Kelima, Islam adalah dinul ‘ilmi wal ‘amal (agama ilmu dan amal).
Allah Ta’ala dengan tegas menyebutkan di dalam Al-Qur’an bahwa Dia meninggikan orang-orang yang beriman dan berilmu beberapa derajat,
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“…niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah, 58: 11)
Bahkan diantara sebab manusia -Adam ‘alaihissalam- diangkat oleh Allah Ta’ala menjadi khalifah di muka bumi adalah karena ia telah dibekali ilmu (silahkan simak surat Al-Baqarah, 2: 30-34).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa awal kebaikan bagi seseorang adalah dengan adanya ilmu dan pengetahuan, beliau bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْـرًا يُـفَـقِـهْهُ فِي الدِّيْنِ .
“Barang siapa yang dikehendaki kebaikannya oleh Allah, Dia akan menjadikannya mengerti tentang (urusan) agamanya.” (HR. Bukhari No. 71, 3116, 7312).
Hal itu karena dengan ilmulah manusia dapat membedakan mana al-haq dan mana al-bathil dalam keyakinan manusia. Mana yang benar dan mana yang salah dari perkataan manusia, mana yang sunnah dan mana yang bid’ah dalam ibadah, mana yang tepat dan mana yang tidak tepat dalam mu’amalah, mana akhlak terpuji dan mana akhlak tercela, serta mana yang harus didahulukan dan mana yang harus diakhirkan.
Itulah sebabnya menuntut ilmu menjadi kewajiban bagi setiap muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
”Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim”. (HR. Ibnu Majah)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah telah menjelaskan ilmu apa saja yang wajib dipelajari oleh setiap muslim. Artinya, tidak boleh ada seorang muslim pun yang tidak mempelajarinya. Ilmu tersebut diantaranya;
- Ilmu tentang pokok-pokok keimanan, yaitu keimanan kepada Allah Ta’ala, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir.
- Ilmu tentang syariat-syariat Islam. Di antara yang wajib adalah ilmu tentang hal-hal yang khusus dilakukan sebagai seorang hamba seperti ilmu tentang wudhu, shalat, puasa, haji, zakat. Kita wajib untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan ibadah-ibadah tersebut, misalnya tentang syarat, rukun dan pembatalnya.
- Ilmu tentang lima hal yang diharamkan yang disepakati oleh para Rasul dan syariat sebelumnya. Kelima hal ini disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
“Katakanlah,’Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui’”. (QS. Al-A’raf, 7: 33)
Kelima hal ini adalah haram atas setiap orang pada setiap keadaan. Maka wajib bagi kita untuk mempelajari larangan-larangan Allah Ta’ala, seperti haramnya zina, riba, minum khamr, dan sebagainya, sehingga kita tidak melanggar larangan-larangan tersebut karena kebodohan kita.
- Ilmu yang berkaitan dengan interaksi yang terjadi antara seseorang dengan orang lain secara khusus (misalnya istri, anak, dan keluarga dekatnya) atau dengan orang lain secara umum. Ilmu yang wajib menurut jenis yang ke empat ini berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan dan kedudukan seseorang. Misalnya, seorang pedagang wajib mempelajari hukum-hukum yang berkaitan dengan perdagangan atau transaksi jual Ilmu yang ke empat ini berbeda-beda sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing.[1]
Karena demikian pentingnya ilmu, dalam kondisi genting sekalipun Islam memerintahkan agar aktivitas menuntut ilmu ini tidak ditinggalkan. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala berikut ini,
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah, 9: 122)
Ibnu Katsir rahimahullah meriwayatkan dari Ikrimah, ia berkata, “Bahwa ketika turun ayat ‘Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih’ (QS. At-Taubah, 9: 39), orang-orang munafik berkomentar, ‘Sungguh binasa orang-orang kampung yang tidak turut dan berangkat perang bersama Muhammad’. Hal ini ditujukan kepada beberapa orang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tetap tinggal di kampung halamannya mengajari kaumnya tentang urusan agama, lalu Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan ayat 122 dari surat At-Taubah di atas.”[2]
Yang menarik, menurut Ustadz Ahmad Kusyairi Suhail, bahwa ayat tafaqquh fiddin ini berada di tengah-tengah pembahasan tentang jihad bil qital (perang) yang menjadi tema sentral dari surat At-Taubah. Sebelum ayat tersebut, Allah Ta’ala menyinggung tentang perang Tabuk yang terjadi pada tahun 9 H dan suasana yang menyelimuti kaum muslimin pada saat perang maupun pasca perang, lalu pada ayat sesudahnya (QS. At-Taubah: 123), kembali Allah Ta’ala menyinggung masalah perang. Hal ini, lanjut Ustadz Suhail, memberikan pemahaman kepada kita, bahwa seorang mukmin tidak boleh terlalu asyik masyuk dengan satu bentuk ibadah, lalu melupakan ibadah yang lain. Melainkan, ia harus senantiasa tawazun (seimbang) dan syamil (menyeluruh dan utuh), dan tidak terperangkap dengan hal yang juz’i (parsial). Karenanya, semangat mencari ilmu harus selalu dikobarkan dan tidak boleh padam dalam suasana segenting apa pun.
