Sebagai manusia, ada banyak kebutuhan yang harus dipenuhinya dalam kehidupan ini, diantaranya adalah kebutuhan pangan, sandang dan papan. Untuk bisa memenuhi segala kebutuhan itu, manusia harus berusaha semaksimal mungkin dengan cara-cara yang sebaik mungkin. Karena itu, seorang muslim yang keluar dari rumahnya untuk mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya secara halal merupakan sesuatu yang sangat mulia dan karenanya hal itu menjadi wajib, Rasulullah saw bersabda:
طَلَبُ الْحَلاَلِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Mencari sesuatu yang halal hukumnya wajib bagi setiap muslim.” (HR. Thabrani)
Salah satu cara yang baik untuk dilakukan guna mencari nafkah adalah dengan berdagang (tijarah) atau bisnis. Allah swt berfirman:
“Orang-orang yang makan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS Al Baqarah, 2: 275).
Di dalam ayat lain, Allah swt berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perdagangan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS An Nisa, 4: 29).
Manakala perdagangan atau bisnis dilakukan dengan baik, maka hal ini menjadi mata pencaharian yang paling utama, Rasulullah saw bersabda:
أَفْضَلُ الْكَسْبِ بَيْعٌ مَبْرُوْرٌ وَعَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ
“Mata pencaharian yang paling utama adalah berjualan dengan penuh kebajikan dan dari hasil ketrampilan tangan.” (HR. Al Bazzar dan Ahmad).
Agar manusia bisa mencari nafkah dengan baik, maka akhlak dan segala ketentuan jual beli yang terdapat di dalam Islam harus diperhatikan dengan sebaik-baiknya.
AKHLAK PENJUAL DAN PEMBELI
Penjual dan pembeli harus saling menunjukkan akhlak yang baik sehingga transaksi jual beli berlangsung secara baik dan tidak ada yang dirugikan, apalagi merasa tertipu sehingga menimbulkan penyesalan.
Tidak Melalaikan Diri Dalam Beribadah.
Ibadah kepada Allah swt merupakan tugas utama manusia dalam kehidupan ini, hal ini karena dagang bukanlah tujuan dalam hidup, tapi merupakan sarana pengabdian kepada Allah Swt, karenanya perdagangan jangan sampai membuat manusia mengabaikan keharusan beribadah secara khusus hingga melupakan Allah Swt, hal ini dinyatakan dalam firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS Al Jumu’ah, 62: 9-10).
“Hai orang-orang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS Al Munafikun, 63: 9).
Tidak Menipu.
Penjual dan pembeli dalam melakukan transaksi seharus tidak mengandung unsur penipuan karena hal itu akan merugikan kedua belah pihak, termasuk penipuan adalah menyembunyikan cacatnya suatu barang atau mempromosikan secara berlebihan, hal ini merupakan salah satu bentuk kebathilan yang tidak dibenarkan, Allah swt berfirman:
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS Al Baqarah, 2: 188).
Dalam suatu hadits, Rasulullah saw bersabda:
اَلتَّاجِرُ الصَّدُوْقُ اْلأَمِيْنُ مَعَ النَّبِيِّيْنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشًّهَدَاءِ.
“Pedagang yang jujur dan dapat dipercaya bersama para Nabi, orang-orang yang benar dan para syuhada.” (HR. Tirmidzi).
Dalam hadits yang lain, Rasulullah saw bersabda:
اَلْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِمَالَمْ يَتَفَرَّقَا، فَإِنْ صَدَقَ الْبَيِّعَانِ وَبَيَّنَا، بُوْرِكَ لَهُمَافِى بَيْعِهِمَا، وَاِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا، فَعَسَىاَنْ يَرْبَحَارَبْحَا، وَيَمْحَقَا بَرَكَةَ بَيْعِحِمَا.
“Penjual dan pembeli mempunyai hak untuk menentukan pilihan selama belum saling berpisah, maka jika keduanya berlaku jujur dan menjelaskan yang sebenarnya, maka diberkati transaksi mereka, namun jika keduanya saling menyembunyikan kebenaran dan berdusta, mungkin keduanya mendapatkan keuntungan tapi melenyapkan keberkahan transaksinya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Penipuan merupakan sesuatu yang sangat dibenci oleh Allah Swt dan lebih dibenci lagi bila diiringi dengan sumpah, karenanya Rasulullah Saw bersabda:
أَرْبَعَةٌ يُبْغِضُهُمُ اللهُ: اَلْبَيَّاعُ الْحَلاَّفُ، وَالْفَقِيْرُالْمُخْتَالُ،وَالشَّيْخُ الزَّانِى، وَاْلإِمَامُ الْجَائِرُ.
Empat golongan yang dibenci Allah: penjual yang banyak bersumpah, orang miskin yang sombong, orang tua yang berzina, dan pemimpin yang durjana (HR. Nasa’I dan Ibnu Hibban).
