Seorang muslim harus memiliki ma’rifah (pengetahuan, pengenalan, pemahaman) yang benar tentang Allah Ta’ala. Ia harus memahami dan meyakini bahwa Allah Ta’ala memiliki kesempurnaan dalam ad-dzat (esensi), as-shifat (sifat), al-asma (nama-nama), dan al-af’al (perbuatan).
Dzat (esensi) Allah Ta’ala adalah Dzat yang Maha Sempurna. Dia berbeda dengan semua makhluk ciptaan-Nya. Tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya. Mengenai hal ini Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ اللَّهُ الصَّمَدُ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ
“Katakanlah: ‘Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.’” (QS. Al-Ikhlas, 112: 1 – 4)
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy-Syura, 42: 11)
لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am, 6: 103)
Yang dimaksud dengan tidak dapatnya Allah dijangkau dengan indra manusia ialah selama manusia itu masih hidup di dunia. Akan tetapi apabila manusia (mu’min) telah berada di alam akhirat, ia akan dapat melihat Allah Ta’ala.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَمَا إِنَّكُمْ سَتُعْرَضُوْنَ عَلَى رَبِّكُمْ فَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا الْقَمَرَ
“Ketahuilah, sesungguhnya kalian akan di hadapkan kepada Rabb kalian, maka kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan ini.” (HR Muslim).
Imam Nawawi mengatakan, “Artinya kalian akan melihat Allah secara nyata, tidak ada keraguan dalam melihatNya, dan tidak pula ada kesulitan padanya. Seperti halnya kalian melihat bulan (purnama) ini secara nyata, tidak ada kesulitan dalam melihatnya. Yang diserupakan disini adalah cara melihatnya, bukan Allah diserupakan dengan bulan.” (Syarh Shahih Muslim, Nawawi, hlm. 136-137).
Allah Ta’ala berfirman,
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
“Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri kepada Tuhannyalah mereka melihat.” (QS. Al-Qiyamah, 75: 22-23)
Melihat Allah Ta’ala di hari akhirat khusus bagi orang-orang mukmin, sedangkan mata orang-orang kafir tertutup dari melihat-Nya. Allah Ta’ala berfirman,
كَلَّا إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوبُونَ
“Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat Tuhan mereka)”. (QS. Al-Mutaffifin, 83: 15)
*****
Berikutnya, As-shifat (sifat) dan al-asma (nama-nama) Allah Ta’ala pun adalah sifat dan asma yang Maha Sempurna. Dia berfirman,
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf, 7: 180)
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا
“Katakanlah: ‘Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu’”. (QS. Al-Israa, 17: 110)
Nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala diantaranya disebutkan di dalam ayat-ayat berikut ini,
هُوَ اللَّهُ الَّذِي لا إِلَهَ إِلا هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ () هُوَ اللَّهُ الَّذِي لا إِلَهَ إِلا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ () هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ لَهُ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى يُسَبِّحُ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Dialah Allah, yang tiada Tuhan melainkan Dia. Yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Dia adalah Maha Murah, Maha Penyayang. Dialah Allah yang tiada Tuhan melainkan Dia. Maha Raja, Maha Suci, maha Sejahtera, Yang mengaruniakan keamanan, maha Memelihara, Maha Perkasa, maha Gagah, Yang Membesarkan diri, Maha Sucilah Allah dari apapun yang mereka persekutukan. Dialah Allah, Maha Pencipta, Yang Mengadakan, Yang Membentuk rupa, bagiNyalah nama yang baik, bertasbih kepadaNya apapun yang ada pada kalian langit dan bumu, dan Dia adalah Maha Perkasa, Maha Bijaksana”. (Al-Hasyr, 59: 22 – 24)
*****
Allah Ta’ala juga memiliki kesempurnaan dalam al-af’al (perbuatan). Penciptaan langit, bumi, manusia, malaikat, jin, surga, neraka dan yang lainnya adalah merupakan af’al Allah Ta’ala, dan tidak ada siapa pun yang dapat menolak ketetapan dan kehendaknya.
فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ
“Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (QS. Al-Buruj, 85: 16)
لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ
“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.” (QS. Al-Anbiya, 21: 23)
Kesadaran akan kesempurnaan Allah Ta’ala yang tak tertandingi dalam ad-dzat (esensi), as-shifat (sifat), al-asma (nama-nama), dan al-af’al (perbuatan)-Nya inilah yang menumbuhkan kesadaran at-tauhid, meliputi:
Pertama, at-tauhidul asma was shifat, yakni meyakini bahwa hanya Allah Ta’ala yang memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang sempurna, tidak ada yang serupa dengan-Nya sebagaimana yang Dia tetapkan pada diri-Nya di dalam al-Qur’an, atau disebutkan di dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan yang layak bagi Allah, tanpa tahrif (perubahan/penyimpangan lafadz dan makna), ta’thil (meniadakan), takyif (bertanya kaifiyat [cara atau bentuk] sifat Allah), dan tanpa tamtsil (menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk).[1]
Kedua, at-tauhidu ar-rububiyyah, yakni mengesakan Allah dalam hal penciptaan, kepemilikan, dan pengurusan.
Ketiga, at-tauhidu al-mulkiyah, yakni mengesakan Allah sebagai satu-satunya pemimpin, pelindung, dan yang berhak menetapkan aturan/hukum.
Keempat, at-tauhidul uluhiyah, yakni pengesaan Allah dalam ibadah, yakni bahwasanya hanya Allah satu-satunya yang berhak diibadahi.[2]
Sikap ketauhidan sebagaimana tersebut di atas terangkum dalam satu kalimat: La Ilaha Illa-Llah (Tiada Ilah Selain Allah). Maka, seorang muslim yang hidup di bawah naungan tauhid adalah mereka yang menjadikan Allah sebagai Mahbuban (Yang dicinta),
وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ ۗ
“Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah, 2 : 165)
Menjadikan Allah Ta’ala sebagai Rabban Maqshudan (Tuhan yang dituju),
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
”Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”.” (QS. Al-An’am, 6: 162)
Menjadikan Allah Ta’ala sebagai Malikan Mutha’an (Raja yang ditaati),
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa, 4: 59).
Menjadikan Allah Ta’ala sebagai Ilahan Ma’budan (Tuhan Yang disembah),
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah, 98: 5)
*****
Dengan hidup di bawah naungan tauhid seperti inilah manusia akan terbimbing ke arah hayatun thayyibah (kehidupan yang baik),
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl, 16: 97). Wallahu A’lam…
Catatan Kaki:
[1] Terdapat dua mazhab dalam memahami ayat dan hadits mengenai sifat-sifat Allah. Penjelasan mengenai hal ini silahkan lihat di lampiran tulisan berjudul: “Mendamaikan Salaf dan Khalaf, Mungkinkah?”
[2] Dalil-dalil yang menunjukkan tentang tauhid rububiyyah, tauhid mulkiyah, dan tauhid uluhiyyah silahkan lihat kembali di pembahasan Tauhidullah sebelumnya