Oleh: Farid Nu’man Hasan
Masalah tawassul kerap menjadi ajang perdebatan umat Islam sejak lama, baik ulama atau orang awam.
Sebelum membahas masalah tawassul, marilah kita lihat dulu makna tawassul berikut.
التَّوَسُّل لُغَةً : التَّقَرُّبُ . يُقَال : تَوَسَّل الْعَبْدُ إِلَى رَبِّهِ بِوَسِيلَةٍ إِذَا تَقَرَّبَ إِلَيْهِ بِعَمَلٍ . وَفِي التَّنْزِيل : { وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ }
Makna tawassul menurut bahasa adalah taqarrub (mendekat). Dikatakan: “Seorang hamba mendekatkan (tawassala) diri kepada Rabbnya dengan wasilah (perantara/sarana/jalan), mendekatkan diri kepadaNya dengan amal perbuatan.” Di dalam Al Quran (ada bunyi ayat, red.): “dan carilah jalan (al wasilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 10/69).
Jadi, manusia diperintahkan untuk mencari wasilah yang bisa mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Ini adalah dalil umum dibolehkannya tawassul. Namun, yang menjadi objek masalahnya adalah tawassul yang bagaimanakah itu?
Pembicaraan tawassul, untuk selanjutnya, menjadi lebih spesifik lagi, yakni akan identik dengan berdo’a melalui perantara. Itulah makna yang sering dibahas dan diributkan banyak manusia. Bukan lagi pembahasan pada perintah Allah Ta’ala untuk mendekatkan diri kepadaNya, dengan berbagai sarana seperti membaca Al Quran, shalat, shaum, sedekah, dzikir, dan sarana taqarrub ilallah yang lainnya. Sebab hal-hal ini memang telah disepakati oleh siapa pun juga sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.
Pada praktik di lapangan, ketika orang berdo’a dengan ber-tawassul, banyak orang awam menyangka bahwa yang dilakukannya adalah tawassul kepada orang shalih atau Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam setelah wafatnya. Padahal yang mereka lakukan adalah meminta tolong kepada makhluk yang sudah wafat, bukan meminta tolong kepada Allah Ta’ala melalui makhluk (tawassul). Sehingga hal tersebut bisa membuat pelakunya jatuh pada kemusyrikan yang besar. Ini pun diingkari oleh yang menyetujui tawassul dengan orang shalih dan para nabi, sebab itu bukan maksud mereka. Tentu keduanya -meminta tolong kepada makhluk dan meminta tolong kepada Allah Ta’ala melalui makhluk- adalah dua hal yang berbeda. Namun, banyak orang awam yang tidak mengetahuinya.
Bahkan ada pula yang mengaku ahli agama menyamaratakannya. Di antara mereka ada yang menilai tawassul adalah sama dengan istighatsah (minta tolong) kepada makhluk, hingga akhirnya mereka mengenaralisir semua tawassul adalah syirik, karena itu adalah minta tolong kepada makhluk. Termasuk tawassul kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam setelah wafatnya, dan kepada orang shalih setelah wafatnya pula. Ucapan: “Ya Allah, dengan kemuliaan NabiMu, ampunilah dosaku.” Bagi mereka, ini adalah haram dan syirik, karena meminta harus murni kepada Allah Ta’ala, tidak boleh diikutsertakan dengan siapa pun hatta seorang nabi yang paling mulia.
Di sisi lain, ada pula yang mengira apa yang mereka lakukan dengan meminta kepada makhluk, itulah tawassul. Mereka mengucapkan: “Ya syaikh fulan, ampunilah aku, berkahilah hidupku.” Mereka anggap ini adalah tawassul. Padahal tidak demikian. Ini adalah minta tolong kepada penghuni kubur yang jelas-jelas syiriknya.
Kedua pihak sama-sama keliru. Pada titik ini, memang tawassul telah memasuki kawasan aqidah, yakni permintaan tolong seorang hamba kepada sesama hamba, seperti minta rezeki, minta ampun, dan permintaan lain yang hanya layak dipanjatkan kepada Allah Ta’ala. Sehingga ada ulama dan pengikutnya, yang bersikeras memasukkan tawassul dalam pembahasan aqidah.
