Oleh: Farid Nu’man Hasan
Prinsip Dasar
Islam adalah agama sempurna dan menyeluruh, tidak pernah melupakan satu sisi saja dari kehidupan dan kebutuhan manusia. Islam tidak meridhai ketidakseimbangan bagi umatnya, memikirkan satu hal namun melalaikan yang lain. Memikirkan agama, dan melupakan dunia secara total. Memikirkan jiwa, dan melupakan tubuh. Itu bukan dari Islam.
Allah Ta’ala berfirman: “Kamu sekali-kali tidak akan melihat pada ciptaan Allah Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang.” (QS. Al Mulk: 3)
Termasuk tema ini, bahwa memperhatikan kesehatan tubuh dan perawatannya, baik bagi laki-laki dan wanita, adalah bagian dari keseimbangan Islam. Islam tidak menghendaki umatnya menjadi lemah dan inferior, baik lemah akal, jiwa, fisik, ekonomi, politik, dan militer.
Allah Ta’ala berfirman: ”Dan berapa banyaknya Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (QS. Ali Imran (3): 146)
Dalam ayat lain: ”Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.” (QS. An Nisa’ (4): 9)
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ
“Mu’min yang kuat adalah lebih baik dan lebih Allah cintai dibanding mu’min yang lemah, dalam segala kebaikannya.” (HR. Muslim No. 2664, Ibnu Majah No. 79, Ibnu Hibban No. 5721, An Nasa’i No. 623, 624. Ahmad No. 8791. Al Baihaqi dalam As Sunannya No. 19960, Abu Ya’la dalam Musnadnya No. 6251)
Demikianlah, Islam sangat memperhatikan bahkan mengunggulkan kekuatan. Bahkan Imam Ahmad ketika diminta untuk memilih, mana yang lebih utama, calon pemimpin yang shalih tapi lemah atau yang kuat walau tidak shalih? Dia lebih memilih pemimpin yang kuat. Sebab kekuatan bagi seorang pemimpin bermanfaat bagi diri sendiri dan rakyatnya, sedangkan kemaksiatannya ditanggung oleh dirinya sendiri. Sebaliknya keshalihan pemimpin hanya bermanfaat bagi diri sendiri, namun kelemahannya justru membawa bahaya bagi keamanan rakyat dan negaranya.
Maka, apa saja yang bisa menghantarkan kepada kekuatan, seperti makanan yang sehat dan halal, berolahraga (senam), dan menghindari segala perusak kesehatan, adalah sesuatu yang masyru’ (disyariatkan) dalam Islam, baik muslim dan muslimah.
Senam Akhwat ?
Senam adalah salah satu bentuk olah raga yang menyehatkan, sebagaimana penjelasan di atas, maka ia secara umum merupakan amal yang disukai oleh agama karena manfaatnya yang jelas.
Namun, Islam memiliki batas, adab, dan aturan main, yang wajib difahami, dimengerti, dihormati, dan dijalani oleh setiap pemeluknya, apalagi bagi yang sudah berlabel ‘aktifis Islam’, maka seharusnya mereka, khususnya para akhwat, adalah orang pertama dan utama dalam hal kepekaannya terhadap syariat dan batasannya. Bukan justru yang menabrak, tidak peduli, masa bodoh, atau nyari pembelaan yang takalluf (dipaksakan) dan tidak syar’i.
Sebenarnya, iffah (rasa malu), wara’ (hati-hati), dan muru’ah (citra diri) seorang muslimah da’iyah –walau tanpa harus disampaikan dalil-dalil syar’i- sudah cukup bagi mereka untuk menahan diri, bertanya-tanya, dan risih, serta tidak arogan, memaksakan diri melakukan perbuatan yang melanggar syariah. Lalu mencari-cari pembelaan dan pembenaran yang tidak syar’i, melainkan hawa nafsu, emosi, dan akal-akalan. Memang, di antara musibah paling besar bagi manusia adalah ketika hilangnya rasa sensitifitas terhadap dosa dan kesalahan, yang bisa jadi merupakan akumulusi kesalahan yang sudah ada sebelumnya, namun tak ada yang mencoba menegurnya. Akhirnya, kesalahan menjadi hal yang biasa.
Senam akhwat, atau wanita secara umum, jika dilakukan di dalam ruangan tertutup yang aman dan selamat dari pandangan laki-laki yang bukan mahram, maka TIDAK MASALAH. Atau Senam di depan suami sendiri, terserah dan bebas. Maka, senamlah wahai kaum wanita, di ruangan yang bisa dipastikan tidak ada laki-laki ajnabi (asing) yang melihat.
Namun, jika senam tersebut dilakukan di tempat terbuka di lakukan dengan jumlah sedikit atau banyak sehingga lebih menyita perhatian manusia khususnya laki-laki (karena jumlahnya yang banyak sehingga mudah terlihat), maka ini adalah FITNAH dan MUSIBAH besar bagi kalian baik dunia dan akhirat walau yang melihat hanya satu laki-laki bukan mahram. Banyak sedikit bukanlah ukuran, esensinya –walau pun sendiri- seorang wanita tidak dibolehkan syara’ melakukannya dihadapan laki-laki ajnabi. Sejak empat belas abad lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah memperingatkannya; yakni wanita yang berlenggak lenggok di depan laki-laki yang bukan mahramnya. Bukan hanya peringatan tetapi juga ancaman, yakni di sebut Ahlun Nar (penduduk neraka). Na’udzubillah! Ambil-lah pelajaran wahai muslimah …
Ingat, tak ada senam tanpa goyang-goyang pinggang, ke kanan ke kiri, ke depan ke belakang, membungkukan badan dan gerakan lainnya yang layak di sebut senam. Di tambah lagi dengan iringan musik, maka lengkap sudah kesamaannya dengan wanita yang berlenggak lenggok, jaipongan, nge-dance, walau mereka berbeda niat dengan para penari alias dancer, walau berjilbab lebar dan sempurna, walau tidak ada niat menggoda laki-laki. Sebab, niat yang baik tidaklah merubah status hukum perbuatan yang haram. Senam dan joget hanyalah mukhtalifah fil ismi walakin muttahidah fis syakli war Ruh (berbeda dalam nama, namun sama dalam hal bentuk dan esensi).
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
“Ada dua kelompok penghuni neraka yang belum saya lihat sekarang, yaitu kaum yang membawa cemeti (cambuk) seperti ekor sapi yang digunakan untuk memukul manusia. Dan para wanita yang berpakaian tetapi telanjang, menggoyang-goyangkan tubuhnya, memiringkan kepalanya, seperti punuk unta yang miring. Para wanita itu tidak akan masuk surga, bahkan tidak mendapatkan wanginya surga, padahal wanginya surga itu sudah bisa tercium dari perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim No. 2128. Ahmad No. 8665. Ibnu Hibban No. 7461, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No.5357, Al Baghawi No. 2578, Abu Ya’la No. 6690)
Ancaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ini adalah haq (benar) dan tidak main-main. Maka, bagi para muslimah yang pernah melakukannya, bahkan justru menikmati dan memerintahkannya, maka hendaknya memperbaiki keadaan dirinya dan bertobat kepada Allah Ta’ala, menyesali perbuatan tersebut, membencinya, dan berjanji untuk tidak mengulanginya.
Berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah:
وَالْإِخْبَارُ بِأَنَّ مَنْ فَعَلَ ذَلِكَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ وَأَنَّهُ لَا يَجِدُ رِيحَ الْجَنَّةِ مَعَ أَنَّ رِيحَهَا يُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ خَمْسِمِائَةِ عَامٍ وَعِيدٌ شَدِيدٌ يَدُلُّ عَلَى تَحْرِيمِ مَا اشْتَمَلَ عَلَيْهِ الْحَدِيثُ مِنْ صِفَاتِ هَذَيْنِ الصِّنْفَيْنِ
“Dan keterangan ini menunjukkan bahwa orang yang melakukan hal tersebut termasuk golongan ahli neraka, bahkan tidak mendapatkan aroma surga, padahal aroma surga dapat dicium sejak lima ratus tahun perjalanan, itu merupakan ancaman keras yang menunjukkan haramnya perbuatan yang terkandung dalam hadits tersebut yang merupakan sifat-sifat dua kelompok tersebut.” (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 2/117, Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)
Maka jika senam tersebut dilakukan dalam ruangan tertutup yang terjamin dari pandangan mata laki-laki asing, jelaslah kebolehannya. Namun, jika dilakukan di tempat terbuka, di mana laki-laki bisa melihatnya dengan bebas, maka tidak ragu lagi, perbuatan tersebut termasuk keumuman hadits di atas, sebagai perbuatan tercela, dengan ancaman yang sangat keras dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Siapa pun manusia, apapun jabatannya, setinggi apapun kedudukannya, tidaklah pantas menentang ketetapan dari Allah dan RasulNya. Ada pun bagi para kader, dia harus berpikir kritis, tidak taklid buta, tanpa di dasari oleh ilmu. Hendaknya menanyakan berbagai masalah dan aktifitasnya kepada para asatidz, dan tidak jalan sendiri.
Allah Ta’ala berfirman:
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.(QS. An Nisa’ (4): 65)
Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah RasulNya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (QS. An Nur (24): 63)
Wallahu A’lam