Ketiga, bahwa Islam adalah dinul ahkami wal akhlaqi (agama hukum dan akhlak).
Islam adalah agama yang memuat hukum-hukum bagi kehidupan manusia sehingga terwujud keteraturan. Pembahasan mengenai hal ini bisa dirujuk di pembahasan: Syumuliyatul Islam, Khashaisul Islam, dan Minhajul Hayah sebelumnya.
Salah satu perwujudan Islam sebagai dinul ahkam adalah dorongan yang kuat kepada umatnya agar tegas dalam penegakkan hukum. Diriwayatkan bahwa Usamah bin Zaid pernah meminta keringanan kepada Rasulullah shallallahu wa sallam untuk wanita Makhzumiyah yang mencuri, beliau lalu bersabda,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّمَا ضَلَّ مَنْ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ وَإِذَا سَرَقَ الضَّعِيفُ فِيهِمْ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ وَايْمُ اللَّهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَرَقَتْ لَقَطَعَ مُحَمَّدٌ يَدَهَا
“Wahai manusia, bahwasanya kesesatan orang-orang sebelum kalian adalah karena mereka apabila orang mulia mencuri mereka mengabaikannya, dan apabila orang lemah mencuri mereka menegakkan hukum atasnya. Demi Allah, kalau Fathimah binti Muhammad mencuri, maka Muhammad akan memotong tangannya.” (HR. Bukhari).
Hal ini menjadi bukti bahwa Islam menjunjung tinggi hukum dan keadilan. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah, 5: 8)
وَإِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.” (QS. Al-Maidah, 5: 42)
Islam juga disebut dinul akhlaqi (agama akhlak) karena menjunjung tinggi akhlak mulia. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ صَالِحَ الأَخْلاَقِ
“Bahwasanya aku diutus adalah untuk menyempurnakan kebaikan akhlak.” (HR. Ahmad).
Islam mengajarkan bahwa antara iman/aqidah dan akhlak tidak dapat dipisahkan. Hal ini diantaranya tergambar dalam ayat berikut ini,
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS. An-Nisa, 4: 36)
Ayat di atas memadukan antara kewajiban iman, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.” dengan kewajiban akhlak, “Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim…”dan sterusnya.
Syaikh Muhammad Al-Ghazaly dalam bukunya Khuluqul Muslim menyatakan bahwa peribatan yang telah disyariatkan di dalam Islam yang dipandang sebagai tiang keimanan, bukanlah ritual tanpa arti sejenis ritual (agama) lain yang membelenggu manusia dengan soal-soal gaib yang tidak dapat dimengerti, atau yang dipaksakan kepada manusia supaya melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak jelas maksud dan tujuannya, dan bukan pula gerakan-gerakan yang tanpa makna. Semua kewajiban yang telah ditetapkan oleh Islam bagi para pemeluknya, merupakan latihan berulang-ulang untuk membiasakan orang dapat hidup dengan akhlak yang lurus dan benar, dan agar berpegang teguh padanya, betapa pun perubahan-perubahan yang terjadi di hadapannya.
Contohnya:
- Kewajiban shalat fardhu dihubungkan oleh Allah Ta’ala dengan tujuan menjauhkan manusia dari perbuatan-perbuatan rendah dan membersihkannya dari ucapan dan perilaku yang buruk (lihat: QS. Al-Ankabut, 29: 45).
- Kewajiban zakat dihubungkan dengan tujuan pembersihan jiwa dari kotoran dan cacat kekurangan serta mengangkat martabat masyarakat ke taraf yang lebih mulia (lihat: At-taubah, 9: 103). Bahkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan pengertian as-shadaqah dengan sabda beliau,
تَبَسُّمُكَ فِى وَجْهِ اَخِيْكَ صَدَقَةٌ وَاَمْرُكَ بِالْمَعْرُوْفِ وَنَهْيُكَ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَاِرْشَادُكَ الرَّجُلَ فِى اَرْضِ الضَّلَالِ لَكَ صَدَقَةٌ وَاِمَاطَتُكَ الْأَذَى وَالشَّوكَ وَالْعَظْمَ عَنِ الطَّرِيْقِ لَكَ صَدَقَةٌ
“Senyummu di depan saudaramu adalah shadaqah. Amar ma’ruf nahi munkar yang kau lakukan adalah shadaqah. Engkau menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat adalah shadaqah. Kesediaanmu menyingkirkan gangguan, duri, dan rintangan di jalanan adalah shadaqah.” (HR. Bukhari).
- Kewajiban haji dihubungkan dengan tujuan menghindarkan diri dari akhlak-akhlak tercela: berbuat rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan (lihat: QS. Al-Baqarah, 2: 197).
- Kewajiban puasa dihubungkan dengan tujuan pembersihan diri dari akhlak tercela. Rasulullah saw bersabda,
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلهِ حَاجَةٌ فِى اَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan buruk, maka tiada artinya bagi Allah orang itu meninggalkan makanan dan minumannya.” (HR. Bukhari).
Maka, sebagai dinul ahkami wal akhlaqi, Islam dapat membentuk manusia menjadi pribadi-pribadi yang husnul khuluq al-hakimu (berakhlak baik dan bijaksana).