Surat Al-Lahab adalah firman Allah Ta’ala yang berisi celaan kepada salah seorang paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang selalu mengobarkan permusuhan kepada pribadi dan dakwah yang diserukan oleh beliau. Ia bernama Abdul ‘Uzza bin Abdil Muthalib atau Abu ‘Utaibah; tetapi lebih dikenal dengan nama Abu Lahab karena wajahnya yang memerah (makna lahab adalah api yang bergejolak). Dalam tafsir Al-Azhar Buya Hamka mengungkapkan bahwa disebut dengan gelar itu karena Abu Lahab mukanya itu bagus, terang bersinar dan tampan. Sedangkan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menyebutnya dengan ungkapan: “Gelar ini pantas untuknya karena ia akan dimasukkan ke dalam naar yang menyala-nyala yang mengeluarkan lidah api yang dahsyat.”[1]
Surat ini dinamakan pula Al-Masad (tali terbuat dari sabut). Hal ini berkaitan dengan isteri dari Abu Lahab yang bernama Arwa yang juga bersekongkol dan bahu membahu dengan suaminya dalam memusuhi Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia bergelar Ummu Jamil: Ibu dari kecantikan! Dia adalah saudara perempuan dari Abu Sufyan. Sebab itu dia adalah ‘ammah (saudara perempuan ayah) dari Mu’awiyah dan Ummul Mu’minin Ummu Habibah.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menyebutkan bahwa dalam mensikapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para paman beliau terbagi menjadi tiga kelompok:
- Kelompok yang beriman, berjihad bersama beliau dan tunduk kepada Allah Rabb sekalian alam.
- Kelompok yang mendukung dan menolong beliau, namun tetap kafir.
- Kelompok yang ingkar dan berpaling. Mereka ini kafir terhadap agama beliau.
Adapun kelompok pertama, seperti Al-Abbas bin Abdul Muthalib dan Hamzah bin Abdul Muthalib. Sedangkan yang mendukung serta menolong tetapi masih tetap dalam kekafiran, seperti Abu Thalib. Kelompok ketiga yaitu yang ingkar dan berpaling, seperti Abu Lahab.[2]
Asbabun Nuzul
Sebab turunnya ayat ini diterangkan dalam riwayat berikut.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ إِلَى الْبَطْحَاءِ فَصَعِدَ إِلَى الْجَبَلِ فَنَادَى يَا صَبَاحَاهْ فَاجْتَمَعَتْ إِلَيْهِ قُرَيْشٌ فَقَالَ أَرَأَيْتُمْ إِنْ حَدَّثْتُكُمْ أَنَّ الْعَدُوَّ مُصَبِّحُكُمْ أَوْ مُمَسِّيكُمْ أَكُنْتُمْ تُصَدِّقُونِي قَالُوا نَعَمْ قَالَ فَإِنِّي نَذِيرٌ لَكُمْ بَيْنَ يَدَيْ عَذَابٍ شَدِيدٍ فَقَالَ أَبُو لَهَبٍ أَلِهَذَا جَمَعْتَنَا تَبًّا لَكَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ إِلَى آخِرِهَا
“Dari Ibnu Abbas bahwa suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju Bathha`, kemudian beliau naik ke bukit seraya berseru, ‘Wahai sekalian manusia.’ Maka orang-orang Quraisy pun berkumpul. Kemudian beliau bertanya, ‘Bagaimana, sekiranya aku mengabarkan kepada kalian, bahwa musuh (di balik bukit ini) akan segera menyergap kalian, apakah kalian akan membenarkanku?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Beliau bersabda lagi, ‘Sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan bagi kalian. Sesungguhnya di hadapanku akan ada adzab yang pedih.’ Akhirnya Abu Lahab pun berkata, ‘Apakah hanya karena itu kamu mengumpulkan kami? Sungguh kecelakanlah bagimu.’ Maka Allah menurunkan firman-Nya: ‘TABBAT YADAA ABII LAHAB.’ Hingga akhir ayat.” (HR. Bukhari no. 4972 dan Muslim no. 208)
Tadabbur Ayat 1:
تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ
“Celakalah kedua tangan Abu Lahab, dan binasalah ia.”
