Cakupan Ibadah
Allah Ta’ala telah menciptakan manusia agar mereka beribadah kepada-Nya, yaitu agar mentaati-Nya dengan ketaatan yang disertai perendahan diri sepenuhnya dan kecintaan. Berikutnya muncul pertanyaan: “Dalam hal apakah ketaatan ini harus dicurahkan?”, “Dalam ranah apakah ibadah itu harus dilakukan?”
Syaikh Yusuf Qaradhawi dalam bukunya Al-Ibadah Fil Islam menyatakan bahwa jawaban dari pertanyaan tersebut akan menyingkap suatu hakikat yang penting, yaitu cakupan makna ibadah dalam Islam, serta keluasan cakrawalanya.
Pertama, ibadah dalam Islam mencakup persoalan agama seutuhnya (tasymulud dina kulluh).
Syaikh Qaradhawi mengutip pernyataan Ibnu Taimiyah sebagai berikut:
“Ibadah itu satu kata yang jami’ (meliputi) mencakup segala perkataan dan perbuatan yang dicintai Allah. Karena itu, shalat, zakat, puasa, haji, berkata benar, menyampaikan amanat, menghormati ayah dan ibu, memelihara hubungan kerabat, memelihara perjanjian, amar ma’ruf nahi munkar, jihad menghadapi orang-orang kafir dan munafik, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, ibnu sabil, menyayangi binatang, berdo’a, berzikir, membaca qur’an, dan lain sebagainya itu, adalah termasuk ibadah.”
Begitu juga mencakup mencintai Allah dan Rasul-Nya, takut kepada Allah, kembali kepada-Nya, ikhlas memurnikan agama-Nya, sabar terhadap hukumnya, mensyukuri kenikmatan dari-Nya, ridha terhadap segala ketetapan-Nya, mengharap kasih sayang-Nya, takut akan azab-Nya, dan lain sebagainya; semuanya itu termasuk ibadah kepada Allah.[1]
Bahkan ibadah juga mencakup perkara yang ada kaitannya dengan kepentingan dan kelestarian kehidupan manusia yang bersifat material. Begitulah Ibnu Taimiyah menuturkan dalam bagian lain di risalah Al-Ubudiyyah. Yaitu melakukan usaha-usaha serta memelihara sunnatullah yang diberlakukan di alam semesta ini. Ibnu Taimiyah berkata: “Maka segala usaha yang diperintahkan oleh Allah atas hamba-hamba-Nya, adalah ibadah.” [2]
Dari uraian di atas kita dapat menyimpulkan bahwa ibadah di dalam Islam itu memiliki cakrawala yang demikian luas. Yakni mencakup: perkara-perkara yang wajib dikerjakan (al-wujub), perkara-perkara yang dianjurkan (an-nadbu), dan bahkan perkara-perkara yang diperbolehkan (al-ibahah).
*****
Kedua, ibadah dalam Islam mencakup perikehidupan seutuhnya (tasymulul hayati kulliha).
Syaikh Yusuf Qaradhawi berkata: “Ibadah kepada Allah itu meliputi seluruh aspek prikehidupan manusia dan mengatur segala persoalannya secara tuntas. Dari tata cara makan, minum, buang air, sampai kepada membangun negara, mengatur pemerintahan, mengelola harta benda, mengatur hubungan sosial dan sanksi-sanksinya. Demikian pula tentang dasar-dasar hubungan internasional, baik dalam situasi damai maupun perang.” [3]
Nash-nash ajaran Islam pun mengisyaratkan dengan jelas tentang hal ini, bahwa ibadah dalam Islam itu mencakup: (1) Perbuatan-perbuatan pemenuhan naluri manusia (al-a’malul ghariziyyah), (2) Amal-amal kemasyarakatan (al-a’malul ijtima’iyyah), (3) Mencari penghidupan (al-ma’ayish), (4) Memakmurkan bumi (imaratul ardhi), dan (5) Menegakkan agama (iqamatuddin).
*****
Mengenai al-a’malul ghariziyyah sebagai bagian dari ibadah misalnya diisyaratkan oleh hadits ini,
عَنْ أَبِى ذَرٍّ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالُوا لِلنَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالأُجُورِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّى وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ. قَالَ « أَوَلَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْىٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ وَفِى بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأْتِى أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ « أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ
Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Sesungguhnya sebagian dari para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Wahai Rasulullah, orang-orang kaya lebih banyak mendapat pahala, mereka mengerjakan shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, dan mereka bershadaqah dengan kelebihan harta mereka’. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukankah Allah telah menjadikan bagi kamu sesuatu untuk bershadaqah? Sesungguhnya tiap-tiap tasbih adalah shadaqah, tiap-tiap tahmid adalah shadaqah, tiap-tiap tahlil adalah shadaqah, menyuruh kepada kebaikan adalah shadaqah, mencegah kemungkaran adalah shadaqah dan persetubuhan salah seorang di antara kamu (dengan istrinya) adalah shadaqah“. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah (jika) salah seorang di antara kami memenuhi syahwatnya, ia mendapat pahala?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa. Demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia mendapat pahala”. (HR. Muslim no. 2376).
Hadits di atas menyebutkan bahwa Allah Ta’ala akan memberi pahala kepada manusia karena perbuatan mereka memenuhi gharizah / syahwatnya, selama dilakukannya dengan niat memenuhi hak terhadap istrinya serta memelihara kehormatan dirinya.
*****
Mengenai al-a’malul ijtima’iyyah sebagai bagian dari ibadah diantaranya tergambar dari hadits-hadits berikut ini, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِأَفْضَلَ مِنْ دَرَجَةِ الصِّيَامِ وَ الصَّلاَةِ وَ الصَّدَقَةِ؟ إِصْلاَحُ ذَاتَ الْبَيْنِ فَإِنَّ فَسَادَ ذاَتَ الْبَيْنِ هِيَ الْحَالِقَةُ
“Maukah kamu aku beritahukan hal yang lebih utama dari derajat puasa, shalat dan sedekah (sunat)? Yaitu mendamaikan orang yang bermusuhan, karena merusak hubungan adalah yang memangkas (agama).” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani no. 2595)
مَنْ عَادَ مَرِيضًا لَمْ يَزَلْ يَخُوضُ فِي الرَّحْمَةِ حَتَّى يَجْلِسَ , فَإِذَا جَلَسَ اغْتَمَسَ فِيهَا
“Barangsiapa menjenguk orang sakit, ia tetap merendam diri dalam rahmat Allah sehingga duduk, apabila ia duduk, ia pun dapat menyelam di dalamnya.” (HR. Ahmad)
لَقَدْ رَأَيْتُ رَجُلاً يَتَقَلَّبُ فِي الْجَنَّةِ فِي شَجَرَةٍ قَطَعَهَا مِنْ ظَهْرِالطَّرِيْقِ كَانَتْ تُؤْذِي الْمُسْلِمِيْنَ رَوَاهُ مُسْلِمٌ وَفِي رِوَايَة : مرَّ رجُلٌ بِغُصْنِ شَجَرَةٍ عَلَى ظَهْرِ طَرِيْقٍ فَقَالَ : وَاللَّهِ لَأُنَحِّيَنَّ هذَا عَنِ الْمُسْلِمِيْنَ لَا يُؤْذِيْهُمْ، فَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ.
“Aku melihat seseorang yang bersuka-ria dalam syurga hanya karena memotong sebuah pohon dari tengah jalanan yang mengganggu kaum Muslimin.” (HR Muslim). Dalam riwayat lain: “Pada suatu ketika ada seorang lelaki berjalan melalui sebuah cabang pohon yang melintang di tengah jalanan, kemudian ia berkata: ‘Demi Allah, niscayalah pohon ini hendak kulenyapkan dari jalanan kaum Muslimin supaya ia tidak membuat kesukaran pada mereka itu.’ Orang tersebut lalu dimasukkan dalam surga.”
كُلُّ سُلاَمَى مِنَ النَّاسِ عَلَيْهِ صَدَقَةٌ، كُلُّ يَوْمٍ تَطْلُعُ فِيْهِ الشَّمْسُ تَعْدِلُ بَيْنَ اثْنَيْنِ صَدَقَةٌ، وَتُعِيْنُ الرَّجُلَ فِي دَابَّتِهِ فَتَحْمِلُهُ عَلَيْهَا أَوْ تَرْفَعُ لَهُ عَلَيْهَا مَتَاعَهُ صَدَقَةٌ وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ، وَبِكُلِّ خُطْوَةٍ تَمْشِيْهَا إِلَى الصَّلاَةِ صَدَقَةٌ وَ تُمِيْطُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ صَدَقَةٌ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Setiap persendian manusia ada sedekahnya setiap hari di mana matahari terbit di dalamnya, kamu mendamaikan di antara dua orang adalah sedekah, kamu membantu seseorang untuk menaikkannya di atas kendaraannya atau mengangkatkan barangnya di atasnya adalah sedekah, kalimat yang baik adalah sedekah, pada tiap-tiap langkah yang kamu tempuh menuju shalat adalah sedekah, dan kamu membuang gangguan dari jalan adalah sedekah.” (HR.al-Bukhari, no. 2989 dan Muslim, no. 1009)
Hadits-hadits di atas menyebutkan bahwa amal-amal sosial -mendamaikan orang yang bermusuhan, menjenguk orang sakit, menyingkirkan gangguan di jalan, dan lain-lain- yang dilakukan seorang muslim seluruhnya bernilai ibadah.
*****
Mengenai al-ma’ayish (berbagai kegiatan mencari penghidupan) sebagai bagian dari ibadah diantaranya tergambar dalam hadits berikut ini,
عَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ رض قَالَ: مَرَّ عَلَى النَّبِيِّ ص رَجُلٌ فَرَأَى اَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ ص مِنْ جَلَدِهِ وَ نَشَاطِهِ، فَقَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ لَوْ كَانَ هذَا فِى سَبِيْلِ اللهِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى وَلَدِهِ صِغَارًا فَهُوَ فِى سَبِيْلِ اللهِ، وَ اِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى اَبَوَيْنِ شَيْخَيْنِ كَبِيْرَيْنِ، فَهُوَ فِى سَبِيْلِ اللهِ، وَ اِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى نَفْسِهِ يُعِفُّهَا فَهُوَ فِى سَبِيْلِ اللهِ، وَ اِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى رِيَاءً وَ مُفَاخَرَةً فَهُوَ فِى سَبِيْلِ الشَّيْطَانِ.
Dari Ka’ab bin ‘Ujrah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Ada seorang laki-laki lewat di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat kuat dan sigapnya orang tersebut. Lalu para shahabat bertanya, ‘Ya Rasulullah, alangkah baiknya seandainya orang ini ikut (berjuang) fi sabilillah.’ Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Jika ia keluar untuk bekerja mencarikan kebutuhan anaknya yang masih kecil, maka ia fi sabilillah. Jika ia keluar bekerja untuk mencarikan kebutuhan kedua orang tuanya yang sudah lanjut usia maka ia fi sabilillah. Jika ia keluar untuk bekerja mencari kebutuhannya sendiri agar terjaga kehormatannya, maka ia fi sabilillah. Tetapi jika ia keluar untuk bekerja karena riya’ (pamer) dan kesombongan maka ia di jalan syaithan’.” (HR. Thabrani, Shahihul Jami’ No. 1428, dishahihkan oleh Al-Albani).
Hadits di atas mengisyaratkan bahwa amal duniawi yang dilakukan oleh manusia untuk kepentingan hidupnya, serta usaha yang dikerjakan untuk keperluan diri dan keluarganya adalah termasuk bagian dari ibadah dan merupakan sarana taqarrub kepada Allah. Maka, menurut Syaikh Qaradhawi, petani yang berada di sawahnya, buruh yang ada di pabriknya, pedagang yang berada di tokonya, pegawai yang berada di kantornya, dan semua orang yang berada di tempat kerjanya, dapat menjadikan pekerjaan hidupnya itu sebagai ‘shalat’ dan jihad di jalan Allah, selama ia berpegang kepada syarat-syarat berikut.
- Jenis pekerjaan yang dilakukannya itu harus sejalan dengan ajaran-ajaran Islam.
- Disertai niat yang ikhlash.
- Pekerjaan itu harus dikerjakan dengan ihsan dan itqan (rapi, tekun, teliti, profesional), sebagaimana disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ
“Sesungguhnya Allah mewajibkan ihsan dalam segala hal.” (HR. Muslim)
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يُحِبُّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلاً أَنْ يُتْقِنَهُ
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla mencintai apabila salah seorang di antara kalian mengerjakan suatu pekerjaan dilakukannya dengan rapi.” (HR. Thabrani dan Baihaqi).
- Dilakukan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan Allah Ta’ala.
- Tidak melalaikan dari kewajiban-kewajiban yang bersifat ukhrawi. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Munafiqun, 63: 9)
رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ
“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (QS. An-Nuur, 24: 37)
Selanjutnya Syaikh Qaradhawi mengatakan: “Apabila seorang muslim telah memelihara perkara-perkara tersebut, maka di dalam ia melakukan usaha dan pekerjaannya itu dinyatakan sebagai ibadah, walaupun tidak berada di dalam mihrab; ia telah sepenuhnya memenuhi panggilan Allah, sekalipun tidak berada di dalam masjid.” [4]
*****
Mengenai ‘imaratul ardhi (memakmurkan bumi) sebagai bagian dari ibadah diantaranya diisyaratkankan dalam firman Allah Ta’ala berikut ini,
هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَاسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ إِنَّ رَبِّي قَرِيبٌ مُجِيبٌ
“Dia (Allah) telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu sebagai pemakmurnya. Maka mohonlah ampunan dan bertaubatlah kepadaNya. Sesungguhnya Tuhanku Maha Dekat dan Memenuhi segala permintaan”. (QS. Hud, 11: 61)
Ustadz Attabiq Luthfi dalam salah satu tulisannya menyebutkan bahwa ayat ini oleh Imam Al-Alusi dijadikan dalil akan kewajiban memakmurkan bumi sesuai dengan kemampuan dan peran setiap orang yang beriman. Sedangkan menurut Ibnu Asyur, maksud dari kata ‘isti’mar’ yang sinonim dengan i’mar’ adalah aktivitas meramaikan bumi dengan penataan bangunan dan pelestarian lingkungan dengan menanam pohon dan bercocok tanam sehingga semakin panjang usia kehidupan bumi ini dengan seluruh penghuninya.
Pemahaman yang senada -lanjut Ustadz Attabiq Luthfi-, dikemukakan oleh Imam Zamakhsyari dalam kitab tafsir Al-Kasyaf; beliau mengabadikan kisah tentang raja-raja Parsi yang sepanjang pemerintahan mereka banyak membuat sungai dan menanam pohon sehingga mereka diberi kesempatan hidup lama oleh Allah seperti yang ditunjukkan oleh akar kata isti’mar atau i’mar yaitu al-‘umr yang berarti usia. Ketika salah seorang nabi bertanya kepada Allah tentang fenomena tersebut: “Kenapa Engkau berbuat demikian kepada mereka? (dengan memperpanjang usia mereka)”. Allah menjawab: “Mereka telah menghidupkan bumiKu (dengan memakmurkannya) sehingga hamba-hambaKu dapat hidup dengan baik di atasnya”.[5]
Isyarat tentang mulianya ‘imaratul ardhi disebutkan di dalam hadits berikut ini bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنْ قَامَتِ السَّاعَةُ وَ فِي يَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيْلَةٌ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لاَ تَقُوْمَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَغْرِسْهَا
“Sekiranya hari kiamat hendak terjadi, sedangkan di tangan salah seorang di antara kalian ada bibit kurma maka apabila dia mampu menanamnya sebelum terjadinya kiamat maka hendaklah dia menanamnya.” (HR. Imam Ahmad).
Kesadaran tentang pentingnya kesinambungan pangan sebagai bagian dari ‘imaratul ardhi juga ditunjukkan oleh Umar bin Khattab; Ibnu Jarir rahimahullah telah meriwayatkan sebuah hadits yang berasal dari Ammaarah bin Khuzaimah bin Tsabit, dia berkata: “Saya mendengar Umar Bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata kepada ayahku: ‘Apa yang menghalangimu untuk menanami tanahmu? Ayah saya menjawab: ‘Saya sudah tua dan besok juga mati.’ Kemudian Umar berkata: ‘Aku berharap agar engkau mau menanaminya.’ Sungguh aku melihat Umar bin Khaththab menanam tanah tersebut bersama ayahku.” (Al-Jami’al Al-kabir karya Imam As-Suyuti).
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Bukhari disebutkan pahala dan kebaikan siapapun yang menjaga kesinambungan pangan dengan aktifitas bercocok tanam misalnya,
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ بَهِيمَةٌ إِلَّا كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ
“Tidaklah seorang muslim pun yang bercocok tanam atau menanam satu tanaman lalu tanaman itu dimakan oleh burung atau menusia atau hewan melainkan itu menjadi shadaqah baginya”.
Bahkan dalam riwayat Muslim dari sahabat Jabir bin Abdillah ditambahkan sekiranya tanaman itu dicuri oleh seseorang tetap akan menjadi pahala sedekah untuk orang yang menanamnya.
*****
Mengenai iqamatuddin (menegakkan agama) sebagai bagian dari ibadah sangatlah jelas karena yang dimaksud dengan menegakkan agama berarti menegakkan semua syariat Allah Ta’ala baik yang ushul (dasar) maupun yang furu’ (cabang) dalam kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat.
Allah ta’ala berfirman,
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ
“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.” (QS. Asy-Syura, 42:13)
Melakukan iqamatuddin juga berarti turut berupaya sekuat tenaga sesuai kemampuan untuk menyampaikan risalah tauhid dan syariat Islam ke seluruh penjuru bumi di Timur, Barat, Utara, dan Selatan; meliputi seluruh bangsa yang ada.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (QS. Saba, 34: 28)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً
“Dan Nabi-Nabi dahulu (sebelum-ku) diutus khusus kepada kaumnya, sedangkan aku diutus kepada manusia semuanya…” (HR. Bukhari, No: 335)
Kesadaran terhadap penyebaran risalah inilah yang mendorong Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya melakukan futuhat ke berbagai penjuru jazirah Arab dan seluruh penjuru bumi, sehingga khilafah Islamiyah berdiri kokoh; berkuasa dan memimpin bumi.
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran, 3: 104)
*****
Ketiga, ibadah dalam Islam mencakup esensi kemanusiaan seutuhnya (tasymulul kiyanil basyariy kullihi). Yakni mencakup hati (al-qalb), akal (al-‘aql), dan al-jawarih (anggota badan).
Syaikh Yusuf Qaradhawi berkata: “Maka seorang muslim, dapat beribadah kepada Allah dengan pikiran, hati, lisan, dan indera-indera yang lain; dapat beribadah dengan badan seluruhnya…” [6]
Beribadah kepada Allah Ta’ala dengan hati, dilakukan dengan cara menanamkan ikhlas, tawakkal, mahabbah, sabar, taubat, takut, harap, yakin, niat dan ridha seraya menghindarkan hati dari sombong, riya’, ‘ujub, hasad (dengki), ghaflah (lalai), dan nifaq.
Beribadah kepada Allah Ta’ala dengan akal, dilakukan dengan cara tafakkur, yakni memperhatikan dan merenungkan kejadian dirinya dan alam semesta; memikirkan tentang kerajaan langit (bintang, planet-planet, galaksi, dan lain-lain), bumi dan apa saja yang diciptakan Allah Ta’ala;
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal..” (QS. Ali Imran, 3: 190)
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya Tuhan Kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, maka peliharalah Kami dari siksa neraka.’” (QS. Ali Imran, 3: 191).
وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُون وَفِي الْأَرْضِ آيَاتٌ لِلْمُوقِنِينَ
“Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Adz-Dzariyat, 51: 20-21)
Tafakkur juga dilakukan dengan cara mempelajari ayat-ayat Allah Ta’ala dan memperhatikan petunjuk serta hikmah yang terkandung di dalamnya, yaitu dengan memperhatikan kejadian umat-umat terdahulu dan berbagai peristiwa sejarah serta nasihat dan pelajaran yang terkandung di dalamnya.
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (QS. Shaad, 38: 29)
Karena begitu tingginya nilai tafakkur, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu pernah berkata,
تَفَكُّرُ سَاعَةٍ خَيْرٌ مِنْ قِيَامِ لَيْلَةٍ
“Berfikir sesaat lebih baik dari pada qiyamullail.” ( Al-Adzamah, 1: 297)
Sedangkan beribadah dengan anggota badan (telinga, mata, indera: perasa, pencium, peraba; tangan, kaki) adalah sebagai berikut:[7]
Tugas telinga yaitu mendengar penjelasan ayat-ayat Allah, menyimak bacaan shalat, memperhatikan khutbah, mendengarkan Al-Qur’an seraya menghindar dari mendengarkan kekufuran, mendengarkan rahasia orang lain, mendengarkan suara wanita bukan mahram yang bisa menimbulkan fitnah, mendengarkan hal-hal yang dapat melenakan dari dzikrullah, lain-lain.
