta’ala berfirman,
وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَٰنُ وَلَدًا ﴿﴾ لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا ﴿﴾ تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا ﴿﴾ أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَٰنِ وَلَدًا
Dan mereka berkata, “Rabb yang Maha Pemurah mempunyai anak”. Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar. Hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka menda’wakan bahwa Allâh yang Maha Pemurah mempunyai anak. (QS. Maryam, 19: 88-91).
Di dalam salah satu hadits Qudsi disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قَالَ اللَّهُ كَذَّبَنِي ابْنُ آدَمَ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ وَشَتَمَنِي وَلَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ أَمَّا تَكْذِيبُهُ إِيَّايَ أَنْ يَقُولَ إِنِّي لَنْ أُعِيدَهُ كَمَا بَدَأْتُهُ وَأَمَّا شَتْمُهُ إِيَّايَ أَنْ يَقُولَ اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا وَأَنَا الصَّمَدُ الَّذِي لَمْ أَلِدْ وَلَمْ أُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لِي كُفُؤًا أَحَدٌ
Allâh berkata: “Anak Adam mendustakanKu, padahal dia tidak pantas melakukannya. Dia juga mencelaKu, padahal dia tidak pantas melakukannya. Adapun pendustaannya kepadaKu adalah perkataannya bahwa Aku tidak akan menghidupkannya kembali sebagaimana Aku telah memulai penciptaannya. Sedangkan celaannya kepadaKu adalah perkataannya bahwa Aku memiliki anak, padahal Aku adalah Ash-Shamad, Aku tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara denganKu.” (HR. Bukhari, no. 4975)
Meskipun demikian besar kemurkaan Allah Ta’ala kepada manusia-manusia beraqidah menyimpang tersebut; Dia tetap melimpahkan kesehatan dan rizki kepada mereka. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَيْسَ أَحَدٌ أَوْ لَيْسَ شَيْءٌ أَصْبَرَ عَلَى أَذًى سَمِعَهُ مِنْ اللَّهِ إِنَّهُمْ لَيَدْعُونَ لَهُ وَلَدًا وَإِنَّهُ لَيُعَافِيهِمْ وَيَرْزُقُهُمْ
“Tidak ada seorangpun yang lebih sabar daripada Allah terhadap gangguan yang dia dengarkan. Sebagian manusia menganggap Allâh memiliki anak, namun Dia tetap memberikan keselamatan/kesehatan dan memberi rizqi kepada mereka.” (HR. Al-Bukhâri, no. 6099; Muslim, no. 2804).
Tadabbur Ayat Keempat:
وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”
Maksudnya adalah tidak ada seorang pun sama dalam setiap sifat-sifat Allah. Jadi Allah meniadakan dari diri-Nya memiliki anak atau dilahirkan sehingga memiliki orang tua. Juga Allah meniadakan adanya yang semisal dengan-Nya.[14]
Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya dalam ayat keempat ini, yakni: tiada beristri; hal ini semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya:
بَدِيعُ السَّماواتِ وَالْأَرْضِ أَنَّى يَكُونُ لَهُ وَلَدٌ وَلَمْ تَكُنْ لَهُ صاحِبَةٌ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ
“Dia pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak, padahal Dia tidak mempunyai istri, Dia menciptakan segala sesuatu.” (QS. Al-An’am: 101)
Dialah Yang memiliki segala sesuatu dan Yang Menciptakannya, maka mana mungkin Dia mempunyai tandingan dari kalangan makhluk-Nya yang menyamai-Nya atau mendekati-Nya, Mahatinggi lagi Mahasuci Allah dari semuanya itu.[15]
Sedangkan Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di mengatakan makna ayat: ”dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia” yaitu tidak ada yang serupa (setara) dengan Allah dalam nama, sifat, dan perbuatan.
Demikianlah tadabbur surat Al-Ikhlash. Semoga Allah Ta’ala mengokohkan ma’rifat kita kepada-Nya.
Wallahu A’lam.
Maraji’:
Memahami Surat Al-Ikhlas; Sepertiga Al-Qur’an, Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal
Tafsir Al-Azhar, Buya Hamka
Tafsir Surat Al-Ikhlas Ayat 1 – 4, www.alhikmah.web.id
Tafsir Surat Al-Ikhlas, Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari
Tafsir Surat Al-Ikhlas, Ibnu Aun.
Takhrij Al-Ma’tsurat, Farid Nu’man Hasan.
Catatan Kaki:
[1] Takhrij Hadits Al-Ma’tsurat, Ustadz Farid Nu’man Hasan.
[2] Lihat: At Ta’rif bi Suratil Qur’anil Karim
[3] Dikutip oleh Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal dari Syarh Al Aqidah Al Wasithiyyah, hal. 97.
[4] Dikutip oleh Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari dari Majmu’ Fatawa, 17/103
[5] Dikutip Ustadz Ibnu Aun dari Syarhul aqiidatil waasithiyyah (1/157-158).
[6] Dikutip oleh Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal dari Al Jaami’ liahkamil Qur’an, Adhwaul Bayan.
[7] Dikutip oleh Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal dari Tafsir Juz ‘Amma hal. 292.
[8] Dikutip oleh Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari dari Tafsir al-Muyassar, 11/96.
[9] Lihat: Tafsir Al-Azhar, Buya Hamka.
[10] Lihat semua keterangan di atas di dalam Tafsir Ibnu Katsir surat al-Ikhlas
[11] Lihat: Tafsir Al-Azhar, Buya Hamka.
[12] Dikutip Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal dari Zadul Masiir, Ibnul Jauziy.
[13] Dikutip oleh Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari dari Tafsir Juz ‘Amma, 1/77, Syaikh Musa’id ath-Thayyaar.
[14] Dikutip oleh Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal dari Tafsir Juz ‘Amma, Syaikh Al-Utsaimin, hal. 293.
[15] Lihat: Tafsir Surat Al-Ikhlash, www.alhikmah.web.id