Oleh: Ustadz Farid Nu’man Hasan hafizhahullah
Makna As Salaf – السَّلَفُ
Secara bahasa (etimologi) salaf artinya al mutaqaddim[1] yaitu pendahulu, yang lebih dulu, yang awal. Al Quran beberapa kali menggunakan kata salaf, di antaranya:
فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ
Barangsiapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. (QS. Al Baqarah: 275)
Dalam hadits, misalnya ucapan Rasulullah ﷺ kepada Fathimah Radhiyallahu ‘Anha:
فَإِنَّهُ نِعَمَ السَّلَفُ أَنَا لَك
Sebaik-baiknya salaf (pendahulu) bagimu adalah aku. [2]
Ada pun makna secara terminologi, ada beberapa pendapat tentang definisi salaf dan batasannya. Syaikh Muhammad bin Khalifah at Tamimi menyebutkan ada tiga, yaitu:
Pertama: Salaf adalah para sahabat nabi saja.
Kedua: Salaf adalah para sahabat nabi dan tabi’in.
Ketiga: Salaf adalah para sahabat nabi, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.
Lalu, Beliau menyimpulkan:
وَالْقَوْلُ الصَّحِيحُ الْمَشْهُورُ الَّذِي عَلَيْهِ جُمْهُورُ أَهْلِ السُّنَّةِ هُوَ أَنَّ الْمَقْصُودَ بِالسَّلَفِ الصَّالِحِ هُمُ الْقُرُونُ الثَّلَاثَةُ الْمُفَضَّلَةُ الَّذِينَ شَهِدَ لَهُمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْخَيْرِيَّةِ، حَيْثُ قَالَ: “خَيْرُ الْقُرُونِ الْقَرْنُ الَّذِي بُعِثْتُ فِيهِمْ ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ”، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ ، فَالسَّلَفُ الصَّالِحُ هُمْ الصَّحَابَةُ وَالتَّابِعُونَ وَتَابِعُو التَّابِعِينَ. وَكُلُّ مَنْ سَلَكَ سَبِيلَهُمْ وَسَارَ عَلَى نَهْجِهِمْ فَهُوَ سَلَفِيٌّ نِسْبَةً إِلَيْهِمْ.
Pendapat yang shahih dan terkenal yang dianut oleh mayoritas Ahlus Sunnah bahwa maksud dari Salaf ash Shalih adalah mereka yang hidup pada tiga zaman yang utama, yang kebaikannya telah diakui oleh Nabiﷺ ketika Beliau bersabda: “Sebaik-baiknya zaman adalah zaman yang aku diutus kepada mereka, lalu setelahnya, lalu setelahnya.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Maka, Salaf ash Shalih itu adalah para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.[3] Jadi, siapa pun manusia yang menyusuri jalan mereka dan berjalan di atas konsep mereka, maka mereka adalah salafi,[4] yang dinisbatkan kepada mereka (kaum salaf). [5]
Ada pun manusia yang hidup di zaman setelah tiga generasi terbaik tersebut, mereka tidak lagi disebut salaf. Mereka disebut khalaf, yang artinya al laahiq ‘an as saabiq – yang menyertai orang yang terdahulu. Sehingga para ulama yang hidup setelah tiga generasi terbaik tersebut, disebut ulama khalaf, misalnya: Imam al Ghazali (abad kelima hijriyah), Imam an Nawawi (abad ketujuh hijriyah), Imam Ibnu Taimiyah (abad kedelapan hijriyah), Imam Ibnu Hajar (abad kesembilan hijriyah), Imam asy Syaukani (abad keduabelas hijriyah), begitu para ulama yang hidup di zaman modern, seperti Syaikh Sayyid Sabiq, Syaikh Yusuf al Qaradhawi, Syaikh Mutawalli asy Sya’rawi, Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin, Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy’ari, K.H. Ahmad Dahlan, Buya Hamka, Muhammad Natsir, dan lainnya. Mereka adalah kaum khalaf secara zaman.
Makna Takwil – التَأوِيْل
Sebagian ulama mengatakan takwil dan tafsir adalah sama, di antaranya apa yang dikatakan Imam Al Qurthubi Rahimahullah. Tafsir itu bayan (penjelasan) terhadap lafaznya, misal laa rayba fiih artinya laa syakka fiih (tidak ada syak/keraguan padanya). sedangkan takwil itu penjelasan terhadap maknanya, misal laa rayba fiih artinya tidak ada keraguan bagi orang-orang beriman.[6]
Sedangkan Imam Ibnu Jarir ath Thabari Rahimahullah menjudulkan kitab tafsirnya dengan takwil, yaitu Jaami’ al Bayan fi Ta’wilil Quran, artinya Beliau pun menyamakan antara takwil dan tafsir.
Sementara ada pula yang membedakan keduanya. Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan:
التَّأْوِيلُ التَّفْسِيرُ وَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا آخَرُونَ فَقَالَ أَبُو عُبَيْدٍ الْهَرَوِيُّ التَّأْوِيلُ رَدُّ أَحَدِ الْمُحْتَمَلَيْنِ إِلَى مَا يُطَابِقُ الظَّاهِرَ وَالتَّفْسِيرُ كَشْفُ الْمُرَادِ عَنِ اللَّفْظِ الْمُشْكِلِ وَحَكَى صَاحِبُ النِّهَايَةِ أَنَّ التَّأْوِيلَ نَقْلُ ظَاهِرِ اللَّفْظِ عَنْ وَضْعِهِ الْأَصْلِيِّ إِلَى مَالا يَحْتَاجُ إِلَى دَلِيلٍ
Takwil adalah tafsir, sebagian lain membedakan di antara keduanya. Abu ‘Ubaid al Harawi mengatakan, takwil adalah mengembalikan salah satu kemungkinan makna kepada apa yang sesuai dengan zhahirnya lafaz. Tafsir adalah menyingkap maksud dari lafaz yang sulit. Pengarang an Nihayah menyebutkan bahwa takwil adalah memindahkan zhahirnya lafaz dari tempatnya yang asli kepada apa-apa yang tidak membutuhkan dalil.[7]
Sedangkan Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan:
الحقيقة التي يؤول إليها الخطاب، وهي نفس الحقائق التي أخبر الله عنها
Takwil adalah sebuah hakikat yang menginterpretasikan perkataan (ayat), dan itu hakikatnya adalah kebenaran itu sendiri yang telah Allah ﷻ kabarkan.[8]
Sehingga istilah takwil ketika dikaitkan dengan sifat-sifat Allah ﷻ, maka upaya memahami dan menyingkap makna sesuatu yang disifati dan sifat itu sendiri. Imam Ibnu Taimiyah mengatakan:
فَإِنَّ تَأْوِيلَ آيَاتِ الصِّفَاتِ يَدْخُلُ فِيهَا حَقِيقَةُ الْمَوْصُوفِ وَحَقِيقَةُ صِفَاتِهِ وَهَذَا مِنْ التَّأْوِيلِ الَّذِي لَا يَعْلَمُهُ إلَّا اللَّهُ
Sesungguhnya takwil ayat-ayat sifat mencakup di dalamnya hakikat dari yang sifati dan hakikat sifat itu sendiri. Inilah takwil dari “tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah.”[9]
Takwil kaum salaf
Ada yang menganggap bahwa kaum salaf itu anti takwil. Ini tidak benar secara mutlak. Kita akan dapati bahwa kaum salaf pun menakwil sebagian sifat-sifat Allah ﷻ baik sifat-sifat Allah ﷻ yang tertera dalam Al Quran maupun As Sunnah, yang memang tidak mungkin dimaknai secara zahirnya. Ada pun madzhab salaf yang masyhur adalah tafwidh al ma’na (mengembalikan maknanya kepada Allah).[10]
Ketika membahas hadits “Rabb kita turun ke langit dunia setiap malam …”, Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan:
فَأَوَّلَ فِي بَعْضٍ وَفَوَّضَ فِي بَعْضٍ وَهُوَ مَنْقُولٌ عَنْ مَالك وَجزم بِهِ من الْمُتَأَخِّرين بن دَقِيقِ الْعِيدِ
Sebagian salaf mentakwilnya, sebagian sebagian mentafwidhnya, telah pasti hal ini dari Imam Malik dan sebagian muta’akhirin seperti Ibnu Daqiq al ‘Id.[11]
Contoh-contoh takwil para salaf sangat banyak, di antaranya:
Takwil Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma
Tentang ayat “Ingatlah pada hari ketika betis (saaq) disingkapkan” (QS. Al Qalam: 42). Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma mentakwilnya, bahwa hari itu begitu syiddah (berat dan payah), amrun ‘azhim (urusan yang besar).[12] Beliau tidak memaknai secara zahir bahwa itu betis hakiki sebagaimana yang langsung terbayang dalam benak manusia ketika mendengar kata betis.
Imam Ibnu Jarir Rahimahullah mengatakan:
قال جماعة من الصحابة والتابعين من أهل التأويل: يبدو عن أمر شديد.
Segolongan sahabat nabi dan para tabi’in yang pakar ta’wil mengatakan: “Nampak urusan yang begitu sulit.”[13]
Pakar tafsir di masa tabi’in yang dimaksud yang memaknai dengan syiddah adalah Said bin Jubeir, Mujahid, Adh Dhahak, dan Qatadah.
Begitu pula tentang ayat “aw ya’tiy rabbuka – atau datangnya Tuhanmu” (QS. Al An’am: 158). Imam Al Qurthubi Rahimahullah berkata tentang ayat tersebut:
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَالضَّحَّاكُ: أَمَرَ رَبُّكَ فِيهِمْ بِالْقَتْلِ أَوْ غَيْرِهِ
Ibnu Abbas dan Adh Dhahak berkata: “Tuhanmu memerintahkan perang atau lainnya pada mereka.”[14]
Begitu pula tentang ayat Kursi, bahwa makna ayat: “kursiNya meliputi langit dan bumi,” bukanlah bermakna tempat duduk tapi ilmuNya. Ini dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Said bin Jubeir.[15]
Begitu pula ayat: “was samaa’a banaynaahaa bi-aydin (dan langit Kami bangun dengan TANGAN). (QS. Adz Dzariyat: 47). Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma mengatakan yaitu biquwwah (dengan kekuatan/kekuasaan). Ini juga takwil dari Mujahid, Qatadah, Ibnu Zaid, Sufyan Ats Tsauri.[16]
Begitu pula ayat “Yang abadi adalah WAJAH tuhanmu yang agung dan mulia.” (QS. Ar Rahman: 27). Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma mengatakan: “Kata wajah adalah ungkapan tentang diriNya.”[17]
Jadi Beliau tidak mengartikan wajah adalah wajah, tapi memaknai bahwa yang abadi adalah eksistensi Allah ﷻ, itulah yang tegaskan oleh Imam Al Qurthubi:
أَيْ وَيَبْقَى اللَّهُ، فَالْوَجْهُ عِبَارَةٌ عَنْ وُجُودِهِ وَذَاتِهِ سُبْحَانَهُ
Yaitu yang abadi adalah Allah ﷻ , ada pun wajah merupakan ungkapan tentang eksistensi diriNya dan zatNya.[18]
Takwil Imam Hasan Al Bashri Rahimahullah
Tentang ayat Jaa’a rabbuka – telah datang Tuhanmu. (QS. Al Fajar: 22). Imam Al Qurthubi Rahimahullah berkata:
قوله تعالى : { وَجَآءَ رَبُّكَ } أي أمره وقضاؤه؛ قاله الحسن
FirmanNya (dan datanglah Tuhanmu) yaitu urusanNya dan ketetapanNya. Ini dikatakan oleh Al Hasan.[19]
Jadi, bukan bermakna Allah ﷻ secara zat berpindah tempat datang dan pergi. Sehingga Imam Al Qurthubi sendiri mengatakan:
وَاللَّهُ جَلَّ ثَنَاؤُهُ لَا يُوصَفُ بِالتَّحَوُّلِ مِنْ مَكَانٍ إِلَى مَكَانٍ، وَأَنَّى لَهُ التَّحَوُّلُ وَالِانْتِقَالُ، وَلَا مَكَانَ لَهُ وَلَا أَوَانَ، وَلَا يَجْرِي عَلَيْهِ وَقْتٌ وَلَا زَمَانٌ، لِأَنَّ فِي جَرَيَانِ الْوَقْتِ عَلَى الشَّيْءِ فَوْتُ الْأَوْقَاتِ، وَمَنْ فاته شي فَهُوَ عَاجِزٌ.
“Allah ﷻ tidaklah disifati bergeser dari satu tempat ke tempat lain, baginya tidak bergeser dan tidak berpindah. Tidak ada tempat baginya dan tidak pula waktu (musim). Waktu dan zaman tidaklah berlangsung atas diriNya. Sebab, berlangsungnya waktu atas suatu hal dan waktu itu terus berlalu, dan siapa yang sesuatu telah berlalu darinya maka itu menunjukan dia lemah.”[20] Dan, Itu mustahil bagi Allah ﷻ.
Takwil Al A’masy Rahimahullah
Ketika menjelaskan hadits Qudsi: “Jika hambaKu mendekatiKu sejengkal maka aku mendekatinya sehasta, jika hambaKu mendatangiKu berjalan maka Aku mendatangiNya dengan berlari …”. Maksudnya bukanlah Allah ﷻ bergerak dan pindah tempat berlari-lari, Al A’masy Rahimahullah menjelaskan, maksudnya adalah Allah ﷻ memberikan maghfirah – ampunanNya dan rahmatNya.[21]
Takwil Imam Malik bin Anas Rahimahullah
Dalam menjelaskan hadits tentang nuzul (turun)nya Allah ﷻ di tiap malam, bahwa Habib bin Abi Habib mengatakan bahwa Imam Malik berkata kepadaku:
يَتَنَزَّلُ رَبُّنَا -تَبَارَكَ وَتَعَالَى- أَمْرُهُ، فَأَمَّا هُوَ، فَدَائِمٌ لاَ يَزُولُ. قَالَ صَالِحٌ: فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِيَحْيَى بنِ بُكَيْرٍ، فَقَالَ: حَسَنٌ وَاللهِ، وَلَمْ أَسْمَعْهُ مِنْ مَالِكٍ.
“Rabb kita menurunkan urusanNya, adapun diriNya tetap dan tidak pernah bergeser.” Shalih berkata: “Aku ceritakan hal itu kepada Yahya bin Bukair, dia menjawab: “Bagus, demi Allah. Namun aku belum dengar langsung dari Malik.”[22]
Takwil Imam Mujahid dan Imam Sufyan Ats Tsauri, dan salaf lainnya Rahimahumullah
Dalam menjelaskan ayat: “Segala sesuatu akan binasa kecuali WAJAHNYA” (QS. Al Qashash: 88), Imam Mujahid dan Sufyan Ats Tsauri Rahimahumallah mengatakan:
أَيْ: إِلَّا مَا أُرِيدَ بِهِ وَجْهُهُ
Yaitu kecuali bukanlah yang dimaksud adalah wajahNya.[23]
Penjelasan di atas juga dikatakan oleh Imam Abul ‘Aliyah. Sementara Imam Mujahid berkata: kecuali DIA.[24]
Imam Sufyan Ats Tsauri Rahimahullah mentakwil ayat: “Dia bersama kamu dimana pun kamu berada.” (QS. Al Hadid: 4), yaitu ilmuNya.[25]
Artinya, yang Bersama kamu adalah ilmuNya, ilmuNya di mana-mana, bukan Allah ﷻ yang di mana-mana.
Takwil Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah
Beliau yang dianggap pimpinan “madzhab anti takwil” pun mentakwil, yaitu ketika membahas ayat Jaa’a rabbuka – datanglah Tuhanmu. (QS. Al Fajr: 22), dan hadits “Rabb kita turun ke langit dunia setiap malam …”. Maksud datang di situ adalah datang pahalanya, bukan datang zat Allah ﷻ .
Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan:
وروى الحافظ البيهقي في مناقب أحمد عن الحاكم عن أبي عمرو بن السماك عن حنبل عن أحمد بن حنبل تأول قول الله {وَجَاء رَبُّكَ} [سورة الفجر] أنه جاء ثوابه، ثم قال البيهقي: وهذا إسناد لا غبار عليه
Al Hafizh al Baihaqi meriwayatkan dalam Manaqib Ahmad, dari Al Hakim, dari Abu ‘Amr bin as Simaak, dari Hambal, dari Ahmad bin Hambal, bahwa Beliau mentakwil firman Allah ﷻ: wa jaa’a rabbuka – dan datanglah Tuhanmu, maknanya adalah DATANG PAHALANYA. Al Baihaqi berkata: “Sanad riwayat ini tidak ada debu padanya” (maksudnya shahih).[26]
Imam al Baihaqi Rahimahullah berkata:
وفيه دليل على أنه كان لا يعتقد في المجيء الذي ورد به الكتاب والنزول الذي وردت به السنة انتقالا من مكان إلى مكان كمجيء ذوات الأجسام ونزولها وإنما هو عبارة عن ظهور ءايات قدرته..
Ini menjadi dalil bahwa Beliau (Imam Ahmad) tidak berkeyakinan kata “kedatangan” yang terdapat dalam Al Quran dan kata “turun” seperti yang ada dalam As Sunnah adalah perpindahan dari satu tempat ke tempat lain sebagaimana perpindahan dan turunnya berbagai zat yang memiliki jism (raga/bentuk). Itu hanyalah ungkapan tentang begitu nampaknya tanda-tanda kekuasaanNya.[27]
Takwil Imam Al Bukhari
Dalam hadits shahih:
ضَحِكَ اللَّهُ اللَّيْلَةَ، أَوْ عَجِبَ، مِنْ فَعَالِكُمَا
Semalam Allah ﷻ tertawa atau kagum terhadap perbuatan kalian berdua.[28]
Imam Bukhari menakwil arti tertawa-nya Allah ﷻ dalam hadits tersebut adalah rahmatNya.[29] Bukan memaknainya secara zahirnya.
Dan masih banyak lainnya.
Penutup
Keterangan ini menunjukkan bahwa klaim sebagian orang bahwa salaf itu tidak takwil tidaklah benar. Takwil walau pun bukan madzhab umumnya kaum salaf, tidaklah serta merta dikatakan sesat bagi pelakunya. Apalagi jika tujuannya untuk melindungi kesucian Allah ﷻ dari makna-makna yang tidak pantas bagiNya. Bagaimana mungkin dikatakan sesat, padahal itu dilakukan para pembesar salaf dan pakar takwil dan tafsir? Oleh karena itu pengkafiran yang dilakukan sebagian orang terhadap ulama Asy’ariyah -mereka melanjutkan madzhab takwil- adalah sikap yang melampaui batas.
Demikian. Wallahu A’lam
Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam
Sumber: Alfahmu.id – Website Resmi Ustadz Farid Nu’man. Baca selengkapnya https://alfahmu.id/salaf-dan-takwil-sifat-sifat-allah/
Catatan Kaki:
[1] Imam an Nawawi, Syarh Shahih Muslim, 16/7
[2] HR. Muslim no. 4487
[3] Namun, tidak semua salaf itu shalih, ada yang hidup sezaman dengan para sahabat nabi seperti nabi palsu Musailimah al Kadzdzab, atau perintis fikrah (pemikiran) dan firqah (kelompok) khawarij seperti Dzulkhuwaisirah dan syiah seperti Abdullah bin Saba’, mereka hidup di zaman sahabat nabi. Begitu pula pencetus Mu’tazilah yaitu Washil bin ‘Atha dan Amru bin ‘Ubaid, mereka hidup di zaman tabi’in. Intinya, mereka hidup di zaman salaf, tapi bertentangan dengan ajaran kaum Salaf ash Shalih maka manhaj mereka bukanlah salaf. Mereka hanya salaf dalam arti zaman saja.
[4] Ini menunjukkan bahwa istilah salafi tidak merujuk kepada kelompok atau komunitas tertentu dengan gaya berpikir, sikap, penampilan, majelis, radio, majalah, saluran TV, yayasan dan ormas tertentu, sebagaimana yang dipahami sebagian orang. Tapi, siapa pun yang mengikuti jalan dan paradigma kaum salaf, maka dia salafi, walau dia tidak pernah mengaku-ngaku salafi dan tidak pula mengikuti dan bergabung dengan majelis dan komunitas yang menyebut dirinya salafi.
[5] Syaikh Muhammad bin Khalifah at Tamimi, Mu’taqad Ahl as Sunnah wa al Jama’ah, hal. 48
[6] Imam Al Qurthubi, Jami’ Li Ahkamil Quran, 4/15-16
[7] Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 13/526
[8] Imam Ibnu Taimiyah, Dar’u Ta’arudh baina al ‘Aql wa an Naql, 5/382
[9] Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ al Fatawa, 3/167
[10] Imam Al Alusi, Ruhul Ma’ani, 8/136
[11] Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 3/30
[12] Imam Ibnu Jarir, Jami’ al Bayan, 23/554
[13] Ibid
[14] Imam Al Qurthubi, Jami’ Li Ahkamil Quran, 7/144
[15] Imam Ibnu Jarir, Jami’ al Bayan, 5/397
[16] Ibid, 22/438
[17] Imam Al Qurthubi, Jami’ Li Ahkamil Quran, 17/165
[18] Ibid
[19] Ibid, 20/55
[20] Ibid
[21] Imam At Tirmidzi, Sunan At Tirmidzi no. 3603
[22] Imam Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala, 7/183
[23] Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 6/261
[24] Imam Al Qurthubi, Jami’ Li Ahkamil Quran, 13/322
[25] Imam Adz Dzahabi, Siyar A’lam an Nubala, 6/648
[26] Imam Ibnu Katsir, al Bidayah wa an Nihayah, 10/327
[27] Ibid
[28] HR. Bukhari no. 3798
[29] Imam al Baihaqi, al Asma wa ash Shifat, 2/403