Berawal dari Hijrah
Saat ruang gerak dakwah di Makkah terasa semakin sempit, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berupaya mencari potensi kekuatan yang dapat melindungi jama’ah (talammusul quwwatil qudrati ‘alal jama’ah). Beliau pun mencari basis territorial/wilayah yang dapat melindungi jama’ah (talammusul qa’idatul ardhiyyatil hamiyah).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengarahkan dakwahnya ke Thaif. Beliau datang ke sana untuk mencari pembelaan dan menyebarkan Islam. Tetapi beliau ditolak mentah-mentah dan malah dianiaya, dan dapat kembali lagi ke Makkah setelah mendapatkan jaminan keamanan dari Muth’am bin Adiy. Sebelumnya beliau telah meminta jaminan keamanan kepada Akhnas bin Syuraiq dan Suhail bin Amr, namun mereka berdua menolak secara halus.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mencari pembelaan dan perlindungan dari kabilah-kabilah Arab agar dapat menyampaikan dakwah dan melindunginya. Beliau mendatangi Bani Amir, Ghassan, Bani Fazarah, Bani Murrah, Bani Hanifah, Bani Sulaim, Bani Abbas, Bani Nasher, Tsa’labah bin Ukabah, Kindah, Kalb, Bani Al-Harits bin Ka’ab, Bani Udzarah, Qais bin Al-Khathim, dan Abul Haisar Anas bin Abu Rafi’.
Kepada mereka Rasulullah mengatakan, “Adakah seseorang yang sudi membawaku kepada kaumnya kemudian melindungiku sehingga aku dapat menyampaikan risalah Rabbku. Sesungguhnya Quraisy telah melarangku untuk menyampaikan risalah Rabbku.” [1]
Pada kali yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berkata kepada mereka: “Aku tidak membenci kalian sedikitpun. Barangsiapa yang ridha dengan apa yang aku dakwahkan, maka itulah dakwahku. Dan barangsiapa yang tidak menyukainya, aku tidak akan memaksanya. Aku hanya ingin kalian mau melindungiku dari orang yang ingin membunuhku, sehingga aku dapat menyampaikan risalah Rabbku, sehingga Allah putuskan padaku dan para pengikutku seperti yang dikehendakiNya.” [2]
Dalam setiap dialognya dengan kabilah-kabilah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menanyakan tentang silsilah, tanah tinggal, jumlah kekuatan, sejarah, budaya, dan nilai-nilai akhlak mereka.
Ini merupakan salah satu upaya beliau untuk mengetahui dan mengenal dengan benar situasi dan kondisi sosial masing-masing kabilah secara lebih dekat. Pada sisi lain, dengan pengenalan itu beliau berharap dapat menangkap celah dan sisi kehidupan mereka yang dapat dimanfaatkan untuk menopang dakwahnya.[3]
Basis Massa dan Basis Teritorial
Akhirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berhasil mendapatkan dukungan orang-orang Aus dan Khazraj dari Yatsrib. Mereka inilah kaum Anshar (penolong dan pembela), dimana negeri mereka, Yatsrib, kelak berubah nama menjadi Madinah Al-Munawarah, negeri pusat perkembangan Islam ke seluruh penjuru bumi.
Tiga Pilar Utama Tegaknya Masyarakat Madinah
Disebutkan oleh Muhammad Al-Ghazaly rahimahullah dalam Fiqhus Sirah, ada tiga hal yang dibangun oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka penegakan negara Madinah:
- Membangun masjid.
- Mempersaudarakan Muhajirin dan Anshar.
- Penandatanganan Piagam Madinah (sulhul Madinah).
Membangun Masjid
Tujuan utama pembangunan masjid adalah memperkokoh hubungan umat Islam dengan Allah SWT. Maka, pilar utama bagi tegaknya masyarakat islami adalah pemeliharaan iman dan takwa. Bahkan, Syaikh Yusuf Al-Qaradawi hafidzhullah, menyatakan bahwa fungsi masjid pada masa itu adalah: sebagai pusat bimbingan dan perbaikan umat; tempat berkumpul untuk ibadah dan belajar pengetahuan; tempat pendidikan; ajang untuk saling mengenal, dan; ‘Parlemen’ untuk bermusyawarah.[4]
Oleh karena itu dalam upaya menegakkan Iman dan takwa, seorang umara hendaknyanya melakukan hal-hal berikut ini:
- Mendukung revitalisasi aktivitas dakwah dan pendidikan
- Menggalakan bimbingan kepada masyarakat sehingga mengenal Allah dan Rasul-Nya.
- Membina kultur Islam di tengah-tengah masyarakat dengan cara mempraktekkan syariat Islam.
- Membangun sarana dan prasarana pendidikan baik berupa pesantren, madrasah, sekolah, kampus, perguruan tinggi atau pun lembaga pendidikan lainnya.
- Membiasakan masyarakat berpegang pada etika dan kesopanan. Sehingga menjauh dari perbuatan prostitusi, perjudian, miras obat-obat terlarang, pornografi, klub-klub malam, media hiburan yang batil, dan lain sebagainya.
Dengan begitu akan tercapailah harapan mewujudkan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi…” (QS. Al-A’raf, 7: 96)
Mempersaudarakan Anshor dan Muhajirin
Persaudaraan, soliditas, persatuan dan kesatuan adalah asas tegaknya sebuah masyarakat atau bangsa. Kaum muslimin melandasinya atas dasar keimanan. Sehingga ia menjadi kekuatan yang dahsyat.
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara…” (QS. Al-Hujurat, 49: 10)
Dalam hadits disebutkan,
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
“Orang mukmin terhadap orang mukmin yang lain bagaikan bangunan yang sebagiannya menyangga sebagian yang lain.” (HR Bukhari dan Muslim)
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ
“Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lain, ia tidak meremehkannya, tidak menghinakannya, dan tidak menyerahkannya (kepada musuh).” (HR Muslim)
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan kaum Muslimin dalam cinta, kekompakan, dan kasih sayang bagaikan satu tubuh, jika salah satu anggota tubuhnya mengeluh sakit, maka seluruh anggota tubuh juga ikut menjaga dan berjaga.” (HR Bukhari)
Dengan menanamkan rasa persaudaraan akan tergeruslah ashabiyah, sikap membela golongan atas dasar fanatisme yang sempit. Perhatikan hadits berikut.
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا زِيَادُ بْنُ الرَّبِيعِ الْيُحْمِدِيُّ عَنْ عَبَّادِ بْنِ كَثِيرٍ الشَّامِيِّ عَنْ امْرَأَةٍ مِنْهُمْ يُقَالُ لَهَا فُسَيْلَةُ قَالَتْ سَمِعْتُ أَبِي يَقُولُ سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَمِنَ الْعَصَبِيَّةِ أَنْ يُحِبَّ الرَّجُلُ قَوْمَهُ قَالَ لَا وَلَكِنْ مِنْ الْعَصَبِيَّةِ أَنْ يُعِينَ الرَّجُلُ قَوْمَهُ عَلَى الظُّلْمِ
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Ziyad bin Ar Rabi’ Al Yuhmidi dari ‘Abbad bin Katsir As Syami dari seorang wanita yang disebut dengan Fusailah ia berkata, “Aku mendengar Ayahku berkata, “Aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Wahai Rasulullah, apakah termasuk dari ashabiyah (fanatik golongan) apabila ada seseorang yang mencintai kaumnya? ‘ Beliau menjawab: “Bukan, akan tetapi yang termasuk ashabiyah adalah seseorang menolong kaumnya atas dasar kezhaliman.“ (HR. Ibnu Majah)
Sulhul Madinah (Piagam Madinah)
Syaikh Muhammad Al-Ghazaly berkata: “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau menyaksikan orang-orang Yahudi telah lama bermukim di kota itu dan hidup bersama-sama kaum musyrikin. Beliau sama sekali tidak berfikir hendak mengatur siasat untuk menyingkirkan, atau memusuhi mereka. Bahkan dengan niat baik, beliau dapat menerima kenyataan adanya orang-orang Yahudi itu dan adanya paganisme di kota itu. Beberapa waktu kemudian beliau menawarkan perjanjian perdamaian (piagam Madinah, red.) kepada dua golongan itu atas dasar kebebasan masing-masing pihak memeluk agamanya sendiri.” [5]
Piagam Madinah dikenal sebagai konstitusi pertama yang tertulis secara resmi dalam perjalanan sejarah manusia. Konstitusi ini mendahului konstitusi mana pun yang pernah ada di dunia, seperti: Piagam besar Magna Carta yang disepakati di Runnymede Surrey tahun 1215.