Tugas penglihatan yaitu melihat kitab-kitab ilmu, melihat orang tua, melihat wajah para ulama, melihat tanda-tanda kekuasaan Allah; seraya menghindar dari melihat wanita-wanita yang bukan mahram dengan disertai syahwat, melihat aurat orang lain, dan lain-lain.
Tugas indera perasa yaitu makan dan minum yang halal dan baik, makan dan minum obat seraya menghindar dari makan dan minum yang haram atau syubhat, atau makan dan minum melebihi dari kebutuhan, termasuk juga menghindari makan dan minum di walimah yang kita tidak diundang di dalamnya, dan lain-lain.
Tugas indera pencium yaitu semua ciuman yang dapat membedakan dzat-dzat yang halal dan haram, serta membedakan dzat-dzat yang berbahaya dan bermanfaat, seraya menghindari mencium wangi-wangian yang haram baginya (contoh: wangi-wangian dari wanita yang bukan mahram dan wangi-wangian dari orang zalim), dan apa saja yang tidak membawa maslahat baginya.
Tugas indera peraba yaitu meraba-raba isteri ketika akan jima’, seraya menghindar dari meraba wanita yang bukan mahramnya atau meraba-raba isteri karena hendak merasakan kenikmatan dalam keadaan ihram, i’tikaf, dan puasa jika ia tidak dapat menahan dirinya.
Tugas tangan dan kaki yaitu digunakan untuk bekerja mencari nafkah, menolong orang, melempar jumrah, menulis sesuatu yang bermanfaat, menuang timba, beribadah, menghadiri undangan atau majelis ilmu dan lain-lain, seraya menghindari menggunakannya untuk membunuh yang diharamkan, menulis perkara batil, mendatangi tempat maksiat, dan lain-lain.
Hingga soal berkendaraan pun hendaknya berada dalam kerangka ibadah, misalnya menggunakan untuk jihad, pergi haji, thalabul ilmi, silaturahim, birrul walidain, dan lain-lain.
Satu hal yang tidak boleh kita lupa, yakni lisan. Ia pun dapat beribadah kepada Allah Ta’ala dengan cara berzikir, tilawah, berdo’a, bertasbih, dan bertakbir.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang.” (QS. Al-Ahzab, 33: 41-42)
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ
“Dan sebutlah (nama) Tuhannmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf, 7: 205)
Tentang anjuran membaca Al-Qur’an, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لأَصْحَابِهِ
“Bacalah Al Qur’an karena Al Qur’an akan datang pada hari kiamat nanti sebagai syafi’ (pemberi syafa’at) bagi yang membacanya…” (HR. Muslim no. 1910)
Dari ‘Abdullah bin Busr radhiyallahu anhu, ia berkata:
أَنَّ أَعْرَابِيًّا قَالَ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ شَرَائِعَ الْإسْلَامِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَيَّ ، فَأَنْبِئْنِيْ مِنْهَا بِشَيْءٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ ؟ قَالَ : لاَ يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللهِ
“Seorang Badui datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya syariat-syariat Islam sudah banyak pada kami. Beritahukanlah kepada kami sesuatu yang kami bisa berpegang teguh kepadanya ?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Hendaklah lidahmu senantiasa berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla” (HR. Ahmad)
Demikianlah pembahasan ringkas tentang syumuliyatul ibadah. Semoga Allah Ta’ala senantiasa membimbing kita di jalan-Nya yang lurus ini.
Wallahu a’lam.
Catatan Kaki:
[1] Syaikh Yusuf Qaradhawi mengutip pernyataan ini dari Al-Ubudiyyah, hal. 38, cetakan kedua, Al-Maktabul Islami.
[2] Lihat: Al-Ibadah Fil Islam, terjemahan Umar Fanani, hal. 74 -76, PT. Bina Ilmu, Surabaya.
[3] Ibid, hal. 77
[4] Ibid, hal. 97 – 100
[5] Lihat: http://www.dakwatuna.com/2011/01/10/10627/menanti-peran-memakmurkan-kita/#ixzz4BJtTk7ju
[6] Al-Ibadah fil Islam, terjemah Hasan Fanani, hal. 118
[7] Mengenai hal ini telah dibahas secara rinci oleh Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin.