Kecaman untuk Orang yang Tidak Puasa Ramadhan tanpa Udzur
Meninggalkan puasa karena mengingkari kewajibannya, tidak syak lagi, merupakan perbuatan kufur dan pelakunya murtad dari Islam menurut ijma’ (aklamasi) kaum muslimin. Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah berkata tentang orang yang mengingkari kewajibannya:
وأجمعت الامة: على وجوب صيام رمضان. وأنه أحد أركان الاسلام، التي علمت من الدين بالضرورة، وأن منكره كافر مرتد عن الاسلام
“Umat telah ijma’ atas wajibnya puasa Ramadhan. Dia merupakan salah satu rukun Islam yang telah diketahui secara pasti dari agama, yang mengingkarinya adalah kafir dan murtad dari Islam.” (Fiqhus Sunnah, 1/433. Darul Kitab Al Arabi)
Lalu, bagaimana bagi yang meninggalkan puasa karena sengaja dan kemalasan, bukan karena udzur (sakit, safar, hamil dan menyusui, nifas, tua bangka, pikun, pekerja keras) namun dia masih meyakininya sebagai kewajiban dan bagian dari rukun Islam. Maka, menurut zhahir hadits berikut ini dia juga kafir.
Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عرى الاسلام، وقواعد الدين ثلاثة، عليهن أسس الاسلام، من ترك واحدة منهن، فهو بها كافر حلال الدم: شهادة أن لا إله إلا الله، والصلاة المكتوبة، وصوم رمضان
“Tali Islam dan kaidah-kaidah agama ada tiga, di atasnyalah agama Islam difondasikan, dan barangsiapa yang meninggalkannya satu saja, maka dia kafir dan darahnya halal (untuk dibunuh), (yakni): syahadat laa ilaaha illallah, shalat wajib, dan puasa Ramadhan.” (H.R. Abu Yaala dan Ad Dailami dishahihkan oleh Adz Dzahabi. Berkata Hammad bin Zaid: aku tidak mengetahui melainkan hadits ini telah dimarfukan kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Al Haitsami mengatakan sanadnya hasan, Majma Az Zawaid, 1/48. Darul Kutub Al Ilmiyah)
Namun, Syaikh Al Albani telah mendhaifkan hadits ini lantaran kelemahan beberapa perawinya, yakni Amru bin Malik An Nukri, di mana tidak ada yang menilainya tsiqah kecuali Ibnu Hibban, itu pun masih ditambah dengan perkataan: “Dia suka melakukan kesalahan dan keanehan.” Telah masyhur bahwa Imam Ibnu Hibban termasuk ulama hadits yang terlalu mudah mentsiqahkan seorang rawi, sampai-sampai orang yang majhul (tidak dikenal) pun ada yang dianggapnya tsiqah.
Oleh karena itu, para ulama tidak mencukupkan diri dengan tautsiq yang dilakukan Imam Ibnu Hibban, mereka biasanya akan meneliti ulang. Selain dia, rawi lainnya Ma’mal bin Ismail, adalah seorang yang shaduq (jujur) tetapi banyak kesalahan, sebagaimana dikatakan Imam Abu Hatim dan lainnya. Umumnya hadits darinya yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas hanyalah bernilai mauquf (sampai sahabat) saja. Lalu, secara zhahir pun hadits ini bertentangan dengan hadits Muttafaq ‘Alaih: Islam dibangun atas lima perkara, dst.
Maka dari itu, Syaikh Al Albani tidak meyakini adanya seorang ulama mu’tabar yang mengkafirkan orang yang meninggalkan puasa, kecuali jika dia menganggap halal perbuatan itu. (Lihat As Silsilah Adh Dhaifah No. 94).
Dengan kata lain, jika dia masih meyakini kewajibannya, tetapi dia meninggalkannya maka dia fasiq, jika Allah Ta’ala berkehendak akan mengampuninya sesuai kasih sayangNya, dan jika Dia berkehendak akan mengazabnya sesuai dengan keadilanNya, sejauh kadar dosanya. Inilah pendapat yang lebih mendekati kepada kebenaran. Wallahu Alam.
Allah Ta’ala juga berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (Q.S. An Nisa, 4: 116)
Tetapi, meninggalkan puasa Ramadhan tanpa udzur bukan hal main-main, melainkan perbuatan yang keji dan termasuk dosa besar. Berkata Imam Adz Dzahabi rahimahullah:
وعند المؤمنين مقرر: أن من ترك صوم رمضان بلا مرض، أنه شر من الزاني، ومدمن الخمر، بل يشكون في إسلامه، ويظنون به الزندقة، والانحلال.
“Bagi kaum mukminin telah menjadi ketetapan bahwa meninggalkan puasa Ramadhan padahal tidak sakit adalah lebih buruk dari pezina dan pemabuk, bahkan mereka meragukan keislamannya dan mencurigainya sebagai zindiq dan tanggal agamanya.” (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/434. Lihat juga Imam Al Munawi, Faidhul Qadir, 4/410. Darul Kutub Al Ilmiyah)
Selanjutnya: