Madrasah dan Perguruan Madzhab Maliki
Al-Qadhi Iyadh mengklasifikasikan murid-murid Imam Malik berdasarkan kota dan negeri mereka menjadi enam kelompok, yaitu: Penduduk Madinah, penduduk Iraq dan Masyriq, penduduk Hijaz dan Yaman, penduduk Qoirawan (Afrika), penduduk Andalusia, dan penduduk Syam.
Penyebaran mereka ke berbagai penjuru dunia dengan segala perbedaan lingkungan dan adat istiadat, perbedaan capaian ilmu dan pemahaman, perbedaan kualitas interaksi murid dengan guru dan komitmen mereka dengan dasar-dasar hukum yang bermacam-macam yang telah dicanangkan gurunya, serta tingkat komitmen mereka mengikuti metode guru dalam masalah fiqih dan fatwa, menyebabkan munculnya perguruan yang bermacam-macam dalam fiqih Maliki, dan setiap perguruan memiliki metode ilmiah yang membedakannya dengan madrasah lain. Perguruan tersebut bisa digolongkan dalam kelompok berikut ini:
Madrasah Madaniyah (Perguruan Madinah)
Ini adalah perguruan induk yang diperankan oleh murid-murid unggulan Imam Malik di Madinah, seperti: Utsman bin Kinanah (wafat 186 H) yang menggantikan majelis Imam Malik setelah wafatnya, dan selama hayatnya ia dekat dengan Imam Malik.
Lalu Abdullah bin Nafi’ As-Shoigh (wafat 186 H), yang menggantikan posisi setelah wafatnya Ibnu Kinanah. Dan Al-Mughirah Al-Makhzumi (wafat 188 H); mufti Madinah setelah Imam Malik, Ibnu Majisyun, dan Mutharrif bin Abdillah Al-Hilali (wafat 220 H); keduanya terhitung sebagai orang termasyhur yang menyebarkan ilmu Imam Malik, beserta persamaan pendapat, takhrij, dan pandangan mereka.
Perguruan ini beserta metodenya didukung oleh Abdullah bin Wahab (wafat 197 H) dari kalangan ulama Mesir, dan Abdullah bin Habib (wafat 238 H) dari kalangan Andalusia.
Perguruan ini didatangi murid-murid dari Afrika, Andalusia, Mesir, Iraq, dan negara lainnya. Ia terus eksis hingga mendapat musibah sebagaimana perguruan sunni yang lainnya, yang ditimpakan oleh golongan sekte syiah Ubaidiyyah yang menguasai Madinah pada pertengahan abad keempat, hingga Madinah kosong dari aktivitas ahlus sunnah. Perguruan ini kembali melanjutkan aktivitasnya setelah kemunculan Qadhi Madinah: Ibnu Farhun (wafat 799 M).
Madrasah Madaniyah memiliki karakteristik komitmen dengan metode yang bersandar pada hadits nabi sebagai sumber hukum, tanpa melihat apakah amal para sahabat dan tabi’in sesuai dengannya atau tidak.
Madrasah Misriyah (Perguruan Mesir)
Perguruan ini berdiri berkat kerja keras murid-murid Imam Malik yang melakukan perjalanan ke Mesir untuk mengajar, seperti: Utsman bin Al-Hakam Al-Judzami (wafat 163 H) dan Abdurrahman bin Khalid Al-Jumahi (wafat 163 H); keduanya terhitung sebagai orang pertama yang membawa ajaran fiqih Imam Malik ke Mesir. Setelah mereka, ada Thayyib bin Kamil Al-Lakhmi (wafat 173 H) dan Sa’id bin Abdillah Al-Ma’arifi (wafat 173 H), dan lainnya.
Dari mereka inilah para pendiri perguruan ini mengambil ilmu, seperti Ibnu Al-Qasim (wafat 191 H), dan Asyhab (wafat 203 H), dan Abdullah bin Abdil Hakim (wafat 214 H), sebelum mereka melakukan perjalanan untuk berguru kepada Imam Malik.
Berikutnya perguruan ini diambil alih oleh Asbagh bin Al-Faraj (wafat 225 H), dan Al-Harits bin Miskin (wafat 250 H), dan yang lainnya. Setelah mereka ada Muhammad bin Abdillah bin Abdil Hakam (wafat 268 H), dan Muhammad bin Al-Mawwaz (wafat 269 H), dan lainnya.
Perguruan ini ditimpa cobaan pada masa kekuasaan pemerintahan Ubaidi di Mesir pada abad keenam sehingga meredup hingga dua abad lamanya, sampai kemudian tumbuh kembali hingga saat ini.
Perguruan ini memiliki karakteristik bersandar kepada atsar bersamaan dengan hadits nabi, dan menggunakan hadits nabi yang dikuatkan penduduk Madinah. Ini adalah metode yang umum berlaku dalam madzhab Maliki dan diadopsi oleh mayoritas perguruannya.
Perguruan Mesir yang dipimpin oleh Ibnu Al-Qasim lebih menonjol dibanding perguruan-perguruan madzhab Maliki lainnya; karena riwayat sima’at Ibnu Qasim dan pendapat-pendapat fiqih yang dipersembahkannya dalam buku Al-Mudawanah, di samping pendapat Imam Malik, menjadi rujukan bagi seluruh perguruan Maliki secara umum, dan khususnya bagi madrasah Afrika dan Andalusia. Sima’at Ibn Al-Hakam dan riwayat-riwayat dari Imam Malik, Asyhab, dan Ibnu Al-Qasim menjadi langkah awal bagi terbentuknya perguruan Iraq.
Madrasah Iraqiyah (Perguruan Iraq)
Perguruan ini muncul di Bashrah melalui tangan murid Imam Malik yang ada disana, seperti Abdurrahman bin Mahdi (wafat 198 H), dan Abdullah bin Maslamah Al-Qo’nabi (wafat 220 H), dan beberapa orang yang berguru pada murid senior Imam Malik di Madinah, seperti: Ya’qub bin Abi Syaibah (wafat 320 H), dan Ahmad bin Al-Mu’addzal Ar-Rahib, yang mengibarkan madzhab Maliki di Iraq.
Namun madzhab Maliki tidak mencapai puncaknya pada masa-masa mereka. Barulah pada masa jabatan hakim dipegang Ali Hammad bin Zaid madzhab ini menampakkan kekuatannya. Berikutnya yang menonjol adalah Ismail bin Ishaq al-Qadhi (wafat 282 H), salah satu ulama yang dinyatakan mencapai derajat ijtihad setelah Imam Malik; lalu Al-Qadhi Abu Al-Faraj Amr bin Amr (wafat 330 H), dan lainnya. Selanjutnya ada Syaikh Abu Bakar Al-Abhari (wafat 375 H) dan pengikut seniornya seperti: Abu Al-Qasim bin Al-Jallab (wafat 378 H) dan Abul Hasan bin Al-Qasshar (wafat 398 H), dan Abu Bakar Al-Baqillani (wafat 403 H), Al-Qadhi Abdul Wahhab (wafat 422 H).
Perguruan Iraq telah berhenti dan dengannya terputus pula keberadaan madzhab ini di Baghdad dengan wafatnya Abu Al-Fadhil bin Amr pada tahun 452 H.
Karena perguruan ini terpengaruh oleh lingkungan fiqih di Iraq, dimana ahlul ra’yi begitu populer, maka metode Iraqiyyin memiliki kekhasan berupa kecenderungan pada istidlal ushuli, dan tahlil manthiqi untuk permasalahan fiqih, ditambah dengan perhatiannya terhadap penetapan kaidah fiqih dan takhrij, serta klasifikasi.
Madrasah Maghribiyah (Perguruan Maroko)
Awalnya, madzhab yang banyak berkembang di negara-negara Afrika—meliputi Qoirawan, Tunisia, dan negeri-negeri Maroko adalah ahli Kufah, sampai kemudian madzhab Maliki menyebar ke wilayah ini dengan perantaraan murid-murid Imam Malik yang datang ke negara-negara tersebut yang jumlahnya terus berkembang hingga mencapai tiga puluh orang.
