Oleh: Farid Nu’man Hasan
Perselisihan para ulama tentang hukum nyanyian (dan musik) sudah terjadi sejak sangat lama. Dalam Kitab Ar Rasail karya Imam Ibnu Hazm, pada bagian Muqaddimah Bab tentang nyanyian disebutkan demikian,
كثر القول في الغناء، وقد لخص ابن الجوزي المواقف المختلفة منه بقوله: ” تكلم الناس في الغناء فأطالوا، فمنهم من حرمه، ومنهم من أباحه من غير كراهة، ومنهم من كرهه مع الإباحة “
Telah banyak pendapat tentang nyanyian, Ibnul Jauzi telah menyimpulkan perbedaan sikap terhadap nyanyian itu, demikian: “Manusia telah membicarakan nyanyian sejak lama, di antara mereka ada yang mengharamkannya, dan di antara mereka ada yang membolehkannya tanpa membencinya sama sekali, dan di antara mereka ada yang memakruhkannya.” (Imam Ibnu Hazm, Muqaddimah Bab Risalah fil Ghina, Juz. 1, Hal. 419. Al Muasasah Al ‘Arabiyah)
Dalam kitab tersebut Imam Ibnu Hazm membantah argumen kelompok yang mengharamkan nyanyian, di antaranya,
- Hadits dari ‘Aisyah: “Sesungguhnya Allah mengharamkan wanita (budak) penyanyi, menjualnya, memberinya harga, dan mengajarinya.” Imam Ibnu Hazm menolak hadits ini sebab dalam rawinya terdapat Said bin Abi Razin yang meriwayatkan dari saudaranya, dia itu tidak dikenal biografinya, apa yang dikatakan Ibnu Hazm ini didukung oleh Imam Adz Dzahabii (Mizanul I’tidal, 2/136), Imam Ibnu Hajar (Lisanul Mizan, 3/29)
- Hadits dari Ali: “Jika umatku melakukan lima belas perkara, maka mereka telah menghalalkan azab Allah Ta’ala …. Di antaranya adalah Al Ma’azif (alat-alat musik).” Ali bin Abi Thalib memarfu’kan hadits ini kepada Rasulullah. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ahmad bin Khalid, dia berkata, berkata kepada kami Abu Taubah, berkata kepada kami Faraja bin Fadhalah, dari Yahya bin Said al Anshary, dari Muhammad bin Ali, dari Ali bin Abi Thalib: … ( disebut hadits di atas). Imam Abdurrahman bin Mahdi berkata tentang Faraja bin Fadhalah: “Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Faraja bin Fadhalah, dari Yahya bin Said al Anshary, adalah munkar dan terbalik (maqlubah)”. Imam Yahya bin Ma’in ditanya tentang Faraja bin Fadhalah, dia menjawab: “Dia dhaif.” (Al Majruhin, Juz. 2, Hal. 206. Al Maktabah Asy Syamilah). Dalam Taqribut tahdzib, Juz. 2, hal. 8, juga dinyatakan dhaif. Imam Al Hakim berkata tentang Faraja bin Fadhalah: “Beliau dengan segala kebesarannya, jika dia haditsnya menyendiri, maka tidak diterima karena hafalannya yang buruk.” (Tahdzibut Tahdzib, Juz. 1, Hal. 283). Imam Ibnu al Madini berkata: “Dia itu pertengahan dan tidak kuat.” Bukhari dan Muslim berkata: “Munkarul hadits.” An Nasa’i berkata: “Dhaif.” (Tahdzibut Tahdzib, Juz.8, Hal. 235). Imam Abu Hatim berkata: “Munkarul hadits, hadits yang diriwayatkannya tidaklah tegak.” (Tahdzibul kamal, Juz. 16, Hal. 468). Nah, jelaslah kedhaifan hadits tersebut.
- Hadits: “Rasulullah melarang sembilan hal (diantaranya adalah nyanyian).” Imam Ibnu Hazm menolak hadits ini karena diriwayatkan oleh seorang bernama “Kaisan”, seseorang yang dia tidak mengetahui kepribadiannya, dan dalam sanadnya ada Muhammad bin Muhajir dan dia dhaif. Hanya saja Ibnu Hazm tidak membahas lebih lanjut, Muhammad bin Muhajir yang mana yang dimaksudkannya, padahal perawi yang bernama Muhammad bin Muhajir ada enam orang.
