Oleh: Taufik M. Yusuf Njong
Januari 2019, ketika meresmikan Cathedral of the Nativity of Christ berbarengan dengan Masjid Al-Fattah Al-Alim, Syeikhul Azhar Dr. Ahmad Thayyib menegaskan bahwa merupakan sebuah kesalahan besar di zaman kontemporer ini mengambil/memaksakan fatwa tentang tidak bolehnya mendirikan gereja di (negeri) Islam. Sebab (menurut beliau) fatwa tersebut (dulu) difatwakan di zaman dan kondisi tertentu (yang belum tentu cocok dengan zaman modern).
Kurang lebih dua abad sebelumnya, Syeikhul Azhar Syeikh Ahmad Abdel Mun’im Ad-Damanhuri (pengarang kitab Idhahul Mubham Syarah Matan Sulam dalam ilmu Mantiq yang terkenal di Indonesia) mengarang kitab ‘Iqamah Al-Hujjah Al-Bahirah ‘Ala Hadmi Kana_is Mishr wa Al-Qahira’ dimana beliau mengutip pendapat para fuqoha dari 4 Mazhab bahwa semua gereja yang didirikan di Mesir setelah datangnya risalah Islam haruslah dirobohkan.
Juni 2021, Imam Masjid Istiqlal Dr. Nasaruddin Umar mengusulkan pemerintah untuk mengkaji ulang pelajaran fikih (yang ia katakan sebagai produk perang salib) di pondok pesantren jika hendak menangkal paham radikalisme. Statemen ini kemudian dibantah oleh Dr. KH. Marsudi Syuhud yang merupakan salah satu Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
Sementara itu, saat membuka konferensi pendidikan Islam, Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) 2021, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengungkapkan peran penting akademisi dalam merekontekstualiasi konsep fikih. Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan keadaan zaman yang terus berubah.
Oktober 2021, Dar Al-Ifta Mesir memfatwakan ‘fatwa kontroversial’ bahwa memakai cadar adalah adat (budaya) semata-mata. Tentunya kita yakin bahwa Dar Al-Ifta sangat tahu tentang disyariatkannya cadar oleh mayoritas ulama 4 Mazhab baik yang mewajibkan atau sekedar menyunnahkan. Jauh sebelumnya, Mentri Waqaf Mesir Dr. Mahmoud Hamdi Zaqzouq mengarang kitab ‘An-Niqab ‘Adah Wa Laisa ‘Ibadah/Cadar adalah adat bukan ibadah, kitab dan fatwa ini juga didukung oleh Syeikhul Azhar saat itu alm Syeikh Dr. Muhammad Sayyid Tantawi.
Maret 2018, K.H. Said Aqil Siradj juga menegaskan bahwa cadar adalah budaya Arab. Selain K.H Said Aqil, Prof Quraisy Syihab juga punya ‘pendapat yang longgar’ tentang jilbab yang berbeda dengan pendapat mu’tamad dalam Mazhab Syafi’i yang ‘dianut’ oleh mayoritas kaum muslimin Indonesia.
Fatwa bahwa cadar adalah adat/budaya Arab ini pernah dibantah oleh Habib Umar bin Hafidz. Sebab menurut beliau, bangsa Arab sebelum Islam adalah bangsa tabarruj yang suka berhias. Justru Islamlah yang kemudian datang membawa syariat hijab dan cadar, hingga kaum muslimat di Madinah Al-Munawwarah seolah-olah seperti sekumpulan burung gagak pasca turunnya ayat hijab.
Ada banyak Fatwa-fatwa kontemporer yang difatwakan menyelisihi pendapat yang mu’tamad dalam salah satu Mazhab, bahkan banyak yang mentarjih fatwa diluar mazhab yang 4 dengan alasan tajdid, taysir (memudahkan) atau alasan maslahah; lebih cocok untuk orang di zaman modern ini dan alasan-alasan lainnya. Sebagian diantaranya adalah pengharaman khitan perempuan, bolehnya menyimpan/membiarkan patung, bolehnya perempuan menduduki jabatan penting kenegaraan bahkan presiden, bolehnya perempuan safar jauh tanpa mahram, tidak adanya jihad ofensif dalam Islam dan lain-lain.
Di era Dr. Ahmad Thoyyib, Dar Ifta’ Mesir mentarjih dan memfatwakan bahwa talak 3 sekaligus hanya jatuh 1 seperti sebelumnya pernah difatwakan oleh Ibnu Taimiyah cs. Padahal kita tahu bagaimana Ibnu Taimiyah mendapatkan ‘ujian’ karena fatwa-fatwanya yang dianggap nyeleneh dan melanggar ijma’ para imam Mazhab.
Yang masih hangat diperdebatkan beberapa waktu lalu adalah hukum boleh/tidaknya mengucapkan selamat natal kepada pemeluk agama nasrani. Pembahasan ini selalu hangat di penghujung tahun antara mereka yang ketat berpegang kepada fatwa-fatwa klasik ulama Islam yang mengharamkannya dan antara mereka yang cenderung kepada ‘tajdid’ lalu membolehkan mengucapkan selamat natal bahkan menyunnahkannya hingga memvonis mereka yang mengharamkannya sebagai orang-orang kaku yang radikal.
Beberapa waktu lalu, saya mendengarkan kritik dari Dr. Abdul Qadir Husain terhadap Syeikh Al-Qaradhawi dan Syeikh Sayyid Sabiq karena karya-karya dan fatwa-fatwa keduanya yang dianggap telah merobohkan/mengacaukan fiqih islami. Oleh Dr. Abdul Qadir, keduanya dianggap berusaha untuk membuat mazhab yang kelima dengan dalih tarjih dalil yang paling kuat dan apa yang dilakukan keduanya persis seperti yang dilakukan kaum Wahabi (Salafi).
Sejatinya, apa yang dilakukan oleh Syeikh Al-Qaradhawi berupa tarjih dengan memperhatikan dan memfatwakan fatwa yang paling mudah dan cocok dengan umat Islam di era modern (bukan sekedar tarjih kuatnya dalil seperti disampaikannya Dr. Abdul Qadir) adalah manhaj yang tak jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh Syeikhul Azhar Dr. Ahmad Thoyyib, Syeikh Ali Gomaa dan ulama-ulama lain yang menyerukan Tajdid di era kontemporer. Menurut mereka, Tajdid adalah sebuah keharusan dan mereka (para ulama yang mengajak kepada tajdid) sepakat menolak klaim bahwa pintu ijtihad telah tertutup sejak abad ke empat atau setelahnya. Syeikh Ali Gomaa bahkan mempopulerkan sebuah kaidah dalam berfatwa bahwa: Idza ikhtalafa al-ulama, qallid man ajaaza (apabila para ulama berbeda pendapat, ikutilah yang membolehkan).
Diantara taysir al-fatwa beliau (Syeikh Ali Gomaa) yang dianggap kontroversial adalah fatwanya yang membolehkan seorang muslim yang tinggal dan bekerja (seperti bekerja di tempat yang menjual miras) di negara Barat yang muslimnya minoritas untuk melakukan akad fasid dengan mengikuti fatwa para ulama Hanafiyah yang membolehkannya, padahal beliau sendiri bermazhab Syafi’i yang mengharamkan akad fasid.
*****
Beberapa ‘ide progresif’ dan fatwa Kontemporer diatas saya kutip panjang lebar untuk menunjukkan bahwa banyak para ulama Al-Azhar (dan selain Al-Azhar) yang diakui keilmuannya ternyata mentarjih pendapat-pendapat yang tidak mu’tamad dalam mazhab mereka (jika memang mereka bermazhab) dengan alasan tajdid dan taysir atau bahkan mentarjih pendapat diluar mazhab yang empat. Fenomena ini tentunya menimbulkan banyak pertanyaan.
Jika banyak orang mengkritik sikap salafiyah kontemporer yang mentarjih pendapat-pendapat tertentu dengan alasan dalilnya lebih kuat dan shahih (menurut mereka) atau alasan-alasan lain, tanpa terikat dengan sebuah mazhab (dan tarjih tersebut dianggap menimbulkan kerancuan dalam cara bermazhab dan beragama), bukankah yang dilakukan oleh para ulama Al-Azhar (dan selain Al-Azhar) berupa tarjih fatwa-fatwa yang sebelumnya dianggap lemah bahkan syadz atas nama tajdid harusnya juga menimbulkan kerancuan dalam bermazhab dan fiqih Islam?
Ataukah jika ulama Wahabi (salafiyah kontemporer) mentarjih pendapat yang mereka anggap kuat dalilnya tanpa terikat dengan sebuah mazhab kita menamakannya sebagai ‘Allamazhabiyah’ penyebab kerancuan dan kekacauan fiqih Islam, namun ketika yang melakukan hal yang (hampir) sama (dengan alasan taysir dan maslahah) adalah ulama Al-Azhar kita menamakannya dengan tajdid?
Yang lebih ‘unik’ adalah sikap sebagian orang yang mengkritik dengan keras ‘manhaj tarjih dan taysir’ Syeikh Al-Qaradhawi dan Sayyid Sabiq tapi sama sekali tidak mempermasalahkan fatwa-fatwa kontemporer Syeikhul Azhar dan Syeikh Ali Gomaa, Darul Ifta’ Mesir, dan lain-lain yang keluar dari mu’tamad sebuah mazhab atau mazhab yang dianutnya, padahal manhaj Syeikh Al-Qaradhawi dan Sayyid Sabiq ini juga tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Syeikhul Azhar, Syeikh Ali Gomaa, dan lain-lain.
*****
Diskusi tentang tajdid kontemporer ini mau tidak mau akan menggiring kita kepada perdebatan klasik tentang apakah seorang muslim wajib taqlid kepada sebuah mazhab tertentu? Kalau ia, apakah juga diwajibkan kepadanya untuk konsisten bermazhab dengan satu mazhab tanpa boleh berpindah ke mazhab lain meskipun ada kebutuhan yang mendesak?
Ataukah berpindah-pindah mazhab dibolehkan selama tidak talfiq dan tidak sekedar mencari-cari rukhsah?
Apakah tajdid yang dikatakan sudah mandeg dan terhenti sejak abad ke 4 atau ke 5 Hijriyah masih mungkin dilakukan di era kontemporer?
Apakah orang yang melakukannya tajdid disyaratkan memiliki semua kapasitas dan kapabilitas yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid mutlak?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut dan pertanyaan-pertanyaan lain yang berhubungan dengannya selalu hangat untuk didiskusikan meskipun sudah pernah dibahas panjang lebar oleh para ulama kita. Tabi’at dan naluri manusia yang berbeda-beda dan selalu ada dis etiap masa membuat isu-isu tersebut relevan untuk terus diperbincangkan. Dan mudah-mudahan Insya Allah kita bisa mendiskusikannya dalam tulisan-tulisan selanjutnya.
Wallahu A’lam bisshawab.
1 comment
Baarokallahu fiikum ..
Saya mendapat kesempatan dapat mengakses website ini, sekaligus menjaikan referensi dari artikel dari website ini.
Jazakumullahunkhoiron katsiron