Ustadz Suhail menegaskan, “Jika di tengah kobaran semangat jihad yang menyala-nyala, Allah SWT mengingatkan pentingnya tafaqquh fiddin dan tidak boleh dilalaikan, apatah lagi dalam berbagai aktivitas lainnya, tentu lebih tidak diperbolehkan lagi untuk meninggalkan mencari ilmu. Kesibukan kita dalam jihad siyasi (politik) tidak boleh melunturkan semangat tafaqquh fiddin. Kesibukan kaum ibu dalam jihad ‘aili (berjuang dalam mengurus rumah tangga) tidak boleh dijadikan alasan untuk tidak memperdalam pengetahuan mereka tentang agama. Kesibukan mencari nafkah juga tidak boleh membuat seorang mukmin tidak pernah mengalokasikan waktu guna mencari ilmu. Walhasil, tafaqquh fiddin tidak dibatasi oleh usia, waktu, tempat, situasi dan kondisi.”[3]
Oleh karena itu wajarlah jika sebuah kata mutiara islami menyebutkan:
اُطْلُبُوا العِلْمَ مِنَ المَهْدِ إِلى اللَّحْدِ
“Tuntutlah ilmu sejak dari buaian hingga liang lahat”
Khalifah Umar bin Abdul Aziz berkata: “Barangsiapa melakukan suatu pekerjaan tanpa ilmu, maka apa yang dia rusak akan lebih banyak daripada apa yang dia perbaiki.”. Sebagai contoh tentang hal ini adalah kaum Khawarij. Mereka telah tersesat karena kebodohan terhadap agama, padahal mereka adalah orang-orang yang amat bersemangat dalam beramal ibadah. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang mereka,
” يَخْرُجُ فِيكُمْ قَوْمٌ تَحْقِرُونَ صَلاتَكُمْ مَعَ صَلاتِهِمْ ، وَصِيَامَكُمْ مَعَ صِيَامِهِمْ ، وَأَعْمَالَكُمْ مَعَ أَعْمَالِهِمْ ، يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ وَلا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ ، يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ “
“Akan muncul diantara kalian suatu kaum, yang kalian akan menganggap remeh shalat kalian dibandingkan dengan shalat mereka; meremehkan puasa kalian dibandingkan puasa mereka; dan kalian akan meremehkan amal kalian dibandingkan dengan amal mereka. Tetapi mereka membaca al-Qur’an tidak lebih dari kerongkongan mereka. Mereka menyimpang dari agama bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya.” (Sunan An-Nasa’i)
Oleh karena itu ilmu dan amal harus menjadi satu kesatuan yang padu. Seorang yang berilmu tidak dianggap baik jika ia tidak beramal, sebagaimana seorang yang beramal pun tidak dianggap baik jika ia tidak berilmu.
Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah saat berbicara tentang tingkatan mujahadah menjelaskan bahwa mujahadah itu ada empat tingkatan: Pertama, mujahadatu an-nafs (bersungguh-sungguh melawan jiwa) dalam ta’limul huda wa dinil haq (mempelajari petunjuk dan agama yang benar), Kedua, mujahadatu an-nafs dalam mengamalkan petunjuk dan agama yang benar itu setelah mengilmuinya, Ketiga, mujahadatu an-nafs dalam ad-da’wah ilal haq (dakwah kepada kebenaran). Keempat, mujahadatu an-nafs dalam kesabaran menghadapi kesulitan dakwah ila-Lllah dan kejahatan manusia, serta menjalani itu semua karena Allah.
Beliau mengatakan bahwa apabila seseorang menyempurnakan empat tingkatan tersebut, jadilah ia bagian dari rabbaniyyin. Beliau berkata: “Sesungguhnya orang-orang terdahulu telah sepakat bahwa seorang berilmu tidaklah berhak disebut sebagai seorang rabbani sampai ia mengenal kebenaran, mengamalkan, dan mengajarkannya; maka siapa yang berilmu dan beramal serta mengajarkannya kepada orang lain, ia akan mendapat seruan agung dari kerajaan langit.” (Zadul Ma’ad, 3/10)
Kesimpulannya, Islam memperhatikan ilmu dan amal sekaligus. Al-Qur’an senantiasa menggandengkan ilmu dengan amal. Makna ilmu diungkapkan dalam bentuk kata iman pada banyak tempat, dengan pengertian bahwa iman adalah ilmu atau keyakinan. Allah Ta’ala berfirman,
وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
”Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholih dan saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran” (QS. Al-‘Ashr, 103:1-3).
Catatan Kaki:
[1] Lihat: Miftaah Daaris Sa’aadah, 1/156 seperti dikutip oleh dr. M. Saifudin Hakim, MSc. dalam tulisannya yang berjudul: Setiap Muslim Wajib Mempelajari Agama
[2] Tafsir Ibnu Katsir III/65
[3] Semangat Tafaqquh Fiddin, H. Ahmad Kusyairi Suhail, MA.