Ayat ini adalah bantahan kepada Abu Lahab ketika ia berkata:
أَلِهَذَا جَمَعْتَنَا تَبًّا لَكَ
“Apakah hanya karena itu kamu mengumpulkan kami? Celaka engkau!”
Perkataan Abu Lahab ini menurut Syaikh Al-Utsaimin adalah untuk meremehkan. Artinya, ini adalah perkara sepele, sehingga tidak perlu mengumpulkan para pemimpin Quraisy. Yang demikian ini sama seperti perkataan musyrikin yang diungkapkan dalam firman Allah Ta’ala,
أَهَذَا الَّذِي يَذْكُرُ آلِهَتَكُمْ
“Apakah ini orang yang mencela ilah-ilah kalian?” (Al-Anbiyaa: 36)
Melalui ayat pertama ini Allah Ta’ala membantah dan mencela Abu Lahab dengan celaan yang sangat keras yang akan berbuah kehinaan baginya hingga hari kiamat tiba:
تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ
“Celakalah kedua tangan Abu Lahab, dan binasalah ia.”
At-Tabaab artinya Al-Khasaar yaitu kerugian. Sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala,
وَمَا كَيْدُ فِرْعَوْنَ إِلَّا فِي تَبَابٍ
“Dan tipu daya Fir’aun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian” (Al-Mu’min : 37)
Allah Ta’ala memulai dengan menyebutkan tangan sebelum yang lainnya, karena kedua tanganlah yang sering bekerja dan bergerak, mengambil dan memberi, dan lain-lain.
Dalam Tafsir Al-Azhar disebutkan bahwa penyebutan kedua tangan artinya usahanya akan gagal. Bukan saja usaha kedua belah tangannya yang akan gagal, bahkan dirinya sendiri, rohani dan jasmaninya pun akan binasa. Apa yang direncanakan Abu Lahab di dalam menghalangi dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah ada yang akan berhasil.
Ibnu Katsir menyebutkan bahwa ayat ini menunjukkan do’a kejelekan. Abu Lahab merugi, putus harapan, amalan dan usahanya sia-sia. Sedangkan makna (وَتَبَّ), maksudnya adalah kerugian dan kebinasaan atasnya akan terlaksana.[3]
Salah satu riwayat yang menyebutkan kegigihan Abu Lahab dalam menghalangi dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, diungkapkan oleh Rabiah Bin Abbad Ad-Daili radliyallahu ‘anhu,
رَأَيْتُ أَبَا لَهَبٍ بِعُكَاظٍ وَهُوَ يَتْبَعُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقُولُ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ هَذَا قَدْ غَوَى فَلَا يُغْوِيَنَّكُمْ عَنْ آلِهَةِ آبَائِكُمْ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفِرُّ مِنْهُ وَهُوَ عَلَى أَثَرِهِ وَنَحْنُ نَتْبَعُهُ وَنَحْنُ غِلْمَانُ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِ أَحْوَلَ ذَا غَدِيرَتَيْنِ أَبْيَضَ النَّاسِ وَأَجْمَلَهُمْ
“Aku melihat Abu Lahab di pasar ‘Ukazh mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang sedang berdakwah, red.) dengan berseru, ‘Wahai manusia, orang ini telah sesat. Janganlah kalian tersesat olehnya sehingga meninggalkan tuhan-tuhan bapak kalian’. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjauh darinya, namun Abu Lahab tetap mengikutinya. Kami pada waktu itu masih anak-anak, membuntuti (Abu Lahab) yang aku melihatnya seakan-akan aku melihat orang yang juling, yang rambutnya di kepang dua, kulitnya sangat putih dan sangat tampan di antara mereka”. (HR. Ahmad)[4]
Tadabbur Ayat 2:
مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ
“Tidak bisa mencukupinya harta maupun apa yang diusahakan olehnya.”
Dalam Taisir al-Karim ar-Rahman (2/1307), Syaikh As-Sa’di menyebutkan makna ayat ini artinya: “(Abu Lahab, red.) tidak akan bisa menolak azab Allah dengan harta atau apa yang diusahakan olehnya.”[5]
Syaikh Al-Utsaimin menyebutkan bahwa kata مَا (maa) dalam ayat ini berkemungkinan mempunyai makna istifham (pertanyaan) yang berarti: “Manfaat apa yang ia dapatkan dari hartanya dan apa yang ia usahakan?” Jawabnya: “Tidak ada sama sekali.” Atau juga bermakna nafy (penolakan), berarti maknanya: “Tidaklah bermanfaat kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan.”
Kedua makna tersebut menurut beliau saling berkaitan, yaitu bahwa harta dan apa yang ia usahakan tidak bermanfaat sedikitpun untuknya. Padahal menurut kebiasaan, harta itu bermanfaat. Harta dapat dijadikan alat penebus jika seseorang ditawan musuh, “Jika engkau membebaskanku maka aku akan memberimu uang sekian-sekian”. Dengan meminta harta sedikit atau banyak, musuhnya akan membebaskannya. Selain itu jika seseorang sakit atau lapar, maka ia dapat memanfaatkan hartanya. Harta sangatlah bermanfaat, namun dikatakan tidak bermanfaat jika tidak dapat menyelamatkan pemiliknya dari neraka. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman,
مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ
Yakni hartanya tidak dapat menyelamatkannya dari siksaan Allah Ta’ala. Kemudian Firman-Nya,
وَمَا كَسَبَ
Dikatakan maknanya adalah anaknya. Yakni, tidak bermanfaat baginya harta dan anaknya. Sebagaimana yang dikatakan Nabi Nuh ‘alaihis salam,
رَبِّ إِنَّهُمْ عَصَوْنِي وَاتَّبَعُوا مَنْ لَمْ يَزِدْهُ مَالُهُ وَوَلَدُهُ إِلَّا خَسَارًا
“ Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka…” (Nuh : 21)
Maka mereka artikan وَمَا كَسَبَ ialah anak. Pendapat ini juga didukung dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلْتُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ، وَإِنَّ أَوْلاَدَكُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ.
“Sesungguhnya sebaik-baik apa yang kalian makan ialah (berasal) dari usaha kalian, dan sesungguhnya anak-anak kalian adalah (hasil) dari usaha kalian.” (HR. Tirmidzi, No. 1358)
Pendapat yang benar adalah ayat tersebut lebih umum dari yang demikian. Ayat di atas mencakup anak. Juga mencakup harta yang sedang ia usahakan untuk ia dapatkan, juga mencakup apa yang ia usahakan untuk meraih kemuliaan dan kehormatan. Setiap usaha yang dilakukan untuk menambah kemulian dan kehormatan, tidak bermanfaat untuknya sedikitpun,
مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ
“Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan”
Tadabbur Ayat 3:
سَيَصْلَى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ
“Kelak dia akan masuk ke dalam neraka yang menyala-nyala.”
Artinya kelak dia akan dikepung oleh jilatan api neraka dari segala sisi.[6] Huruf س pada سَيَصْلَى menurut Syaikh Al-Utsaimin, adalah untuk ‘at-tanfis’ yang menunjukkan ‘al-haqiqah’ (hakiki) dan al-qurb (waktu dekat). Yakni, Allah Ta’ala mengancam Abu Lahab dalam waktu dekat akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Karena kemewahan dunia, dan bagaimanapun lamanya tinggal di dunia, tetap saja dikatakan akhirat itu dekat. Sehingga manusia yang ada di alam barzakh merasa sebentar walaupun tahun demi tahun yang panjang telah berlalu.