Piagam Madinah yang dideklarasikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu memuat 47 tujuh pasal, yang di dalamnya tertuang ketentuan yang mengatur sistem perpolitikan, keamanan, kebebasan beragama, kesetaraan di muka hukum, perdamaian, dan pertahanan.
Dalam bidang politik-pertahanan, misalnya, disebutkan bahwa:
- Seluruh kaum Muslimin dan Yahudi yang tergabung dalam perjanjian, dikategorikan sebagai satu umat dan wajib berjuang bersama-sama dalam menciptakan keamanan nasional dan bela negara bila sewaktu-waktu ada serangan musuh dari luar.
- Semua kaum Muslimin dengan berbagai latar belakang suku, seperti suku Quraisy, bani Auf, Saidah, al-Hars, Jusyam, an-Najjar, Amr bin Auf, dihimbau untuk tetap kompak bekerja sama, seperti halnya dalam membayar diat dan membebaskan tawanan.
- Sesama muslim dan juga Yahudi yang tergabung dalam perjanjian tidak diperbolehkan membuat persekutuan baru tanpa seizin pemerintahan Rasulullah.
- Sesama kaum Muslimin dan Yahudi berada dalam satu barisan menentang orang-orang zalim dan berbuat kerusakan.
- Madinah adalah kota suci sehingga diharamkan berperang dan pertumpahan darah, kecuali kepada mereka yang melakukan pelanggaran, mengancam stabilitas negara, dan mengoyak kerukunan beragama.
Dalam hal kebebasan beragama, perlindungan, dan kesetaraan di mata hukum, misalnya, disebutkan bahwa:
- Siapa pun yang berbuat zalim dan jahat, baik dari kalangan Muslimin maupun Yahudi, tidak boleh dilindungi oleh siapa pun, bahkan harus ditentang bersama-sama.
- Kaum Muslimin dilarang main hakim sendiri dan bersekongkol dengan pihak lawan.
- Selama tidak melakukan pelanggaran, kelompok Yahudi dan sekutu-sekutunya berhak atas perlindungan, pertolongan, dan jaminan negara.
- Baik kaum Muslimin maupun kaum Yahudi bersama sekutunya diberi kebebasan untuk menjalankan agama masing-masing.
- Jika pendukung piagam diajak berdamai, dan semua pihak yang terlibat perjanjian memenuhi perdamaiannya, maka kaum Muslimin wajib memenuhi ajakan damai tersebut. [6]
Di piagam ini tidak disebutkan istilah ‘Negara Islam’, tapi dengan tegas disebutkan di Pasal 42: Setiap kali terjadi suatu peristiwa di antara peserta piagam ini, atau terjadi pertengkaran, harus segera dilaporkan dan diserahkan penyelesaiannya menurut hukum Allah dan kebijaksanaan utusannya Muhammad ﷺ.
Muhammad Al-Ghazaly menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan aturan-aturan yang sangat toleran, melampaui kebiasaan yang berlaku di zaman yang penuh dengan fanatisme kesukuan dan kecongkakan ras. Ketika itu dunia mengira bahwa Islam adalah agama yang tidak dapat menerima prinsip hidup berdampingan dengan agama lain dan mengira bahwa kaum muslimin tidak merasa puas sebelum menjadi umat satu-satunya yang ada di dunia dan menindas setiap manusia yang dianggap keliru, lebih-lebih orang yang berani mencoba hendak melawan!
Tidak Ada Paksaan!
Di negara Madinah ini—dimana umat Islam sebagai mayoritas dan syariat Islam ditegakkan—tidak dibenarkan sama sekali melakukan pemaksaan terhadap umat lain untuk masuk Islam. Di periode inilah turun firman Allah SWT berikut ini.
لَآ إِكْرَاهَ فِى ٱلدِّينِ ۖ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشْدُ مِنَ ٱلْغَىِّ ۚ فَمَن يَكْفُرْ بِٱلطَّٰغُوتِ وَيُؤْمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسْتَمْسَكَ بِٱلْعُرْوَةِ ٱلْوُثْقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَا ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah, 2: 256)
Ibnu Abbas berkata: “Ayat ini turun untuk seorang dari kaum Anshar yang memaksa kedua anaknya yang Nasrani untuk masuk Islam, lalu keduanya menolak dan ingin tetap beragama Nasrani. Kemudian turunlah ayat ini”[7]
Dalam Al-Mitsaaq al-Islamiy yang disusun oleh Al-Ittihad al-Alamiy li Ulama al-Muslimin (Persatuan Ulama Islam Sedunia) dimuat tentang dasar pijakan hubungan muslim dengan non muslim adalah dua ayat berikut,
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim.” (QS. Al-Mumtahanah, 60: 8-9)
Pilar Pelengkap Masyarakat Islam
- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mendirikan pasar di Madinah sebagai basis pembangunan perekonomian.
- Rasulullah membentuk dan mengirim sariyyah (satuan militer) yang bertugas patroli mengawasi lalu lintas kafilah yang bergerak dari Makkah ke Syam dan sebaliknya. Hal ini menurut Muhammad Al-Ghazaly rahimahullah adalah untuk memperlihatkan kekuatan kaum muslimin dan memberi peringatan kepada musyrikin Quraisy.
Pasar Madinah
Pada saat itu, pasar Nabi ini disebut Baqi al-Khail (Pasar Baqi), dan di sampingnya kuburan Baqi al-Gharqad. Lokasinya yang berada di pinggir Kota Madinah memudahkan pada pedagang untuk menyuplai barang tanpa harus melewati jalan-jalan Kota Madinah dan mengganggu aktivitas warga. Pasar di area terbuka ini memiliki panjang sekitar 500 meter dan lebar sekirat 100 meter.
Barang yang disuplai ke pasar tersebut tidak hanya makanan, tetapi juga bahan dapur, kain, minyak wangi, peralatan perang, dan lainnya. Dalam Al-Taratib al-Idariyah sebagaimana diceritakan Nizar Abazhah dalam Sejarah Madinah (2017), berbagai macam komoditas dipasok ke Pasar Baqi tersebut, di antaranya: tepung, minyak samin, madu, beragam buah-buahan dari Thaif, beragam biji-bijian dari Suriah, aneka warna pakaian dan kain sutra, aneka minyak wangi, za’faran, misik, anbar, dan zanbaq atau lily, obat-obatan, dan gula. Selain itu, ada bawang merah, bawang putih, mentimun, kacang-kacangan, labu dan aneka jenis sayur, kurma—baik dari Madinah atau pun dari luar, tombak, lembing, baju besi, dan berbagai peralatan perang lainnya.
Nabi menerapkan kebijakan-kebijakan di Pasar Baqi dalam membangun ekonomi umat, diantaranya:
- Tidak mengizinkan seseorang membuat tempat khusus di pasar.
- Membebaskan pedagang dari pajak dan upeti.
Kesimpulan
Pilar-pilar tegaknya masyarakat Madinah:
- Penegakan iman dan takwa.
- Soliditas (persatuan/persaudaraan) masyarakat.
- Menegakkan konsensus bersama dalam masyarakat yang majemuk.
- Mewujudkan perekonomian yang adil.
- Membangun dan mewujudkan pertahanan dan keamanan.
Catatan Kaki:
[1] (Manhaj Haraki, Syaikh Muhammad Munir Ghadban, hal. 176
[2] Al-Bidayah, Juz III, Hal. 140
[3] Manhaj Dakwah Rasulullah, Muhammad Amahzun, hal. 137
[4] Lihat: Al-Hillul Islamiy, Syaikh Yusuf Al-Qaradawi
[5] Fiqhus Sirah, Muhammad Al-Ghazaly, hal. 313 – 314
[6] Mohamad Nur Kholis Setiawan, Meniti Kalam Kerukunan: Beberapa Istilah Kunci dalam Islam dan Kristen, Volume 1, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010, hal. 204
[7] Tafsir Al-Wajiz, Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili