Perbekalan Haji
Pergi haji adalah perjuangan yang cukup panjang. Maka, dibutuhkan perbekalan yang mecukupi, khususnya perbekalan yang bisa memudahkan baginya mencapai derajat haji yang mabrur.
Bekal Taqwa
Allah Ta’ala berpesan kepada para jamaah haji,
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى
“Berbekal-lah, maka sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa.” (QS. Al Baqarah, 2: 197)
Taqwa menurut para ulama adalah imtitsalul awamir wa ijtinabu an nawahi (menjalankan perintah dan menjauhi larangan). Umar bin Khathab mengartikan Taqwa adalah kehati-hatian. Secara bahasa taqwa artinya adalah takut, yakni takut kepada Allah Ta’ala.
Ketika kita berada di tanah suci nanti, kita sedang memenuhi panggilan-Nya dan bertamu di rumah-Nya, tentu seorang tamu harus menjaga adab dan kesopanan agar dihormati dan disegani yang punya rumah. Banyak-banyaklah di sana melakukan aktivitas yang membuat tuan rumah senang, jangan membuat-Nya murka: perbanyaklah dzikir, shalat sunah, membaca Al Quran, dan senantiasa berbaik sangka kepada sesama jamaah haji. Hindari kata-kata kotor, tidak puas, malas ibadah, dan terlalu banyak tidur. Sebab, kesempatan berkunjung ke Baitullah belum tentu dua kali dalam seumur hidup kita.
Bekal Sabar
Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” (QS. Ali Imran, 93: 200)
Kita mengetahui tiap tahunnya berjuta-juta jamaah haji datang dari penjuru dunia. Mereka berkumpul di tempat yang sama dan terbatas. Satu sama lain belum saling mengenal, hanya aqidahlah yang mengikat mereka. Mereka memiliki latar belakang hidup yang berbeda; ada pengusaha, militer, pegawai, pekerja kasar, rakyat biasa, orang terdidik, dan lainnya. Mereka juga memiliki watak dan perilaku yang tidak sama. Oleh karena itu, kemungkinan terjadi ‘ketidakcocokan’ sangat besar. Ada yang mebuat kita senang, tetapi ada juga yang membuat kita marah. Ada yang membuat kita tersenyum, ada juga yang membuat kita bermuka masam. Di sinilah letak pentingnya kesabaran dan melipatgandakan kesabaran. Sabar terhadap perilaku mereka, sabar terhadap keanehan-keanehan mereka. Tentunya, sabarlah dengan keterbatasan pelayanan petugas haji terhadap kita, sabar dalam beribadah, sabar dalam menunggu makanan, sabar dalam mengantri kamar mandi atau wudhu, dan bentuk kesabaran lainnya.
Allah Ta’ala berfirman tentang ciri orang bersabar:
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِين
“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran, 3: 134)
Hakikat sabar adalah pada reaksi pertama atas musibah atau peristiwa buruk yang menimpa kita. Dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersaba:
الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الْأُولَى
“Sabar adalah pada hantaman yang pertama.” (HR. Bukhari No. 1223)
Bekal Ilmu
Amal shalih tanpa didasari oleh ilmu dapat menimbulkan kesalahan besar. Betapa banyak orang-orang yang bersemangat ibadah, namun tidak dibarengi oleh ilmu, akhirnya mereka jatuh pada sikap ekstrim dan melampaui batas.
Dalam hal haji, maka ilmu tentang manasik adalah wajib diketahui. Agar kita bisa melaksanakan haji sesuai dengan tuntunan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengerti rukun, wajib, dan sunahnya, dengan tidak mencampuradukkan semua. Kita lihat, ribuan manusia berdesak-desakkan ingin mencium Hajar Aswad hingga akhirnya melukai jamaah lain. Padahal mencum Hajar Aswad bukanlah rukun dan wajibnya haji, dia hanya sunah, bahkan sebagian ulama tidak menyunnahkannya.
Bekal Harta yang Halal
Di antara makna istitha’ah (mampu) bagi orang yang hendak pergi haji adalah mampu dalam hal harta; baik ongkos berangkat dan keperluan di sana, juga untuk keluarga yang ditinggal. Maka, tidak dibenarkan orang pergi haji, tetapi dia meninggalkan keluarga yang kelaparan dan melarat. Atau, tidak sedikit orang berhutang untuk pergi haji. Hingga dikemudian hari hal itu menjadi beban hidup baginya dan keluarganya.
Bagi yang belum ada kemampuan maka gugurlah kewajibannya. Sebab Allah Ta’ala tidak membebani apa-apa yang hamba-Nya tidak mampu. Maka, janganlah seorang hamba memaksakan diri yang Allah Ta’ala sendiri tidak mau memaksakan diri hambaNya.
Yang perlu diperhatikan pula adalah bekal harta yang dipersiapkan adalah yang halal dan berasal dari usaha yang baik-baik. Bukan dari usaha haram. Haji adalah salah satu rukun Islam. Ibadah yang mulia dan syiar Islam yang agung. Sangat tidak pantas ibadah semulia ini dimodalkan dengan harta yang haram dan kotor, tidak sepatutnya upaya mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan uang haram.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا
“Wahai manusia, sesungguhnya Allah itu baik, tidak akan menerima kecuali yang baik-baik.” (HR. Muslim No. 1015. At Tirmidzi No. 4074, katanya: hasan gharib. Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 5497)
Di tanah suci, di depan Ka’bah, atau di Raudhah dia berdoa, padahal dengan uang haramlah yang membuatnya berada disana. Bagaimana mungkin doanya didengar?
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dia berkata:
ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan, seorang laki-laki yang panjang perjalanannya, berambut kusut, berdebu, dan menengadahkan tangannya ke langit: ‘Ya Rabb…Ya Rabb’ tetapi suka makan yang haram, minum yang haram, pakaiannya juga haram, dan dikenyangkan dengan yang haram. Maka, bagaimana doanya bisa dikabulkan?” (HR. Muslim)
Bagaimana Haji yang Sukses?
Haji yang sukses bukan hanya sah hajinya, dan sudah memenuhi syarat dan rukunnya. Tidak hanya itu. Tetapi kemampuan seseorang dalam menghayati nilai ibadah haji yang agung ini. Di sinilah kebanyakan manusia gagal dalam meraihnya. Mereka sudah merasa puas diri ketika pulang ke tanah air dengan gelar hajinya dan dengan pakaian kebesarannya. Tapi, secara perilaku, ilmu, akhlak, kekuatan spiritual, dan kesolehan sosial, sama sekali tidak ada perubahan.
Gelarnya haji tetapi korupsi dan mengambil harta yang bukan haknya. Gelarnya haji tetapi bakhilnya luar biasa dan tidak dekat dengan rakyat kecil, fuqara (orang fakir) dan masakin (orang miskin). Gelarnya haji tetapi masih doyan maksiat bahkan terang-terangan tidak ada rasa malu. Gelarnya haji tetapi jarang shalat berjamaah ke masjid. Gelarnya haji tetapi mudah sekali memusuhi saudara sesama muslim. Gelarnya haji tetapi jiwanya rapuh, jika ada masalah bukan mengadu kepada Allah Ta’ala tetapi kepada para dukun. Gelarnya haji tetapi tidak dekat dengan majelis ilmu bahkan menjauhi majelis ilmu, namun anehnya merasa sudah berilmu. Gelarnya haji tetapi tidak rendah hati bahkan cenderung sombong terhadap sesama umat Islam.
Ini semua bukan sifat haji yang sukses. Justru inilah tanda haji yang gagal, walau prosesi ritual ibadah hajinya adalah sah. Seluruh manasik dijalankan secara lengkap dan sempurna. Sungguh, sangat disayangkan dana yang dikorbankan, tenaga yang dikeluarkan, waktu yang diberikan, serta peluh yang mengucur, itu semua menjadi tiada makna lantaran sikapnya sendiri yang tidak mau berubah. Lebih menjadikan haji sebagai sarana unjuk gengsi dan prestise di masyarakat. Sehingga hatinya tetap keras bahkan telah mati, namun dia tidak menyadarinya.
Ada pun orang yang sukses hajinya. Mereka semakin tawadhu (rendah hati). Semakin takut kepada Allah Ta’ala, semakin khawatir apa yang dilakukannya belum diterima Tuhannya; karena dia tahu bahwa Allah Ta’ala hanya menerima amal orang-orang yang bertaqwa. Sedangkan dirinya merasa masih jauh dari taqwa. Selain itu, dia dekat dengan saudaranya yang kesulitan, fuqara dan masakin, baginya tidak penting manusia mengetahui apa yang dilakukannya atau tidak, yang terpenting adalah Allah mau menerima apa yang dilakukannya. Dia tidak mau dirinya disebut-disebut kebaikannya di depan umum, dia malu kepada Allah jika ada orang yang memujinya, sedangkan dia tahu bahwa dirinya masih banyak kekurangan yang tidak diketahui orang lain.
Penampilan pun sederhana, pandai menjaga perasaan saudaranya yang tidak seberuntung dia. Bahkan banyak manusia tidak mengetahui kalau dia sudah haji. Penampilan pun bersahaja dan sederhana, tak ada bedanya antara dirinya dengan orang-orang lain yang ada di sekitarnya. Tidak pernah membedakan pergaulan, kaya dan miskin, haji dan bukan haji, kecil dan besar, semua adalah sahabat dan saudaranya.
Dari sisi ibadah juga semakin baik. Masjid adalah rumahnya yang kedua. Jamaah masjid adalah perkumpulan yang amat dirindukannya. Adzan adalah suara yang paling dinantikannya. Kalimat takbir adalah ungkapan yang paling meluluhkan hatinya. Majelis taklim adalah majelis favoritnya untuk menempa diri dari noda hawa nafsu manusia, serta menggali ilmu-ilmu agama yang bermanfaat bagi dunia dan akhiratnya.