Allah Ta’ala berfirman,
يَوْمَ يَرَوْنَ مَا يُوعَدُونَ لَمْ يَلْبَثُوا إِلَّا سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ بَلَاغٌ فَهَلْ يُهْلَكُ إِلَّا الْقَوْمُ الْفَاسِقُونَ
“Pada hari mereka melihat azab yang diancamkan kepada mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (Inilah) suatu pelajaran yang cukup, maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik.” (Al-Ahqaaf : 35).
Sesaat yang ada di siang hari tentunya waktu yang sangat singkat.[7]
Kehinaan yang ditimpakan kepada Abu Lahab bahkan telah Allah Ta’ala segerakan di dunia ini. Saat terjadi perang Badar, ia tidak melibatkan diri karena takut mati. Namun, kebenciannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu dahsyat. Olehnya itu, ia menyewa al-Ash bin Hisyam bin al-Mugirah untuk membunuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan 4.000 Dirham.
Mendengar kemenangan mujahidin Islam di Badar, Abu Lahab jatuh sakit dan dijangkiti penyakit bisul atau sejenis cacar yang menyebabkan kematiannya. Di riwayat lain, penyakit anehnya ini disebabkan oleh bekas pukulan Ummu al-Fadhl yang melukai bagian kepalanya dengan tiang balok. Dia melampiaskan dendam atas penganiayaan Abu Lahab yang menampar muka Abu Sufyan bin al-Harits bin Abdul Muttalib setelah kecewa mendengar darinya berita kemenangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabat-sahabatnya.
Mayat Abu Lahab selama 3 hari 3 malam terlantar. Semua orang jijik dari bau busuk yang menyengat dari jasadnya. Olehnya itu, tidak seorangpun yang berani mengurusnya, apa lagi menguburkannya, termasuk putra-putranya. Ia pun dibungkus dengan kain dan dibawa pergi ke sebuah tempat yang agak terisolir dari perkampungan, kemudian dilempar dengan batu hingga tubuhnya terkubur dan tidak kelihatan oleh tumpukan batu tersebut.[8]
Tadabbur Ayat 4:
وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ
“Demikian juga istrinya sang pembawa kayu bakar.”
Ummu Jamil, yakni Arwa binti Harb bin Umayyah, istri Abu Lahab, seperti telah disebutkan sebelumnya, biasa membantu suaminya dalam kekufuran, penentangan dan pembangkangan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, pada hari kiamat, ia pun akan mengalami nasib yang sama dengan Abu Lahab, disiksa di neraka Jahannam.
Ada beberapa tafsiran ulama berkenaan dengan kalimat: حَمَّالَةَ الْحَطَبِ
Pertama, pembawa kayu bakar maksudnya adalah Ummu Jamil sering menyebar namimah.
Mujahid menafsirkan bahwa ungkapan ‘sang pembawa kayu bakar’ merupakan kiasan yang bermakna orang yang suka mengadu-domba. Dahulu, Ummu Jamil suka menebar fitnah demi mengadu-domba antara nabi dan para sahabatnya dengan kaum musyrikin. Karena perbuatannya itulah yang menyebabkan dia dijuluki sebagai sang pembawa kayu bakar.[9]
Kedua, sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud Ummu Jamil pembawa kayu bakar adalah karena kerjaannya sering meletakkan duri di jalan yang biasa dilewati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah pendapat yang dipilih Ibnu Jarir Ath Thobari.
Ketiga, sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud (حَمَّالَةَ الْحَطَبِ) adalah Ummu Jamil biasa mengenakan kalung dengan penuh kesombongan. Lantas ia katakan, “Aku aku menginfakkan kalung ini dan hasilnya digunakan untuk memusuhi Muhammad.” Akibatnya, Allah Ta’ala memasangkan tali di lehernya dengan sabut dari api neraka.
Tadabbur Ayat 5:
فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِنْ مَسَدٍ
“Yang di lehernya ada tali (kalung) dari sabut.”
Al-jid ialah al-‘unuq artinya leher. Hablun ialah tali, al-masad adalah sabut. Ummu Jamil pergi ke gurun dengan membawa tali untuk mengikat kayu-kayu berduri yang akan ia letakkan di jalan yang dilalui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, na’udzubillah min dzalik. Hal ini mengisyaratkan rendahnya cara berfikir, karena ia menghinakan dirinya sendiri. Seorang wanita dari kabilah yang terkemuka dari kalangan suku Quraisy pergi ke gurun dengan melilitkan tali sabut di lehernya. Tetapi demi untuk menyakiti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ia rela melakukannya.[10]
Sedangkan Ibnu Katsir menjelaskan maksud ayat ini adalah di leher Ummu Jamil kelak ada tali sabut dari api neraka. Sebagian ulama memaknakan masad dengan sabut. Ada pula yang mengatakan masad adalah rantai yang panjangnya 70 hasta. Ats-Tsauri mengatakan bahwa masad adalah kalung dari api yang panjangnya 70 hasta.[11]
Ibrah dari Surat Al-Lahab
Ibnu Katsir mengatakan dalam tafsirnya bahwa Tuhan menurunkan Surat tentang Abu Lahab dan isterinya ini akan menjadi pengajaran dan i’tibar bagi manusia yang mencoba berusaha hendak menghalangi dan menantang apa yang diturunkan Allah kepada Nabi-Nya, karena memperturutkan hawa nafsu, mempertahankan kepercayaan yang salah, tradisi yang lapuk dan adat-istiadat yang karut-marut. Mereka menjadi lupa diri karena merasa sanggup, karena kekayaan ada. Disangkanya sebab dia kaya, maksudnya itu akan berhasil. Apatah lagi dia merasa bahwa gagasannya akan diterima orang, sebab selama ini dia disegani orang, dipuji karena tampan, karena berpengaruh. Kemudian ternyata bahwa rencananya itu digagalkan Tuhan, dan harta-bendanya yang telah dipergunakannya berhabis-habis untuk maksudnya yang jahat itu menjadi punah dengan tidak memberikan hasil apa-apa. Malahan dirinyalah yang celaka. Demikian Ibnu Katsir.[12]
Maraji’:
Abu Lahab dan Ummu Jamil, Suami-istri yang Kehilangan Tangan Peradaban, Muhammad Widu Sempo
Tafsir Al-Azhar, Buya Hamka
Faedah Surat Al Lahab, Celakalah Abu Lahab!, Muhammad Abduh Tuasikal
Tafsir Surat Al-Lahab, Abu Mushlih Ari Wahyudi
Tafsir Surat Al-Lahab, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Catatan Kaki:
[1] Lihat: Tafsir Al-Azhar, Buya Hamka dan Tafsir Juz Amma, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
[2] Lihat: Ibid.
[3] Lihat: Tafsir Al-Qur’anul Adzim, Ibnu Katsir
[4] Hadits dikutip dari situs: www.mutiarahadits.com
[5] Dikutip oleh: Abu Mushlih Ari Wahyudi.
[6] Lihat: Ibid.
[7] Dikutip oleh Ust. Muhammad Abduh Tuasikal dari Tafsir Juz Amma.
[8] Dikutip DR. Muhammad Widu Sempo dari Abu Hâtim ad-Dârimi al-Busti, at-Tsiqât. Vol. 1. Hlm. 34, Abu al-Qâsim al-Ashbahâni, Siyar as-Salaf as-Shalihin. Vol. 1, hlm. 589
[9] Dikutip dari ‘Umdatul Qari oleh Abu Mushlih Ari Wahyudi.
[10] Tafsir Juz Amma, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
[11] Lihat: Tafsir Ibnu Katsir
[12] Dikutip Buya Hamka dari Tafsir Ibnu Katsir.