Tawassul yang Benar
Saya tidak akan membahas apa itu tawassul, bagaimana tawassul dan seterusnya. To the point saja, bahwa di tengah beragam pandangan ulama tentang tawassul, ada beberapa tawassul yang lebih selamat dan dekat kebenaran, yang ditegaskan oleh dalil-dalil syara’. Nah, baik pihak yang pro dan anti tawassul pun setuju dengan tawassul jenis ini.
Pertama, tawassul dengan Asma Allah Ta’ala. Dalilnya adalah:
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا
“Hanya milik Allah asmaa-ul husna, Maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu…” (QS. Al A’raf, 6: 180). Contoh: kalimat Yaa Rahmaan Irhamnii. (Wahai Yang Maha Pengasih, kasihanilah aku.)
Kedua, tawassul dengan minta doanya orang shalih ketika hidup.
Berkata Syaikh Shalih Fauzan Hafizhahullah: “Umar bin Al Khathab radhiallahu ‘anhu pernah beristisqa (minta hujan) dengan doanya Al-‘Abbas, paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Ya Allah, sesungguhnya kami dahulu meminta hujan dengan Nabi kami dan Kau telah memberi hujan kepada kami, dan sesuangguhnya kami beristisqa dengan paman RasulMu, ‘Bangunlah ‘Abbas, lalu berdoalah.’” Maka Al-‘Abbas berdoa dan manusia mengaminkan. Inilah tawassul dengan doa orang shalih, sebagaiman tawassulnya Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu dengan Yazid Al Jursyi, dan selain mereka.”
Ketiga, tawassul dengan Amal Shalih.
Dalilnya adalah kisah tiga orang yang terjebak di gua lalu mulut gua tersebut tertutup batu besar. Untuk membukanya mereka berda kepada Allah Ta’ala dengan ber-tawassul kepada Allah Ta’ala melalui amal shalih yang pernah mereka lakukan masing-masing. Kisah ini masyhur.
Tiga jenis tawassul ini telah ditekankan oleh Syaikh Al Albani sebagai Tawassul yang masyru’ (disyariatkan), dan Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi pun menguatkan pendapat Syaikh Al Albani ini.
Keempat, tawassul kepada Allah Ta’ala dengan perantara keimanan kepada Allah Ta’ala. Dalilnya ungkapan do’a di dalam Al-Qur’an,
رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِياً يُنَادِي لِلْإِيمَانِ أَنْ آمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الْأَبْرَارِ
“Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya Kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): “Berimanlah kamu kepada Tuhanmu”, Maka Kamipun beriman. Ya Tuhan Kami, ampunilah bagi Kami dosa-dosa Kami dan hapuskanlah dari Kami kesalahan-kesalahan Kami, dan wafatkanlah Kami beserta orang-orang yang banyak berbakti.” (QS. Ali Imran, 3: 193)
Kelima, tawassul kepada Allah Ta’ala dengan keimanan dan ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam. Dalilnya,
رَبَّنَا آمَنَّا بِمَا أَنْزَلْتَ وَاتَّبَعْنَا الرَّسُولَ فَاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدِين
“Ya Tuhan Kami, Kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah Kami ikuti rasul, karena itu masukanlah Kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah)” (QS. Ali Imran, 3: 53)
Keenam, tawassul kepada Allah Ta’ala dengan Tauhid.
Syaikh Shalih Fauzan Hafizhahullah berkata: “Tawassul dengan tauhid: ‘Aku minta kepadaMu, karena Engkaulah Allah Tiada Ilah kecuali Engkau.’ Sebagaimana tawassulnya Dzun Nun (Nabi Yunus ‘Alaihissalam), ketika di perut ikan, dia berdoa: “Maka ia menyeru dalam Keadaan yang sangat gelap : ‘Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha suci Engkau, Sesungguhnya aku adalah Termasuk orang-orang yang zalim.’” (QS. Al Anbiya, 22: 87).”
Demikianlah tawassul yang disepakati kebolehannya. (Lihat: Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan, I’anah Al Mustafid bi Syarhi Kitabut Tauhid, Juz. 3, Hal. 369-370, cet. 3, 1423H/2002M. Al Muasasah Ar Risalah)
Sementara Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ditanya bolehkah ber-tawassul dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau menjawab: “Ada pun bertawassul dengan beriman kepadanya (Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salam), mencintainya, mentaatinya, bershalawat dan salam atasnya, dengan doanya dan syafa’atnya dan yang lainnya, baik bertawassul dengan perbuatannya, dan perbuatan manusia yang diperintahkan sesuai haknya; maka itu adalah perbuatan yang disyariatkan sesuai kesepakatan kaum muslimin, dan para sahabat bertawassul dengannya pada masa hidupnya, dan bertawassul kepada Al Abbas, pamannya, setelah kematiannya, sebagaimana dahulu mereka bertawassul dengannya (ketika masih hidup, pen).” (Majmu’ Al Fatawa, Juz. 1, Hal. 140)
Setelah kita mengetahui jenis tawassul yang masyru’ (disyariatkan), maka selanjutnya kita bahas, bagaimanakah sebenarnya posisi tawassul ini? Kategori aqidahkah atau khilafiyah fiqih? Inilah yang selanjutnya kita bahas.
Syaikh Hasan Al Banna rahimahullah berkata dalam Ushul ‘Isyrin yang ke 15: “Berdoa apabila diiringi tawassul kepada Allah Ta’ala dengan salah satu makhlukNya, merupakan perselisihan cabang dalam masalah tata cara berdoa, bukan masalah aqidah.” (Majmu’ah Ar Rasail, Hal. 307. Al Maktabah At Taufiqiyah)
Dari ucapan beliau rahimahullah kita mengetahui bahwa sikap beliau terhadap tawassul memandangnya sebagai perselisihan furu’ (cabang), bukan aqidah. Ucapan ini tidak ada indikasi sedikit pun bahwa beliau menyetujui tawassul, sebab yang diucapkannya hanyalah mengetengahkan kepada pembaca tentang ‘posisi’ masalah tawassul dalam syariat Islam.
Perkataan Al-Ustadz Hasan Al Banna bahwa tawassul adalah permasalahan khilafiyah, cabang tentang tata cara berdo’a, menyebabkan beliau pernah dicela oleh seorang da’i di dalam negeri, dengan disebut sebagai orang yang bodoh dalam masalah aqidah, hal ini disebutkan dalam sebuah artikel di majalah Islam. Maunya orang itu, masalah tawassul ini dimasukkan ke dalam masalah aqidah, bukan fiqih. Dia dan kelompoknya nampaknya sulit sekali membuka mata bahwa masalah ini memang menjadi khilafiyah para ulama.
Apa yang dikatakan oleh Al-Ustadz Hasan Al Banna tidaklah keliru. Sebab demikianlah dalam pandangan sebagian para ulama. Bagi yang dekat dengan kitab berbagai madzhab, baik Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyyah, dan Hambaliyah, pasti akan mendapati bahwa telah terjadi khilaf mu’tabar di antara mereka dalam masalah tawassul ini.
Berikut akan saya paparkan beberapa bukti dari perkataan ulama, bahwa memang ‘benar’ tawassul adalah perkara khilafiyah furu’ (peselisihan cabang) terkait tata cara berdoa, bukan masalah aqidah.
Imam Ibnu Taimiyah: “Tawasul adalah masalah debatable (niza’iyah).”
Berikut ini pendapat Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah,
“Ada pun bagian ketiga, yaitu yang dinamakan dengan tawassul, maka tak seorang pun yang dapat menukil masalah ini dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedikit pun juga yang dijadikan hujjah para ulama—sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Tawassul adalah bersumpah atas nama Allah ‘Azza wa Jalla dengan para nabi, orang shalih, atau berdoa dengan perantara mereka, sesungguhnya tidak seorang pun yang bisa menyebutkan riwayat shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ini, baik tentang sumpah dan berdoa melalui diri nabi, dan tidak pula tentang sumpah atau doa dengan selain dirinya dari kalangan makhluk yang lain. Meski sebagian ulama ada yang memperbolehkan, namun hal yang meyakinkan bahwa lebih dari satu ulama yang melarangnya, maka masalah ini adalah masalah yang diperselisihkan sebagaimana penjelasan lalu. Maka, kembalikan masalah yang diperselisihkan ini kepada Allah dan RasulNya, masing-masing pihak telah menyampaikan argumentasinya sebagaimana permasalahan perselisihan lainnya. Menurut ijma’ kaum muslimin, masalah ini bukanlah masalah yang melahirkan sanksi, justru kalau ada yang memberikan sanksi maka dia melampaui batas, bodoh, dan zalim. Sesungguhnya yang mengatakan seperti ini juga dikatakan para ulama, dan pihak yang mengingkarinya tidak memiliki dalil yang bisa diikuti, tidak dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pula dari para sahabatnya. (Imam Ibnu Taimiyah, Qaa’idah Al Jaliilah fit Tawassul wal Wasilah, Hal. 230. Cet. 1. 2001M/1422H)
Sikap Imam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah
Beliau berkata dalam Fatawa wa Masa’il:
“Pendapat mereka tentang masalah Istisqa’: tidak apa-apa bertawassul dengan orang-orang shalih. Pendapat Imam Ahmad: Bertawassul hanya khusus dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bersamaan ucapan mereka: tidak dibolehkan istighatsah (meminta pertolongan) dengan makhluk, dan perbedaannya sangat jelas (antara ber-tawassul dengan istighatsah, pen), dan ini bukanlah perkataan yang sedang kami bahas.
Kebanyakan Ulama melarang itu dan memakruhkannya, dan masalah ini termasuk permasalahan fiqih. Pendapat yang benar menurut pandangan saya adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, bahwa hal itu (tawassul dengan orang shalih) adalah makruh. Kami tidak mengingkari orang yang melakukannya, dan tidak ada pengingkaran dalam permasalahan ijtihad. Tetapi yang kami ingkari adalah orang-orang yang lebih mengagungkan permintaan kepada makhluk dibanding kepada Allah Ta’ala, bertadharru’ (merendahkan diri) kepada kuburan, seperti kuburan Syaikh Abdul Qadir Jaelani dan lainnya, berkeluh kesah atas kesulitan di kuburnya, meminta tolong atas rasa dukanya, dan meminta pemberian berbagai keinginannya.” (Fatawa wa Masail, Hal. 68-69, Mausu’ah Ibn Abdil Wahhab)
Seperti yang Anda lihat, Imam Muhamamd bin Abdul Wahhab memasukkan pembahasan tawassul ini dalam zona kajian fiqih. Ucapan beliau ini, selain koreksi atas pihak yang menganggap tawassul sebagai perkara aqidah, sekaligus sanggahan atas pihak yang telah memfitnahnya, bahwa Muhammad bin Abdil Wahhab telah mengkafirkan para pelaku tawassul. Tidak. Yang beliau ingkari adalah bukan tawassul tetapi ber-istighatsah (minta tolong) kepada penghuni kubur, mengadu, berkeluh kesah, dan beharap kepada penghuni kubur. Jelas, kalau ini adalah syirik akbar, jika dilakukan secara sadar. Namun, bagi orang awam yang tidak mengetahui hukum-hukum ini tidak bisa dikafirkan karena kebodohannya itu.
Perkataan beliau juga merupakan sanggahan bagi orang yang mengaku mengikuti perjuangannya, kaum yang sangat keras dan garang pengingkarannya dalam masalah tawassul. Sampai-sampai mudah sekali melontarkan tuduhan syirk dan quburi kepada pelaku tawassul. Padahal Imam Muhammad bin Abdil Wahhab cuma memakruhkan tawassul dengan orang shalih (yang sudah wafat), tidak sampai mengharamkan, apalagi menyebut dengan syirk atau quburi (penyembah kubur). Sikap bijak yang didasarkan kepada ilmu yang matang dari Imam Muhamad bin Abdil Wahhab ini ternyata tidak diwariskan oleh orang-orang yang mengaku mengaguminya dan pelanjut perjuangannya.
Sikap Para Ulama Kuwait
Dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah, para ulama yang menyusun kitab tersebut pun memasukkan masalah tawassul dalam bidang fiqih. Buktinya adalah mereka memasukkan dalam buku Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah (Ensiklopedi Fiqih) yang mereka susun, yang diterbitkan oleh Kementerian Waqaf dan urusan Agama, Kuwait.
Dalam kitab ini juga disebutkan berbagai macam tawassul yang dianjurkan dan dibolehkan, serta tawassul yang diperselisihkan para ulama.
Tawassul yang disepakati kebolehannya -yang tertulis dalam kitab tersebut- adalah:
- Tawassul dengan Asma wa Sifat, bahkan disebutkan hukumnya mustahab (disukai).
- Tawassul dengan iman dan amal shalih, disebutkan bahwa telah ijma’ kebolehannya.
- Tawassul dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada dua macam:
- Kita berdoa di dunia agar mendapat syafaatnya di akhirat.
- Kita memintakan kepadanya doa untuk kita ketika masa hidupnya, hal ini mutawatir. Kedua model ini tidak diperselisihkan ulama
- Tawassul dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di akhirat, yakni di padang mahsyar agar mendapatkan syafa’at, ini telah disepakati para ulama, kecuali golongan mu’tazilah yang menolaknya.
- Tawassul dengan iman dan mahabbah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ini juga tidak ada perselisihan.
Tawassul yang diperselisihkan adalah:
- Tawassul kepada Allah Ta’ala dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah wafatnya.
Ada tiga pendapat, tertulis dalam kitab tersebut sebagai berikut: “Madzhab jumhur (mayoritas) ahli fiqih (Malikiyah, Syafi’iyah, generasi belakangan Hanafiyah, dan ini juga pendapat Hanabilah/Hambaliyah) berpendapat bolehnya tawassul jenis ini, sama saja, baik ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup atau setelah wafatnya.”
Berkata Al Qasthalani: Telah diriwayatkan, bahwa ketika Abu Ja’far bin Manshur (khalifah kedua masa Bani Abbasiyah) bertanya kepada Imam Malik: “Wahai Abu Abdillah (Imam Malik), apakah aku harus menghadap kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berdoa, ataukah aku menghadap ke kiblat lalu berdoa?”
Imam Malik menjawab: “Ketika kau hadapkan wajahmu kepadanya, maka dia adalah wasilah (perantara)mu dan wasilah bapak moyangmu, Adam ‘alaihis salam, kepada Allah ‘Azza wa Jalla pada hari kiamat nanti. Bahkan, menghadap kepadanya dan mintalah syafa’at dengannya, maka Allah akan memberikan syafa’at.”
Ucapan ini diriwayatkan oleh Abul Hasan Ali bin Fihr dalam kitabnya Fadhailul Malik, dengan sanad Laa Ba’sa bihi (tidak mengapa). Dan Al Qadhi ‘Iyadh meriwayatkannya dalam Asy Syifa dari jalannya, dari para syaikh, dan dari masyaikhnya yang tsiqat.
Pendapat kedua adalah yang memakruhkan tawassul dengan nabi setelah wafatnya. Inilah pendapat Abu Hanifah dan kedua muridnya, Abu Yusuf dan Muhamamd bin Hasan. Begitu pula Ibnu ‘Abidin dan Al Hashkafi.
Pendapat ketiga adalah pendapat Imam Ibnu Taimiyah dan sebagian Hanabilah generasi belakangan, bahwa ber-tawassul dengan Dzat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah boleh. Namun ber-tawassul dengan selain dzatnya, maka ada tiga macam bentuknya:
Bertawassul dengan keimanan dan ketaataan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahkan ini merupakan dasar agama; Ber-tawassul dengan doanya, dan meminta syafaatnya, ini semua membawa manfaat bertawassul dengannya.
Imam Ibnu Taimiyah mengatakan kedua jenis ini adalah boleh dan tidak ada umat Islam yang mengingkarinya. Jika ada yang mengingkari salah satunya maka dia kafir murtad, harus disuruh tobat, kalau tidak mau tobat maka dibunuh karena murtad.
Ber-tawassul dengan bersumpah kepada dzat Nabi atau meminta kepada dzatnya, maka tidak boleh, tidak pernah dilakukan oleh para sahabat, baik hidup atau matinya, tidak pula di kuburnya atau di tempat lain.
Tetapi Imam Ibnu Taimiyah membolehan bertawassul kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan ucapan:
أَسْأَلُكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ
“Aku meminta kepadaMu dengan NabiMu Muhammad.”
Berikut ini komentar Imam Ibnu Taimiyah terdapat ucapan ini: “Maka, dipahami ucapan seseorang: Aku meminta kepadaMu dengan NabiMu Muhammad, yaitu maksudnya adalah: Aku meminta kepadaMu dengan keimananku terhadapnya dan rasa cinta terhadapnya, aku betawassul kepadaMu dengan keimananku terhadapnya, dan cintaku terhadapnya, dan yang semisalnya, dan telah Anda sebukan bahwa ini boleh tanpa adanya pertentangan.”
- Tawassul yang diperselisihkan jenis kedua adalah tawassul kepada Orang Shalih setelah wafatnya. Dalam kitab tersebut disebutkan bahwa dalam masalah ini pembahasannnya sama dengan masalah tawassul dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sudah wafat. (Lihat semua ini dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 14/151 – 16 )
Sikap Syaikh Wahbah Az Zuhaili
Beliau telah memasukkan pembahasan tawassul dalam bukunya yang terkenal Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh (Juz. 2, Hal. 565. Darul Fikr)
Sikap Imam Abdul Haq Sa’id Ibrahim Al Azdi
Beliau telah memasukkan pembahasan tawassul dalam kitab fiqihnya, Al Ahkam Asy Syar’iyyah Al Kubra (Juz. 3, Hal. 550-551. Cet.1, 1422 H-2001M, Al Maktabah Ar Rusyd – As Su’udiyah)
Sebagaimana kitab lainnya, beliau juga membahas tawassul sesuai jenisnya.
Demikianlah masalah ini, kami kira pembahasan sebelumnya sudah cukup mewakili kebenaran apa yang disampaikan oleh Syaikh Hasan Al Banna. Seperti yang Anda lihat, apa yang disampaikannya bahwa tawassul bukanlah masalah aqidah, melainkan khilafiyah furu tentang tata cara ibadah, adalah sesuai dengan para Imam dan ulama Ahlus Sunnah lainnya.
Namun, kami mengakui bahwa, terdapat orang bodoh yang meminta tolong pada orang mati di kubur, jelas ini adalah syirik akbar, walau yang dia minta adalah orang shalih. Sayangnya mereka menamakan itulah tawassul. Nah, pada titik ini masalah tawassul memang menjadi pembicaraan aqidah. Kami juga tidak mengingkari bahwa sebagian ulama masa kini seperti Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, dan lainnya, telah memasukkan masalah tawassul dalam kitab-kitab aqidah karya mereka. Walhasil, para imam kaum muslimin belum ada kata sepakat tentang ini. Namun, bagi yang jernih dan jujur, pasti mengakui bahwa semua ulama yang membicarakan tawassul, pasti biasanya dibicarakan dalam masalah tata cara berdo’a.
Penjalasan ini sekaligus menunjukkan bahwa telah terjadi sikap yang melampaui batas dan sembrono yang dilakukan sebagian manusia, ketika mereka menyikapi hal ini seakan sudah keputusan final bahwa kebenaran ada pada pihak mereka, bahwa tawassul adalah masalah aqidah. Tidak demikian seharus sikap mereka, jika mau fair, seharusnya mereka juga mencela para ulama lain, selain Syaikh Hasan Al Banna, seperti Imam Muhamamd bin Abdil Wahhab, Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Imam Abdul Sa’ad Ibrahim Al Azdi, Syaikh Wahbah Az Zuhaili, dan para ulama Kuwait. Tetapi kenapa hanya Syaikh Hasan Al Banna yang diserang?
Pandangan Para Imam Pro Tawassul Dengan Nabi dan/atau Orang Shalih
Selanjutnya, demi keseimbangan ilmiah, maka akan kami paparkan pula pandangan para ulama yang menyetujui tawassul dengan nabi dan orang shalih. Walau bukan dalam posisi menyetujui, namun ini kami lakukan agar kita tidak menutup mata, bahwa memang benar-benar terjadi khilafiyah yang masyhur di antara para ulama. Sekaligus memperkuat apa yang dikatakan oleh Syaikh Hasan Al Banna rahimahullah.
Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah
Telah masyhur bahwa Imam Ahmad membolehkan ber-tawassul kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi was Sallam saja setelah wafatnya, tidak yang lainnya. Berkata Imam Muhamamd bin Abdil Wahhab:
وقول أحمد: يتوسل بالنبي صلى الله عليه وسلم خاصة
“Ahmad berpendapat bertawassul hanya khusus kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam saja.” (Fatawa wa Masail, Juz. 68. Lihat juga, Imam Abul Hasan Al Mardawi, Al Inshaf, Juz. 4, Hal. 178)
Imam Ali Syaukani Rahimahullah
Imam Asy-Syaukani berpendapat bolehnya ber-tawassul kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dia berdalil dari hadits shahih, dari Utsman bin Hunaif, yaitu kisah seorang buta yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar disembuhkan kebutaannya, lalu dia berdoa dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian sebagian teksnya:
أقول ومن التوسل بالأنبياء ما أخرجه الترمذي وقال حسن صحيح غريب والنسائي وابن ماجة وابن خزيمة في صحيحه والحاكم وقال صحيح على شرط البخاري ومسلم من حديث عثمان بن حنيف رضي الله عنه أن أعمى أتى النبي صلى الله عليه وسلم…..
“Aku katakan, bahwa diantara bentuk tawassul dengan para nabi adalah apa yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi, katanya hasan shahih gharib, An Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya, dan Al hakim, katanya shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim, dari hadits ‘Utsman bin Hanif Radhiallahu ‘Anhu bahwa seorang buta datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam …. dan seterusnya”
Beliau juga membolehkan tawassul dengan orang shalih, berdasarkan kisah Umar bin Al Khathab yang meminta Al Abbas, paman Nabi, untuk berdoa minta hujan. Demikian sebagian teksnya:
وأما التوسل بالصالحين فمنه ما ثبت في الصحيح أن الصحابة استسقوا بالعباس رضي الله عنه عم رسول الله صلى الله عليه وسلم وقال عمر رضي الله عنه اللهم إنا نتوسل إليك بعم نبينا الخ
“Ada pun bertawassul dengan orang shalih, diantaranya apa yang diriwayatkan secara shahih bahwa sahabat beristisqa dengan Al Abbas radhiallahu ‘anhu, paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Umar radhiallahu ‘anhu berkata: “Ya Allah kami bertawassul kepadaMu dengan paman Nabi kami ..dst.” (Tuhfah Adz Dzakirin, Hal. 56. Cet.1, 1984M. Darul Qalam, Beirut, Libanon)
Jadi, jika kita lihat secara seksama, maka pihak yang pro atau kontra ternyata menggunakan dalil yang sama, yakni hadits orang buta dan hadits Al Abbas. Bagi pihak yang kontra, hadits orang buta tersebut bukanlah bertawassul dengan Nabi shallalalhu ‘alaihi wa sallam, tetapi Nabi-lah yang mendoakan orang buta, bersama doa orang buta tersebut. Atau, sekali pun disebut tawassul, bukanlah tawassul ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah wafat, tetapi ketika masih hidup.
Sedangkan, kisah Al-Abbas bukanlah Umar ber-tawassul dengan orang shalih, tetapi Umar meminta dido’akan oleh orang shalih. Sekali pun disebut tawassul, itu adalah ber-tawassul dengan orang shalih yang masih hidup. Demikian pandangan ulama yang kontra terhadap tawassul dengan Nabi dan orang shalih.
Perlu diketahui, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani sendiri mengetahui sikap Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Asy Syaukani ini, beliau berkata:
فأجاز الإمام أحمد التوسل بالرسول صلى الله عليه وسلم وحده فقط وأجاز غيره كالإمام الشوكاني التوسل به وبغيره من الأنبياء والصالحين
“Imam Ahmad membolehkan tawassul dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saja. Ada pula yang membolehkan dengan selainnya, seperti pendapat Imam Asy Syaukani, bahwa boleh bertawassul dengan selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik dari kalangan para nabi dan orang shalih.” (Tawassul, Hal. 34)
Imam Nawawi Rahimahullah
Imam An-Nawawi menulis dalam kitabnya, Al Majmu’, tentang adab ziarah ke kubur Rasulullah dan para sahabat, di antara yang dia katakan:
ثم يرجع إلى موقفه الاول قبالة وجه رسول الله صلى الله عليه وسلم ويتوسل به في حق نفسه ويستشفع به إلى ربه سبحانه وتعالى
“Kemudian hendaknya kembali ke posisi semula, menghadapkan wajah ke Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan bertawassul dengannya pada hak dirinya, dan meminta syafaat dengannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala…” (Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, Juz. 8, Hal. 274, Darul Fikr)
Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisi Al Hambali Rahimahullah
Dalam Fasal: Disunnahkan Ziarah Kubur Rasulullah. Beliau menyontohkan adab berziarah ke kubur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta memberikan contoh doa, diantaranya:
وَقَدْ جِئْتُكَ مُسْتَغْفِرًا مِنْ ذُنُوبِي مُسْتَشْفِعًا بِكَ إلَى رَبِّي…
“Aku datang kepadamu (Rasulullah) agar memohonkan ampun bagi dosa-dosaku dan memintakan syafaat denganmu kepada Tuhanku …” (Al Mughni, Juz. 7, Hal. 420. Lihat juga Syarhul Kabir, Juz. 3, Hal. 495)
Do’a ini tidak lain adalah ber-tawassul kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yakni meminta kepada Nabi agar memohonkan ampun kepada Allah Ta’ala bagi si penziarah. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah di kubur!
Imam Al Bahuti Rahimahullah
Dalam kitab Kasysyaf Al Qina’, yakni Kitabul Haj, Fasal: Setelah Selesai Haji disunnahkan Ziarah Kubur Rasulullah. Beliau juga menyontohkan doa seperti yang ditulis oleh Imam Ibnu Qudamah di atas. (Kasysyaf Al Qina’, Juz. 7, Hal. 317)
Imam Mushthafa bin Sa’ad As Suyuthi Ar Rahibani
Dalam kitab Mathalib Ulin Nuha Syarh Ghayah Al Muntaha, dalam Kitabul Haj, Fasal Ziarah Ke Kubur Nabi dan Sahabatnya, beliau juga menulis seperti apa yang ditulis oleh Al Bahuti, Ibnu Qudamah, dan An Nawawi. (Mathalib Ulin Nuha Syarh Ghayah Al Muntaha, Juz. 6, Hal. 369)
Syaikh Muhamamd bin Husein bin Sulaiman Al Faqih
Beliau berkata:
وأمّا التّوسّل بالأنبياء والصّالحين في حياتهم وبعد مماتهم؛ فهو جائز ـ كما قدّمناه
“Ada pun bertawassul dengan para nabi dan orang-orang shalih, saat mereka hidup dan setelah wafatnya, itu adalah boleh, sebagaimana yang telah kami jelaskan dahulu.” (Al Kasyf Al Mubdi, Hal. 307)
Sebenarnya masih banyak para ulama yang sependapat dengan mereka dari berbagai madzhab fiqih Ahlus Sunnah, namun saya kira ini cukup mewakili.
Alasan mereka adalah karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup di alam barzakh, bahkan sebagian ulama lain menyebutkan sama dengan kehidupan hakiki. Ini adalah pandangan mayoritas imam muhaqqiq (peneliti) dari kalangan ahlus sunnah.
Imam Asy Syaukani Rahimahullah mengatakan:
وَقَدْ ذَهَبَ جَمَاعَة مِنْ الْمُحَقِّقِينَ إلَى أَنَّ رَسُولَ اللَّه صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَيّ بَعَدَ وَفَاته
“Segolongan para muhaqqiq telah berpendapat bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap hidup setelah wafatnya.” (Nailul Authar, 3/248)
Ini juga pendapat Imam Al Baihaqi dan Imam As Suyuthi. (Syaikh Waliyuddin At Tibrizi, Misykah Al Mashabih, 4/873), juga Imam Muhammad bin Abdul Wahhab. (Ushul Al Iman, Hal. 21) dan masih banyak lagi.
Alasan mereka adalah:
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الأنبياء أحياء في قبورهم يصلون
“Para nabi itu hidup di kubur mereka dan mereka shalat di dalamnya.” (HR. Abu Ya’la No. 3425, Syaikh Husein Salim Saad mengatakan: shahih. Al Bazzar No. 6888. Syaikh Baari’ ‘Irfaan Tawfiq mengatakan: shahih. Lihat As Shahih Al Kunuz As Sunnah An Nabawiyah, 1/129. Syaikh Al Albani mengatakan: shahih. Lihat Shahihul Jami’ No. 2790. Imam Al Haitsami mengatakan: perawi Abu ya’la adalah tsiqat. Lihat Majma’ Az Zawaid, 8/386)
Alasan lain:
وَلا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (QS. Ali ‘Imran, 3: 169)
Jika para syuhada saja disebut “hidup”, dan tidak mati, maka para nabi apalagi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, lebih layak untuk mengalaminya.
Dalam Shahih Muslim disebutkan dari Anas bin Malik, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَتَيْتُ وَفِي رِوَايَةِ هَدَّابٍ مَرَرْتُ عَلَى مُوسَى لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي عِنْدَ الْكَثِيبِ الْأَحْمَرِ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي فِي قَبْرِهِ
“Saya mendatangi –dalam riwayat Haddab- saya melewati Musa pada malam ketika saya di-Isra-kan, di sisi bukit merah, dan dia sedang shalat di dalam kuburnya.” (HR. Muslim No. 2375)
Wallahu A’lam