Persaudaraan Islam
Pilar keempat yang menopang takwinu ruhil jama’ah (pembentukan semangat berjama’ah), setelah al-I’tisham billah (berpegang teguh kepada tali Allah), ta’liful qulub (menautkan hati), dan ‘adamut tafarruq (tidak bercerai-berai), adalah al-ukhuwwatul Islamiyah (persaudaraan Islam).
Al-ukhuwwatul Islamiyah yang dimaksud adalah terbangunnya al-ittishal (hubungan) di dalam tubuh umat, jama’ah, dan masyarakat Islam ini, baik fardiyyan (bersifat personal) maupun jama’iyyan (kolektif).
إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat, 49: 10)
Hubungan yang terjalin antara sesama muslim dalam bingkai ukhuwah ini adalah:
Pertama, at-ta’aruf (saling mengenal).
Jangankan antara sesama muslim, bahkan at-ta’aruf ini pun harus dilakukan diantara sesama umat manusia di muka bumi ini. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala berikut ini,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat, 49: 13)
Seorang muslim diberikan arahan oleh agama yang mulia ini untuk saling mengenal antara sesama manusia, bukan untuk saling merasa lebih tinggi karena kebangsaan dan kesukuan atau saling membanggakan garis keturunan (nasab). Tujuan at-ta’aruf ini adalah saling tolong menolong dan bahu membahu di atas kebaikan dan ketakwaan sehingga berbagai hal positif bisa terwujud.[1]
Adapun pengenalan seorang muslim terhadap saudaranya adalah meliputi pengenanalan yang bersifat jasadiyyan (fisik), fikriyyan (pemikiran), dan nafsiyyan (kejiwaan). Riwayat berikut ini dapat menjadi acuan bagi kita tentang bagaimana pengenalan yang ideal terhadap sesama muslim.
عَنْ خَرَشَةَ بْنِ الْحُرِّ قَالَ شَهِدَ رَجُلٌ عِنْدَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِشَهَادَةٍ فَقَالَ لَهُ لَسْتُ أَعْرِفُكَ وَلَا يَضُرُّكَ أَنْ لَا أَعْرِفَكَ ائْتِ بِمَنْ يَعْرِفُكَ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ أَنَا أَعْرِفُهُ قَالَ بِأَيِّ شَيْءٍ تَعْرِفُهُ قَالَ بِالْعَدَالَةِ وَالْفَضْلِ فَقَالَ فَهُوَ جَارُكَ الْأَدْنَى الَّذِي تَعْرِفُ لَيْلَهُ وَنَهَارَهُ وَمَدْخَلَهُ وَمَخْرَجَهُ قَالَ لَا قَالَ فَمُعَامِلُكَ بِالدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ اللَّذَيْنِ بِهِمَا يُسْتَدَلُّ عَلَى الْوَرَعِ قَالَ لَا قَالَ فَرَفِيقُكَ فِي السَّفَرِ الَّذِي يُسْتَدَلُّ بِهِ عَلَى مَكَارِمِ الْأَخْلَاقِ قَالَ لَا قَالَ لَسْتَ تَعْرِفُهُ ثُمَّ قَالَ لِلرَّجُلِ ائْتِ بِمَنْ يَعْرِفُكَ
Kharasyah ibnul Hurr berkata: “Seorang laki-laki hendak memberikan kesaksian kepada Umar ibn Khatthab radhiyallahu’anhu. Umar berkata kepadanya, ‘Aku tidak mengenalmu, dan tidaklah membahayakanmu bahwa aku tidak mengenalmu, datangkanlah seseorang yang mengenalmu.’ Seorang laki-laki dari kaumnya berkata, ‘Aku mengenalnya.’ Umar bertanya, ‘Apa yang kamu kenali tentang dia?’ Laki-laki itu menjawab, ‘Kebaikan (‘adalah) dan keutamaannya’. Umar bertanya, ‘Apakah ia tetangga dekatmu yang kamu ketahui keadaannya di malam hari dan di siang hari, keadaannya ketika datang dan pergi?’ Laki-laki itu menjawab, ‘Tidak’. Umar bertanya, ‘Lalu, apakah kamu bermu’amalah dengannya berkaitan dengan dinar dan dirham yang keduanya itu dapat menunjukkan kehati-hatiannya?’ Laki-laki itu menjawab, ‘Tidak.’ Umar bertanya, ‘Lalu, apakah kamu pernah bepergian dengannya dalam suatu perjalanan, yang dapat menunjukkan kemuliaan akhlaknya?’ Laki-laki itu menjawab, ‘Tidak.’ Umar berkata, ‘Kamu belum mengenalnya.’ Lalu Umar berkata kepada laki-laki yang akan bersaksi, ‘Datangkanlah seseorang yang mengenalmu.’” (As-Sunanul Kubra, 19769)[2]
Dari riwayat di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang itu sungguh-sungguh telah mengenal saudaranya apabila:
- Mengetahui kondisi aktivitas atau tingkah lakunya di siang dan di malam hari.
- Mengetahui kehati-hatiannya dalam bermu’amalah terkait harta.
- Mengetahui kemulian akhlaknya dari pergaulan yang intens.
Kedua, at-tafahum (saling memahami).
At-Tafahum adalah buah dari at-ta’aruf yang mendalam. Dengan saling mengenal dan memahami kelebihan dan kekurangan masing-masing diharapkan akan terjalin ta’liful qulub (ikatan hati), ta’liful fikrah (ikatan pemikiran), dan ta’liful a’mal (ikatan amal). Tiga hal ini ditandai dengan terwujudnya suasana saling nasihat menasihati.
Imam As-Syahid Hasan Al-Banna rahimahullah saat menjelaskan at-tafahum berkata,
“Istiqamahlah di atas manhaj al-haq, kerjakanlah semua perintah Allah dan tinggalkanlah larangan-Nya. Evaluasilah dirimu secermat mungkin dalam hal ketaatan dan kemaksiatan. Setelah itu hendaklah masing-masing saling menasehati saudara-saudaranya pada saat melihat aib saudaranya, dan hendaknya saudaranya itu mau menerima nasihat saudaranya yang lain dengan rasa suka dan gembira serta berterima kasih kepadanya. Si pemberi nasihat hendaknya berhati-hati agar tidak berubah terhadap saudara yang dinasihati walaupun sekedar sehelai rambut. Hati-hati agar tidak mengurangi penghargaannya atau merasa dirinya lebih tinggi dari saudaranya….Setelah itu masih mencintai, menghormati, dan menghargai saudaranya sampai Allah menentukan keputusan-Nya. Hendaknya yang dinasihati juga berhati-hati untuk tidak nekad atau membandel dan tidak berubah hati terhadap saudara yang menasihatinya walaupun sedikit. Sesungguhnya kecintaan karena Allah merupakan martabat cinta paling tinggi. Sedangkan nasihat juga merupakan rukun agama: “Agama adalah nasihat.” Renungkanlah hadits ini, mudah-mudahan Allah merahmati anda, menjaga anda satu sama lain, memuliakan anda karena ketaatan, dan menjauhkan tipu daya syaithan dari kami dan anda.” [3]
Ketiga, at-ta’awun (saling tolong menolong).
Di awal telah disebutkan, tujuan at-ta’aruf (saling mengenal) diantara manusia yang berbangsa-bangsa dan bersuku-suku adalah saling tolong menolong dan bahu membahu di atas kebaikan dan ketakwaan. Hal ini menjadi keniscayaan dalam skup yang lebih khusus lagi yakni diantara sesama muslim.
Allah Ta’ala berfirman,
وَتَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْبِرِّ وَٱلتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْإِثْمِ وَٱلْعُدْوَٰنِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Maidah, 5: 2)
Muslim yang satu dengan yang lainnya wajib tolong-menolong dalam mengerjakan kebajikan, melakukan yang diperintahkan Allah dan ketakwaan. Sebaliknya, mereka dilarang tolong-menolong dalam berbuat dosa, melakukan maksiat dan permusuhan, sebab yang demikian itu melanggar hukum-hukum Allah.
Mereka sukarela membantu baik dalam hal-hal yang menyangkut urusan hati (al-qalbiy), pikiran (al-fikriy), maupun amaliah (‘amaliy). Ta’awun hati misalnya diwujudkan dalam bentuk empati dan kepedulian; ta’awun pikiran diwujudkan dengan memberi saran dan sumbangan pemikiran; ta’awun amali dalam bentuk bantuan dan pertolongan secara materi, dan lain sebagainya.[4]
Perhatikanlah hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini,
وَاللهُ فِـي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ
“Dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selagi hamba itu sudi menolong saudaranya.” (HR Muslim)
أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ, أَوْ تَكَشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً, أَوْ تَطْرُدُ عَنْهُ جُوعًا, أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دَيْنًا
“Amalan yang paling dicintai Allah ta’ala adalah engkau menyenangkan seorang muslim, atau engkau mengatasi kesulitannya, atau engkau menghilangkan laparnya, atau engkau membayarkan hutangnya.” (HR. Thabrani)
مَنْ نَـفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُـرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا ، نَـفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُـرْبَةً مِنْ كُـرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَـى مُـعْسِرٍ ، يَسَّـرَ اللهُ عَلَيْهِ فِـي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ،
“Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang Mukmin, maka Allâh melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Barangsiapa memudahkan (urusan) orang yang kesulitan, maka Allah Azza wa Jalla memudahkan baginya (dari kesulitan) di dunia dan akhirat.” (HR Muslim)
Ibnu Rajab al-Hambali dalam Jami’ul Ulum wal Hikam menjelaskan maksud dari al-kurbah atau kesempitan ialah beban berat yang mengakibatkan seseorang sangat menderita dan sedih. Sedangkan maksud meringankan di sini adalah usaha untuk meringankan beban tersebut dari penderita. Sedangkan at-tafriij adalah usaha untuk menghilangkan beban penderitaan dari penderita sehingga kesedihan dan kesusahannya sirna. Balasan bagi yang meringankan beban orang lain ialah Allah akan meringankan kesulitannya. Dan balasan menghilangkan kesulitan adalah Allah akan menghilangkan kesulitannya.[5]
Keempat, at-takaful (saling menanggung).
Dari uraian sebelumnya tergambar, ukhuwah Islamiyah yang dibangun di tengah-tengah umat, masyarakat, dan jama’ah Islamiyah ini bahkan sampai pada tingkatan saling menanggung beban. Hadits-hadits yang telah dikemukakan sebelumnya mendorong umat Islam ke tingkatan at-takaful ini. Sehingga suasana at-talahum (sehati) dan at-tarahum (kasih sayang) benar-benar terjalin kuat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan gambaran yang begitu indah kepada umatnya tentang hal ini.
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan orang-orang beriman dalam cinta, kasih sayang, simpati mereka bagaikan satu jasad, jika salah satu anggota tubuhnya ada yang mengeluh, maka bagian yang lain juga mengikutinya dengan rasa tidak bisa tidur dan demam.” (HR. Muslim No. 2586, Ahmad No. 18373)
الْمُؤْمِنُ للْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضاً وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ .
“Seorang mu’min terhadap mu’min yang lain, ibarat sebuah bangunan yang sebagiannya mengokohkan bagian yang lain” (dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjalinkan antara jari-jarinya)” (Muttafaq ‘alaih).
*****
Dengan ukhuwah Islamiyah yang hakiki, upaya tauhidus shufuf (penyatuan barisan) menuju tauhidul ummah (kesatuan umat) tidak hanya menjadi mimpi belaka, insya Allah.
Catatan Kaki:
[1] Lihat: Tafsir Al-Mukhtashar, Zubdatut Tafsir, Tafsir Al-Wajiz, An-Nafahatul Makkiyah, dan Tafsir As-Sa’di di https://tafsirweb.com/
[2] Lihat: https://abuaminaelias.com/dailyhadithonline/2014/01/13/umar-how-do-you-know/
[3] Risalatut Ta’alim wal Usrah, Hasan Al-Banna.
[4] Syarah Rasmul Bayan Tarbiyah, Jasiman, Lc., hal. 287, Auliya Press, Solo.
[5] Kewajiban Menolong Sesama Muslim, https://www.kiblat.net/2018/10/18/khutbah-jumat-kewajiban-menolong-sesama-muslim/