- Hadits dari Ibnu Mas’ud: “Nyanyian dapat menumbuhkan nifaq di hati.” Menurut Ibnu hazm hadits ini munqathi’ (terputus). Diriwayatkan oleh Salam dari seorang Syaikh, dari Ibnu Mas’ud (lalu disebut ucapan di atas). Syaikh ini majhul (tidak dikenal).
- Hadits Abu Umamah, tentang pengharaman mengajarkan wanita (budak) penyanyi, membelinya atau menjualnya. Hadits ini diriwayatkan oleh Ismail bin ‘Ayyasy, dan dia seorang yang dha’if. (Lihat semua dalam Ar Rasail Libni Hazm, Bab Risalah Fil Ghina, Juz. 1, Hal. 421-423. Al Muasasah Al ‘Arabiyah Lid Dirasat wan Nasyr)
Kali ini, ada pandangan seorang alim yang tidak bisa diewatkan begitu saja, yakni Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah. Beliau juga ikut ambil bagian dalam perselisihan ini dengan pendapat tawasuth (pertengahan), antara yang ekstrim mengharamkan semua bentuk nyanyian tanpa kecuali, dan kelompok yang ekstrim dalam membolehkan tanpa melihat rambu-rambunya. Fatwa beliau ini saya ambil dari kitab Fiqhus Sunnah, pada pembahasan Bay’ Alat Al Ghina , sebuah pembahasan yang fokus sebenarnya terkait dengan hukum menjual alat-alat musik yang mau tidak mau beliau juga membahas apa hukum nyanyian dan musik itu sendiri. Oleh karena itu, agar tidak melebar, kutipan ini saya hanya batasi pada pembahasan beliau tentang nyanyian dan musiknya saja.
Inilah fatwa beliau Rahimahullah:
فإن الغناء في مواضعه جائز والذي يقصد به فائذة مباحة حلال، وسماعه مباح، وبهذا يكون منفعة شرعية يجوز بيع آلته وشراؤها لانها متقومه.
ومثال الغناء الحلال:
1 – تغني النساء لاطفالهن وتسليتهن.
2 – تغني أصحاب الاعمال وأرباب المهن أثناء العمل للتخفيف عن متاعبهم والتعاون بينهم.
3 – والتغني في الفرح إشهارا له.
4 – والتغني في الاعياد إظهارا للسرور.
5 – والتغني للتنشيط للجهاد.
وهكذا في كل عمل طاعة حتى تنشط النفس وتنهض بحملها.
والغناء ما هو إلا كلام حسنه حسن وقبيحه قبيح، فإذا عرض له ما يخرجه عن دائرة الحلال كأن يهيج الشهوة أو يدعو إلى فسق أو ينبه إلى الشر أو اتخذ ملهاة عن الطاعات، كان غير حلال.
فهو حلال في ذاته وإنما عرض ما يخرجه عن دائرة الحلال.
وعلى هذا تحمل أحاديث النهي عنه.
والدليل على حله:
1 – ما رواه البخاري ومسلم وغيرهما عن عائشة، رضي الله عنها، أن أبا بكر دخل عليها وعندها جاريتان تغنيان وتضربان بالدف، ورسول الله صلى الله عليه وسلم مسجى بثوبه فانتهرهما أبو بكر، فكشف رسول الله صلى الله عليه وسلم وجهه وقال: (دعهما يا أبا بكر فإنها أيام عيد).
2 – ما رواه الامام أحمد والترمذي بإسناد صحيح أن رسول الله صلى الله عليه وسلم خرج في بعض مغازيه فلما انصرف جاءته جارية سوداء فقالت: يا رسول الله إني كنت نذرت إن ردك الله سالما أن أضرب بين يديك بالدف وأتغنى.
قال: (إن كنت نذرت فاضربي).
فجعلت تضرب.
3 – ما صح عن جماعة كثيرين من الصحابة والتابعين أنهم كانوا يسمعون الغناء والضرب على المعازف.
فمن الصحابة: عبد الله بن الزبير، وعبد الله بن جعفر وغيرهما.
ومن التابعين: عمر بن عبد العزيز، وشريح القاضي، وعبد العزيز بن مسلمة، مفتي المدينة وغيرهم.
“Sesungguhnya nyanyian dalam berbagai temanya adalah boleh. Dan, nyanyian yang dengannya dimaksudkan untuk hal yang berfaedah maka dia mubah lagi halal. Boleh mendengarkannya, dan dengan ini mendatangkan manfaat secara syar’i, maka boleh jual beli alat-alatnya karena hal itu memiliki nilai.
Contoh nyanyian yang dihalalkan,
- Nyanyian seorang ibu untuk menghibur anak-anaknya.
- Nyanyian para pekerja dan budak-budak ketika bekerja untuk meringankan pekerjaan dan saling membantu di antara mereka.
- Nyanyian pada saat senang agar nampak rasa senangnya.
- Nyanyian ketika hari raya untuk menunjukkan kebahagiaan karenanya.
- Nyanyian untuk menyemangatkan jihad
Demikian juga pada setiap perbuatan ketaatan sehingga bisa menyemangati jiwa dan bangkit mengerjakan ketaatan itu.
Nyanyian tidak lain tidak bukan adalah ucapan; jika baik maka dia baik, jika buruk maka dia buruk. Jika nyanyian diarahkan untuk keluar dari lingkup kehalalan, seperti membangkitkan syahwat, atau ajakan kepada kefasikan, atau menyadarkan kepada keburukan, atau menjadikannya lalai dari ketaatan, maka itu tidak halal.
Maka, dia halal secara dzat, hanya saja diarahkan untuk keluar dari lingkup kehalalan. Untuk ini, banyak hadits-hadits bermakna demikian yang melarangnya.
Dalil yang menunjukkan kehalalan nyanyian,
- Hadits riwayat Bukhari, Muslim, dan lainnya, dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Abu Bakar masuk ke tempatnya, dan di depannya ada dua jariyah (budak gadis remaja) yang sedang bernyanyi dengan menggunakan duf (rebana), saat itu Rasulullah sedang berselimut dengan kainnya. Maka, Abu Bakar menghardik kedua jariyah itu, lalu Rasulullah menyingkap selimut dari wajahnya dan bersabda: “Biarkan mereka berdua wahai Abu Bakar, karena ini hari raya.”
(Saya [Farid Nu’man] mengatakan: Ini menunjukkan kebolehannya nyanyian dan rebana, sebab jika keduanya haram, maka pasti Rasulullah menjadi orang pertama yang mencegahnya, dan jika memang haram tidak mungkin berubah menjadi halal hanya karena dimainkan di hari raya, sebab perilaku haram seperti zina, judi, khamr adalah tetap haram kapan pun juga, maka seharusnya nyanyian demikian juga. Tapi, ternyata Rasulullah membiarkannya pada saat hari raya).
- Hadits riwayat Imam Ahmad dan At Tirmdzi dengan sanad shahih. Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pergi pada sebagian peperangannya. Ketika beliau pulan datanglah seorang jariyah hitam, dan berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya saya telah bernazar, jika engkau pulang dalam keadaan selamat maka aku akan bernyanyi dan memukul rebana di depanmu.” Maka Beliau bersabda: “Jika engkau sudah bernazar, maka pukul-lah (rebana).” Maka dia pun memukul rebana.
(Saya [Farid Nu’man] mengatakan: Ini juga menunjukkan kebolehan nyanyian dan rebana di selain hari raya dan walimah. Sebab kisah ini terjadi saat Nabi pulang perang. Ini juga menunjukkan kebolehan nyanyian –yang baik-baik tentunya- dan rebana, sebab jika keduanya haram dan munkar, pasti Rasulullah akan melarang bernazar dengan yang haram dan munkar).
- Telah shahih dari segolongan banyak sahabat dan tabi’in, bahwa mereka mendengarkan nyanyian, dan memukul/memainkan ma’azif (alat-alat musik). Dari kalangan sahabat adalah Abdullah bin Zubeir, Abdullah bin Ja’far, dan selain keduanya. Dari kalangan tabi’in adalah Umar bin Abdul Aziz, Syuraih Al Qahi, Abdul Aziz bin Maslamah seorang mufti Madinah, dan lainnya.
Selesai.
Wallahu A’lam