Oleh: Yvonne Ridley
Saya selalu penasaran mengapa gerakan Ikhwanul Muslim (IM) begitu menakutkannya bagi rezim Arab. Penjara-penjara di Mesir, Uni Emirat Arab dan Arab Saudi sekarang dipenuhi ribuan tahanan politik yang merupakan pimpinan dan anggota dari gerakan tersebut. Gerakan ini pun sudah dilarang karena “di cap” sebagai organisasi teroris oleh para penguasa tiran ini.
Ketakutan yang berlebihan ini – juga dirasakan oleh Sayap Kanan Ekstrim Israel dan Pemerintahan Donald Trump – karena gerakan ini dianggap menjadi satu kelompok politik yang paling jahat di kawasan Timur Tengah. Jika Anda menyimak Riyadh, Abu Dhabi atau Kairo, maka Anda tidak akan dipersalahkan bila memiliki anggapan bahwa negara-negara tersebut telah menangkap dan telah memenjarakan para teroris paling kejam dan berbahaya di dunia. Walaupun faktanya sangat berbeda. Anda dipaksa untuk sulit menemukan tindakan “teroris” yang dilakukan atau diklaim oleh IM.
Memang, diantara para anggotanya yang dikurung di penjara-penjara tersebut mungkin ada lebih banyak profesor universitas, para akademisi dengan gelar PhD, dan para akademisi senior lainnya daripada dimanapun di belahan dunia lainnya. Mereka yang terkurung adalah mereka yang lebih intelek dibandingkan para sipir penjara dan bahkan dibanding para hakim dan jaksa yang memvonis mereka, tapi mereka diperlakukan dengan kehinaan oleh para intelek cebol yang memenuhi koridor kekuasaan di Negara-Negara Teluk. Mereka inilah sebenarnya yang paling ketakutan karena alasan sederhana, yaitu mereka ingin mempertahankan tahta emas mereka dengan cara apapun.
Saat ini kita mendengar pemerintah Saudi telah memecat 100 imam dan penceramah yang berkhutbah di masjid-masjid di Mekah dan Al Qassim karena mereka tidak ikut mengecam IM seperti yang diperintahkan pemerintah, menurut laporan koran Al Watan. Menteri Urusan Islam, Dakwah dan Bimbingan mengeluarkan instruksi bagi semua imam dan penceramah untuk menyalahkan IM karena menyebabkan perpecahan dalam masyarakat.
Ketika saya memeluk Islam hampir 20 tahun lalu, saya melakukannya karena adanya kebebasan intelektual yang diberikan Islam kepada saya. Tentu saja saya tidak pergi dan menyimak “ulama-ulama dolar” yang diatur pemerintah berkenaan dengan apa yang harus dikhutbahkannya setiap Hari Jumat.
Secara pribadi, saya pikir pemerintah seharusnya tidak mencampuri urusan agama. Sebagai mantan penganut Kristen, tidak masuk akal bila membayangkan para pendeta dan penceramah dari mazhab manapun melangkah ke mimbar di Minggu pagi untuk mengungkapkan kebijakan dan pemikiran Perdana Menteri Inggris Boris Johnson. Saya juga tidak bisa melihat para penganut Kristen terkesan jika Kanselir Jerman Angela Merkel menulis catatan yang dibuat untuk para pendakwah di gereja. Dan coba bayangkan protes keras dari seluruh dunia Katolik Roma jika Presiden Itali Sergio Mattarella atau penguasa negara manapun mengatur Paus tentang apa yang harus dikatakannya dalam khotbah Natalnya di balkon gereja Saint Peter’s Basilica di Vatican.
Namun di Arab Saudi dan juga di negara-negara Arab lain, Menteri Urusan Islam memerintahkan para imam mendedikasikan khutbah Jumat mereka untuk mendukung pernyataan kontroversial yang dikeluarkan oleh Dewan Ulama Senior Arab Saudi yang didalamnya menyebut IM sebagai organisasi teroris dan katanya tidak mengajarkan ajaran Islam yang benar melainkan menjadi pelayan kepentingan partisannya. Saya akan menyarankan bahwa instruksi semacam ini merupakan bid’ah, jelas-jelas tidak berciri Islami, dan jelas merupakan sebuah intervensi negara terhadap urusan agama. Perintah tersebut memiliki DNA dari penguasa de facto Kerajaan Arab Saudi, yaitu Putra Mahkota, Mohammad bin Salman. Seperti halnya diktator lain di kawasan ini, Sang Pangeran mengacungkan kata ‘Teroris” ke sekelilingnya seperti konfeti, apa yang ia dan mereka maksud dengan kata “Teroris” sebenarnya adalah “seseorang yang bisa mengatakan kebenaran kepada orang-orang dan Aku kehilangan kekayaan serta kekuasaan”. Ketika setiap orang dianggap teroris, padahal tidak ada yang melakukan teror, itu sama saja dengan The Boy Who Cried Wolf, “membohongi semua orang akan sesuatu yang sebenarnya tidak ada”. Saya berharap para wartawan dan politikus di negara-negara demokrasi bersama-sama menyebut ini sebagai sesuatu yang nonsense, omong kosong belaka.
Dengan memamerkan kurangnya moral dan keberanian, Dewan Ulama Senior ini berujar: “Gerakan Ikhwanul Muslim adalah kelompok teroris dan tidak mewakili manhaj Islam, melainkan dengan membabibuta mengikuti tujuan partisannya yang sangat bertentangan dengan pedoman agama kita yang mulia, dengan menggunakan agama sebagai kedok belaka untuk menyembunyikan tujuan gerakan ini agar bisa melakukan hal yang bertentangan seperti hasutan, mendatangkan malapetaka, melakukan kekerasan dan terorisme.”
Sulit untuk mengetahui ‘instruksi’ (baca: ancaman) apa yang diberikanterhadap kaum ulama ini untuk menghasilkan hal semacam sampah ini, oleh karenanya saya tidak bisa terlalu kritis. Namun jelas bahwa Bin Salman dan kroni-kroninya sangat takut pada orang-orang yang mereka kuasai dengan tangan besi yang memiliki kehendak bebas dan kebebasan berpikir. Lemparkan prospek demokrasi dan tiba-tiba para penguasa delusi ini menjadi sangat ketakutan terhadap orang-orang yang mereka klaim diwakili.
Komplotan rahasia Arab Saudi-UEA-Mesir memastikan bahwa Arab Spring telah gagal di banyak negara, dan kita melihat dampak dari campurtangan mereka di Yaman, Libya, Syria dan negara-negara lain. Pada tahun 2013 Arab Saudi dan UEA mendukung kudeta militer di Mesir yang membuat Jendral Abdel Fattah Al Sisi menggulingkan Presiden pertama yang dipilih secara demokratis di Mesir, Presiden Dr. Mohammad Morsi. Tahun berikutnya Pemerintah Riyadh menetapkan Gerakan IM sebagai organisasi teroris, dan tahun 2019 mulai menangkapi dan memenjarakan mereka yang dianggap mendukung gerakan ini.
Mengingatkan, bahwa Kerajaan Arab Saudi pada tahun 1950an memberi perlindungan kepada ribuan aktivis IM yang menghadapi ancaman penjara di Mesir, Suriah dan negara-negara lain, dan apa yang dilakukannya sekarang ini adalah titik balik dari pemerintah Arab yang telah melupakan sejarahnya atau ini merupakan paranoid dengan tingkat yang tidak bisa disembuhkan.
Fokus dari banyak tulisan saya akhir-akhir ini adalah seputar kegagalan keadilan dan penderitaan tahanan politik. Sebagai wartawan, dan tentu saja jauh sebelum pemenjaraan saya oleh rezim Taliban di Afganistan, keadilan yang membabibuta telah menjadi hal yang menarik saya. Untungnya penyiksaan terhadap saya pada tahun 2001 relatif singkat dan saya dibebaskan karena alasan kemanusiaan.
Sejak saat itu saya semakin tenggelam dalam kasus-kasus ketidakadilan peradilan, mengunjungi penjara-penjara yang dikelola AS, termasuk mengunjuni Penjara Guantanamo, dan fasilatas penjara-penjara lain di Eropa, Afrika Selatan, Asia dan Timur Tengah. . Saya juga mendengarkan kesaksian yang melelahkan dari mereka yang dikurung bersama pemimpin mereka Nelson Mandela dan telah berdiri di sel yang sama yang menjadi rumah bagi pria hebat itu selama bertahun-tahun di Pulau Robben, lepas pantai Cape Town.
Beberapa cerita yang mengerikan datang dari kalangan Republikan Irlandia yang turut serta dalam aksi mogok makan yang terkenal di tahun1981. Dalam aksi itu sepuluh orang menahan lapar sampai mati untuk memaksa Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher untuk mengakui status mereka sebagai tahanan politik. Di antara kisah-kisah yang paling jahat adalah yang baru-baru ini diceritakan kepada saya oleh tahanan perempuan yang muncul dari tempat yang gelap, kandang, dan ruang bawah tanah yang dijalankan oleh rezim Suriah di bawah Presiden Bashar Al Assad selama perang saudara yang sedang berlangsung.
Namun, tempat khusus di neraka nanti pasti menunggu orang-orang yang bertanggung jawab atas rezim penjara di Mesir hari ini karena di penjara-penjara di sana tidak ada penghormatan sedikitpun terhadap jenis kelamin, agama , keadilan dan kemanusian. “Mereka yang bertanggung jawab” disini maksudnya hakim-hakim korup yang diombang-ambing oleh uang dan pengaruh; para penjaga yang memastikan adanya kekejaman rezim penjara; menteri-menteri dan politisi yang tahu pasti apa yang sedang terjadi; dan tentu saja, sang Jendral Al-Sisi sendiri yang sebenarnya bisa menghentikan kekejaman tersebut, tapi tidak melakukannya.
Untuk belajar sedikit tentang apa yang sedang terjadi di dalam sistem penjara Mesir, bacalah kata-kata almarhumah Zaynab Al-Ghazali; buku memoirnya yang berjudul Return of the Pharaoh, Kembalinya Fir’aun, membuat saya menangis. Penulis wanita ini tidak menahan apapun saat dia menceritakan apa yang rezim lakukan padanya. Hal ini terjadi pada tahun 1965 dan saya mendapat informasi yang dapat diandalkan bahwa hanya sedikit yang berubah dalam hal kekerasan, kelaparan, dan penyiksaan.
Banyak anggota Ikhwanul Muslim yang dipenjarakan – laki-laki, baberapa wanita, usia 60an, 70an malah 80an – dikurung di sel isolasi dan dipaksa tidur di lantai. Mereka dilarang menerima kunjungan keluarga, obat-obatan penting dan makanan pokok. Coba bayangkan kalau orang tua kalian atau kakek nenek kalian diperlakukan biadab seperti itu.
Hal ini bukan sesuatu yang baru. Pada bualn Juli 2007, saya berkunjung ke Mesir untuk bergabung dengan peneliti hak asasi manusia lainnya untuk memonitor perlakuan militer terhadap para aktivis IM. Pemerintah Kairo ingin saya mempercayai bahawa orang-orang ini adalah teroris yang sangat berbahaya dan saya menghabiskan waktu mewawancarai para pemimpin IM ini; dan saya menemukan organisasi intelektual yang disiplin, dijalankan dengan sangat baik, dengan Islam sebagai jantungnya.
Berbicara dengan Media Mesir, saya mendesak Presiden Mesir saat itu, Hosni Mubarak, untuk merangkul IM dan “mengekploitasi pengetahuan dan kekuatan mereka bagi kepentingan rakyat Mesir.” Malam itu, ketika saya kembali ke kamar hotel yang menghadap Sungai Nil , saya memukan pintu kamar hotel telah terbuka lebar, ranjangnya terbalik, dan seluruh isi kamar hotel saya berantakan setelah kunjungan polisi.
Tanpa terpengaruh kejadian di kamar hotel tersebut, keesokan harinya saya pergi ke pengadilan tempat sejumlah anggota IM sedang diadili atas tuduhan makar. Saya dilarang mengikuti sidang tersebut. Saya menyimpulkan bahwa setiap kali orang yang berkuasa tidak ingin jurnalis melakukan pekerjaannya, Anda tahu bahwa ada perbuatan gelap yang terjadi.
Pengadilan tersebut dipimpin oleh jaksa yang jelas-jelas sangat jauh dari konsep kebenaran dan keadilan; sidang yang jujur tidak pernah ada dalam agenda mereka. Atau para jaksa tersebut hanyalah orang-orang lemah dan suram.
Sejak Al-Sisi memimpin kudeta yang menggulingkan almarhum Morsi, negara ini telah jatuh ke dalam kediktatoran jenis lain. Kapankah para pemimpin seperti Al Sisi akan menyadari bahwa penindasan pemerintah tidak lebih dari tanda kelemahan dan kegagalan mereka sendiri? Mencoba sekuat tenaga untuk memberantas IM, Anda tidak bisa begitu saja membunuh ide atau membasmi gerakan semacam itu.
Sangat mengganggu bagi pemerintah di UEA, Perdana Menteri Inggris David Cameron mengatakan pada tahun 2015 bahwa dia tidak akan melarang Ikhwanul Muslimin meskipun ditekan oleh Abu Dhabi untuk membuat laporan yang akan “mengekspos” gerakan tersebut sebagai “sebuah organisasi teroris”. UEA dituduh berusaha menumbangkan demokrasi barat pada saat itu.
Agak memalukan bagi David Cameron, penulis laporan telah memberi kesaksian tentang ‘kesehatan’ IM namun laporan tersebut dibiarkan berdebu di rak selama hampir dua tahun hingga akhirnya dengan enggan diterbitkan setelah banyak perselisihan internal. Setahun kemnudian laporan kantor kementruan Luar Negeri Inggris menggambarkan kelompok-kelompok Islam seperti IM sebagai “benteng terbaik” untuk mendukung demokrasi.
Belum jelas apakah ada pertimbangan ekonomi atau diplomasi tentang hal itu, tetapi saya bahagia karena Pemerintah Inggris tidak menyerah di bawah tekanan. Meskipun, pemerintah Inggris masih saja berhubungan dengan pemerintah tiran yang bertanggung jawab terhadap penyalahgunanan hak asasi manusia yang begitu besar.
Yang lebih menyedihkan, mereka yang telah dibeli, termasuk para “ulama-ulama dolar” dari Timur ke Barat yang dengan senang hati menjelekkan IM dengan imbalan uang kotor. Para ulama ini bisa saja menyebut hal ini sebagai perlindungan (bagi masyarakat), persembahan ilmiah, tetapi saya tahu suap ketika saya melihatnya, jadi sebut saja apa adanya.
Dengan tanpa ragu, saya menaruh rasa kasihan kepada para ulama yang rapuh ini dan yang tetap diam membiarkan hal ini terjadi dan tidak mampu berkata benar tanpa rasa takut. Jubah Kepengecutan bukanlah baju yang mudah dikenakan. Tapi, simpati dan kekaguman yang luar biasa saya tujukan kepada ribuan tahanan politik di penjara-penjara Timur Tengah yang dengan berani berpegangan pada tali iman mereka. Semoga Yang Maha Kuasa memberkati. Amiin.
__________________________________________
Yvonne Ridley Seorang jurnalis dan penulis Inggris. Memberikan analisis politik tentang urusan yang berkaitan dengan Timur Tengah, Asia, dan Perang Global Melawan Teror. Karyanya muncul di banyak publikasi di seluruh dunia dari Timur ke Barat dari judul yang beragam seperti di The Washington Post hingga Tehran Times dan Tripoli Post
Tulisan ini merupakan terjemahan dari tulisan asli berjudul: Who’s afraid of the Muslim Brotherhood, and why? yang dimuat di: https://www.middleeastmonitor.com/20201221-whos-afraid-of-the-muslim-brotherhood-and-why/
2 comments
Menurut saya, adalah hal yg normal penguasa akan melemahkan atau menghancurkan potensi ancaman, dan ini dilakukan karena secara hitung-hitungan dianggap perlu, bukan karena takut.
Saya heran kok Anda pakai kata “takut”, masa iya penguasa merasa takut. Atau Anda memang ingin IM dianggap menakutkan??
Tulisan ini merupakan terjemahan dari tulisan asli berjudul: Who’s afraid of the Muslim Brotherhood, and why? yang dimuat di: https://www.middleeastmonitor.com/20201221-whos-afraid-of-the-muslim-brotherhood-and-why/