Di dalam hadits yang lain Rasulullah saw bersabda:
أَلْحَلَفُ مَنْفَقَةٌ لِلسِّلْعَةِ مَمْحَقَةٌ لِلْبَرَكَةِ
“Sumpah itu melariskan barang dagangan, tetapi menghapuskan keberkahannya.” (HR. Bukhari)
Sebagai pedagang yang baik, bila ada catat para barang yang dijualnya, maka hal itu harus dijelaskan kepada pembelinya, Rasulullah Saw bersabda:
اَلْمُسْلِمُ أَخُوْ الْمُسْلِمِ، وَلاَيَحِلُّ لِمُسْلِمٍ إِذَا بَاعَ مِنْ أَخِيْهِ بَيْعًافِيْهِ غَيْبٌ إِلاَّبَيَّنَهُ.
“Seorang muslim adalah saudara muslim (lainnya), tidak halal bagi seorang muslim jika menjual kepada saudaranya suatu barang yang ada cacat padanya kecuali ia menjelaskannya.” (HR. Ahmad, Thabrani dan Al Hakim).
Saling Ridha Meridhai.
Penjual dan pembeli sama-sama harus ridha atau rela. Bila salah satu ada yang tidak ridha, berarti memakan harta secara bathil, hal ini sebagaimana terdapat dalam firman QS 4:29 di atas.
Saling Memudahkan.
Saling memudahkan antara penjual dengan pembeli merupakan hal yang sangat baik sehingga tidaik perlu terjadi tawar menawar yang berbelit-belit, ini akan membuat Allah swt senang menyenangi orang yang demikian, dalam satu hadits, Rasulullah saw bersabda:
رَحِمَ اللهُ رَجُلاً سَمْحًا اِذَا بَاعَ وَاِذَا اشْتَرَى وَاِذَا اقْتَضَى.
“Allah mengasihi orang yang memberikan kemudahan bila ia menjual dan membeli serta dalam menagih haknya.” (HR. Bukhari dan At Tirmidzi dari Jabir ra).
Tidak Mensyaratkan.
Tidak dibenarkan seorang muslim melakukan perdagangan secara bersyarat, misalnya kalau suatu barang dibeli, harus juga dibeli yang lain, kecuali bila memang harus demikian seperti membeli sepatu yang harus kanan dan kiri, namun membeli sepatu tidak boleh disyaratkan harus membeli juga kaos kaki. Hal ini dilarang karena termasuk jual beli yang tidak saling ridha, khususnya si pembeli yang terpaksa karena ia membutuhkan sepatu.
Menulis Transaksi Yang Tidak Tunai.
Bila perdagangan dilakukan tidak secara tunai hendaknya kedua belah pihak menuliskannya pada faktur atau kwitansi agar tidak terjadi kesalahpahaman dan dipersaksikan oleh pihak ketiga yang menguatkan keabsahannya, Allah swt berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskan dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mendiktekan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari hutang.” (QS Al Baqarah, 2: 282).
Tidak Bertransaksi Di Masjid.
Masjid merupakan tempat yang amat mulia, tempat yang dijadikan dan harus dijadikan oleh kaum muslimin sebagai pusat peribadatan, karenanya kaum muslimin tidak dibolehkan melakukan transaksi jual beli di dalam masjid, Rasulullah saw bersabda:
اِذَا رَاَيْتُمْ مَنْ يَبِيْعُ اَوْيَبْتَاعُ فِى الْمَسْجِدِ فَقُوْلُوْالاَاَرْبَعَ اللهُ تِجَارَتَكَ.
“Jika kamu melihat orang yang berjual beli di masjid, maka katakanlah: Semoga Allah tidak memberikan untung dari perdaganganmu.” (HR. Nasa’i)
AKHLAK PENJUAL
Secara khusus, seorang pedagang atau penjual harus menunjukkan akhlaknya yang baik kepada pembeli. Ada hal-hal yang harus dilaksanakan oleh seorang penjual dalam jual beli.
Memenuhi Takaran dan Timbangan.
Memenuhi takaran dan timbangan secara adil merupakan hal yang amat penting, bila hal ini tidak dilakukan akan terjadi kerugian bagi kedua belah pihak. Pembeli jelas dirugikan sedangkan si penujual tidak akan mendapatkan keberkahan dari keuntungan yang diperolehnya, Allah swt berfirman:
“Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil, kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar kesanggupannya.” (QS Al An’am, 6: 152).
Bahkan di dalam ayat lain Allah Swt mengingatkan bahwa hal itu merupakan sesuatu yang lebih utama dan lebih baik, Allah swt berfirman:
“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yan lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS Al Isra, 17: 35).
Tidak Menjual Sarana Kemaksiatan.
Kemaksiatan merupakan sesuatu yang harus dicegah, karenanya seorang muslim tidak dibolehkan memperdagangkan barang-barang yang berkaitan dengan sarana kemaksiatan seperti minuman keras, patung yang disembah dan sebagainya, Rasulullah saw bersabda:
إِنَّ اللهَ وَرَسُوْلَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِوَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيْرِوَاْلأَصْنَامِ.
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli minuman keras, bangkai, babi dan bangkai.” (HR. Ahmad dan Abu Daud).
Disamping itu, ketika terjadi kemaksiatan dalam bentuk permusuhan diantara dua kelompok, maka sarana untuk memperkeruh permusuhan itupun tidak boleh dijual seperti senjata, dalam satu hadits dijelaskan:
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ السِّلاَحِ فِى الْفِتْنَةِ
“Rasulullah saw melarang menjual senjata ditengah berlangsungnya fitnah.” (HR. Baihaki).
Tidak Menjual Barang Haram
Memperdagangkan barang-barang yang diharamkan untuk dikonsumsi oleh manusia merupakan hal yang tidak dibolehkan di dalam Islanm, misalnya menjual bangkai, darah, babi, binatang yang disembelih bukan atas nama Allah, minuman keras, dll. Rasulullah saw bersabda sebagaimana hadits di atas.
Tidak Menimbun Barang.
Menimbun barang adalah menyembunyikan barang dalam jumlah yang banyak padahal hal itu dibutuhkan banyak orang sehingga terjadi kelangkaan barang yang membuat harganya menjadi bertambah mahal. Seorang pedagang amat tidak dibolehkan menimbun barang untuk menjualnya saat dibutuhkan orang banyak dengan harga yang jauh lebih mahal, karenanya perbuatan ini merupakan sesuatu yang terlaknat, Rasulullah saw bersabda:
اَلْجَالِبُ مَرْزُوْقٌ وَالْمُحْتَكِرُ مَلْعُوْنٌ.
“Saudagar (penjual dengan harga ringan) itu diberi rizki, sedang yang menimbun dilaknat.” (HR. Ibnu Majah dan Hakim).
Oleh karena itu, Rasulullah saw memperingatkan para penimbun dengan haditsnya:
مَنِ احْتَكَرَ عَلَى الْمُسْلِمِيْنَ طَعَامَهُمْ ضَرَبَهُ اللهُ بِاْلإِفْلاَسِ وَ الْجُذَامِ
“Barangsiapa menimbun bahan pangan kebutuhan kaum muslimin, maka Allah akan menimpanya dengan kebangkrutan dan penyakit lepra.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
Tidak Menjual Buah Yang Belum Bisa Dimakan.
Memperdagangkan buah-buahan yang belum dapat dimakan merupakan sesuatu yang tidak dibolehkan, karena hal ini akan menimbulkan penyesalan, dalam satu hadits yang berasal dari Ibnu Abbas ra dinyatakan:
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنْ يُبَاعَ تَمْرٌحَتَّى يُطْعِمَ.
“Rasulullah saw telah mencegah perjual belian kurma sebelum dapat dimakan.” (HR. Ad Daruqutni) .
Tidak Menjual Air, Rumput dan Api.
Sesuatu yang menjadi hajat banyak orang, apalagi bersifat alami merupakan sesuatu yang tidak boleh diperdagangkan seperti air, rumput (untuk gembala) dan api, bila sekarang banyak orang yang menjualnya, pada hakikatnya adalah menjual jasa pembersihan, pengemasan, pengangkutan, dll. Rasul saw bersabda:
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ فِى ثَلاَثٍ: فِى الْمَاءِ وَالْكَلاَءِ وَالنَّارِ.
“Orang-orang Islam berserikat dalam tiga hal: air, tempat penggembalaan dan api.” (HR. Abu Daud).
Dalam hadits yang lain disebutkan:
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْمَاءِ
“Rasulullah saw melarang orang menjual air.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tidak Menjual Yang Spekulatif.
Seorang muslim tidak boleh memperdagangkan barang yang belum nyata seperti buah-buahan yang belum bisa ditaksir atau ikan yang masih di dalam air, hal ini merupakan sesuatu yang bersifat spekulatif. Rasulullah saw bersabda:
لاَتَشْتَرُواالسَّمَكَ فِى الْمَاءِ فَاِنَّهُ غَرَرٌ.
“Janganlah kalian membeli ikan yang berada di dalam air, sesungguhnya yang demikian itu penipuan.” (HR. Ahmad dari Ibnu Mas’ud ra)
Tidak Menjual Barang Yang Sudah Dijual.
Tidak boleh menjual barang yang telah dijual meskipun barang itu belum diambil oleh si pembeli, hal ini karena si penjual sudah tidak punya hak lagin untuk menjualnya kepada orang lain, karena barang itu sudah bukan miliknya, Rasulullah saw bersabda:
لاَيَبِعِ اَحَدُكُمْ عَلَى بَيْعِ اَخِيْهِ.
“Janganlah salah seorang kamu menjual barang yang telah dijual saudaranya.” (HR. Ahmad dan Nasa’i)
AKHLAK PEMBELI
Dalam perdagangan, yang dituntut untuk berlaku baik bukan hanya penjual, pembeli juga harus bisa menunjukkan akhlaknya yang baik, karenanya sebagai pembeli seorang muslim harus tahu secara khusus akhlak yang harus dimilikinya.
Tidak Menawar Barang Yang Sedang Ditawar
Seorang muslim tidak boleh menawar barang yang sedang ditawar oleh orang lain, karena hal itu bisa menyakitkan perasaan orang yang sedang menawar, Rasulullah saw bersabda:
لاَيَبِعِ اَحَدُكُمْ عَلَى بَيْعِ اَخِيْهِ.
“Janganlah salah seorang kamu menjual barang yang sedang dijual saudaranya.” (HR. Ahmad dan Nasa’i)
Tidak Membeli Barang Curian
Seorang muslim juga tidak dibolehkan membeli barang hasil curian, karena sang pembeli akan ikut menanggung dosa pencurian itu dan hal inipun akan membuat si pencuri akan terus melakukan pencurian, kecuali bila kita tidak tahu, Rasulullah saw bersabda:
مَنِ اشْتَرَى سِرْقَةً وَهُوَ يَعْلَمُ اَنَّهَا سِرْقَةٌ فَقَدِ اشْتَرَكَ فِى اِثْمِهَا وَعَارِهَا.
“Siapa yang membeli barang curian sedang dia tahu bahwa barang itu barang curian, maka ia turut serta mendapatkan dosa dan kejelekannya.” (HR. Baihaki)
Mudah Dalam Melakukan Pembayaran.
Ketika jual beli sudah disepakati, maka seorang pembeli harus membayar kepada si penjual dan bila ia berhutang, maka ia mudah membayarnya, Bagi seorang muslim, utang merupakan sesuatu yang harus segera dibayar, ia tidak boleh menyepelekan utang meskipun nilai atau jumlahnya kecil. Bila seorang muslim memiliki perhatian yang besar dalam urusan membayar utang, maka ia bisa menjadi manusia yang terbaik. Rasulullah saw bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ خَيْرُهُمْ قَضَاءً
“Sebaik-baik orang adalah yang paling baik dalam membayar utang.” (HR. Ibnu Majah).
Karena itu, sebagai manusia apalagi sebagai muslim yang memiliki harga diri, sedapat mungkin utang itu tidak dilakukan, apalagi kalau tidak mampu membayarnya, kecuali memang sangat darurat, karena itu seorang muslim harus hati-hati dalam masalah utang, Rasulullah saw bersabda:
ِايَّاكُمْ وَالدَّيْنِ فَاِنَّهُ هَمٌّ بِاللَّيْلِ وَمَذَلَّةٌ بِالنَّهَاِر
“Berhati-hatilah dalam berutang, sesungguhnya berutang itu suatu kesedihan pada malam hari dan kerendahan diri (kehinaan) pada siang hari.” (HR. Baihaki)
Namun apabila manusia yang berutang tidak mau memperhatikan atau tidak mau membayarnya, maka hal itu akan membawa keburukan bagi dirinya, apalagi dalam kehidupan di akhirat nanti, hal ini karena utang yang tidak dibayar akan menggerogoti nilai kebaikan seseorang yang dikakukannya di dunia, kecuali bila ia memang tidak mempunyai kemampuan untuk membayarnya, Rasulullah saw bersabda:
اَلدَّيْنُ دَيْنَانِ فَمَنْ مَاتَ وَهُوَيَنْوِىْ قَضَاءَهُ فَأَنَا وَلِيُّهُ وَمَنْ مَاتَ وَلاَيَنْوِىْ قَضَاءَهُ فَذَالِكَ الَّذِىْ يُؤْخَذُمِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ يَوْمَئِذٍ دِيْنَارٌ وَلاَدِرْهَمٌ.
“Utang itu ada dua macam, barangsiapa yang mati meninggalkan utang, sedangkan ia berniat akan membayarnya, maka saya yang akan mengurusnya, dan barangsiapa yang mati, sedangkan ia tidak berniat akan membayarnya, maka pembayarannya akan diambil dari kebaikannya, karena di waktu itu tidak ada emas dan perak.” (HR. Thabrani).
Demikianlah ketentuan-ketentuan pokok ajaran Islam yang berkaitan dengan etika bisnis atau perdagangan yang harus dijalani oleh kaum muslimin. Dari keterangan di atas, terasa sekali betapa banyak diantara kaum muslimin yang melakukan jual beli belum sebagaimana mestinya.