Haidh adalah darah yang keluar dari wanita dalam keadaan sehat, minimal sehari semalam menurut Syafi’iyyah, dan 3 hari menurut madzhab Hanafi. Umumnya 7 hari, dan maksimal 10 hari menurut madzhab Hanafi, dan 15 hari menurut madzhab Syafi’iy. Jika darah itu berlanjut melebihi batas maksimal disebut darah istihadhah.
Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa mengatakan bahwa tidak ada batasan yang pasti mengenai minimal dan maksimal masa haid. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah juga mengambil pendapat ini. Dalil tidak adanya batasan minimal dan maksimal masa haid adalah Firman Allah Ta’ala,
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah : “Haid itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekatkan mereka, sebelum mereka suci…” (QS. Al-Baqarah : 222).
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah memberikan petunjuk tentang masa haid itu berakhir setelah suci, yakni setelah kering dan terhentinya darah tersebut. Bukan tergantung pada jumlah hari tertentu.
Nifas yaitu darah yang keluar dari wanita setelah melahirkan. Minimal tidak ada batasnya, dan maksimal empat puluh hari sesuai dengan hadits Ummu Salamah, di mana ia berkata,
كَانَتِ النُّفَسَاءُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- تَقْعُدُ بَعْدَ نِفَاسِهَا أَرْبَعِينَ يَوْمًا أَوْ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
“Dahulu di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, wanita menunggu masa nifasnya selesai hingga 40 hari atau 40 malam.” (HR. Abu Daud no. 311, Tirmidzi no. 139, Ibnu Majah no. 648. Hadits ini dishahihkan Al Hakim dan disepakati oleh Adz Dzahabi. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan, sedangkan Syaikh Al Albani mengatakan shahih)
Jinabat adalah kondisi tidak suci karena mengeluarkan mani, baik dalam kondisi tidur maupun melek/terjaga, atau berjima’.
Hukum Wanita Haidh dan Nifas
- Mereka tidak berpuasa dan wajib qadha hari Ramadhan yang ditinggalkan;
- Tidak wajib shalat dan tidak wajib qadha shalat yang ditinggalkan; dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.
‘Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat’.” (HR. Muslim no. 335)
- Diharamkan baginya dan suaminya berjima’ (lihat Q.S. Al-Baqarah ayat 222);
- Tidak diperbolehkan juga baginya dan orang yang junub melakukan thawaf; ketika ‘Aisyah haid saat haji, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya,
فَافْعَلِى مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ ، غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِى بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِى
“Lakukanlah segala sesuatu yang dilakukan orang yang berhaji selain dari melakukan thawaf di Ka’bah hingga engkau suci.” (HR. Bukhari no. 305 dan Muslim no. 1211)
- Tidak diperbolehkan menyentuh mushaf, membawanya, membaca Al Qur’an kecuali yang sudah menjadi do’a atau basmalah;
Hadits larangan membaca Al-Qur’an adalah sebagai berikut.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ تَقْرَإِ الْحَائِضُ وَلاَ الْجُنُبُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ »
Artinya: dari Ibnu Umar dari nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak boleh seorang yang haid dan junub membaca sedikitpun dari al-Qur’an”. (HR. At-Tirmidzî)
Namun ada yang berpendapat bahwa status hadits ini dha’if, tidak dapat dijadikan dalil karena ada perawi yang lemah, yakni Ismâ’il bin ‘Ayyâsy. Imam Ibnu Baththaal, Imam Ath-Thabari, Imam Ibnul Mundzir dan lain-lain menyatakan bahwa perempuan haid, nifas dan orang yang junub boleh membaca Al-Qur’an dan tidak terlarang. Berdasarkan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Aisyah untuk mengerjakan apa-apa yang dikerjakan oleh orang yang sedang menunaikan ibadah haji selain thawaf dan tentunya juga terlarang shalat (lihat hadits di point 4 diatas). Sedangkan yang selainnya boleh, termasuk membaca Al-Qur’an. Karena kalau membaca Al-Qur’an terlarang bagi perempuan haid tentu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskannya kepada Aisyah.
- Tidak boleh juga berada di masjid. Jumhur ahli fikih dari keempat madzhab berpendapat bahwasannya tidak boleh seorang wanita haid untuk berdiam di masjid, dengan dalil hadist dari Ummu ‘Athiyah dia berkata:
أَمَرَنَا – تَعْنِى النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم– أَنْ نُخْرِجَ فِى الْعِيدَيْنِ الْعَوَاتِقَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ وَأَمَرَ الْحُيَّضَ أَنْ يَعْتَزِلْنَ مُصَلَّى الْمُسْلِمِينَ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami pada saat shalat ‘Ied (Idul Fithri ataupun Idul Adha) agar mengeluarkan para gadis (yang baru beranjak dewasa) dan wanita yang dipingit, begitu pula wanita yang sedang haidh. Namun beliau memerintahkan pada wanita yang sedang haidh untuk menjauhi tempat shalat.“ (HR. Muslim, no. 890)