Ada beragam pandangan dan pendapat mengenai pembagian tauhid. Sebagian kalangan membagi tauhid menjadi tiga, yaitu: tauhid rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa shifat. Sementara pihak lain ada yang menganggap pembagian seperti itu adalah bid’ah.
Mereka yang setuju dengan pembagian tauhid menjadi tiga, beralasan bahwa pembagian ini berdasarkan istiqra’ (penelitian menyeluruh) para ulama terhadap dalil-dalil yang ada di dalam Al-Quran dan As-Sunnah, sebagaimana ulama nahwu membagi kalimat di dalam bahasa arab menjadi tiga: Isim, fi’il, dan huruf. Menurut mereka pembagian tauhid seperti ini terkumpul dalam firman Allah dalam Al Qur’an,
رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيّاً
“Rabb (yang menguasai) langit dan bumi dan segala sesuatu yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadah kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?” (Maryam: 65).
Perhatikan ayat di atas:
(1). Dalam firman-Nya (رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ) (Rabb [yang menguasai] langit dan bumi) terdapat penetapan tauhid rububiyah.
(2). Dalam firman-Nya (فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ) (maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadah kepada-Nya) terdapat penetapan tauhid uluhiyah.
(3). Dan dalam firman-Nya (هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيّاً) (Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia?) terdapat penetapan tauhid asma’ wa shifat.
Sementara itu mereka yang menolaknya beralasan bahwa pembagian seperti itu tidak pernah disebutkan dalam Al-Qur’an maupun sunnah; tidak pernah disebutkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
Sebagian kalangan ada pula yang menambah pembagian tauhid yang tiga tersebut dengan apa yang disebut tauhid mulkiyah atau tauhid hakimiyah. Namun tambahan ini pun tidak disepakati. Syaikh Nashirudin Al-Albani rahimahullah menganggap istilah Tauhid Hakimiyah/Mulkiyah sebagai muhdats (istilah baru), dan menganggap istilah itu berbau politik. Beliau berkata: “Al-Hakimiyah adalah bagian dari Tauhid Uluhiyah. Mereka yang mendengung-dengungkan kalimat yang ‘muhdats’ tadi di zaman ini bukanlah untuk mengajari kaum muslimin tentang tauhid yang dibawa oleh para nabi dan para rasul seluruhnya, melainkan hanyalah sebagai senjata politik.”
Anggapan Syaikh Al-Albani tersebut dapat dipahami, karena istilah tauhid hakimiyah sering didengung-dengungkan oleh sebagian orang untuk tujuan perlawanan kepada pemerintah yang belum menerapkan hukum/syariat Allah. Bahkan lebih jauh ada pula yang melakukan takfir (pengkafiran) dengan berdalil kepada tauhid mulkiyah ini.
Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin rahimahullah menegaskan: “Barangsiapa menganggap bahwa ada bagian keempat dalam (pembagian) tauhid yang disebut ‘tauhid hakimiyah’, maka orang tersebut dianggap ‘mubtadi’. Ini adalah pembagian yang diada-adakan dan timbul dari seorang ‘jahil’ yang tidak paham tentang perkara aqidah dan agama sedikitpun. Yang demikian itu karena ‘al-hakimiyah’ termasuk dalam tauhid ‘rububiyah’ dari sisi bahwasanya Allah menghukum dengan apa-apa yang Dia kehendaki. Ia juga termasuk dalam tauhid ‘uluhiyah’ (dari sisi), karena setiap hamba wajib beribadah kepada Allah dengan hukum Allah. Dengan demikian ‘hakimiyah’ tidak keluar dari tiga jenis tauhid, yaitu tauhid ‘rububiyyah’ tauhid ‘uluhiyah’ dan tauhid ‘asma wa sifat’.”
Di website www.syariahonline.com, yang dikelola oleh Sharia Consulting Center, dijelaskan tentang tauhid mulkiyah sebagai berikut.
“Tauhid mulkiyah merupakan bagian dari visi ketauhidan seorang muslim. Namun impelmentasinya tentu tidak sederhana. Tidak berati setiap orang yang tidak berhukum pada hukum Allah lantas menjadi kafir dengan sendirinya. Bagaimana dengan mereka yang memang ditakdirkan lahir di negeri yang tidak menjalankan hukum Allah? Bahkan lebih ekstrem lagi, dimana hari ini ada negeri yang menerapkan hukum Allah? Tauhid mulkiyah tidak mengkafirkan orang yang kebetulan menjadi penduduk di negeri yang tidak menjalankan hukum Allah. Karena mereka bukanlah penguasa yang punya tanggung-jawab untuk menerapkan hukum Allah sebagai undang-undang positif yang berlaku.
Tauhid mulkiyah menuntut umat Islam dengan segala kemampunan dan wewenangnya untuk mengakui Allah sebagai hakim (pembuat hukum dan sumber). Paling tidak ini harus menjadi i‘tiqad yang menghujam di dalam hati. Dan secara lisan kita harus mengakui bahwa hanya hukum Allah-lah yang benar dan harus diikuti sebagai seorang muslim. Seseorang menjadi tidak benar i‘tiqadnya secara mulkiyah bila secara terang-terangan tidak mengakui kebenaran hukum Islam, menolaknya atau membencinya. Namun untuk menggolongkan mereka secara langsung sebagai musyrikin, tentu tidak sesederhana itu. Karena, sebuah tuduhan harus di dasarkan pada kekuatan hukum dan bukti-bukti yang kuat. Tidak bisa dengan mudah menuduh seseorang atau menjatuhkan vonis sebagai musyrik kepada sembarang orang.
Ketika menjawab tentang masalah pembagian tauhid, Sharia Consulting Center menjawab:
“Ilmu tauhid di dalam sejarah Islam mengalami kodifikasi sesuai dengan kebutuhan waktunya. Para ulama ilmu tauhid telah membuat kajian yang mendalam dan membuat pembahasan untuk bisa dengan mudah dicerna orang. Memang dimasa Rasulullah SAW belum lagi dikenal pengistilahan seperti itu. Karena saat itu ilmu tauhid belum lagi menjadi suatu cabang ilmu tersendiri. Pembagian tauhid rububiyah dan uluhiyah baru dilakukan kemudian setelah terjadinya klasifikasi cabang-cabang ilmu dalam Islam. Para ulama telah menyusun cabang ilmu tauhid atau yang juga sering dikenal dengan ilmu kalam. Esensinya tetap, hanya saja sistematika dan pengistilahannya berkembang sesuai dengan kebutuhan zaman. Tauhid asma wa sifat berkembang pesat saat terjadinya debat panjang tentang masalah konsep ketuhanan. Umat Islam harus berhadapan dengan konsep filsafat ketuhanan barat yang cenderung materialis dan semata-mata menggunakan logika. Lalu para ulama mencoba memformulasikan bagaimana konsep ketuhanan dalam Islam.
Konsep tauhid ini harus berhadapan dengan ‘teori emanasi’ dan beragam teori theologi lainnya. Di masa sekarang ini, nampaknya perdebatan di bidang itu sudah tidak terlalu intensif lagi. Yang justru sekarang bergolak adalah konsep Hakimiyatullah. Dimana sebagai tuhan, Allah itu bukan hanya sekedar disembah, tetapi juga menjadi pembuat hukum sekaligus sumber hukum itu sendiri. Sehingga tauhid itu belum lengkap kalau orang hanya sekedar bicara tentang konsep Allah dari sudut bahwa Dia adalah Pencipta dan Pemelihara (Rububiyah), atau sekedar bahwa Dia adalah Yang Wajib Disembah (uluhiyah), tetapi harus sampai pada i‘tiqad bahwa Dia adalah Malik (raja) dan Hakim (pembuat hukum). Sehingga tauhid seseorang belum sempurna sebelum mengakui bahwa Allah adalah sumber hukum satu-satunya dalam hidup. Dan bahwa seseorang tidak dikatakan beriman sebelum dia bertahkim dengan hukum Allah itu.
Pengertian dan esensi tauhid mulkiyah telah berjalan di masa Rasulullah SAW hidup. Hanya saja secara sistematika dan pengistilahan, belum lagi digunakan istilah mulkiyatullah. Tapi esensinya benar dan jelas, bahwa Rasulullah SAW hidup menjadi nabi selama 23 tahun adalah untuk mendemonstrasikan bagaimana menjalankan hukum Allah itu dalam praktek sehari-hari. Dan pengingkaran atas hukum Allah itu pada hakikatnya adalah kekufuran. Kufur bukan hanya karena tidak mengakui Allah sebagai Pencipta dan Tuhan Yang Disembah, tetapi kufur bisa terjadi karena mengingkari sifat Allah sebagai Malik (Raja) yang paling berhak mengatur kehidupan manusia dan sebagai Hakim (sumber hukum) dan pembuat undang-undang.
Jadi kesimpulannya, bertauhid itu harus mencakup tauhid rububiyah, uluhiyah, asma‘ wa sifat dan tentu saja tauhid mulkiyah. Kesemuanya merupakan sistematika yang esensinya diakui oleh seluruh umat Islam dan telah berjalan di zaman Rasulullah SAW hingga hari ini dan sampai hari kiamat. Dari segi esensi, semuanya bukan sesuatu yang baru, kecuali sekedar pengistilahan.”
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab Al-Washabi menyebutkan satu jenis bagian tauhid yang lain selain tauhid rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa shifat, yaitu: Tauhid Mutaba’ah. Beliau menjelaskan sebagai berikut,
“Ketahuilah, wahai saudara muslimku -semoga Allah memberikan taufik kepadaku dan kepadamu-, tauhid memiliki dua rukun pokok, yaitu sebagai berikut.
- Mengesakan Allah dengan ibadah.
- Mengesakan Rasulullah dengan mutaba’ah (mengikuti).
Maka, sebagaimana kita tidak beribadah kecuali kepada Allah maka demikian juga, kita tidak mengikuti siapa pun (dalam cara beribadah kepada Allah, red.) kecuali dengan mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Tuhfatul Murid, hlm. 14–15)
Kemudian, Syekh Muhammad bin Abdul Wahab Al-Washabi berkata, “Ketahuilah saudara muslimku -semoga Allah memberikan tsabat (kekokohan) kepadaku dan kepadamu di atas kebenaran-, bahwa tauhid terbagi menjadi empat bagian, yaitu: tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, tauhid asma’ wa shifat, dan tauhid mutaba’ah.” (Tuhfatul Murid, hlm. 15)
Bahkan sebagian ulama membagi tauhid menjadi dua saja yaitu tauhid fil ma’rifat wal itsbat (tauhid dalam pengetahuan, penetapan dan keyakinan) dan tauhid fii thalab wal qasd (tauhid dalam tujuan ibadah). Jika dengan pembagian seperti ini maka tauhid rububiyah dan tauhid asma’ wa shifat termasuk golongan yang pertama, sedangkan tauhid uluhiyah adalah golongan yang kedua (Lihat: Fathul Majid: 18).
Syaikh Yusuf Al-Qaradawi hafizhahullah dalam bukunya Haqiqat At-Tauhid menyebutkan: “Tauhid yang diperintahkan Islam ada dua, yaitu: Pertama, i’tiqad ‘ilmi (keyakinan ilmiyyah) dan Kedua, ‘amali suluki (amal dan perilaku).” Selanjutnya Syaikh Qaradawi menyebutkan: “Iman seseorang tidak diterima di sisi Allah, selama belum menegakkan tauhid dalam:
- Ilmu dan keyakinan; dengan beriman bahwa Allah Maha Esa, dalam Dzat, sifat, dan perbuatan-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak ada yang menyerupai-Nya, tidak beranak dan tidak diperanakkan.
- Tujuan dan perbuatan; dengan mengesakan Allah melalui beribadah yang sempurna, ketaatan yang mutlak, merendahkan diri kepada, kembali, pasrah dan tawakkal, takut, berharap kepada-Nya dan seterusnya.
Tauhid dengan arti yang pertama, tersurat dan tersirat di dalam surat Al-Ikhlash, awal surat Ali Imran, awal surat Thaha, awal surat Alim Lam Miim Sajdah, awal surat Al-Hadid, akhir surat Al-Hasyr, dan lain-lain.
Tauhid dengan arti kedua, tersurat, tersirat dan disebutkan dalam surat Al-Kafirun, beberapa ayat dari surat Al-An’am, awal surat Al-A’raf, akhir surat Al-A’raf, awal surat Yunus, pertengahan surat Yunus, akhir surat Yunus, awal surat Az-Zumar, akhir surat Az-Zumar, dan lain-lain.
Bahkan Ibnul Qayyim berkata: “Setiap surat Al-Qur’an memuat dua bentuk tauhid ini.”
Banyak para penulis dahulu dan kini menamakan bentuk tauhid yang pertama dengan tauhid rububiyyah, dan bentuk yang kedua dengan tauhid ilahiyyah atau uluhiyyah.”[1]
Demikian sekilas penjelasan tentang pembagian tauhid. Semoga kita dapat mensikapi ikhtilaf (perbedaan pendapat) ini dengan bijak. Wallahu a’lam.
[1] Lihat: Hakikat Tauhid dan Fenomena Kemusyrikan, hal. 33-35