Diantara mereka yang paling berpengaruh dan paling dahulu memasuki wilayah tersebut adalah Ali bin Ziyad (wafat 183 H), pendiri perguruan di Afrika, dan Abdurrahman bin Al-Asyras, dan Al-Bahlul bin Rasyid (wafat 183 H), serta Abdullah bin Ghanim (wafat 190 H), yang merepresentasikan fondasi pertama bagi madzhab Maliki di Maghrib.
Setelah mereka ada dua orang murid Ibnu Ziyad, yaitu: Asad bin Al-Furat (wafat 213 H), yang memiliki peran terbesar dalam penulisan fiqih perguruan ini melalui kitabnya Al-Asadiyah, dan Suhnun (wafat 240 H) yang menjadikan madzhab Maliki jaya di masanya, setelah perguruan ini bekerjasama dengan madrasah Mesir menghasilkan peninggalan fiqih yang abadi, yaitu Al-Mudawwanah. Kitab ini didiktekan oleh Ibnu Al-Qasim pada Asad bin Al-furat dan diedit serta diteliti oleh Suhnun, kemudian perguruan Tunisia dan Qoirawan berperan menjamin kelestariannya dengan menyebarkan dan mengajarkannya.
Berikutnya, munculah bintang lain, seperti: Abu Bakar Al-Labbad (wafat 333 H), salah satu penjaga madzhab Maliki, dan Ibnu Abi Zaid Al-Qoirawani (wafat 386 H), yang mampu menghimpun berbagai riwayat dan pendapat imam-imam madzhab yang bertebaran ke dalam kitab besar berjudul An-Nawadir wa Az-Ziyadat.
Perguruan Tunisia membidani lahirnya perguruan Maliki yang lain, yaitu perguruan Fess, dan perguruan Maghrib Al-Aqsho yang hakikatnya adalah ekspansi ilmiah dari perguruan Tunisia baik dari segi metode maupun teori. Perguruan ini terbentuk atas jasa Dasir bin Ismail (wafat 357 H), orang pertama yang memasukkan karangan Suhnun ke kota Fess dan memakmurkan Qoirawan dengan fiqihnya, sebagaimana Ali bin Ziyad memakmurkan Universitas Zaitun dengan ilmunya.
Perguruan Fess meski muncul belakangan, hanya saja di kemudian hari menjadi representasi dari madzhab Maliki di Maroko dan Andalusia, setelah sempat padam, sebagaimana perguruan Tunisia juga mengalaminya karena goncangan politik terutama kezaliman pemerintahan Ubaidi dan tekanan mereka, hingga ketika kekuasaan mereka melemah, perguruan tersebut kembali kuat dan kembali aktif menyebarkan ajaran madzhab dan menulis berbagai karangan besar yang terkenal hingga ke segala penjuru.
Perguruan Maroko memiliki ciri khas perhatian pada upaya penshahihan riwayat dan penjelasan berbagai sisi tafsirannya, dengan menambahkan penelitian atsar, dan mengurutkan uslub khabar yang diriwayatkan oleh imam dari sisi kandungan syar’i, serta pencocokan huruf berdasarkan yang ada dalam periwayatan dengan sima’.
Madrasah Andalusiah (Perguruan Andalusia)
Penduduk Andalusia (Spanyol) sejak masa dibebaskan oleh pasukan Islam menganut fiqih Al-Auza’i (wafat 157 H) hingga kemudian datang pendiri perguruan Maliki di negeri ini, yaitu Ziyad bin Abdurrahman yang mendapat julukan Syabthun (wafat 193 H). Ia adalah orang pertama yang memasukkan kitab Al-Muwatha’ Imam Malik ke Andalusia, menguasai fiqih dengan cara sima’ (mendengar langsung) dari Imam Malik.
Mazhab Maliki kemudian tertancap di tanah Andalusia atas jasa Yahya bin Yahya, murid Ziyad bin Abdurrahman, sebelum melakukan perjalanan untuk berguru kepada Imam Malik. Sebelumnya dia adalah penasehat utama Khalifah Abdurrahman bin Al-Hakam, dimana khalifah tidak memilih hakim atau membuat perjanjian sebelum meminta pendapatnya. Hal ini menjadikan madzhab Maliki dan tokohnya memiliki posisi yang kuat.
Setelah Yahya, madzhab dikembangkan oleh muridnya, yaitu Al-‘Uthbi (wafat 254 H), yangjuga berguru pada Suhnun. Kemudian ia membukukan kitab Mustakhraj yang menghimpun pendapat-pendapat Imam Malik dan murid-muridnya. Masyarakat Andalusia memberikan perhatian besar pada kitab tersebut, mempelajari dan menjadikannya sebagai rujukan, serta meninggalkan kitab yang lain.
Berikutnya Al-‘Uthbi digantikan perannya oleh muridnya yang bernama Ibnu Lubabah (wafat 314 H). Perguruan ini berada pada masa ketenaran hingga Allah menimpakan ujian datangnya pasukan Tartar ke Andalusia di permulaan abad kelima, sehingga banyak ulama yang wafat, dan banyak pula yang melarikan diri menuju Fess atau tempat lainnya. Saat itulah peran perguruan ini mulai melemah, dan semakin melemah dengan tidak adanya perhatian penduduk pada ilmu yang berdasarkan akal dan dalil. Mereka lebih tertarik pada masalah cabang dan parsial hingga ilmu fiqih hampir menemui kematiannya jika saja Allah tidak memberikan karunia dengan hadirnya Imam Al-Baji (wafat 474 H) yang melakukan perjalanan ke Maroko dan belajar dari ulama seniornya, seperti Imam Abdillah bin Ahmad Al-Harwi Al-Maliki (wafat 435 H), kemudian kembali ke Andalusia membawa bekal keilmuan, kemudian mengajar dan menulis, memadukan dua metode sekaligus, yakni kecermatan telaah ulama Baghdad dan kemahiran ulama Qurawiyin, serta menggunakan makna dan penafsiran. Metodenya ini mendapat sambutan antusias dari ulama senior di Andalusia seperti Ibnu Rusyd (wafat 520 H), Abu Bakar At-Thurthusyi (wafat 520 H) yang merupakan murid dari Al-Baji, dan Al-Qadhi ‘Iyadh (wafat 544 H), dan yang lainnya.
Perguruan Andalusia mengalami kemajuan dinamisasinya hingga Andalusia jatuh di tangan musuh pada tahun 897 H, dimana ulamanya hijrah menuju Afrika Utara dan kebanyakan mereka menetap di Fess, Maroko, Qoirawan, dan Tunisia. Sehingga perguruan Andalusia lenyap, namun secara ilmiah kehadirannya masih ada dengan melebur Bersama perguruan Maroko.
Perguruan ini dari sisi pendapat-pendapat fiqihnya terhitung sebagai perluasan dari perguruan Tunisiyah karena kuatnya hubungan antara kedua perguruan tersebut, juga karena kemiripan program dan kegiatan keduanya. Karena itulah menurut ulama muta’akhirin, yang dimaksud dengan istilah ulama Maghrib adalah ulama dari kedua perguruan tersebut, yaitu: Ibnu Abi Zaid (wafat 386 H), Ibnu Al-Qobisi (wafat 403 H), Ibnu Al-Labbad 9wafat 333 H), Al-Baji (wafat 474 H), Al-Lakhmi (wafat 478 H), Ibnu Mihraz (wafat 450 H), Ibnu Abdi Al-Barr (wafat 463 H), Ibnu Al-Arabi (wafat 543 H), dan rekan sejawat mereka dari kalangan ulama besar madzhab Maliki di Maroko.
Berkenaan dengan kelima perguruan di atas, menurut ulama Maliki, jika terjadi perbedaan antara perguruan-perguruan tersebut, baik dalam masalah periwayatan dari Imam Malik maupun perbedaan tentang penentuan pendapat yang paling masyhur, maka yang didahulukan adalah perguruan Mesir, kemudian Maghrib, kemudian Madinah, kemudian Iraq. Urutan ini diperoleh berdasarkan sandaran riwayat dari Ibnu Al-Qosim, dimana riwayatnya dan pilihan pendapatnya yang termasyhur lebih didahulukan daripada pendapat yang lain.
Wallahu A’lam.
Dikutip dari: Al-Madzhib Al-Fiqhiyyah Al-Arba’ah, disusun oleh Unit Kajian Ilmiah Departemen Fatwa Kuwait.